Geguritan Mladprana

Saking Wikisource

Geguritan Mladprana (1992) by I
prev
33632Geguritan Mladprana — prev1992I
[ 1 ]

TIDAK DIPERDAGANGKAN UNTUK UMUM


GEGURITAN

MLADPRANA


I Gusti Ngurah Bagus



PERPUSTAKAAN

PUSAT PEMBINAAN DAN

PENGEMBANGAN BAHASA

DAPARTEMEN PENDIDIKAN

DAN KEBUDAYAAN


Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Jakarta

1992


iii

[ 2 ]

PROYEK PENERBITAN BUKU SASTRA INDONESIA DAN DAERAH—JAKARTA TAHUN 1991/1992 DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA

Pemimpin Proyek : Dr. Nafron Hasjim

Bendahara Proyek : Suwanda

Sekretaris Proyek : Drs. Farid Hadi

Staf Proyek : Ciptodigiyarto

Sujatmo

Warno


HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

Isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan penulisan artikel atau karangan ilmiah.



iv

[ 3 ]

KATA PENGANTAR

Masalah kesusastraan, khususnya sastra (lisan) daerah dan sastra Indonesia lama, merupakan masalah kebudayaan nasional yang perlu digarap dengan sungguh-sungguh dan berencana. Dalam sastra (lisan) daerah dan sastra Indonesia lama itu, yang merupakan warisan budaya nenek moyang bangsa Indonesia tersimpan nilai-nilai budaya yang tinggi nilainya. Sehubungan dengan itu, sangat tepat kiranya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah-Jakarta berusaha melestarikan nilai-nilai budaya dalam sastra itu dengan cara pemilihan, pengalihaksaraan, dan penerjemahan sastra (lisan) berbahasa daerah itu.

Upaya pelestarian warisan budaya yang sangat beragam itu, selain akan memperkaya khazanah sastra dan budaya masyarakat Indonesia juga akan memperluas wawasan sastra dan budaya masyarakat. Dengan kata lain, upaya yang dilakukan ini dapat menguak tabir kedaerahan dan menciptakan dialog antarbudaya dan antardaerah melalui sastra sehingga kemungkinan dapat digunakan sebagai salah satu alat bantu untuk mewujudkan manusia yang berwawasan keindonesiaan.

Buku yang berjudul Geguritan Mladprana ini merupakan karya sastra Indonesia lama yang berbahasa Bali Kepara di daerah Bali. Pengalihaksaraan dan penerjemahan dilakukan oleh Drs. I Gusti Ngurah Bagus dan penyuntingan dilakukan oleh Drs. Amran Tasai.

Mudah-mudahan terbitan ini bermanfaat bagi pembinaan dan pengembangan sastra di Indonesia.


Jakarta, Januari 1992

Lukman Ali

Kepala Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa


v

[ 4 ]PENDAHULUAN

Geauritan Mladprana dikarang oleh I Gusti Made Rai dari Puri Mayun Menguwi Badung. Geguritan ini ditulis dengan huruf Bali dalam bahasa Bali Kepara yang bercampur dengan bahasa Jawa Kuna. Dalam geguritan ini banyak terdapat hal yang menarik perhatian kita, antara lain lukisan dharma. Di samping itu, terdapat pula ajaran asta corah (delapan perbuatan dusta) dan sad tatayi (enam macam pembunuhan) yang harus dihindarkan oleh setiap orang, sesuai dengan ajaran Agama Hindu di Bali.

I Wayan Rudita,yang berasal dari Banjar Kasta, meminang seorang gadis yang bernama Ni Ketut Oka (Janggaketaki), anak I Gede Taman, dari desa Wanapuspa. Pinangan I Wayan Rudita diterima oleh I Gede Taman. Saat itu sebetulnya Ni Ketut Oka sudah mempunyai seorang kekasih, yaitu Mladprana dari desa Purbawyanjana.

Pada suatu hari berita tentang perkawinan I Wayan Rudiya dengan Ketut Oka sampai pada telinga Mladprana. Oleh sebab itu, Mladprana mengutus Ni Luh Ngasa ke rumah Ni Ketut Oka untuk menyampaikan sepucuk surat. Untuk membuktikan kesetiaannya kepada Mladprana, Ketut Oka melarikan diri dari rumahnya dan masuk ke hutan Mayura. Ketut Oka tidak setuju dijodohkan dengan I Wayan Rudita. Berita hilangnya Ketut Oka didengar pula oleh I Mladprana. Mladprana langsung mencari Ketut Oka ke hutan. Akhirnya, Mladprana bertemu dengan Ketut Oka di hutan Mayura. Mereka berjanji untuk kawin setelah keluar dari hutan.

I Dirantaka, saudara sepupu Ketut Oka, berusaha mencari Ketut Oka yang menghilang dari rumahnya. Dia kemudian bertemu dengan Mladprana di hutan Mayura yang sedang berjalan dengan Ketut Oka. Dalam pertemuan ini terjadi perkelahian antara Mladprana dan I Dirantaka. Mladprana dapat

mengalahkan I Dirantaka. Akibat perkelahian itu, Mladprana tidak sadarkan [ 5 ]

2


diri. Dalam keadaan demikian, I Mladprana ditolong oleh Mpu Wrediaguna. Mladprana dan Ni Ketut Oka diajak ke pertapaan Mpu Wrediaguna dan di situ Mladprana diobatinya hingga sembuh. Di pertapaan ini Mladprana diajarkan kesucian dan kedharmaan. Dengan bekal ilmu itu Mladprana bersama Ni Ketut Oka pulang ke Wanapuspa untuk melangsungkan upacara perkawinannya

I Wayan Rudita sangat kecewa karena ditinggalkan Ni Ketut Oka. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk mengawini Sang Ayu Alit Warsiki dari desa Purbawyanjana. Akan tetapi, rencananya ini gagal karena Sang Ayu Alit Warsiki sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Mladprana. Atas kegagalannya ini I Wayan Rudita kemudian mengguna-gunai Warsiki sehingga Warsiki menjadi gila. Tidak seorang dukun pun yang sanggup menyembuhkan penyakit Sang Ayu Alit Warsiki. Akan tetapi, dengan ilmu yang dikuasainya Mladprana akhirnya dapat menyembuhkan penyakit Sang Alit Warsiki. Dengan rasa dendam I Wayan Rudita mencari bantuan Dukuh Sakti untuk membunuh Mladprana dan Ketut Oka. Dukuh Sakti mengutus dua orang muridnya untuk membunuh Mladprana dengan ilmu hitam. Namun, kedua murid Dukuh Sakti dikalahkan oleh Mladprana. Mladprana menasihati kedua murid Dukuh Sakti untuk berbuat kebaikan dan tidak melakukan pembunuhan lagi. Dukuh Sakti mengetahui anak buahnya telah kalah, Dukuh Sakti langsung menghadapi Mladprana. Atas bantuan Mpu Wrediaguna, Mladprana sanggup mengalahkan Dukuh Sakti dan menasihatinya agar sadar atas perbuatannya yang jahat itu. Kemudian, dalam perkelahiannya dengan I Wayan Rudita, Mladprana berhasil mengalahkan I Wayan Rudita.

Pada suatu saat Dukuh Sakti timbul pula niat jahatnya untuk membalas dendam dan sakit hatinya kepada Mladprana. Dukuh Sakti membujuk seorang raja bernama Nirbana dari Bumi Pratana untuk mengawini seorang gadis bernama Ketut Oka. Atas anjuran Dukuh Sakti, Raja mengutus patihnya melarikan Ketut Oka dengan bantuan ilmu hitam Dukuh Sakti. Ketut Oka dapat dilarikannya. Oleh sebab itu, Desa Purbawyanjana menjadi heboh atas hilangnya Ketut Oka. Hal ini membuat Mladprana merasa sakit hati. Mladprana kemudian berusaha mencari Ketut Oka dan bertapa di sebuah gua. Dalam pertapaan ini Mladprana memperoleh sebuah panah anugrah Batara Rudra yang bernama Ki Maya Geni. Dengan panah ini Mladprana dapat mengalahkan raja Bumi Pratana serta mengalahkan Dukuh Sakti. Akhirnya, Mladprana berhasil merebut Ketut Oka dari raja Nirbana. Mladprana kembali ke Purbawyanjana bersama Ketu I Oka serta melangsungkan perkawinannya.


[ 6 ]ALIH BAHASA GEGURITAN I MLADPRANA

Semoga tidak mendapat rintangan !

I. PUH DANGDANG

1. Besar keinginan untuk membuat nyanyian untuk menghibur, perasaan sakit hati, ingat dengan hidup miskin, sejak kecil hingga dewasa, tidak pernah merasa bahagia, rasanya Tuhan memusuhi, karena tidak memiliki pekerjaan, rupa jelek, miskin, dan tidak berharga, pikiran kurang cerdas.

2. Semua sahabat dan keluarga sampai hati tidak memperhatikan, tetangga membenci. Itulah sebabnya saya sedih, bingung pikiran kacau, menyesal menjadi manusia, sama sekali tidak berguna. Karena itulah sekarang saya menerimanya, menemukan kesedihan, tidak makan, menghibur diri dengan mengarang, siapa tahu dapat terhibur.

3. Menghibur diri dengan mengarang, ini terlalu berani, terlalu durhaka. Lagu nyanyian tidak beraturan, didasari oleh rasa keberanian, tidak takut ditertawai. Ya, sudilah para pembaca, siapa pun Tuan, seperti Hyang Kawiswara, Saraswati, rela memaafkan, saya yang bodoh berlagak pintar.

4. Menceritakan cerita jaman dahulu, cerita yang belum selesai, lalu kini dilangsungkan. Permulaan karangan ini dikarang, pada hari Sukra kliwon, jatuh pada uku watugunung, bulan gelap ketujuh, bulan Oktober, tanggal empat Rah kosong, igakanya, perhitungan cara di Bali, icaka 1840.

5. Seperti perhitungan tahun Masehi, sesungguhnya tanggal 21 bulan September, bilangan tahunnya seperti perhitungan tahun Masehi, tahun 1918, tempat tinggal si pengarang, di daerah Mengwi, di sebelah timur jalan, rumah beliau, nama berada dalam khayalan, namanya adalah I Perang.

6. Maafkan saya si pengarang, serba kurang, sebab bukan kebiasaan menjadi pengarang. Hanya karena tertarik, pada cerita orang tempo dulu, sebab berani mengarang nyanyian, sebagai penghibur hati, sepatutnya hati itu dihibur, dengan karangan, cerita dipakai menasihati, pikiran yang kacau.

3 [ 7 ]

4

II. PUH DURMA

1.Cerita ini dimulai dari Puh Durma, yang sekarang diceritakan, di desa Kasta, Ada seorang bernama I Rudita, berkata pada ayahnya, "Ya Ayah, saya memohon dengan sangat.

2. Supaya rela Ayah pergi ke Wana-Puspa, melamar Ki Jangga Ketaki, pada Bapak Gede Taman, supaya bisa saya, bertemu dengan Jangga Ketaki. Nah, serahkan saja, supaya ia meladeni.

3. Kalau Bapak tidak berhasil menjodohkan saya dengan Jangga Ketaki, lebih baik orang seperti saya, pergi membuang diri, menuju hutan gunung, menceburkan diri ke laut, lebih baik saya mati.”

4. Ayahnya cepat menjawab dan berkata, "Jangan kamu berpikir pendek, Bapak sanggup. Masakan Bapak tidak berhasil. Kalau Bapak datang ke sana, pasti anaknya diserahkan, dia tidak akan berani menolak.

5. Nah, sekarang kamu diam di rumah, Bapak berangkat meminang ke sana.” Kemudian berangkat, tidak diceritakan dalam perjalanan. Sekarang ia sudah sampai, di Wana-Puspa, di rumah Gede Taman.

6. Tidak diceritakan sekarang, selesailah pembicaraannya, I Rudita diberi tahu, "Bapak berhasil, besok kamu ke sana, tunggui adikmu, Bapak mengaturnya, hari baik untuk melangsungkan pernikahan.”

7. I Rudita tersenyum serta berkata pelan, "Saya akan menuruti. Ada permintaan saya, pending gelang kana sesimbing dan bunga emas semua, akan saya bawa ke sana." "Nah itu terserah pada kamu.”

8. Tidak diceritakan malam itu, diceritakan keesokan harinya pagi-pagi, I Rudita berangkat. Tidak diceritakan di jalan, I Wayan Rudita sampai di Wana Puspa, I Gede Taman menyapa dengan senyum.

9. "Nak Rudita, pagi-pagi kamu sudah datang." I Rudita menjawab, "Ya kedatangan saya, sekarang untuk menepati pembicaraan Bapak saya kemarin, relalah Bapak, menghambakan saya sekarang.

10. Dan menasihati perbuatan yang baik untuk menjadi manusia, jangan segan menegur." I Gede Taman berkata, "Jangan kamu banyak bicara, Bapak sudah menjadi satu dengan Bapakmu, ya sekarang diamlah di sini.

11. Nah pandai-pandailah kamu bersaudara, dengan adikmu, mintai dia pertolongan, rayulah di tempat tidur, supaya dia senang, setia bersuami, supaya menuruti nasihat."

12. Singkatnya demikianlah nasihatnya, kemudian ia berkata, "Ya, Jangga [ 8 ]

5

Ketaki, mendekatlah kamu, bawakan kakakmu sirih.” Kemudian Jangga Ketaki datang, menyodorkan tempat pinang.


III. PUH SINOM

1. I Rudita menerima kemudian ia menyodorkan, gelang kana bunga emas, papending dan cincin, "Ini Dik, pemberian Kakak, ciri setia menurut.” Ni Ketut Oka menolak. Kemudian Gede Taman berkata, ”Terima Luh! pemberian kakakmu.

2. sudah Bapak jodohkan, sekarang ajaklah dia di sini, pandai-pandailah kamu bersaudara, baik-baik meladeni, segala yang diberikan terima.” I Ketut Oka menjawab, ”Kak saya meminta.” I Rudita menyodorkan, diiringi senyum, sambil menggelitiki pinggang.

3. Jangga Kateki mengejutkan, "Sudah sekian saja Kak.” I Rudita berpura-pura, mengambil tempat sirih dan makan sirih, Karena terlalu risih, tembakaunya dikunyah terlebih dahulu, kapurnya dipakai bersugi, sehingga dia mabuk kapur, karena ia terpesona, memperhatikan Ni Ketut Oka.

4. Karena pikirannya terlalu jauh, sehingga menjadi terlalu bingung, bersikap seperti ngantuk. Hatinya gemetar. Gede Taman kemudian berkata halus, ”Tidurlah kamu duluan, kamu (Ketut Oka) ke sana membuat boreh, borehi kakakmu.” Kemudian ia turun, membuat boreh.

5. I Rudita terhuyung-huyung, ke tempat tidur, kemudian tidur. Jangga Ketaki datang, membawa boreh harum kekuning-kuningan, ”Kak cepatlah bangun, berboreh dulu kak,” I Wayan Rudita bergegas, kemudian dia diborehi, di sana kemudian, menyodorkan tangan, meraba dada.

6. Sesudah selesai berboreh, sekarang diceritakan sudah malam, sesudah pukul tiga, masuklah Ki Jangga Ketaki. I Rudita mengikuti, I Ketut Oka berkata, "Keluarlah kak!” I Rudita menjawab, dan berkata, ”Kakak menyerahkan diri.

7. Supaya kamu mengaturnya, bagaimana keinginanmu, Kakak tidak akan menolak. Permintaan Kakak hanya satu, saya sakit asmara, cinta padamu, itu yang dikeramatkan murahkan, hati saya selalu luka, obatilah olehmu, dengan penglihatan dan potongan.”

8. Buah dada kecil montok kuning, pakai mengobati setiap hari, pupuk dengan pinggang ramping, ruat dentan penglihatan tajam. Beri jamu dengan bibir, yang memerah manis, obati dengan kaki yang berbentuk bunga pudak, obati (melalui hidung dan mata) dengan perasaan sayang, harapannya, saling pandang di tempat tidur. [ 9 ]

6


9. Pipi montok pakai sembur, pupuklah dengan cinta kasih selalu, ikatlah dengan perasaan cinta, juga pakailah untuk memelihara nyawa, berbantal tangan berpelukan, untuk menghindari godaan, rasanya mempertemukan keindahan cinta, menyimatkan, dengan perjanjian di tempat tidur.

10. Supaya menjadi muda remaja, menemukan kesenangan hati saya padamu, Kalau kamu tidak sayang, siapa lagi yang disuruh rela, bagaikan anjing borok, kamu juga yang memiliki. Kalau kamu tidak sayang, pastilah, saya akan menemukan sengsara.

11. Saya cinta padamu, kenapa kamu tidak menoleh. Walaupun kamu tidak mau, tidak senang tidak cinta, malu takut juga tidak, pada saya terlalu mengharapkan, Walaupun kamu demikian, saya tidak akan batal menggantungkan diri, tidak malu, tidak malu disisihkan.

12. Karena hati ini terlalu cinta, berputar bagaikan angin, terpesona pada asmara, meluap bagaikan lautan, cinta juga ditemukan, derasnya bagaikan air terjun, hatiku menyala-nyala tergila-gila, meriah bagaikan gunung berapi, terlalu bernafsu, kalau diumpamakan bagaikan tanah.

13. Lubangnya dalam dan lebar. Sekarang kamulah yang menggenangi, menghujani dengan kesedihan. Semua itu saya isap, karena perasaan bakti tidak berkurang, karenanya tidak merasa bingung, bingungnya sudah lapuk, perasaan malu semuanya hilang, bencinya sudah semua mengendap.

14. Rasa malu sudah lenyap, gelisah sudah menjadi sayang, cinta yang diharap-hurap datang, cinta kasih melilit hati, kesedihan sudah diberikan orang, rasa takut sudah membengkak, malu selalu menyelam, disiksa oleh asmara, sangat keterlaluan, hati bingung mendapatkan petaka.

15. Tuan cahaya mataku, mengapa Tuan memalingkan muka, memang saya tidak pantas, menghamba pada Tuan, bagaikan Si Cebol menjangkau langit, kalau diumpamakan burung bagaikan burung puyuh, mau menyamai burung merak, kalau pada pakaian blacu kotor, ingin menyamai, pakaian Prancis yang berkilauan.

IV. PUH DEMUNG"""

1. Itulah sebabnya Adik tidak menoleh, pada hati yang bingung karena Kakak gila, memang Kakak sejak kecil, mandi dengan kebencian, men[ 10 ]

7

cuci muka dengan sorotan mata, berkeramas dengan kata-kata cacian, berminyak dengan sakit hati, setiap hari bertirta dentan makian, berbunga dengan kata-kata cacian.

2. Makian itu hancurkan sekarang perasaan sedih dibuang, merenggut pecahkan, marah hilangkan, kutukan ditelan satu-satu, usir kata-kata yang kotor, Kakak mendesak memohon, mengharap Tuan, kenapa Tuan marah, teguhkan hatimu, kenapa Tuan tidak berhenti marah.

3. Matahari malam pun bisa panas membara, juga ia bisa dingin. Angin kencang berembus, bisa mendesir halus, lautnya juga bisa surut, besi juga bisa patah, harimau sering menyergap, juga ia bisa kasih, tetapi kamu bandel siapa yang ditiru, dan tidak bisa ditenangkan.

4. Sebabnya kata-kata si miskin memohon kerelaan, tetapi tidak menjawab seperti batu, sekarang lebih baik paksa, rayuan tidak diterima, bagaikan merayu kayu, kayu berhati jelek, sekarang cocok dipaksa, siapa lagi yang disegani, ayahnya sudah rela, begitulah pikirannya bulat.

5. Kemudian, I Rudita mengunci kamar dan mendekat, Jangga Ketaki ditangkap, lehernya dipeluk, pakaiannya dibuka semua, paha dada ditindih, dicium dirayu, Ni Jangga Ketaki kemudian mencakar sekuatnya, melawan dengan hebat, I Rudita luka parah.

6. I Rudita semakin galak, marah menggoyangkan sampai berkeringat, I Ketut Oka lelah hampir dapat diperkosa, kemudian ia mengeluarkan akal, supaya bisa selamat, itu yang disucikannya, cara haluslah untuk meluluhkannya, menenangkan pikirannya, keluarlah kata-katanya halus.

7. "Mengapa Kakak demikian tidak bisa menahan, keinginan akan bercinta kasih. sepertinya ada yang akan merebut, bagaimana dugaan Kakak, sebab saya tidak menuruti, itu disebabkan karena saya masih kecil, diumpamakan seperti bunga, masih kuncup belum mekar. Karena itu, pantaslah ditunggu, kalau memang benar-benar cinta.

8. Berkeinginan agar baik nah tenanglah, saya tidak akan menipu Kakak, pikiran saya setia tulus, meladeni Kakak, didahului dengan keakraban Bapak, bertambahlah hati tulus saya, menghamba meladeni, hidup menemukan kesenangan hati, bersama Kakak di tempat tidur, tiap hari tidur berpelukan.

9. Tetapi kini tunggulah tiga bulan lagi, ketika itu saya akan menurut, mengikuti sekehendak Kakak, siang malam bertemu, bagaimana kalau demikian, saya tidak menipu, ya kalau saya, tidak setia dan menipu, supaya dikutuk oleh leluhur, dan sakit keras sekali. [ 11 ]

8

10. Di alam niskala disalahkan oleh Tuhan di dunia nyata, Kakaklah yang selalu menghukumnya, siksalah saya Kak, permintaan saya pada Kakak, hanya tiga bulan, kalau tidur berpisah, Kakak di sana di luar, di tempat tidur sehari-hari, supaya tidak was-was, supaya selalu dengan jelas melihat.

11. Permohonan saya pada Kakak pikirkan baik-baik, kalau Kakak tidak tahan, berkeinginan segera memadu kasih, lebih baik saya mati, karena kata-kata tidak dipercaya, nah sekarang keluarlah, pikirkan Kakak sekarang, supaya jelas oleh saya.” Rudita menjawab,

12. Begitu kehendak Adik, Kakak setuju, permohonan Kakak pada Adik, supaya benar-benar, tingkah laku meladeni pakai bukti, sekarang Kakak permisi keluar.” "Ya bangunlah Kakak.” Kemudian, ia keluar, menuju kamar yang ditunjukkannya, I Ketut Oka mengunci pintu, langsung tidur.

13. Tidak terasa siang malam, sudah dua minggu lamanya, I Rudita, tetap diladeni, seperti setia karena setia meladeni, terlalu senang melihat akhirnya terpesona, tenggorokan seremba, tidak diceritakan keadaan sehari-hari di sana, ganti cerita sekarang, diceritakan di Purbwa-wyanjana.

V. PUH GINANTI

1. Diceritakan I Mladprana, mendengar berita yang sesungguhnya, Ni Jangga Ketaki katanya sudah dipinang, oleh I Rudita, atas kehendak orang tuanya,

2. Pikirannya bingung, maksudnya ingin bertemu, bagaimana caranya, bicara dengan Ni Jangga Ketaki, ”Lebih baik nanti berikan surat.” Kemudian ia membuat surat.

3. “Surat ini dengan setulusnya, membangunkan yang sudah bangun, bagaikan menggarami laut, meninggikan gunung yang sudah tinggi, Tuan sudah tela sekali, saya kembali mengingatkan lagi.

4. Tentang perjanjian yang dahulu, jangan Tuan lupa, pada kesanggupan Tuan dahulu, baik buruk berdua, mati menjadi satu kuburan, baik buruk saya mengikuti.

5. Waktu hidup supaya cinta kasih, bercumbu rayu, serta disaksikan leluhur, selalu disertai sumpah, siapa yang terlebih dahulu memutuskan cinta, supaya disalahkan Tuhan.

6. Kalau Tuan ingkar pada janji, supaya tidak menemukan kebahagiaan, selama hidup menemukan sengsara, kalau mati menemukan neraka, masuk di neraka Go-Muka, dimasak dalam kuali. [ 12 ]9

7. Kalau saya ingkar dengan kata-kata, supaya menjadi dasar bumi, mati
menjadi alas neraka, menderita selama 1.000 tahun, berteduh di bawah
pohon yang berdaun keris, tertusuk oleh alang-alang lancip.

8. Saya ratu agung, berani bersumpah, karena pikiran saya benar-benar tu-
lus, hanya tergila-gila pada Tuan, sekejap pun tidak bisa dilupakan, di
hati dan di mata selalu Tuan terbayang.

9. Tidak lain hanya Tuan yang saya pakai bunga hati, saya umpamakan
jimat, penghilang sakit hati, saya pakai arca mas, di tempat tidur selalu
terbayang.”

10. Bagaimana melupakannya, karena cantiknya tidak ada yang memadai,
dewa laut Tuan, Sang Hyang Giri-putri yang menjelma, Supraba dan
Tilotama juga Ratih Saraswati terkalahkan.

11. Tuan orang yang tercantik di dunia, bisa berkata merayu-rayu, mulut
empuk kalau bicara, kalah rebabnya karena suara nyaring, tutur kata-
nya manis, madu kalah manisnya.

12. Gigi putih mengkilat, putih bagaikan gading, gusinya merah seperti
bunga rijasa, penglihatannya tajam dan manis, dahinya bagaikan bulan
sabit, alis lancip bagaikan diasah.

13. Rambut lebat panjang mengurai, pipi montok membuat kecantikan,
kulit lembut halus, buah dada kecil halus montok dan kencang, bentuk
tubuh langsing, bahu tegak menarik hati.

14. Tangan lemas melengkung, kukunya panjang meruncing, jari-jari lurus
dan lentik, pahanya mulus gading, potongan kakinya bagaikan bunga
pudak, gayanya menghanyutkan hati.

15. Oh, siapa pun yang melihat akan tertarik, pipinya berisi tahi lalat, ba-
gaimana kalau saya tidak pusing, setiap tindakannya membuat tergila-
gila, kalau cinta kasih terlalu bijaksana, susahnya tidak ada yang menya-
mai.

16. ”Hati saya bagaikan dicabut, melekat menjadi satu denganmu, saya ber-
sedia menuruti kehendakmu, saya tidak menolak, bersedia menyusupi
hutan belantara, walaupun akan terjun ke laut.

17. Karena hati ini terlalu menyatu, sedia untuk bergantungan, delapan kali
Tuan tidak suka, sembilan kali saya memohon, bersedia menghamba,
karena tidak bisa menahan perasaan.

18. Apa sebabnya demikian, hidup mati, hati saya selalu padamu, tidak bisa

diganti, siapa bisa mengekang nafsu, pikiran bingung karena asmara. [ 13 ]

10


19. Dihibur-hibur juga tidak bisa, makin dilupakan makin teringat, ditidurkan jadi mengkhayal, kalau tidur tidak luput dari impian, mimpi bersamamu, di tempat tidur saling berbicara.

20. Tiba-tiba bangun terkejut, karena rasanya Tuan ada di sisiku, diraba-raba di samping kosong, saya bangun duduk dan menangis, kelihatan bulan baru terbit, bertambahlah sakit hati ini.

21. Ulu hati bagaikan dicungkil, tergetar rasanya di hati, bagaikan ditusuk asah buyan, gemetar rasanya akan mati, mati karena asmara, pelihara mayat saya sekarang juga,

22. Gulung saya dengan cinta kasih, pegang di tengah-tengah pinggang, ikat dengan rasa kasih, janji kita pakai tali, ditutupi dengan kain dalam, ber-ampok-ampok dengan yang disucikan.

23. Ditutupi dengan tangan lengkung, buatkan angenan dengan buah dada kencang, rambut lebat pakai alat, pahamu putih mulus, dan bentuk kakimu bagaikan bunga pudak, itu pakai mendampingi.

24. Jari-jari lurus pakai ukur, bantali dengan pipi montok, diberi ulon dengan wajah, kerudungi dengan keindahan cinta, selendang pakai rurub kajang, ujudkan dengan wangi-wangian.”

VI. PUH DANGDANG LARA

1. "Begitulah permintaanku padamu, seperti yang tertulis dalam surat, ini tanda setia, sekarang disampaikan kepadamu, umpal sutra kuning saya, cincin kerang diapit emas, dan gelang pendok emas, berisi permata mirah inten berlian, disertai bedak harum, serta minyak harum dan samuh cendana.”

2. Selesai menulis surat, ia memanggil Ni Luh Ngasa, “Mbok berangkatlah ke sana, sekarang ke Wana-puspa, menemui Ketut Oka, sampaikan surat ini, disertai bungkusan.” Luh Ngasa kemudian berkata, “Saya bersedia,” dan berangkat, tidak diceritakan dalam perjalanan, diceritakan Jangga Ketaki.

3. Bingung di tempat menenun, berkata-kata sendiri air matanya meleleh, ingat pada dirinya, telah lama ditunggu, belum juga datang, tidak pantas dia lupa, pada janji, lagi pula terlanjur jatuh cinta, lekat seperti lem castol.

4. "Bagaimana saya menyembunyikan sakit asmara, karena terlalu lama menunggu, bagaikan melihat telinga sendiri, menunggu burung puyuh [ 14 ]

11


berekor, menantikan embun di siang hari, jelas sia-sia menunggunya, lebih baik sekarang dihibur, bermain ke tanah yang kosong, siapa tahu dapat melupakannya.” Kemudian mengambil alat untuk menangkap capung.

5. Kemudian mencari capung ke tanah yang kosong. Lamanya tidak diceritakan. Diceritakan Luh Ngasa, lewat di jalan yang sempit, maksudnya supaya samar, kok bisa seperti dipertemukan, bagaikan kehendak Tuhan, menakdirkan supaya bertemu di sana, Nu Luh Ngasa mendekatkan diri, "Ya Tuan, Kakak menyampaikan surat, dari I Mladprana.”

6. Kemudian Ni Ketut Oka menerima dan membaca, sudah terbaca, dan teresap di hatinya, kemudian ia berkata halus, "Kakak tunggu dulu di sini, saya permisi untuk menulis surat,” kemudian dia pulang, setibanya di rumah, dia mengambil kertas, kemudian dengan merahasiakan, membalas surat I Mladprana.

7. "Ya Kak, pemberian Kakak yang saya terima, seisinya surat itu, memang tetap seperti dahulu, gusti rela menyayangi, berat rasanya melupakan, dipikul dijinjing juga masih, tidak bisa melupakan, dari dahulu sampai sekarang, tidak bisa saya lupakan.

8. Sekarang saya berjauhan dengan Kakak, hati saya, selalu melekat pada Kakak, karena rasa baktinya amat sangat, tidak bisa untuk dilupakan, karena taat memelihara, menyucikan yang Kakak keramatkan, walaupun ayah menjodohkan, dan dipaksa, saya melawan dan taat memelihara, bersedia mempertaruhkan nyawa.

9. Saya bersedia mempertaruhkan nyawa, karena setia pada Kakak, karena sudah terlanjur, bagaikan benang, benang cacelupan sudah dicelup, dapat Kakak memasuki, disertai dengan perasaan sejati, semua kemauan saya diikuti, tidak pernah berkata kasar, serta marah, selalu ingin bercumbu rayu, ingat bersatu dengan saya.

10. Bagaimana saya bisa tidak setia pada Kakak, karena tampan sekali, Sang Hyang Semara menjelma, karena bagus sepenuhnya, pikiran baik wajah bagus, Mlaju Panji Sanjaya, Sang Arjuna Kresna, terkalahkan dengan ketampanannya, kalau di surga, Hyang Indra heran melihat. Sang Hyang Siwa Nilakanta,

11. Aduh bagaimana saya mengekang, keinginan pada Tuan, kalau dipaksa untuk membatasi, saya akan menjadi kurus kering. Karena itu, sekarang saya berkata, memohon kepadamu, supaya nanti rela mencari saya, sampai di barat, menunggu di tanah yang kosong, kira-kira, tengah malam, supaya Kakak ada di sana. [ 15 ]12 12. Begitulah permohonan saya. Melalui surat kepada Kakak, ini hari baik,
titipan saya pada Kakak, cincin saya yang di telunjuk, serta ikat ping-
gang pelangi saya, kain kecil hitam, boreh, serta patahan kuku, juga di-
sertai tegesan, serta destar, songket tununan yang bagus, baju batik Jog-
yakarta.”

13. Selesai menulis surat, kemudian ia menemui Ni Luh Ngasa, "Ini Kak
sampaikan, surat saya pada Kakak, ini yang menyertainya.” Ni Luh
Ngasa menerima, kemudian pulang, sesampainya di rumah, Ni Luh
Ngasa mendekat, “Ini surat.” I Mladprana menerima, kemudian dibaca
dalam hati.

VII PUH MAS KUMAMBANG

1. Sudah dimengerti, semua isi surat itu, tidak diceritakan siang harinya,
diceritakan sudah malam, I Mladprana segera ke sana.

2. sampai di sana, berada di tanah yang kosong, tidak diceritakan
I Mladprana, diceritakan Jangga Ketaki, tidak mendapat jalan untuk ke-
luar.

3. Karena banyak, muda-mudi menemani bercakap-cakap, mengunjungi
I Rudita, mengajar ia membaca kakawin, sampai siang.

4. Tidak diceritakan, yang membaca kakawin di sana, diceritakan I Mlad-
prana melihat dengan liar, baru melihat ke timur pajar sudah menying-
sing, kemudian pulang sendiri tanpa menoleh kanan kiri.

5. Sesampai di rumah, ia menulis surat, surat putus, menyampaikan semua
isi hatinya, isi surat itu benar-benar menyakitkan.

7. "Adik yang cantik, resapkanlah kata-kata si miskin, ini pertanyaan
untukmu, bagaimana maksudmu, mengapa ingkar pada janji.

8. Barangkali memang benar, cinta Adik masih goyah, tidak benar-benar
cinta, takut di depan karena benci, bagaikan takut akan lintah.

9. Karena bisa, semua janji itu berbahaya, dirusak oleh keangkuhan, cinta-
nya bagaikan dipaksa, putus karena salah mengerti.

10. Karena cintanya berlebihan, jadilah permainan, diikat dengan sumpah,
sudah meninggalkan, diusir karena malu membela.

11. Diikat dengan janji, untuk selalu setia, oleh kebencian, di-
kunci dengan saksi, ketidakteguhanlah yang melepaskan.

12. Karena kamu, tidak bisa menepati janji, memang tidak tahu, kata-kata

itu seperti angin, mudah menggerakkan lidah dengan gemulai. [ 16 ]

13

13. Itulah sebabnya, umpamakan bagaikan telur, putih bersih berkilauan, kelihatannya dari luar, tetapi di dalamnya bermacam-macam.

14. Memang kamu, senang berbohong, manis di bibir, tidak sama dengan isi hati, dan cintamu hampa.

15. Kalau diumpamakan, menangkap burung, burung perkutut diumpan dengan burung gagak, tidak akan berhasil, jelas ia semakin menjauh.

16. Mencari cinta, didasari dengan kemarahan, jelas ia akan liar, bagaikan memelihara itik jantan, kapan akan mendapatkan telur.

17. Begitu, umpamakan hatimu, karena saya, mencari kesenangan mendapat nyamuk, karena terlalu berharap.

18. Mencari yang cantik, berakibat jatuh, mencari hati yang baik, anjing meraung mendatangi, mencari hidung mendapat malu,

19. Mencari yang gemulai, sampai siang yang didapat basah, sengaja memohon kemurahan, ditertawai oleh burung murai berkicau, mencari pipi didapat neraka.

20. Karena itu sekarang, pantaslah berhati-hati, jangan terlalu terburu, memang yang manis memanasi, memang air yang deraslah menghanyutkan.

21. Itulah sebabnya, pendirianmu berubah, biarlah saya tidak mewah berpakaian Perancis, karena Perancis itu bekas dipakai orang banyak.

22. Kalau diumpamakan, sebagai nasi, sudah hancur basi, kalau diumpamakan sebagai bunga, ia sudah layu tanpa sari.

23. Seharusnya, saya yang mendapatkan sarinya, kalau diumpamakan kain, sudah usang karena saya yang memakai setiap hari, sampai robek saya simpan.

24. Baru sekarang, kamu sengaja berubah, apa dayaku, kalau dariku tidak berubah, bersedia untuk memakai seumur hidup.

25. Nah sekarang, karena kamu yang berubah, memutuskan cinta, membuat malu dan sakit hati, apa yang harus saya lalukan.

26. Biarlah kubawa, sakit hati itu setiap hari, walaupun berakibat menderita, karena tidak bisa menahan nafsu, nafsu gila asmara.

27. Tidak dapat, puasa setiap hari, supaya seimbang, baik dan buruk itu, menyatukan kebahagiaan dan kedukaan.

28. Kemarahan, terlalu menyiksa setiap hari, mentang-mentang dicintai, walaupun tidak masih cinta, perasaan malu pun tidak ada.

29. Memang sungguh, kalau mau menyayangi orang seperti saya, seperti sayang pada penyakit, jelas ia akan menyakiti. [ 17 ]14


30. Bagaikan bernaung di bawah pohon jelatang, kalau kena sentuh, panas sakit dan gatal, kalau diraba, semakin bertambah gatal dan panasnya.

31. Karena itu, sekarang saya menyampaikan putus cinta, supaya bebas, supaya tidak ingat, hilangkanlah pikiran yang bohong.

32. Karena terlalu sering kamu membohongi, bagaimana menyembunyikan- nya, kotoran bisa dihilangkan, bagaimana menghapus kecurangan.

33. Saya sudah, merasa sekarang, dibuat malu, merasa malu karena terlalu sering, karena itulah saya menyesali diri.

34. Ayah ibu, sepertinya dulu tidak pernah berbuat baik, waktu membuat saya, karenanya saya, menjelma cari dasar neraka, lahir menjadi manu- sia tak berguna.

35. Karena begini, setiap yang dipikirkan menjadi salah, tidak tahu malu, merengek-rengek, yang dicintai tidak sayang.”

VIII. PUH DANGDANG

1. "Sekarang baru saya merasa akan diri, karena terlalu bernafsu, menaruh cinta, bagaikan kelekatu, menerjuni api yang sedang menyala, seperti berenang di lautan, menerjuni jurang lumpur, karena pikiranmu, sering sekali, kalau orang menyimpan uang emas, tetapi kamu menyimpan ke- jelekan.

2. Setiap hari berbohong karena keinginan, kamu tidak merasa, sekarang menolak takdir, sudah bocor lagi ditusuk, kesalahan itu sengaja dicari, sekarang sudah kamu temukan, sekarang saya berhenti mengganggu, menghalang-halangi kamu, nah sekarang silakan turuti kemauanmu, de- ngan yang memang kamu cintai.

3. Pendirianmu memang goyah, kalau pendirianmu diumpamakan, seperti berganti pakaian, supaya banyak mempunyai penggantinya, tetapi kalau berganti pacar setiap hari, menyebabkan pikiran kacau, menuruti pikir- an yang mabuk, mabuk dengan kecantikan, karena terlalu mengandal- kan, seperti memiliki barang yang bagus, kalau dipinjamkan ke mana- mana.

4. Rusaklah semuanya umpamakan juga seperti bunga yang sarinya sudah habis, kamu menjadi layu, kalau ingat dengan pikiran yang bulat, seper- ti Dewi Sita, serta Ida Sang Hyang Saci, setia pada janji dan setia pada suami, ia akan menemukan kebahagiaan, sekarang siapa yang kamu tiru,

punya suami lima, seperti Dewi Drupadi, atau seperti Ni Supraba. [ 18 ]

15

5. Tidak bisa karena ia mendapat restu kembali muda, hilangkan pikiran yang tidak baik, jika sifat itu yang ditiru, jangan dengki iri hati,jelas tidak akan menemukan kesulitan, karena itu patut sekarang diulangi, tirulah tapa Hyang Bruna, ikatlah pikiran yang goyah, tapa Hyang Danendra, menyucikan pikiran, kesadaran pikiran yang dipegang, jangan menuruti pikiran yang mabuk.

6. Tapa Sang Bayu dipentingkan untuk menyelidiki, yang benar dan yang salah, supaya benar juga tingkah lakumu, kemudian tapa Yama yang dipakai, melawan pikiran yang tunasusila, tirulah tapa Agni itu, membuang pikiran yang bohong, pakailah tapa Surya itu, nah tetapkanlah, panaskah hati yang menjijikkan, jangan dengki iri hati.

7. Isi hati pada manusia kotor seperti saya, kalau bisa olehmu, seperti bahan sate, karena itu sekarang, orang-orang mengikat kerbau sapi, tetapi saya yang kau ikat, dirongrong hati yang sembrawut, yang diharapkan tidak didapat, mendapat cincin, akhirnya dipakai terhukum, kain batik menarik untuk memutuskan.”

8. Setelah selesai menulis surat, I Mladprana memanggil Ni Luh Ngasa, ”Mbak berangkatlah lagi ke sana, berikan dia surat ini.” Ni Luh Ngasa berkata halus, "Kakak menurut.” Kemudian ia pergi. Diceritakan setelah sampai dia di sana, didapatkannya Ni Ketut Oka, duduk termenung, kurus pucat pasi, seperti bulan kesiangan.

9. Ni Luh Ngasa mendekat menyodorkan surat dan diambilnya. Setelah diterima, datang Wayan Rudita, kemudian ia menyapa halus, ”Baru sekali ini Kakak ke sini, apa yang dikehendaki.” Ni Luh Ngasa menjawab, "Kakak meniru membuat songket, minta pelajaran, kepada adikmu.” Kemudian I Rudita duduk.

10. Berbicara saling goda dan saling puji, dan I Ketut Oka bingung pikirannya, kemudian ia berkata halus, “Kakak pulang saja sekarang, karena saya tidak enak badan, kapan-kapan belajar menenun,” ditambah dengan kerlingan mata sebagai isyarat, di mana menunggu, di tempat berbicara kemarin, Ni Luh Ngasa segera pergi.

11. Kemudian, diam-diam pergi ke tanah yang kosong bersembunyi. Hal ini tidak diceritakan. Sekarang diceritakan Ni Ketut Oka, pergi ke tempat tidur, membaca surat itu, sudah diresapi semua isinya, meresap di dalam hati. hulu hatinya bagaikan dicongkel, bagaimana caranya sekarang, terlanjur salah, lebih baik dibalas saja sekarang, kemudian diambil kertas dan ditulis surat. [ 19 ]

16

IX. PUH GINADA


1. “Ya Kakak Mladprana, semua isi surat Kakak, sudah saya mengerti, lebih asam dari asam yang paling masam, lebih asin dari garam, sepat dan pahit, pohon kantawali terkalahkan.

2. Benar seperti surat Kakak, saya memang wanita tunasusila, sengaja menyalahi takdir, sudah bocor lagi disuduk, maka ikhlas saya mau, berdoa untuk berbuat baik, diumpamakan seperti bertapa.

3. Setiap orang menggoda, saya tetap tegar tidak goyah, terlalu kekar dikira mengekalkan, saya menyampaikan pada Kakak, sebabnya saya tidak ke sana, kemarin, karena tidak mendapat jalan untuk pergi.

4. Banyak muda-mudi, berkunjung dan membaca kakawin, sampai siang, kalau saya memaksa untuk pergi, jelas saya mati, tergeletak, mati tidak karuan yang tidak membawa hasil.

5. Karena terlalu cinta, belum dapat dibuktikan, bohong kalau saya mati, karena terbukti masih ada, saya ini bagaikan perahu, Kak, tanpa katir, bagaimana berlayar mencari Kakak.

6. Pikiran saya bagaikan wayang, diwarnai dengan air emas dan berukir, bercahaya tanpa suara, bergantung pada dalangnya, menarikan dan memberi suara, karena Kakak, saya anggap sebagai dalangnya.

7. Terserah Kakak yang mengucapkan, saya orang sakit hati, Kakak bagaikan dukun, pahit sepat obat Kakak, juga saya telan, walaupun masih sakit hati saya.

8. Umpamakan seperti pohon gadung, dipaksa supaya melilit, datang angin bertiup, membuat hati saya bingung, panas rasanya seperti menggelegar, dipanasi, mendidih menjadi air mata.

9. Air mata saya banjir, disangka menghilangkan sakit, tetapi sakit hati bertambah, bagaikan ditarik tidak bertenaga, bagaikan kena bisa mandar, ingin mandi, tetapi Kakak sudah jauh.

10. Sekarang sudah memutuskan cinta, hancur tidak bisa diperbaiki, hati saya masih tetap, karena saya masih berbakti, lebih putih dari kain kasa, bagaikan lampu, nyalanya tenang tidak tergoyahkan oleh angin,

11. Cinta saya bagaikan air, di laut berombak bening, bagaimana caranya memutuskan, potong dengan kayu terjal, juga tidak akan putus, mungkin bertambah, berombak dengan galaknya.

12. Pikiran menjadi menyatu dan galak, tidak menghiraukan hujan angin, karena membulatkan pikiran, sengaja mengharapkan Kakak. Karenanya [ 20 ]17

mau menyerahkan diri, supaya jangan ditertawai, saya berbicara pada Kakak.

13. Celakanya karena terlalu berani, meminta pemberian Kakak, minyak wangi yang harum-harum sebagai tanda cinta, gelang pendok yang ter- bungkus, yang menyulap mata saya, sehingga menjadi gila dan bingung, Kakak tambah dengan kesedihan.

14. Kakak sudah tidak cinta lagi, karena sekarang Kakak memutuskan, ti- dak cinta hanya mencari alasan, karena hati Kakak tidak cocok lagi, baru mendapat alasan, kebetulan sekali, Kakak membuang saya.

15. Walaupun demikian hati Kakak, saya juga menginginkan, supaya Kakak rela, mendatangi saya orang desa, di tanah yang kosong, supaya dapat, saya berbicara pada Kakak.

16. Sebagai tanda saya masih cinta, sekarang marilah kita berbicara lang- sung, supaya jangan sama-sama memendam perasaan benci, semua me- rasa benar, kalau itu yang dituruti, jadilah kita tidak berbicara, menye- babkan hati rusak.

17. Begitulah permohonan saya, kalau tidak rela mendatangi, berikanlah keris Kakak, akan saya pakai jalan mati, sebagai tanda bakti kepada Ka- kak, karena sekarang, tidak bisa saya meneruskan cinta.

18. Dikemudian hari supaya bisa, saya mencintai Kakak, karena sekarang ini sudah takdir, memutuskan cinta yang telah bulat, karena Kakak sa- lah mengerti, ikhlas dan rela, tidak ingat lagi pada kesetiaan yang lalu.”

19. Setelah selesai menulis surat, kemudian ia menuju ke tanah kosong, pada Luh Ngasa dia berkata, "Ini surat bawa pulang,” diambili, setelah diterima keduanya pulang.

20. Diceritakan Ni Luh Ngasa, sampai di rumah menyerahkan surat, I Mlad- prana mengambil, kemudian dibaca dalam hati, setelah dimengerti lalu berkata, ’Kakak kembalilah, berbicara pada Ketut Oka.”

X. PUH PANGKUR

1. Katakan saya tidak berubah, seperti surat saya tadi, saya tidak ikut ber- bohong, begitu berani dan genit, pura-pura cinta, sekarang saya tidak percaya, dengan kata-kata Ni Ketut Oka, karena pendiriannya goyah.

2. Nah, berangkatlah sekarang.” Kemudian Ni Luh Ngasa berangkat. Tidak diceritakan dalam perjalanan, diceritakan sudah sampai di sana, kemu- dian berkata, pada Ketut Oka, semua kata-kata I Mladprana, sudah se-

mua diceritakan. [ 21 ]

18

3. Setelah berbicara, Ni Luh Ngasa pulang, tidak diceritakan Ni Luh Ngasa setelah pulang, diceritakan Ni Ketut Oka, amat sedih pikirannya buyar, “Aduh bagaimana caranya sudah salah dari dahulu, saya dipakai permainan, baru sekarang merasa salah.

4. Kalau diikuti kehendak hati ini, sekarang rasanya mau mencari I Mladprana, kalau melawan ayah, durhaka namanya, kalau dituruti, mau dengan I Rudita, tidak setia pada suami, nerakalah ditemukan.

5. Nah, sekarang lebih baik biarkan, lebih baik mati, di kemudian hari lagi ulangi, mengatur pikiran yang benar, yang sekarang sudah telanjur salah. Nah kalahkan, nyawa pakai menebus,” begitulah maksudnya, sekarang diceritakan malam hari.

6. Kira-kira tengah malam, Ni Ketut Oka bangun berjalan pelan-pelan, menuju hutan lebat, tidak diceritakan malam hari itu, sampai siang sampailah ia di hutan Mayura, hutan yang sukar dilalui, banyak harimau dan kesari.

7. Hutan itu dimasukinya, tidak menghiraukan kena jelatang ataupun duri, terus masuk. Kemudian bertemu dengan harimau, Ketut Oka, berkata halus, "Harimau makanlah aku, supaya mati dan berhenti sedih.”

8. Harimau segera pergi, tidak mau membunuh. Ni Ketut Oka terus berjalan, semak luas ekali, gua luas, gua itu dimasukinya, singa berlari liar, Ni Ketut Oka ditakutinya.

9. Binatang-binatang buas semua takut, pada kebenaran dan kejernihan, Ni Ketut Oka, merasa tidak mau mati, kemudian, berteduh di gua pada pohon beringin. Gua itu digunakannya sebagai rumah setiap hari siang dan malam.

10. diceritakan Ni Ketut Oka, sekarang diceritakan I Rudita, berpikir dalam hati, "Mengapa sampai siang, Ketut Oka, tidak bangun, kemudian menuju kamar Ketut Oka, sengaja membangunkan supaya dapat bertemu.

11. Kemudian meraba tempat tidur, dingin sekali sepertinya tadi malam sudah menghilang, I Rudita langsung keluar, “Ya Bapak Gede Taman, bagaimanakah sekarang, Ni Ketut Oka menghilang, di mana sekarang kita cari.”

12. I Gede Taman berkata, dengan kaget, “Sekarang pulanglah kamu menyampaikannya.” I Rudita pulang ke rumahnya. Setelah sampai di rumahnya, “Ya Bapak saya mendapat kemalangan, Ni Jangga Ketaki menghilang.” Ayahnya menjawab, [ 22 ]

19


13. ”Hilang siapa yang mengambil?” Jawabnya, ”Belum diketahui siapa yang mengambil.” I Huruja keluar, membunyikan gendongan, kemudian datang penduduk kampung berduyun-duyun. I Huruja menyampaikan berita itu, kemudian mencari ke mana-mana.

14. I Rudita kembali, ke Wanapuspa. Masyarakat sudah bersiap-siap, I Gede Taman berkata, kepada semua anggota Banjar, "Ayo berangkat, menyelidiki masuk desa, Kalau berjumpa Ni Ketut Oka, sudah bersuami,

15. Jangan lagi bertanya apa-apa, bunuh saja kedua-duanya jangan dikasihani.” Anggota Banjar menurut. Kemudian berangkat menyelidiki, siang malam selama tiga hari, sama sekali tidak ada berita, kemudian kembali.

16. Setelah mereka di rumah, bagaikan berjanji dengan I Huruja, I Gede Taman berkata, ”Bagaimana ada berita?” Huruja menjawab, ”Tidak menemukan, lagi pula tidak ada berita, ada orang laki menghilang di desa ini.”

17. ”Sekarang Kakak pakai akai menyebarkan, pada orang desa siapa yang menemukan Ni Ketut Oka, kalau ia sudah mau, supaya dia langsung mengawini.” I Gede Taman, menjawab membenarkan, kemudian diumumkan di Balai Banjar, semua anggota Banjar merasa senang.

18. Ada sepupunya, bernama Dirantaka kemudian pulang, mengambil keris pusakanya, bernama Gunapangan, kemudian berangkat, menjelajahi hutan rimba yang luas, tidak diceritakan Dirantaka, mencari ke Wananegari.

XI. PUH ADRI

1. Diceritakan I Mladprana mendengar, berita yang sebenarnya, Ni Ketut Oka menghilang, ia pergi sendirian, rela meninggalkan Bapak, karena setianya pada kata-kata, maka itu pergi untuk membuang diri, pergi tidak menentu, tidak berhasil ditemukan.

2. Menjelang siang hari I Mladprana bangun, duduk berlinang air mata, ”Di mana kamu saya cari, di laut atau di gunung karena kamu tidak ada beritanya masih hidup atau sudah mati, kalau kamu sudah mati, carilah saya ajaklah saya mati, supaya kita bersama-sama.

3. Kalau saya tetap hidup begini, jelas tetap akan hidup menderita, hidup sakit hati, jelas neraka yang diperoleh, karena tidak bertemu denganmu, karena itulah mohon agar mati, kalau masih hidup sakit hati, seperti sakit cacar, makin lama makin bertambah keras.” [ 23 ]

20


4. Berkata-kata sendiri suaranya tidak menentu, karena terlalu sedih, tidak dapat ditahan, kemudian ia menghunus senjata, akan bunuh diri, Ni Luh Ngasa mendekati, merebut senjata itu, "Mengapa Tuan sengaja bunuh diri, berapa dosa yang akan ditanggung.”

5. I Mladprana berkata, "Kakak Luh Ngasa, saya ingin mati, apa yang dapat dipakai mengganti, seratus gadis pun dipakai mengganti, tidak ada yang seperti Ketut Oka.” Ni Luh Ngasa menjawab, ”Hiburlah hati Tuan, jangan menuruti hati yang bingung.”

6. Nampaknya I Mladprana menurut, berkunjung ke rumah tetangga, muda-mudi menemani, sampai sore bertandang, pikirannya bertambah bingung, setiap yang diamati tampaknya tidak sesuai. Kemudian ia pulang. Setelah kira-kira pukul satu, ia langsung menuju tempat tidur.

7. Mengunci kamar langsung tidur, tetapi selalu resah. Kemudian bangun dan berkaul, "Ya Ratu Sang Hyang Wisnu, Hyang Agni Surya, saksikanlah kata-kata saya, kalau saya bisa bertemu, saya tidak akan menolak, akan saya jadikan istri.

8. Saya sanggup akan menurut, tidak melawan pada kehendak Jangga Ketaki, dalam pertemuan saya, saya sanggup memangku tiga hari, dan mengadakan hiburan, komedi gambar, dan kembang api Cina, sebelas hari ada wayang.”

9. Berkata-kata seorang diri kemudian bangun, kepalanya pusing, rasanya lemas tanpa tulang, bagaikan ditarik tidak bertenaga, kaki gemetar seperti lumpuh, karena terlalu sedih, berusaha berjalan, membayangkan Jangga Ketaki, setiap langkah berhenti.

10. Kelihatan bintang kartika di barat, sepertinya Ketut Oka, berkedip-kedip terasa memberi tanda, tanda setia dengan syarat halus. Mungkin itu Ketut Oka, amat sedih, I Mladprana membayangkan, sekarang hatinya sakit, tidak hentinya memeras air mata.

11. Kemudian, ia langsung, meninggalkan desa, tidak diceritakan dalam perjalanan, sampailah ia di hutan Mayura. Setelah sampai di sana hari sudah terang. Karena basah ia mengaso, duduk menunduk memijit kaki, kemudian mendengar bunyi kijang, memekik mengejutkan.

XII. PUH PUCUNG

1. Terkejut lalu bangun, I Mladprana terkejut, dikira Ketut Oka, berteriak sambil lari, kemudian bangun, I Mladprana menyusupi hutan. [ 24 ]

21


2. Hutan rimbun, seram banyak durinya, sulit untuk dilalui, sekarang ia berhenti, karena payah, lagi pula lembab kena embun.

3. Di sana dia duduk, di bawah tebangan kayu, ada burung tiung datang, yang jantan diikuti oleh betinanya, agaknya mereka itu, merobek hati membuat malu bercampur marah.

4. Lagi-lagi seekor burung pelatuk, datang terus berbunyi, seperti mengejek. I Mladprana sakit hati, kemudian bangun, lagi masuk ke tengah hutan,

5. Kemudian dia lelah, setelah sore hari, ia terjatuh duduk, dia bersembunyi di bawah gunung, hal itu tidak diceritakan, diceritakan Jangga Ketaki.

XIII. PUH SEMARANDANA

1. Amat sedih memprihatinkan, menyebut-nyebut, "Ya Ratu Sang Hyang Titah, cabutlah nyawaku sekarang juga, karena lama menderita, rela meninggalkan ayah, di sini di dalam hutan,

2. Ibu meninggalkan mati, siapa lagi yang saya lihat, yang dicintai sudah pergi, tidak punya sanak saudara, sekarang bersahabat dengan binatang, bertetangga dengan kera, harimau dijadikan kawan.

3. Melihat merak merah bergoyang amat indah, melemaskan hati, burung perkutut sangat bahagia, berbunyi menghilangkan wibawa, menjangan menyebabkan gembira, menggigit membuat merengut, hutan rimba membuat hati sedih.

4. Semak membuat hati susah, ingin mati, hidup ini terlalu keras, lebih baik hibur sekarang, kemudian ia berjalan, lama berjalan hingga haus dan lapar, kemudian ia memetik buah gunggung, dimakannya selama berada di hutan.

5. Ketika sedang memetik buah gunggung yang manis, sambil dimakannya, kemudian seorang terlihat, orang tidur, mukanya tersembunyi, ditutupi dengan selimut. Kemudian Ni Ketut Oka berkata,

6. “Ya Tuan, untuk apa Tuan di hutan, kalau Tuan akan merampok, ambillah nyawa saya, saya bersedia memberi upah, perak delapan, ditambah cincin ginaran.

7. I Mladprana mendengar suara, masih terpejam sudah meraba-raba,

mungkin dia Ni Ketut Oka, kemudian dengan cepat dia bangun, jelas dilihatnya Ketut Oka, kemudian mendekat berkata, "Oh sayangku.” [ 25 ]

22

8. Ketut Oka membalikkan badan, memalingkan muka dan berkata, Ketut sapanya kasar, “Apa yang Kakak cari ke sini, untuk apa menjumpai saya, saya orang gila tunasusila, lagi pula miskin dan jelek.

9. Nah biarlah saya mati, supaya berhenti membuat kesedihan, supaya tidak ada menghalangi Kakak, mencari yang cantik bijaksana, buanglah saya yang jelek ini, lagi pula dulu kamu sudah dapat, menikmati sarinya dan mempermainkan.

10. Berhentilah menyakiti, kembalilah Kakak, kalau di sini menyusup hutan, jika Kakak berada di sini, kedinginan menyebabkan hati kusut, hati juga bingung bimbang, sepi membuat kesepian.

11. Bukit menyebabkan hati kusut, kera hutan membuat marah, harimau sebagai sumber kesedihan, membuat kesedihan hati, nyamuk menghilangkan kegembiraan, kepercayaan menyebabkan kesangsian, burung- burung ingin dimakan.

12. Sebagai dasar untuk bercermin, pikirkanlah kata-kata saya, jangan mengharapkan, mau berdaun enau tua, kawin dengan saya, jangan bagaikan bakul besar, ingin menguasai saya.

13. Sekarang saya sudah merasakan, dahulu terlalu cepat, saya menyerahkan diri, kalau diumpamakan sikap saya dulu, seperti itik mendekati burung elang galak, gulai mendesak mulut, jadi tidak mau dimakan.”

14. I Mladprana menjawab, “Jangan Adik salah paham, saya mengaku salah, ya maafkanlah yang sudah lewat, nanti kalau saya berani, menentang apa yang Adik kehendaki, terserah Adik menghukumnya,

15. Kalau saya ingkar pada janji, supaya mati ditendang kodok berkaki satu, jatuh menindih lubang, disergap seekor capung, supaya ditelan nyamuk, disergap oleh kadal.

16. Hanya satu permintaan saya, supaya Adik rela, kalau Adik tidak rela, lebih baik cabut nyawa saya, ini keris pakai membunuh, supaya saya berhenti menggoda, memohon dengan penuh harap.”

17. Jangga Ketaki menjawab, "Kalau Kakak sudah diterima, supaya jangan seperti I Bramara, cinta kepada si bunga, jangan hanya senang waktu kembang, jangan seperti si pohon kepuh, dalam cerita Tantri.”

18. I Mladprana menjawab, “Jangan Adik khawatir, supaya jangan ragu-ragu, bagaimana permintaan Adik.” Ni Jangga Ketaki berkata, "Janganlah Kakak banyak bicara, karena matahari sudah hampir tenggelam.

19. Sekarang mari berteduh, di gua pohon beringin itu.” I Mladprana menurut, berjalan bergandengan tangan, tidak lupa mencium setiap langkah, [ 26 ]

23

wajah dan tingkah lakunya serasi, bagaikan bulan bersanding dengan bintang.

20. Sesampai di gua mereka berdua masuk, tidur beralaskan daun-daun saling bercerita, menceritakan kejadian yang telah lewat, di sela dengan campuran birahi, rasanya mesra merasuk, ke kepala sampai ke sumsum tulang.

21. Tidak perlu diceritakan lagi, cukupkan berbicara mengenai tingkah lakunya, dalam memadu asmara, beberapa lama di sana, Ni Jangga Ketaki berkata, "Ayolah kita mandi Kak, menikmati keindahan hutan.”

22. I Mladprana berkata, "Saya menurut.” Kemudian keduanya pergi, jauh berkeliling-keliling, datanglah angin berputar, burung gagak menyergap berkeliaran, tanda alamat buruk akan datang.

XIV. PUH DURMA


1. I Mladprana berkata pada Jangga Ketaki, "Ayolah sekarang kembali, Dik, ini jelas alamat akan menemukan bahaya, dan perbawa Sang Hyang Ari, cahaya terang, kiranya hari ini hari Kamis.”

2. Ni Jangga Ketaki berkata pelan mengharu, ”Kalau sudah takdir Tuhan, tidak bisa diingkari, lanjutkan mandi, di ujung sungai Gangga.” I Mladprana, menurut tidak berani menolak.

3. Tidak diceritakan dalam perjalanan, sekarang diceritakan Dirantaka, mencari ke mana-mana, tiba-tiba berjumpa di sana, “Ini dia si Jangga Ketaki, dengan I Mladprana, dari dulu dicari-cari.

4. Dosamu memutuskan orang berpacaran, kepalamu pakai mengganti, kalau kamu takut mati, sembahlah saya enam ratus kali, jilat telapak kaki saya, kalau memang berani, hunuslah kerismu supaya cepat selesai.

5. Pilihlah tusuk di bagian dada, takut di depan dari belakang.” I Mladprana diam merendahkan diri, Dirantaka mendahului, merobek dengan senjata, I Mladprana menangkis dengan cepat.

6. “Bahagia sekali sekarang saya bertemu denganmu, jagalah nyawamu, bayarlah sekarang, karena dosamu besar sekali, kau kemari lari, pasti tidak berhasil, kepalamu akan dibawa pulang.”

7. Ni Jangga Oka khawatir sekali, Mladprana dipegang, tangannya yang kiri, “Janganlah Kakak meninggalkan saya.” Kemudian Mladprana berkata, “Saya kurang bebas, minggirkan dulu dirimu Dik.” [ 27 ]

24

8. Jangga Ketaki berkata keras, "Saya ikut Kak, hidup atau mati, supaya jangan direbut.” Kemudian Mladprana mengepit, sangat rikuh, tidak bisa menangkis.

9. Dirantaka merasa iri bertambah marah, sekarang marahnya luar biasa, memeluk sekuat-kuatnya, Mladprana rikuh sekali, kena bahunya sebelah kiri, membalas, mengenai hulu hati.

10. Dirantaka luka hulu hatinya, darahnya muncrat, kemudian mati, I Mladprana, lukanya keras sekali, darahnya keluar bercucuran, jatuh karena terlalu payah, jatuh pingsan mukanya pucat pasi.

XV. PUH DEMUNG

1. I Ketut Oka menjerit dan merangkul, "Aduh bagaimana ini Kak, kenapa Kakak rela meninggalkan mati, sadarlah Kak, hapuslah air mata saya, bukalah sanggul saya, perbaikilah, janganlah Kakak memejamkan mata, saya tidak Kakak lihat,” kata-katanya membujuk,

2. Mana kelembutan Kakak memeluk dan mencium, merangkul memeluk ketiak, memegang susu, dan selalu mengisap bibir, mengapa ikhlas sekali, apa salah saya Kak, kalau memang salah, salahkanlah jangan tidak menyapa, bagaimana kehendak Kakak katakanlah, saya bersedia menurut.

3. Lagi pula musuh sudah dibunuh, sekarang Kakak juga meninggal, lebih baik tunggulah saya, bersama-samalah berangkat, supaya Kakak menuntun saya, di jembatan goyah itu, kapan-kapan kalau menjelma, supaya bertemu lagi, menemukan kebahagiaan bersuami istri, karena sekarang belum berhasil.

4. Saya pakai membalas kebaikan Kakak, Kakak rela bertaruh nyawa, kalau tidak nyawa dipakai menebus, menebus semua hutang budi, kalau diganti tidaklah sepadan, rasanya cinta kasih menjadi satu, begitu jelasnya hati saya, bersama di dunia nyata ataupun di dunia tidak nyata, mengiringi Kakak di alam baka, setiap hari meladeni makan.

5. Bersatu bahagia dan berbakti sampai nanti, nanti kalau kembali menjelma, kalau saya menjadi perahu, supaya Kakak mengemudi, kalau saya menjadi bunga angsana, Kakak menjadi pohon gadung, ya kalau saya menjadi kidung dan kakawin, Kakak menjadi pembacanya, saya menjadi telaga Kakak menjadi bunga tunjung.

6. Supaya jangan seperti sekarang sia-sia, belum berhasil menikmati kebahagiaan, memang nasib saya tidak baik, Tuhan sudah hilang, Dewa [ 28 ]

25


sudah tidak hirau, kerabat tidak ada yang senang, saat menderita seperti ini, sekarang terputus kebahagiaan, apa gunanya kalau masih hidup.

7. Hidup menderita sama dengan mati, menimbulkan hati bingung, ingat menjelma miskin, sengsara terputus kasih, mengorbankan darah karena cinta, karena ikhlas hati menolong, menolong supaya sembuh, juga ditinggalkan saya tidak bisa menghalangi, karena Kakak jadi mati.”

8. Banyaklah keluar kata-katanya hingga parau, tidak diceritakan Ni Ketut Oka mengigau, diceritakan Empu Wrediaguna, beliau datang dari permandian, setelah selesai bersyarah ke tempat suci, kembali pulang membawa bejana, perjalanannya berhenti mendengar orang berbicara dan menangis, lalu beliau melihat mendekat, ditemukan Jangga Ketaki.

9. Beliau kemudian mendekat berkata, ”Bapak bertanya, kamu ini dari mana Nak, di sini sedih bersanding dengan laki-laki, lagi pula laki-laki luka berat, beri tahukanlah Bapak. "Di sana Ni Jangga Ketaki, kemudian berkata sambil menangis, "Oh Ratu Yati-Wara, dia ini bernama I Mladprana.

10. Saya orang nista bernama Ni Jangga Ketaki, bersuami dengan dia, saya terlalu sengsara, mendapat bencana di sini, sekarang saya memohon, pertolongan Bapak, ya kalau ikhlas Sang Widuan, hidupkanlah suami saya ini, hidup segar bugar, kembali sebagai semula.

11. Selamat kembali ke Wanapuspa, saya sanggup mempersembahkan lembu, dan sahayan delapan orang. "Empu Wrediaguna menjawab, "Bagaimana kejadiannya semula."Ni Jangga Ketaki menceritakan, kejadian-kejadian yang sudah lewat. Setelah semua disampaikan, Empu Wrediaguna, perasaannya terharu.

12. Berkata sambil berlinang air mata, "Aduh Dewa, rasanya hancur hatiku mendengar, memang benar setiap yang lahir, berbekal kesusahan, kalau terlalu banyak menemukan kebahagiaan, besar pulalah duka yang dialami, karena memang tidak dapat dipisahkan, kenyang lapar miskin kaya, mati hidup bahagia sedih, sehat sakit benar salah.

13. Nah sekarang Bapak mencoba siapa tahu dapat, keridoaan Ida Sang Hyang Tuduh, mengutus supaya hidup. "Kemudian beliau menolong, menolong dengan Mretyu-jiwa, serta dasa-bayu, disertai mantra, I Mladprana mulai sadar, sadarkan diri, kambang terasa kosong.

XVI. PUH MAS KUMAMBANG

1. Baru sadar, Ni Jangga Ketaki dikira hilang, terkejut menoleh kanan kiri, baru dilihat Ketut Oka, darahnya kembali menyembur. [ 29 ]

26


2. Dan jatuh, badannya gemetar, kaki tangannya dingin, Ni Jangga Ketaki menjerit, menangis sedih berkata tidak menentu.

3. Serta dikocok, mata dan mulutnya dibuka, dan I Mladprana dicaci, "Kakak memang sudah siap, membuat hati saya sakit.

4. Ya kalau Kakak, sekarang jadi meninggal, akan saya caci maki, mayat Kakak di sini, supaya direbut anjing hutan.

5. Ketut Oka, sedih sekali, gelisah gila sambil memarahi, memarahi orang sakit keras, tidak membandingkan pada diri.

6. Kemudian, Empu Wrediaguna menjawab, "Berhentilah marah dengan kata tidak karuan. Bapak mencoba menolong, carikan daun tapak kaki kuda dan alang-alang.”

7. Ketut Oka, cepat mencari dan setelah dapat, kemudian diserahkan, Empu Wrediaguna memberi mantra, lukanya sembuh setelah diberi obat.

8. Tetapi masih berbekas, sakitnya masih terasa, I Mladprana, kemudian bangun menyembah, pada Empu Wrediaguna.

9. Dan berkata, "Ya Ratu Sang Mayati, rela berkenan menghidupkan, lanjutkanlah kerelaan Tuan, mengobati saya orang miskin ini.

10. Kalau selamat, saya sembuh dan tetap hidup, selamat kembali, ke Purbawyanjana, saya akan menghaturkan persembahan.

11. Sebuah cincin bermata manik, pakaian tiga pasang, serba sutra yang berwarna putih, serta pegandan satu pasang.”

12. Selesai berkata, kemudian Empu Wrediaguna menjawab, “Nah sekarang marilah ke Pertapaan Bapak dulu, di sana Bapak memberi obat."

13. Kemudian bangun, Ki Jangga Ketaki, menuntun I Mladprana, "Peluklah leher saya Kak."Kemudian I Mladprana bangun.

14. Memeluk bahu, dituntun dan berjalan, jalannya menanjak, ia merasa lelah karena tenaganya sedikit, setiap langkah berhenti mengaso.

15. Kemudian berkata, "Ya Adik Jangga Ketaki, Kakak harus sekali, kerongkongan kering sekali, mintakan Kakak air."

16. Kemudian meminta, Ni Jangga Ketaki, setelah diberi air, ditempatkan pada daun tamutis, "Ini air Kak."

17. I Mladprana, dapat minum air suci, penawar yang sudah dimantrai, karenanya hatinya segar, kemudian berjalan. [ 30 ]

27

18. Tidak diceritakan, dalam perjalanan, sekarang diceritakan, sudah tiba di pertapaan, dipuja dan didoakan.

19. Setelah selesai dipuja, mereka tidur, tidak diceritakan malam harinya, besok paginya bangun, ia sudah merasa segar.

20. Senang melihat, taman indah sekali, bunga beraneka ragam, pudak cinagar indah sekali, di bawahnya terdapat batu pipih.

XVII. PUH DANGDANG

1. Di tengah telaga yang luas terdapat rumah kecil tempat menyucikan diri, bunga teratai berwarna lima, di tepinya bermacam-macam bunga, kembang yang berwarna serba kuning di sebelah barat, merah di selatan, putih di timur, biru dan hitam di utara, di tengah-tengah bermacam-macam bunga, gadung melati dan angsana, serta keterangan, canigara melur jampiring teratai tunjung dan cempaka.

2. Bunga-bunga yang serba harum ada di sana, tidak perlu diceritakan, telaganya bertepi bunga, bunga-bunga tunjung berjatuhan, seperti ia mempersembahkan bakti, sangalangit-nya rimbun, seperti tunduk agaknya, melur gambir sari kosta, rasanya sengaja, naga-puspa, dan sokasti, rimbun sepertinya menyapa.

3. Itulah sebabnya Jangga Ketaki dan Mladprana, bernaung di bawah pohon pudak, di atas batu pipih berteduh, terpesona menyaksikan bunga, kemudian mereka memetik pudak, dimomong bagaikan putranya, tambulilingan menderu-deru, seolah-olah bernyanyi membuatkan pepatah, Ketut Oka, berkata, "Ini Kak ambil, momong anakmu."

4. I Mladprana menerima dan berkata, ’Mari kita pulang Dik.” Keduanya kembali ke Pertapaan, tidak diceritakan mereka di Pertapaan, sekarang diceritakan I Rudita, merencanakan sesuatu, akan berkunjung, pada pacar I Mladprana, namanya, Sang Ayu Alit Marsiki, yang baru meningkat dewasa.

5. Tingginya semampai kulitnya putih mulus, pantaslah menggiurkan, setiap yang dilakukan pantas, tingkah laku baik wajah halus, cekatan dengan pekerjaan kewanitaan, membuat songket endek menyulam, pekerjaannya terkenal bagus, pantaslah ini diharapkan, ke sana dirayu, siapa tahu diterika, kemudian I Rudita membuat surat. [ 31 ]

28


XVII. PUH DEMUNG


1. "Ya surat ini pakai alasan, supaya dapat berbicara, menyampaikan perasaan cinta, karena berjauhan tempat tinggal, supaya Tuan mengetahui, saya sangat menyayangi, walaupun tinggal jauh, hati saya selalu berdekatan, jiwa saya tidak henti-hentinya, melekat pada dirimu.

2. Kamu selalu kuingat siang malam, di mata hati tergantung, sebentar pun tidak bisa dilupakan, juga tudak bisa diganti, kalau ditahan semakin ·menjadi, bingung tidak bisa tidur, lemah karena tidak makan, kalau ditidurkan jelas mimpi, mimpi bersamamu, di tempat saling mencintai,

3. Terkejut bangun meraba-raba, diraba di samping kosong, ambil dan peluk bantal gulingnya, cium elus dan tangisi, bercucuran air mata mengenang kekosongan, bangun bingung memeluk lutut, menyesalkan sepi, kamu tidak mau tahu, mengetahui saya sengsara, sakit menyedihkan dirimu.

4. Sakitnya tidak sedikit kalau diumpamakan, seperti burung yang baru tumbuh bulu, ingin akan terbang, mencari makanan, tidak mungkin akan berhasil, jika diumpamakan sampan, ingin berlayar, tanpa layar tanpa katir, demikianlah perumpamaan diriku, mengharapkan dirimu.

5. Karena keinginanmu jauh sekalu, rasanya dibatasi oleh seratus laut, tinggi fi langit biru, dibatasi hutan jurang, terlalu berbahaya, yang menunggui menakutkan hati, ikan hiyu buaya dan ular, badak singa harimau gajah, kalau saya memaksa ke sana, jelas akan mati.

6. Hatinya tergeletak tidak berarti, karena belum dapat menanyai hatimu, itulah sebabnya sekarang saya sampaikan, dengan memohon sekali, memohon bantuan darimu, supaya rela, walaupun tidak cocok tidak mau, walaupun kamu membenci, saya tetap akan mendesak.

7. Karena hati ini bersungguh-sungguh ingin mencintaimu, dan hanya tertuju padamu, serta tidak ada jalan lain, untuk berbakti, pasti saya akan kacau, menahan sengsara, merindukan kamu, kamu suka atau tidak, sayangilah saya si miskin ini.

8. Engkau tambatan hati, janganlah berpikiran dengki, menghina saya si miskin, membuat malu, saya benar-benar ikhlas, memohon keikhlasanmu, supaya kamu, memerintah saya hidup mati, tetapi rela memberikan, itu yang kausicukan.

9. Kata-kata saya memang benar-benar, akan tetapi buktinya hanya dengan kata-kata, karena saya orang miskin. tidak ada yang saya pakai mengiringi, sebagai tanda sayang, hanya menyerahkan diri, seperti [ 32 ]

29

baling-baling, sulit untuk bisa memerintah angin, seperti wayang meme- rintah dalang, begitulah umpamanya.

10. Saya berkata padamu kalau saya, tidak bakti setia menyatu, mudah- mudahan saya, sakit hati seumur hidup supaya menderita sekali, setiap yang dilaksanakan menemukan tidak baik, kalau sudan meninggal, su- paya saya mati bermimpi, disambar petir tanpa hujan, hidup mati su- paya menemukan neraka,

11. Roh saya supaya menjadi dasarnya neraka, selama seribu enam ratus ta- hun, tidak menjadi manusia, kalau nanti menjelma, menjadi yang diben- ci, seperti Lalintah nyulati kalung, iris-iris poh, ulat bijal serta cacing, dan tidak dapat diruat seterusnya.”

XIX. PUH SINOM

1. "Begitulah kata-kata saya, ini ciri bakti saya,sekarang ditujukan pada- mu, sebuah cincin untuk di telunjuk, pendok bebet mererapit, serta gi- naran cap Gadung, disertai cakrawaka, sebuah susiah ati, gelangnya, ber- mata mirah,

2. Lagi pula minyak harum cap nyonya, bedak serta sabun harum, serta pakaian berem Cina, ikat pinggangnya kuning, suntaginya sutra randi, sulaman sudah cocok, kain dalam pelangi sutra hijau, selendang sutra sangat baik, bertenunkan kembang Cina.

3. Itu saya sampaikan sekedar sebagai kenang-kenangan, nanti kalau Adik sudah, rela menerima saya di sini, kala itu saya akan memenuhi, setiap keinginanmu, memakai prada songket, emas permata uang, lagi pula, mengadakan hiburan-hiburan.”

4. Setelah dia selesai menulis surat, kemudian mengutus anak kecil, "Ka- mu Dalidra berangkatlah ke sana, ke Purwawyadnyana sekarang, ke ru- mah Ni Warsiki, tetapi supaya kamu bersembunyi, memberikan dia su- rat, disertai bakul kecil.” I Dalidra menerima serta berangkat.

5. Tidak diceritakan di perjalanan, sekarang sudah sampai, di Purwa- wyadnyana, sekarang hatinya bingung, memikirkan ketika berhasil ber- temu, dan memikirkan jawaban kalau ditanya, apabila Ni Warsiki da- tang, keluar untuk mandi, Ni Warsiki berkata halus, "Kamu anak kecil dari mana?"

6. I Dalidra mendadak membuat akal, kemudian ia menjawab, Saya akan menjual gelang minyak harum serta cincin."Ni Warsiki berkata, "Coba [ 33 ]30

perlihatkan dulu." Kemudian ia memberikannya, Ni Warsiki menerima, dan dicoba, cincin dan gelangnya.

7. Semuanya cocok, bagaikan sudah diukur, gelang dan cincinnya, Ni Warsiki senang sekali, serta berkata sambil tersenyum, "Berapa harganya semua, kalau sudah cocok harganya, Kakak bersedia untuk membeli." Utusan, mengulurkan surat.

8. Bacalah surat ini, akan jelas harganya satu per satu, minyak harum cincin serta gelang.” Ni Warsiki mengambil surat, serta dibacanya dalam hati, semuanya telah terbaca, serta berkata, "Kakak bertanya padamu, surat itu, disuruh memberikan ke mana?”

9. I Dalidra berkata pelan, "Saya disuruh ke sini, menyampaikan kepada Kakak." Baru diketahuinya, cepat-cepat Ni Warsiki membuka, cincin gelang dan menjawab, "Kalau demikian kembalilah, Kakak tidak mau menerima, tidak berani, akan menjadi tukang perintah."

10. I Dalidra kemudian kembali, sesampai di rumah, memberikan bakul dan surat, semua kejadian sudah diceritakan, I Rudita menerima, tetapi hatinya tidak percaya, pada I Dalidra bahwa ia sudah menghadap, lebih baik akan sendiri sekarang, pergi langsung, ke sana mencari Ni Warsiki.

XX. PUH DANGDANG

1. Setelah berpikir kemudian cepat-cepat dia berangkat, tidak diceritakan dalam perjalanan, sampai di rumah Ni Warsiki, Ni Warsiki sedang menenun, menunggu rumah seorang diri, ibunya pergi berjualan, ayahnya sedang ke ladang, menengok tanaman, karena sepi, maka I Rudita sempat, langsung duduk berdekatan.

2. Ni Warsiki kaget dan berkata, "Oh Tuan, ya saya ingin tahu, Tuan dari mana, apa tujuannya kemari." I Rudita menjawab, "Saya berasal dari Banjar Kasta, saya datang ke sini karena, sengaja memohon kerelaan, kepadamu, tetapi ke sini hanya main-main, janganlah kecil hati.

3. Dari dulu saya mengekang keinginan, karena sudah merasa sekali, pada diri jelek, hidup miskin tidak berguna, sampai keluarga tidak mau, apalagi seperti Adik, sulit rasanya akan mau, sebab kalau diumpamakan Tuan ini, diumpamakan pada pohon-pohonan, Tuan bagaikan I Nagasari, pantas ditempatkan di pura.

4. Kalau diumpamakan Tuan bunga cempaka, sebenarnya menjadi hiasan halaman depan, apabila bagaikan prada, cocok pada sutra Perancis, ka[ 34 ]31

lau andaikan permata, Tuan permata mirah, patut beralaskan emas, saya bagaikan timah kasar, tidak pantas menyandingi kamu, sengaja berani, karena hati ini sangat bulat, tidak bisa saya tahan.

5. Saya malu berkata, tetapi kalau sudah menemukan yang diharapkan, senang duka sedih sakit, kalau sudah terkena hal itu, hilanglah perasaan malu, sekarang saya diresapi, gila asmara kepada Tuan, saya menahan penderitaan, selalu sedih, yang menyebabkan sakit hati, karena tidak bisa dibelokkan.

6. Bingung gelisah makan tidak terasa nasi kalau ditidurkan, tidak henti-hentinya mengkhayal, kalau dilupakan bertambah ingat, jika disenang-senangkan, semakin menyiksa diri, sengaja mengabdi padamu, supaya Tuan tidak tersinggung, maulah dengan saya, nah umpamakan, memungut anjing korengan, meruat roh yang menyasar.

7. Kalau kamu mau pada saya, janji saya, menuruti semua kehendakmu, kalau saya ingkar pada kata-kata, supaya dikutuk oleh Tuhan, setiap yang saya lakukan, supaya menemukan kesengsaraan, nanti kalau menjelma kembali, walaupun sembilan kali, melayani dirimu, pakailah saya tempat berpijak.

8. Supaya jangan kamu salah sangka pada diri saya, dimana saya besar mulut, harapan saya supaya didengar dan dirasakan, mana yang pantas diterima, dan mana yang pantas ditolak, saya sengaja menurut, karena cintaku benar-benar tulus, mengharapkan cintamu. Nah, resapkanlah permohonan si miskin, datang memohon pelebur dosa.

9. Saya bagaikan pohon yang sengsara, layu kepanasan, kamu sebagai mendung, rela menghujani seorang desa, seketika menjadi segar, sekarang relakanlah, supaya jangan kamu, bagaikan pakaian yang bagus, kalau disimpan, siapa yang akan tahu, kecuali akan dimakan rayap.

10. Kalau diumpamakan seperti orang kaya, yang terlalu berhemat, mengurangi makan pakaian, kekayaannya disimpan tersembunyi, tersembunyi dari pencuri, begitulah kalau diumpamakan, pikirkan sekali kata-kata saya. "Demikianlah kata-kata I Rudita, bagaikan angin puyuh, rayuannya, tetapi hati Ni Warsiki, bagaikan gunung tidak goyah.

11. Dan menjawab dengan kata-kata pedas, "Sedikitlah, kamu berbicara, saya tidak bisa menerima, supaya jangan kamu salah mengerti, saya ini bertanya sedikit, karena terlalu bebas berkata, bagaimana kamu melihatku, baik sikap maupun tingkah laku, serta, berita yang kamu dengar, apakah genit kluyuran?

12. Karena ada cerita wanita jarang sekali, teguh pada pendirian, sebelum [ 35 ]

32

dapat mencari, bunga teratai yang tumbuh di atas batu, akarnya lurus dengan baik, laut tidak berkarang, mungkin itu yang kamu ingat. Maka itu berani datang kemari, tanpa ragu-ragu, menganggap saya tidak teguh, tidak pernah mendapat nasihat serta genit.

13. Nah seperti perkataanmu pada saya, semuanya tidak berguna, pokoknya saya tidak mau, kalau kamu tetap berkeinginan, rayulah ayah saya, mau atau tidak di sana akan jelas, kalau saya yang kamu rayu, jelas tidak akan berhasil, hati saya, semua berada pada Ayah, terserah dia yang memerintahkan."

14. "Sekarang saya berkata yang sebenarnya kepada kamu, pikiran manusia, tidak beda dengan burung-burung, beda rupa beda hatinya, lain lagak lain suaranya, karenanya pantaslah berhati-hati, orang yang meminta, supaya jangan telanjur, umpamakan, kera babi diberikan minyak harum, anjing kambing diberikan pakaian."

15. I Rudita menjawab dan berkata, "Sebabnya saya berhati-hati, kepada kamu dulu berkata, karena saya sudah mendapat pengalaman pahit, membujuk ayahnya terlebih dahulu, orang tuanya sudah setuju, anaknya yang main-main, akhirnya saya mendapat malu, rasanya mati, menjadi bahan tertawaan dunia, malu tidak berani menoleh.

16. Karena itu saya memohon kebebasan dari kamu, sekarang kalau memang tidak rela, jelas saya akan mati di sini, supaya sekali di sini mati, saya tidak menyayangkan nyawa, apa lagi yang saya tunggu, daripada masih hidup, maksud tidak berhasil, karenanya pantaslah, pakai jalan untuk mati, mati mencintai kamu.

17. Pilihlah hal itu yang mana akan dipilih, hidup atau mati, kalau kamu tetap pada pendirian, bukti kepada saya, mempertahankan yang disucikan tidak menurut kataku, pasti kamu akan mati, kalau tidak mati dicekik, pasti terpenggal, kalau kamu menyayangi jiwa, turutilah kata-kata saya."

18. Ni Warsiki menjawab dengan halus dan pelan, "Saya tidak takut mati dipenggal, walaupun mati dicekik, saya tidak akan dua kali mati, mati sekarang mendapat jelas, karena berbakti pada Ayah, kalau sekarang takut mati, menyerah begitu saja, nista sekali menjelma menjadi seorang wanita, lebih baik mati daripada hidup menderita.

19. Itulah pendirian saya,lebih baik pulang, pikirkan lagi di rumah." I Rudita tidak menjawab, langsung terjun dan pulang, bersungut-sungut menyesali diri, Tuhan apa yang mengutuk saya, begitu cara saya, mengabdi, juga tidak diterima, lebih baik sekarang mencari guna-guna. [ 36 ]

33

20. Kemudian ia pergi membeli guna-guna yang baik, yaitu upas mandar, dan penangkeb jagat, jaran guyang guna lilit, ''campur talo tangis duyung, guna-guna Sunda berisi gambar atau suratan yang mengandung kekuatan gaib, lamanya pergi setengah bulan, mendapat guna-guna tujuh macam, membeli dengan harga dua ribu lima ratus rupiah, sekarang ia kembali, ke Purbawyanjana, memasang guna-guna.

21. Setelah selesai memasang guna-guna semuanya kemudian pulang, dengan berkata sombong, "Tak akan urung pergi, ke Banjar Kasta lagi tiga hari, karena sudah ada tanda-tanda, tangis duyung upas mandar, mendidih-didih, itu cirinya sudah mulai bekerja, lebih baik tunggu saja, sampai batas waktunya."Kemudian mereka langsung pulang.

22. Tidak diceritakan I Rudita sudah pulang sekarang diceritakan, Ni Warsiki diceritakan, diam bingung berbicara sendiri, menyebut-nyebut orang ganteng, penglihatannya tajam banyak bicara, bapaknya kaget, "Mengapa Ni Warsiki berkata yang bukan-bukan, siapa yang jahil pada saya, membuat malu, padahal sayd tidak pernah mengganggu orang, lagi pula tidak pernah mendatangkan pelamar.

23. Kemudian dia berkaul memohon keselamatan setiap pura, serta mencari dukun, datanglah empat orang dukun, meruat dan memunahkan kekuatan sihir, diupacarai dan diberi korban, gilanya bertambah keras, semua dukun kalah, dan semuanya kalah, orang tuanya, sedih sekali, menyebut-nyebut I Mladprana.

24. Tidak diceritakan di Purbawyanjana sekarang diceritakan I Rudita, benar-benar bingung, karena sudah tiga hari, kok Ni Warsiki tidak datang, keluar rumah hatinya resah, dilihat keluar kosong, kembali pulang juga tidak ada, hatinya, bertambah bingung kata-katanya juga tidak karuan, memaki tidak menentu.

25. Kemudian I Rudita ke Purbawyanjana langsung masuk kamar. I Paseban menyapa, "Nak mau ke mana, tidak biasanya ke sini?" I Rudita berkata iseng, "Saya memang sengaja datang kemari katanya anak Bapak sakit, semua dukun kalah, I Mladprana sudah hilang, kalau Bapak rela memberikan saya, saya sanggup menyembuhkan.

26. Walaupun Bapak akan mengatakan karena sekarang sudah punya pacar, jelas ia rela meninggalkan, apalagi tertimpa penyakit gila, tidak ada yang dapat mengobati, barang siapa yang dapat menyembuhkan, pantas diserahkan ke sana. "I Paseban berkata, "Bapak sudah telanjur, menjodohkan dari kecil, dengan I Mladprana.

27. Lagi pula tidak ada kabarnya ia masih hidup atau mati, kalau Bapak sekarang menjodohkannya denganmu, kalau dia datang dan masih hidup, [ 37 ]

34

Bapak ingkar kata-kata, Bapak sudah tua, tidak pantaslah belajar berdusta, sekarang pulanglah dulu. Bapak memikirkan, mencari kabar dan memikirkan, lain kali lagi dibicarakan.”

XXI. PUH PANGKUR

1. I Rudita tidak menjawab, kemudian bangun dengan kasar langsung pulang, mengkerutkan alis berwajah masam, penglihatannya garang jalannya ngawur, setiap yang dilihat disangka memusuhi, yang benar dilihat salah, karena terlalu marah.

2. Banyak orang yang ditemui, sedang rapat berbicara saling meninggi, itu disangkanya menertawainya membuat malu, kemudian pulang, mukanya masam, sampai di rumah marah-marah, setiap yang dekat dibenci.

3. Lalu berkata pada ayahnya, ”Bagaimana apakah masih sayang atau tidak, kalau sayang jadilah pergi, meminta Ni Alit Warsiki, kalau tidak berhasil, saya beristri dengan dia, lebih baik saya permisi ke hutan, malu kalau masih di sini.

4. Menjadi bahan tertawaan, kalau tidak dibela lebih baik saya mati.” Ayahnya menjawab, ”Mengapa Ayah tidak sayang, dari kecil, sudah didoakan supaya selamat, sekarang sudah besar dibuang, hanya mengusahakan lagi sedikit saja.

5. Ayah menurut, sekarang pikirkan dulu, supaya caranya benar, sekarang Ayah bingung, karena mendadak, sekarang hiburlah dulu, ingkel wong agar hilang, Ayah akan berangkat meminta.”

6. Selesaikan dulu di sini, tidak diceritakan di Banjar Kasta, sekarang diceritakan di Pertapaan, Sri Empu Wrediaguna, berkata, pada I Mladprana, “Kamu pulanglah, mungkin ada mala petaka di rumah, kalau tidak ada mati pasti ada sakit.”

7. I Mladprana berkata menyembah, "Saya menurut saya mohon bekal dibawa pulang, kalau saya bertemu dengan musuh, penyakit maupun hama, lagi pula, supaya saya panjang umur, supaya saya bisa, membayar janji-janji saya dulu.”

8. Mpu Wrediaguna, memberikan Mretyun-jaya aji luwih, wimohana mantra suci, yang dipakai dalam peperangan, kalau menghadapi penyakit, Panca-buta Dasa-bayu, serta Wijaya kusuma, bayu rampang wisnu murti.

9. Selesai beliau menganugrahkan, I Mladprana dan Ni Jangga Ketaki pulang, tidak diceritakan dalam perjalanan, diceritakan sesampai di rumah, [ 38 ]

36

tetangganya, keluarga datang mengerumuni, kecil tua muda, gembira dan gembira menanyai.

10. "Tuanku ke mana dari dulu, ini siapa yang diajak. "I Mladprana menjawab, menceritakan kejadian-kejadian yang lalu, dan menyerahkan diri, "Ya Ayah saudara semuanya, bantulah saya, membuatkan saya upacara.

11. Untuk perkawinan, supaya selesai.” Keluarganya menjawab, "Jangan Tuan banyak bicara, ya kami semua, bersedia menolong, Tuan diamlah jangan susah, semua keluarga merencanakan, melaksanakan tugas dan memimpinnya.”

12. Muda-mudi bergilir, sampai yang tua-tua bermalam setiap malam, sudah tersebar beritanya, Sang Ayu Jangga Ketaki, ditemukan oleh I Mladprana, I Paseban menuju rumah I Mladprana.

XXII. PUH GINADA

1. Langsung menuju ke kamar, I Mladprana kemudian menyapa, ”Mengapa Bapak baru datang, mungkin Bapak sakit kurus pucat, seperti orang tidak enak makan.”

2. I Paseban menjawab, "Benar seperti yang Anak katakan." Kemudian I Paseban menceritakan, sebabnya bersedih, ”Karena itulah, Bapak ke sini, supaya jangan dari Bapak melupakan.

3. Perjanjian yang dulu, Ni Warsiki sudah Anak minta, walaupun kamu sudah punya istri, lagi pula tidak punya ayah ibu, kalau dari Anak mengembalikan, tidak jadi meminta, dari Bapak tidak memutuskan.

4. Nah kalau Anak mengembalikan, Bapak menerima dengan hati tulus, tidak sedih sedikit pun, karena dia sakit gila, itulah sebabnya Bapak mencari kebebasan, dari kamu, supaya benar Bapak memikirkan.”

5. I Mladprana menjawab, "Saya mohon maaf, janganlah Bapak salah mengerti, saya sudah kadung salah, menjalankan pikiran serakah, bingung, sejak ditinggal ibu bapak.

6. Sekarang lanjutkanlah Bapak, ikhlas pada saya si miskin, saya menurut sekali, pada bantuan Bapak yang dulu, kalau Bapak tetap bersedia, seperti dulu, waktu masih ada ayah saya.

7. Walaupun adik saya, Ni Warsiki sakit, saya coba untuk berpikir, mohon keselamatan pada Hyang Tuduh, siapa tahu ada keberuntungan saya, jadi baik, sembuh seperti dulu. [ 39 ]

36

8. Marilah sekarang pulang." I Paseban tidak menolak, tidak diceritakan di perjalanan, sesampainya di rumah Ni Warsiki, I Paseban berkata, "Carikan apa, carikan pedupaan.

9. Pere serta air bersih, kemenyan Arab, tangkai butir padi hitam." Pelayannya segera mencari, setelah semuanya didapat, I Mladprana memanjatkan, mantra sandi, Bayu-rampung geni ngalayang.

10. Mengusir membakar dan membersihkan, semua bisa terbakar hancur, semua guna-guna punah, sekarang Ni Warsiki sudah sembuh, kurus sekali badannya, lagi dimantrai, dengan mantra Dasa-bayu.

11. Sekarang diceritakan ia sudah sembuh, Sang Ayu Alit Warsiki, ayah ibunya merasa senang, kemudian I Mladprana berkata, "Kalau Bapak memang rela, Ni Warsiki, biarlah saya ajak di rumah.”

12. I Paseban berkata, "Ayah tidak melarang, Nak, tetapi supaya sesuai dengan adat, carikan dulu hari baik, kapan hari baik bila saat untuk lari, ketika itulah dia "diambil”, Bapak hanya merelakan.”

13. "Ya kalau begitu, sekarang saya permisi." Kemudian I Mladprana ke rumahnya, sesampai di rumah sibuk, menyuruh memohon hari baik, untuk "mengambil”, serta hari baik untuk pernikahan.

14. Utusan berjalan, memohon hari baik dan setelah mendapat, kemudian kembali pulang, menyampaikan kepada I Mladprana, "mengambil” lagi sembilan hari, langsung pernikahan hari itu pula.

15. Kemudian I Mladprana berkata, "Kalau begitu Kak, sekarang kesanalah Kakak mengundang, pada penduduk desa mohon pertolongan." "Ya baiklah, itu tidak usah dipikirkan, saya bersedia mengatur, upcara perkawinan itu."

XXIII. PUH SINOM

1. I Tantulak mengurus, mengundang semua masyarakat desa, orang-orang desa pada gembira, pada sibuk mengambil pekerjaan, giat menolong, tidak diceritakan upacara di sana, sekarang kembali ceritakan persoalan yang tadi, diceritakan, di Banjar Kasta.

2. Sekatang I Rudita, mendengar berita yang sebenarnya, I Mladprana sudah pulang, dengan Ni Jangga Ketaki, Ni Warsiki diobati, sudah sembuh seperti dulu, lagi pula sudah diserahkan, untuk memenuhi pembicaraan yang dulu, jadi akan, menikah lagi sembilan hari.

3. I Rudita bingung hatinya, sengaja akan membuang diri, kemudian men[ 40 ]

37

datangkan pembantunya, setelah semua pembantunya datang, semua akan membela warganya, banyaknya tiga ratus, lagi pula diceritakan ke- jadian-kejadian, yang menyebabkan sakit hati, semua tertarik, semua mengaku setia.

4. "Nah Kakak semuanya, kalau setia dengan tulus hati, maksud saya memperkosa dengan tangan, sekarang ke Purbawyanjana, ambil di de- pan orang tuanya, Ni Alit Warsiki tangkap, kalau ada orang membela, perangi supaya mati, supaya jadi, saya bertemu lagi sembilan hari.

5. Lagi ada cerita,kalau berhasil seperti yang direncanakan,mendapat istri dari memperkosa, mengambil di depan orang tuanya, itu pertemuan yang baik."Semua menjawab membenarkan, sekarang menyiapkan sen- jata, membawa lima puluh sabit yang besar, seratus pedang seratus tum- bak.

6. Selesai berkata demikian, semua pulang, akan mengambil senjata, sete- lah siap dengan senjata selengkapnya datang lagi, setelah semua berkum- pul, sekarang datang I Wuruja, kemudian bertanya mendekat, "Nah ba- gaimana keinginannya, kok berkumpul siap membawa sénjata."

7. Sekarang I Rudita berkata, menyampaikan keinginannya, I Wuruja me- nasihati, "Janganlah begitu Nak, walaupun Ni Jangga Ketaki, sekarang diambil olehnya, mungkin memang itu jodohnya, nah Ayah menasihati- mu, ada cerita Sang Prabu di negara Cedi.

8. Sang Cedi mempunyai pacar, bernama Diah Rukmini, diambil oleh Sang Kresna. Cedi balas dendam akhirnya mati, sekarang kamu sengaja meng- ambil dengan memperkosa, Ni Alit Warsiki, ada cerita Sang Rawana, dan Dewi Janaki, juga mati, mati karena keluarga.

9. Kalau menjalankan Drati-krama, serta paradara wyakti, agama menya- lahkan, nah Ayah menasihatimu, kelakukan yang tidak pantas dilaku- kan. kalau mencari wanita, jangan sekali dengan paksaan, hindari keke- rasan itu. Kalau itu dilanggar, pasti akan mendapat bahaya.

10. Mrejo mencari di tempat tidur, amrugul mengambil di permainan. ama- lat mengambil di depan keluarganya, mlagandang mengambil di tengah jalan, memutuskan dengan menipu, mengambil pacar orang lain, amung- pang namanya, kalau tidak mau dihunuskan keris, mengambil perem- puan. Kemudian menjual itu bernama ngiwat.

11. Kalau mengambil istri orang, namanya maud-angris, suaminya kemu- dian dibunuh, angatel namanya, lagi pula mengambil yang sedang di da- lam, serta berbuat kekerasan, merusak mengambil istri orang, drati-

krama namanya, memperkosa, semua itu salah.” [ 41 ]

38

12. Begitu banyak nasihatnya, tetapi semuanya itdak dipercaya, diceritakan dan dilakukan, berangkat sesuai dengan rencana, tetapi benar-benar tidak menyenangkan, pokoknya semua kalah, kena sesirep semuanya, sama sekali tidak ada yang terjaga, tenaga lemah, diceritakan kelompok- nya I Mladprana,

13. Semuanya pulang, karena semua musuh sudah kalah, diceritakan ayah- nya Ni Warsiki, ribut mengikuti, sekarang I Mladprana dengan ayah Ni Warsiki pulang, ke rumah Ni Warsiki, Ni Warsiki berkata halus, "Mung- kin terlalu kepingin mati, makanya pasrah, ke sini menerahkan jiwa.

14. Tidak punya perhitungan, mengadu keberanian sendiri, dikira orang lain pengecut, menyangka diri sakti sendiri, dikira semua orang takut, begi- tulah kalau orang sombong, terlalu mabuk oleh pikirannya."Begitulah kata-kata Ni Warsiki, kemudian Ayah menjawab, "Ayah sekarang da- tang dalam keadaan sehat.

XXIV. PUH SAMARANDANA

1. I Mladprana memberi kehidupan, sekarang kamu Ayah jodohkan, Ayah pakai menebus jiwa, lagi pula memang dari dulu, kami telah dijodoh- kan, sejak bapaknya masih hidup, nah sekarang teruskanlah, Nak."

2. Ni Warsiki menjawab, "Kalau sudah kehendak Ayah, saya tidak berani menolak, terserah Ayah memerintahkan, Karena saya memang dikuasai, oleh ibu dan ayah, saya hanya menurut."

3. Kemudian ayahnya berkata, pada I Mladprana, "Ya Nak sekarang sila- kan, seperti rencana yang sudah-sudah, pokoknya Bapak menyerah- kan."I Mladprana berkata, "Ya Bapak saya menerima."

4. I Mladprana berkata lagi, pada para sahabatnya, serta semua penduduk desa, semua yang ada di sana, yang baru habis berperang, kata-katanya halus, "Saudara-saudara semuanya.

5. Ke sanalah sekarang, lucuti semua senjata musuh, pedang sabit serta tumbak, kalau mengenai I Rudita, ambil semua pakaiannya, supaya dia telanjang, tanpa senjata tanpa pakaian."

6. Orang-orang desa menuruti, senjata musuh direbut, I Rudita ditelan- jangi, setelah pakaiannya direbut, dia tidak merasa karena lelap tertidur, keluarganya juga tertidur nyenyak, tidak sadar pada diri.

7. Diceritakan semua orang desa, warga I Mladprana, pada sibuk meram- pas, selesai merampas kemudian pulang, semuanya merasa senang,

mengantarkan I Mladprana pulang, ke Purbawyadnyana. [ 42 ]

39

8. Semalam menginap di sana, semua memuji I Mladprana, tidak diceritakan di sana, dikatakan kelompok I Rudita, sekarang semua bangun, segera akan melawan, semua senjatanya hilang.

9. I Rudita bangun bingung, sambil menutup alat kelaminnya, sambil meraba-raba Ni Warsiki, "Duh Ratu ke mana menghilang, mengapa rela meninggalkan saya." Bingung meraba-raba, baru merasa ditelanjangi.

10. Kala itu lalu ia menangis, baru terasa ditelanjangi, senjatanya semua hilang, kemudian menangis terbata-bata, orang-orang tertawa, namanya orang kasih sayang, kemudian ia mendekatinya.

11. "Pulanglah Nak, perjalanan kita sial sekali, ulangilah di rumah pikirkan." I Rudita tidak menolak, kemudian semuanya kembali, tidak diceritakan dalam perjalanan, perundingan diadakan di rumahnya.


XXV. PUH DEMUNG


1. Konon I Rudita mempunyai saudara sepupu, namanya I Dustakara, sangat sayang lalu berkata, "Marilah mencari bantuan, Kakak punya sahabat karib, sudah terkenal kesaktiannya, menjalani ilmu hitam, dia dapat membunuh, tetapi tempatnya jauh, menetap di hutan.

2. Hutan Sura-dwipa yang lebat berbahaya, ia sakti sekali, dan punya murid tujuh orang, semuanya muda-muda, yang pertama bernama I Panca-Puspa, saktinya dapat dipercayai dan cantik, dan Nila Paksa, Swetagana Mreta Wati, Rakta Kuja Sungsang-Jenar, serta Sugandi namanya.

3. Mari ke sana menghamba, supaya terbalas dendammu, kalau ia rela membantu jelas hancur, seluruh Purbawyadnyana, I Mladprana jelas mati, istrinya kita tangkap, Kakak yang lebih besar, kamu mengambil yang lebih kecil." Selesai berkata demikian, I Rudita menjawab.

4. "Pokoknya saya menurut." Maka segera berangkat, berjalan malam itu juta, karena keinginannya sudah bulat, mereka berjalan siang malam, tiga hari lamanya, konon kini sudah sampai, di Sura-dwipa, I Padukuan kemudian, menyapa, ”Nak Dustakara datang, naiklah kamu duduk.”

5. Mereka berdua naik dan ditanyai, "Apa yang diperlukan maka tiba-tiba datang." I Rudita berkata, "Kedatangan saya ke sini karena, saya menyerahkan diri, supaya Ibu rela memungut, orang neraka, sengsara sekali, gila tidak menentu kerja, lahir miskin tidak berguna.

6. Penderitaan ini sangat menyakitkan, sanak keluarga dipakai musuh, di[ 43 ]

40


benci oleh ayah, Ibu meninggalkan mati, kalau ada merasa kasihan, ba- nyak mendatangkan hambatan, karenanya jadilah perasaan dendam, dendam itulah menyebabkan sekarang, dicela teman dan diejek, karena miskin lagi pula yatim piatu.

7. Karena itu sekarang saya memohon kepada Ibu, durhaka datang memo- hon, supaya rela memungut." Kemudian Ni Dukuh menjawab, "Bagai- mana sebabnya sakit hati.” Kemudian I Rudita menceritakan kejadian yang sudah terjadi, setelah semuanya diketahui, oleh Ni Ajnyana-Wisesa ia merasa kasihan sekali.

8. Dan berkata, " Ya Nak, jangan terlalu sedih, Ibu membalas supaya mati, I Mladprana itu, beserta semua sanak keluarganya, serta semua orang Purbawyadnyana, supaya hancur lebur, Ni Jangga Ketaki, dan Ni Alit Warsiki, bisa anak memperolehnya, lagi tiga puluh lima hari."

9. I Rudita menjawab, "Saya mohon, lebih baik cepatlah berangkat." Ni Dukuh menjawab, "Malam ini juga berangkat." Kemudian Ni Dukuh berkata, pada Ni Mretawati, dan Panca Puspa, "Ke sanalah kamu be- rangkat sekarang, membunuh, Mladprana, di Purbawyadnyana.”

10. Kedua siswi menurut dan berangkat, setelah mereka bersiap-siap lang- sung terbang, berjalan di angkasa, tidak diceritakan dalam perjalanan, diceritakan sampai di Purbawyadnyana, di rumah I Mladprana, sekarang I Mladprana dilihat, berjalan-jalan di halaman rumah, ganteng sekali.

11. Keduanya kagum dan terpesona melihat, maka jatuh cinta, amat ber- nafsu, tidak dapat menahannya, kini berbalik dicelakakan, dibencanai oleh rasa cinta, kemudian berubah wujud, kembali seperti semula, serta turun mendekat, I Mladprana menyapa halus,

12. "Ya dari mana kau datang malam hari, katakan dulu kau dari mana, apa maksudnya datang, lagi pula datang diam-diam digelap malam, lagi pula kamu masih muda remaja, dua-duanya cantik menarik.” Yang di- tanyai menjawab, "Saya sengaja datang ke sini, berkeinginan untuk menghamba, meladeni seumur hidup.

13. Relakanlah hatimu dan andaikan, kencing di dalam lubang berjamur, menolong tahanan yang terikat, pakai tukang pijit kaki, mengipasi di kala gelisah, walaupun menjadi pengganjal, serta membantali dengan ta- ngan, menyelimuti dengan badan di kala dingin, tukang sembur di wak- tu sakit, yang penting dapat berdampingan.

14. Kalau Tuan sudah sudi pada saya, sekehendakmu saya turuti, ini ingin makan minum, saya bersedia meladeni, walaupun ingin melancong, naik di atas embun, walaupun di bawah tanah, saya bersedia mengiringi, ter-

pesona di lautan, atau di puncak gunung. [ 44 ]

41

15. Hanya relalah mengobati sakit hati saya, cepat mengobati dengan itu, Tuan sucikan supaya berhenti sekarang merana, yang tidak sakit itu te- tapi merana, menyusup sampai ke hati, menyebabkan hati gelisah, kata- katanya memelas, seperti burung cataka, pada musim panas.

16. Haus tidak bisa. ditahan sakit hatinya, hati bingung terpana asmara, membingungkan yang sudah bisa ditemui, dijumpai tak dapat diraba, jadilah saya hanya puas melihat, melihat Tuan yang tidak mau berkata, apalagi akan mencumbu, mencumbu saya yang tidak punya rasa malu, berani datang ke sini mendekat.

17. Sengaja memohon bekal mati, tak menentu, membatalkan untuk meng- goda, menggoda Tuan, memeluk wanita dua orang, wanita dua-duanya utama, kamu warisi dengan merebut, merebut dengan cara berkelahi, merebut dengan mempertaruhkan nyawa, nyawanya ditukar dengan mudah, seperti gampang mencari nyawa.

18. Gagang keris pemberianmu terlalu tajam, mudah memadukan wanita, memadukan itu berduri merusak, kalau salah seorang kekurangan, bi- ngung kamu memikirkan, memikirkan supaya mendapat bagian yang sama rata, membagi supaya seimbang, membagi kasih yang seluas laut- an, berair dengan nasihat utama, diberi ombak dengan cinta kasih."

XXVI. PUH GINADA

1. Begitulah kata-kata Pancapuspa, I Mladprana tidak menjawab, Jangga Ketaki mendengar, pembicaraan masalah bermadu, kemudian Ni Jangga Ketaki keluar, duduk mendekat, memperhatikan dengan jelas dan ber- kata.

2 "Cantiknya sedang remaja, lancang berbicara kemari. Sekarang saya menceritakan, bahwa saya bukan berhati bermadu, saya ingin berteman, di sini menjunjung, pada I Mladprana.

3. Berdoa supaya muda remaja, panjang umur hidup makmur, keluarga te- tangga supaya senang, bersuami supaya saling cinta kasih, teguh setia pada suami, terutama berbakti pada Tuhan.

4. Tidak begitu seperti kamu, lancang memfitnah, bernafsu dan jahat tidak tahu malu, amat bernafsu dengan birahi, genitnya seperti kutu ayam, tidak bisa kamu menahan nafsu.

5. Keinginan seperti kurang belibis, seketika merayu lakilaki, berjalan sembunyi malam hari, jalan begini sekarang ditemui, seperti terpukul

hati malu, pikiran sakit, pendeknya yang diinginkan tidak diperoleh. [ 45 ]

42


6. Mendapat sakit hati bercampur marah, tidak jadi mendapat orang laki- laki, walaupun menggiurkan, tetapi menghanyutkan, akhirnya malu mendapat kemarahan, sengaja membuat permusuhan, didiamkan, seka- rang kikuk rasanya melihat.

7. Tidak berhasil untuk menanamkan, tidak tahu malu menusuk mata, lebih kering dari urat-urat mata putus, membatu tidak berkedip, meng- garuk-garuk, melirik seperti galak.

8. Karena ingin mendapat kutukan, sekarang kau kukutuk, mencari hidup mendapat malu, sengaja untuk merebut, memaksakan kehendak supaya dikasihi, yang menikah, direbut supaya malu.

9. Malu karena tidak berhasil, menghadang menemukan kesalahan, menye- babkan berkeringat karena salah mengerti, dikira bermadu itu berduri, bermadu itu manis diisi cinta kasih, memanaskan, membakar memerah- kan muka.

10. Merah karena busuk di dalam perut, itulah yang menjalar keluar, karena tergesa-gesa tindak, disentuhlah hati yang luka, sekarang apa dipakai mengobati, kalau diobati dengan jamu, payah jelas kekalahannya."

12. Begitulah kata-kata Ni Ketutu Oka, Ni Panca Puspa menjawab, "Duh kamu Jangga Ketaki, lancang juga berbicara, dengan maksud menghina mengeluarkan kata-kata, mengalir keluar disebabkan oleh pikirannya.

13. Sampai kurus jangkung, karena serakah menyebabkan sedih, karena cabul makanya direbut, sampai ke hutan menyusupi gunung, karena memilih orang yang menjadi rebutan, seperti geli, untuk menuruti hawa nafsu.

14. Nafsumu terlalu curang, curang menduakan laki-laki, setiap hari hatimu bercabang, suka berbohong, berbohong pada pacar, ke sini berbakti, berbakti pada I Mladprana.

15. I Mladprana akan menemukan neraka, kelaminnya akan digergaji, alat kelaminmu akan dibakar dengan besi merah, karena dosamu terlalu cabul, takutlah kebahagiaan itu datang, kalau hidup, selamanya akan menderita,

16. Sangat khawatir akan bahaya, mengira diri paling pintar, serta sakti tidak ada yang menyamai, kalau sekarant didatangi musuh, tidak tahu berganti rupa, memang benar sakti, menjalankan ilmu hitam.

17. Saya sahabat I Rudita, utusan Dukuh Sakti, untuk membunuh I Mlad- prana, kamu supaya dipersembahkan hidup-hidup, kembali menjunjung

I Rudita, serta Ni Warsiki, menghamba pada I Rudita. [ 46 ]

43


17. Saat itu baru ia merasa, merasakan karena pernah menghinanya, sama- sama merasakan malu, sengaja meninggalkan kemudian takluk, air mata- nya hampir keluar ditambah dengan rasa malu, berbalik menjadi perum- pamaan."

XXVII. PUH GINANTI

1. Ni Warsiki menjawab, "Kamu Panca Puspa yang sakti, membela I Rudi- ta, ingin mempersembahkan saya, menghamba pada I Rudita, itu berha- sil karena saya dirasakan goyah,

2. Kurang berbakti karena kurang nasihat, kurang pengetahuan tidak per- nah mengenal Tuhan, tidak punya rasa malu, tidak tahu perasaan setia, tetapi hanya satu yang ada, ingin tidak menduakan laki-laki.

3. Apalagi sekarang sudah pasti, pasti berada di sini, dulu waktu masih pa- caran, lama saya ditinggalkan, I Rudita memakai guna-guna, dan meng- abdi tidak saya terima.

4. Itulah supaya kamu tahu, pada kesetiaan hati untuk menghamba, wa- laupun kamu berhasil, membunuh I Mladprana dengan nesti, membu- nuh dengan sombong, lebih baik saya mati sebagai tanda setia.

5. Karena ingat pada rasa setia, memang ingin bersatu, apa pun terjadi akan kuhadapi, baik buruk supaya di sini, walaupun tidak mendapat ke- relaan, sengaja tidak akan berhenti berbakti.

6. Itu semua benar-benar dengan hati tulus, pikirkan hal itu baik-baik, me-
nolong I Rudita, selidiki tingkah lakunya, bagaikan guru dengan murid- nya, supaya jangan salah memberi pertolongan.

7. Supaya jangan seperti I Burung Belatuk, menolong harimau sulit, se- perti prabu Narantaka, dengan Dusasana Sakuni, bagaikan kera dengan harimau, sengaja untuk membunuh Si kambing."

8. Mreta-wati menyela berkata, "Sebabnya mau menolong, karena per- buatan baik itu, menolong orang mengabdikan diri, seperti Samba-wati, menolong Mahamuni.

9. Kamu tidak suka menolong, karena marah sekali, tidak punya rasa ka- sihan, yang sengsara tambah diberi malu, kalau semua begitu, yang sakit lagi dipukul.

10. Yang jelek tidak mempunyai tempat, semua orang membenci, ia akan. bersikap sewenang-wenang, tidak masih punya rasa malu dan takut,

malu dan marahnya berakar, jadilah mabuk mencari pertolongan. [ 47 ]

44

11. Karena terlalu Jama merasa kesedihan, sampai menemukan sahabat sak- ti, waktunya ia mendapat kebahagiaan, karena I Mladprana dengki, I Mladprana menjadi sasaran, kalau sekarang tidak mau berbuat baik.

12. Kalau baik mau mengalah, sekarang menghadap pada I Rudita, kembali- kan Ni Jangga Ketaki, sebagai penebus jiwa, pada Ki Dukuh memohon, mungkin masih bisa hidup.

13. Kalau tidak berbakti jelas hancur, sangat sukar bila masih hidup, ke mana pergi untuk memohon, walaupun pada Wiku yang sakti, Ni Du- kuh tidak keberatan, karena memegang kesaktian yang utama.

14. Selalu berhasil apa yang diinginkan, mematikan walaupun membunuh yang tidak bersalah, kalau dipaksa melawan, bagaikan mengeringkan lautan, meratakan gunung Himawan, bagaikan anai-anai.

15. Pasti akan terbakar, sakit karena tidak dipelihara secara wajar, seperti patih Suwanda, seperti Kumbakarna pada jaman dahulu, mati menemu- kan kesengsaraan, karena itu lebih baik sekarang menyerah."

16. I Mladprana menyela berkata, "Pancapuspa Mretawati, menyuruh saya menyerah, tidak membatasi mengeluarkan kata-kata, tidak punya atur- an berkata-kata, tidak mungkin mengikutinya.

17. Karena kamu seperti babi betina, yang jelek disenangi, Ni Dukuh dan I Rudita, hatinya kotor sekali, seperti kumbang selalu menginginkan bunga.

18. Sulit untuk menjadi perdamaian, semasih hidup lebih baik kamu kem- bali, katakan kepada Ni Dukuh Sakti, serta pada I Rudita supaya sedia- sedia untuk melawan.

XXVIII. PUH DANGDANG

1. Saya benar-benar tidak takut pada orang sakti berjiwa jahat, tingkah lakumu jelas disalahkan oleh Tuhan, delapan kecurangan namanya itu, sekarang saya menasihati, yang bernama delapan kecurangan itu, Ingsaka kalau membunuh orang tidak bersalah, codekah karena disuruh membunuh orang tidak punya kesalahan, bojekah melukai orang tidak bersalah.

2. Serta boktah kalau makan minum dengan kecurangan, sacarakah turut serta ikut dengan sekawanan pencuri, yang bernama pritikah, bersaha-

bat dengan pencuri, astanadah memberi tempat. tritah kalau menolong, [ 48 ]

45


setiap orang yang jahat, dan lagi, yang bernama sadtatayi baik-baiklah mendengarkan.

3. Angrowana angleyak meluh manesti naranjana, astrobyatakara, menga- muk orang tidak bersalah, wisiadah meracun orang, acewah melakukan kawin paksa, agnidah membakar rumah, ngraja-pisuna itu suka memfit- nah orang lain, itu semua, pelaksanaan salah, Sang Hyang Gama yang akan menghukumnya.”

4. Pancapuspa dan Mretawati menyela berkata, "Kamu jangan durhaka, saya kasihan padamu, supaya kamu panjang umur, serahkanlah Jangga Ketaki, sekarang akan saya bawa pulang, saya mempersembahkan pem- belinya, manik emas mirah, sekehendakmu, saya memberikan, supaya semua menjadi muda remaja.”

5. I Mladprana menjawab sambil tersenyum, "Tidak ingin, dipakai barang dagangan, mencari istri untuk dicintai, sengaja sampai mempertaruhkan nyawa, kalau memang penting hendak membeli, belilah dengan sepuluh kepala manusia, tujuh kepala murid, delapan kepala I Rudita, kesembi- lan kepala Ni Dukuh Sakti, kesepuluh kepala Dustaka.

6. tidak itu dipakai membeli sulit untuk didapati, walaupun diganti dengan dua orang, dua orang lancang-lancang bicara, muda remaja se- perti ini, ditambah emas perak mirah, tidak sudi untuk menukarnya, mengganti manik dengan timah, kalau diumpamakan, bulan bintang matahari, diganti dengan kunang-kunang.

7. Walaupun cahayanya bersinar kekuning-kuningan berkelip, gunanya hanyalah satu, membuat takut di malam hari, diri menjadi tidak berte- naga, berbahaya kalau itu dikasih, tidak lain hanya meracuni diri, seper- ti Sang Watakwaca, ditipu oleh Hyang Indra, jadi mati, karena terlalu takus kena kata-kata manis, Supraba Arjuna yang diutus.

8. Nah begitulah kalau kamu di sini dan lebih baik kembali, jangan menye- rahkan diri, sering mencari abu, karena itu kamu datang dengan bersem- bunyi. bermaksud untuk menjilat, suka meminta-minta, jelas akan me- nemukan kesukaran, karena hatimu terlalu marah, bagaikan ikan, me- makan umpan berisi kail, seperti burung kena pikat.”

9. lalu menjawab dengan kasar, "Malu rasanya kembali, kalau tidak luka sedikit pun, karena kamu terlalu sombong, menyinggung pe- rasaan dan marah, perasaan panas itu ditinggalkan, ngelarin jajah papu- suh, berani karena takut terjemur, karena memang boleh disiksa supaya sakit, mati perlahan-lahan."

10. I Mladprana menyela menjawab dan berkata, ”Ya silahkan, perlihatkan [ 49 ]

46

kesaktianmu di sini, habiskan memakainya, panugrahan yang utama." Mretawati Pancapuspa, memusatkan pikiran tanpa menjawab, selesai memusatkan pikiran meloncat dan menghilang, tidak terlihat, masuk ke bawah tanah, Mretawati terbang ke angkasa.

11. Tidak diceritakan Mretawati Pancapuspa sekarang diceritakan I Mlad- prana berkata pada kedua istrinya, "Sekarang Kakak mohon diri, untuk membunuh Ni Dukuh Sakti, I Rudita dan Dustaka, serta tujuh orang muridnya, supaya tidak ada menghalangi pernikahan, adik-adik dengan Kakak, habiskan musuh terlebih dahulu.

12. Tidak lama membunuh musuh sepuluh orang walaupun mereka sakti, lamanya lima hari, Kakak segera mencari Adik, janganlah waswas dalam hati, ini pegang cincin Kakak, dari sanalah Adik melihat, kalau kelihat- an tanpa kepala, jelas Kakak sudah mati, kalau kelihatan membawa bu- nga dan burung, itu ciri musuhnya kalah."

13. Ketut Oka dan Warsiki menjawab, "Ya berangkatlah, mudah-mudahan berhasil, musuh dapat dikalahkan, kalau tidak rela Sang Hyang Tuduh, kalau Kakak kalah, janganlah melupakan, carilah saya ajak mati, supaya menjadi satu kuburan, sebagai tanda setia, supaya bersama-sama hidup mati, walaupun surga atau neraka.”

XXIX. PUH GINADA

1. Ada ayah dari sepupunya, dari Ni Alit Warsiki, namanya Waksarusa yang lebih kecilan bernama Kawitweruh, menyela mendekati I Mlad- prana, kemudian berkata, "Ayah mengikuti Nak."

2. Kemudian mereka berangkat, bertiga berangkat, tidak diceritakan per- jalanannya sudah jauh, diceritakan Ni Mretawati, sudah berubah wujud berupa burung, besar sekali.

3. Mulutnya tajam seperti tombak, jambul lebat rambut kejur, matanya merah padam, ekornya seperti umbul-umbul, sayap lebar runcing dan tajam, sekarang turun, bermaksud membunuh I Mladprana.

4. Baru mendekat turun, I Mladprana sudah mengetahui, kemudian ia menghunus pedang, burung menyergap, ingin memekik, kepalanya di- penggal hingga putus, Mretawati, darahnya muncrat langsung mati.

5. Tidak diceritakan yang sudah mati, sekarang dikatakan Pancapuspa, me- ngetahui adiknya mati, ia sedih sekali dan bersiap-siap, memusatkan pi-

kiran berkaki satu, selesai mamusti, sekarang sudah berubah wujud. [ 50 ]

47


Besarnya dua pelukan, gundul dan agak berkilat, kumis jenggot kales le- bat, dada dan punggung berbulu, rimbunnya seperti hutan, gigi putih, taring menyambar dan panjang.

7. Penglihatannya bagaikan kaca mata, hitam melotot dan menyala, bagai- kan kaca terpantul sinar, kakinya seperti angrek gringsing, badan dan tangannya berbeda warna, perut gendut, pusar bercahaya warna lima.

8. Menyebabkan tanah retak, kemudian muncul dan keluar, di depan I Mladprana, I Mladprana terkejut, Wakpurusa rebah terlentang, ter- guling, I Kawitweruh terkejut menjerit.

9. I Mladprana memusatkan pikiran, Sang Hyang Haji Wisnu Murti, memusatkan pikiran untuk mempertemukan, ujung lidah dengan ujung hidung, mangregep mangranasika, mantra sandi, Pancapuspa kalah.

10. Payah tidak kuasa melawan, bersimpuh kemudian berbakti, "Ya Tuan Mladprana janganlah jadi marah, saya mohon maaf, mohon hidup, bersedia menghamba untuk diperintah.

11. Jadikanlah saya pelopor, memerangi Ni Dukuh Sakti, I Rudita dan Dustaka, supaya mati tanpa luka, kena upas gering mendadak, tiwang angin, berdarah membesar di perut."

12. Begitulah kata-kata Pancapuspa, I Mladprana diam berpikir, Wakpurusa bangun mendekat, dengan. Kawitweruh, mendekati Ni Pancapuspa, mengambil dagu kemudian kepala dan berkata.

13. "Sekarang kamu sudah merasa, dosa membela orang salah, lancang berkata dengan mulut lebar, dagu longgar terlalu cerewet, selalu berhati curang, bagaikan benda kecil dibungkus besar, kelihatannya besar tetapi isinya sedikit.

14. Kurang sakti sudah sombong, bahaya kesulitan ditemukan, apalagi kamu manusia, Ida Sang Hyang Brahma Wisnu, sabar juga menemukan kemalangan, apalagi kamu, manusia terlalu curang.

15. Kecurangan dilawan pohon-pohonan, perempuan wajar dikalahkan laki-laki, kesaktian dikalahkan dengan kebenaran, ilmu hitam dikalahkan dengan ilmu putih, ketiganya sudah kalah, siang malam, benar-benar yang sakti kalah.

16. Pantas jiwa dipakai membayar, keris Bapak lawan, Wakpurusa meraba-raba, sengaja akan memenggal, mengambil rambut menghunus pedang, dan menuding, I Mladprana datang menyela. [ 51 ]

48

XXX. PUH DEMUNG


1. "Janganlah Ayah cepat marah membunuh orang sudah menyerah, sa- ngat berbahaya kebenaran akan hilang, saya memperingatkan, menyam- paikan cerita yang dahulu, seperti Sang Sutasoma, beliau menjalankan darma, ikhlas kepada orang yang memohon kehidupan, akhirnya ber- kuasa di dunia, perbuatan itu perlu ditiru."

2. Wakpurusa mundur menyirnpan pedang, sekarang berpikir yang benar. I Mladprana berkata , dengan wajah manis serta tersenyum, "Oh kamu Pancapuspa, bersedia akan menjadi pucuk pimpinan, membunuh I Ru- dita, bagaimana caramu, nah ceritakan kepada Kakak sekedarnya, supa- ya jangan terlalu mengharap. "

3. Ni Pancapuspa menjawab, "Ya dengarkanlah, cara yang pertama mengalahkan musuh, dewanya dulu dikalahkan, Hyang Tiga Siwa di hat, lepaskan supaya pergi, pada hati si musuh, tiga Sada Siwa pada empedu, Sang Hyang Tiga Prama Siwa, pada ubun-ubun diusir dulu.

4. Tariklah dulu tenaga dari dalam telinga, Hyang Pramana dari hidung, Hyang Panon dari mata, papupulannya kenai ilmu hitam, itu ada di dalam hati, lepaskan bayu sabda idep, dari Siwa dwara, ambil juga Sang Hyang Atma, hancurkan penunggu atma-nya, supaya langsung mati."

5. Baru diceritai yang demikian I Mladprana, kemudian menjawab, "Ka- kak yakin Luh, tetapi ada yang tidak cocok, tidak bisa dilebur, juga ba-nyak orang mempelajari, bila mana menyenangkan, dan penyuciannya."

6. Ni Pancapuspa menjawab, " Ada sekali, penyuciannya itu, seperti kese-nangan pergi, malam harinya tidak sedikit, melancong ke tengah lautan, serta ke puncak gunung, lengkap dengan para anggota, memuaskan hawa nafsu, lagi pula kesusahan berjalan, juga menyebabkan kesenangan hati.

7. Itulah sebabnya tidak takut dengan kata-kata tidak baik, pengisap can-du pakai contoh, sudah dikatakan jelek juga dipelajari, karena menuruti hawa nafsu, tidak memikirkan akibatnya, kalau mengacau, mencuri me- maksa, kepunyaan dewa juga diambill, jelas ia akan mendapat neraka, masuk ke dasar neraka.

8. Karena jahat nesti mencuri patut mendapat neraka, ya ka- lau seperti Kakak, menjadi dukun penolong, kalau saya membawa ilmu, mengakibatkan mati separuh, seperti Brahmanawiku, memberikan hari baik, kalau salah, mengarahkan, mempertemukan tanggal dengan bulannya, dua-duanya menemukan kesulitan. [ 52 ]49

9. Itulah sebabnya tidak takut akan kata-kata tidak baik, pengisap candu pakai contoh, sudah dikatakan jelek juga dipelajari, karena menuruti hawa nafsu, tidak memikirkan akibatnya, kalau ketagihan mengacau, mencuri memaksa, kepunyaan dewa juga diambil, jelas ia akan mendapat neraka, masuk ke dasar neraka.

10. Ya, kalau seperti Kakak menjadi dukun, di hati siapkan dulu, tingkah dukun laksanakan, saudara yang empat itu sayangi, sastra dasaksara, supaya benar-benar dipahami, memasukkan dan mengeluarkan, dasari dengan kebaikan, dan aji dipa mala, sarinya ampel gading jalankan.

11. Ada satu lagi yang patut diketahui, supaya Kakak tahu, itu Arjuna Sancaya, Bimasrani Pudasrani, serta Aswadharmasiwa, pada tenaga supaya diketahui, menebak ada penyakit, dikenai pemali, walaupun disakiti oleh leluhur, supaya jangan ngawur.

12. Mengira-ngirakan panas dan dingin yang sederhana, serta tempatnya, begitu pula memasukkan ilmu tenung, pakai menghitung dan menutupi, setelah semua itu diketahui, perlu juga mengetahui, apa sebabnya orang tidur bisa bermimpi, kemudian sadar siapa yang membangunkan, di tempat bagian dalam sang bijaksana.

13. Lagi pula siapa yang berada di mata, pada mulut dan hidung, di ujung lidahmu, pada ubun-ubun dan telinga, pada kulit siapa di sana, kalau tidak dapat mengatahui itu masih disusupi, oleh Pancendria, sadripu masih menguasai, itulah yang patut dikalahkan dulu.

14. Kalau itu masih berkuasa jelas akan goyah, itu kalahkan dulu, kalau i sadripu telah kalah, i saqguna bisa masuk, kalau i pancendria telah kalah, panca gagunan menang, akhirnya melaksanakan darma, resapkan dan hapalkan kuntisraya, dan sari dari astaka, bila semua sudah dilaksanakan.

15. Kemudian setiap hari memohon kepada Tuhan, di Prajapati paling dulu, kalau di sana sudah berhasil, lagi memohon di Kayangan, kalau sudah mendapat anugrah, selesai mendapat ajaran, baru bernarna dukun, kalau tidak ada yang menganugrahi, hanya memakai mantra obat-obatan, semua itu hanya sekedar iseng.

16. Sesajen semua hancur, sembah rusak, pametus diambil, Usada semua tidak berguna, pamugpug menjadi pipih, panawut bisa menurut, tatulak kembali, pangasih kesedihan, pematuh patah dan kering, penawur kalah untuk membayarnya." [ 53 ]50

XXXI. PUH DANGDANG


1. Begitulah nasihat Ni Pancapuspa dan tidak diceritakan, diceritakan Ni Dukuh, mengetahui muridnya mati, Pancapuspa kalah menyerah, karenanya ia memanggil, "Kamu murid semua, berangkatlah sekarang, pakailah semua kesaktianmu, nah bunuhlah, I Mladprana rebut, dan Pancapuspa juga."

2. Semua siswa galak menurut sekali, semua menepuk dada kata-katanya atas-mengatasi, "Sekarang saya mohon pamit, untuk membalas supaya mati, I Mladprana Pancapuspa, karena ia dosa menyerah, I Mladprana salahnya durhaka, karena itu wajar, semua keluarganya mati, semua orang Purbawyadnyana."

3. Kemudian Ni Dukuh menjawab, "Nah berangkatlah dan ingat sekali, kalau I Mladprana sudah mati, kemudian kamu langsung ke sana, ke Purbawyadnyana, semua keluarga I Mladprana, supaya semua hancur, pasangi gering mendadak, taranjana." Semua murid berkata menurut, kemudian mereka berangkat.

4. Selesai bersiap-siap semua berangkat meloncat ke angkasa, Raktakuja, menyala merah padam, Sungsangjenar menyala kuning, Swetagana putih bersih, nyalanya muncrat, Ni Sugandi menyala bermacam-macam, baunya harum mewangi, Nilapaksa bersinar hi tam pekat, bagaikan jantera, sangat berkilauan sehingga meresahkan hati, tingkah laku kelima murid itu.

5. Tidak diceritakan tingkah lakunya cepat sudah sampai, di Janggalatresna, I Mladprana ditemukan, dan Pancapuspa berdekatan, kelima murid itu marah, Nilapaksa berkata pelan, "Kamu Sugandi memimpin, bersama Ni Raktakuja, sebagai senapati, Kakak menunggu di mendung itu, larilah bila merasa kalah ."

6. Raktakuja Ni Sugandi menurut galak sekali, tidak mernikirkan bahaya, sengaja turun untuk berubah wujud, baru bersiap-siap tiba-tiba bingung, terpesona bagaikan diterpa, bermaksud untuk menyembunyikan, tetapi bertambah terpesona, obati hati yang gersang, bagaikan ditombak, sakit hati pusing bagaikan mati, dan ilmunya punah menjadi manusia biasa kembali.

7. Kemudian mendekati I Mladprana lalu disembah. kakinya dipeluk, diusap-usap dengan rambutnya, sebagai tanda sudah kalah menyerah, serta berbakti diiringi tangis, "Ya Tuan Mladprana, bersihkan saya." Mladprana bertanya, "Anda dari mana, apa maksudnya datang." [ 54 ]51

8. Raktakuja Sugandi menjawab, "Ya, saya dari Suradwipa, utusan Dukuh yang sakti, supaya membunuh Tuan, saya benci ingin nesti Tuan, sebelum saya melihat Tuan, saya galak dan bersedia, setelah saya melihat Tuan, hati saya berbalik, menjadi bingung karena asmara, sudah berkeinginan untuk menghamba.

9. Tak sadar diri kena gerak kening Tuan, bagaikan panah, oleh tajamnya kening Tuan, melukai dan melekat di hati, gelap mata hingga bingung, bagaikan kena kilat, terkena lirikan mata Tuan, keinginan saya bagaikan dicabut, pandangan Tuan tajam, menyebabkan, menggiurkan sehingga ingin mencicipi, bibir manis memerah.

10. Begitulah keinginan saya benar-benar kepada Tuan, janganlah Tuan menyangka, saya menggoda, karena memang berdasarkan kehendak hati, kemauan yang tidak bisa ditahan, ditahan semakin menjadi-jadi, berkeinginan bertemu dengan Tuan, Tuan yang saya cintai, janganlah menolak walaupun tidak ada keinginan, paksalah sekali saja.

11. Berhentilah merenggut berwajah masam, hati saya bingung, saya terlalu berani memohon, memohon supaya dipenuhi, terimalah dan berilah, mau dengan saya orang yang bermuka tebal, tidak malu datang ke sini mendesak, mendesak supaya rela, menerima, saya orang miskin, tidak berharga tanpa budi pekerti.

12. Memburu Tuan ke sini tanpa perhitungan, karena sakit hati, sengaja bermaksud meladeni, menyerah kalau memang diterima, Tuan terimalah bakti saya, saya sanggup pada Tuan, apa yang Tuan perintahkan, saya tidak menolak, sengaja menentang, pada Ni Dukuh Sakti, perintahkanlah saya memimpin.

13. Lihatlah di sana kalau saya takut mempertaruhkan nyawa, penggallah leher saya, potong-potonglah saya disiap-siapkan untuk caru, sebagai tanda mengaku bakti, begitulah kata-kata saya, kalau saya ingkar pada kata-kata, supaya disalahkan Tuhan nanti, walaupun ratusan ribu kali menjelma, supaya Tuan memperhamba."

14.Begitulah kata-katanya menyembah dan ditanggapi, oleh I Mladprana, "Kakak menerimna kerelaanmu, tetapi jangan menipu, dengan cara diam-diam, hati-hati kalau menipu sahabat, seperti Sang Hyang Indra, menipu Sang Detia di Wreta, nerakalah ditemukan, menyebabkan menderita seribu tahun, karena terkena brahmatia.

15. Ada lagi cerita pada Tantri I Kedis Baka, menipu sahabat, mendapat bahaya sampai mati, kamu supaya jangan demikian, karena itu Kakak mengingatkan, karena banyak menyebabkan mabuk, karena remaja [ 55 ]52

cantik terpercaya, kaya sakti keturunan utama, menyebabkan lincah, kalau belum dapat memikirkan, semua itu akan menjadi musuh.

16. Yang cantik kalau terlalu banyak yang dimaui itu bernama mabuk, merasa dengan wajah cantik, bagaikan pakaian kalau dipakai setiap hari, dikira tidak bisa usang, karena merasa dengan diri pintar, tidak menghiraukan apa-apa, tingkah lakunya tidak baik, tidak menghiraukan nasihat orang tua, karena merasa diri pin tar, selalu menemukan kesulitan."

XXXII. PUH ADRI

1. Selesai I Mladprana menasihati, diceritakan Nilapaksa, bertiga sudah tahu, bahwa Ni Raktakuja sudah menyerah, dan Sugandi sudah takluk, Swetagana merasa marah, Sungsangjenar marah sekali, Niiapaksa berang, kemudian mereka bertiga turun.

2. Memasang sesirep, dan penawut jiwa, sesirep yang kuat hebat, Wakpa rusa Kawitweruh tidur rebah, Pancapuspa Raktakuja Sugani, lelap sekali tidurnya, I Mladprana ikut tertidur, serta terkena kebingunan.

3. Nilapaksa Sungsangjenar turun, dengan Swetagana, sengaja akan membunuh, mengeluarkan tongkatnya, di sana timbul pikirannya menyatu, dan I Mladprana dicium, tangannya dirabakan di susu , mengusap-usap wajah, bertambah terpesonalah hatinya.

4. Karena terpejam berkehendak, rasanya tergiur, keinginannya tidak bisa ditahan, "Menolehlah Tuan, lihatlah saya baru datang, datang menyerahkan diri, badan dingin tidak dipeluk, tutuplah peluk supaya jangan kelihatan, karena lama sekali menunggu."

5. Kemudian dikocok I Mladprana dibangunkan, bahunya diangkat, disundang kemudian dipangku, "Bangunlah Tuan yang bagus, berhentilah diam, kalau saya salah salahkanlah, jangan bermuka masam, membuang muka, perhatikanlah hati saya.

6. Hati ini hancur bagaikan direbus, panas bagaikan dibakar, terpanggang sampai kering, karena menahan perasaan cinta, cinta setinggi gunung, melihat Tuan makan sirih, walaupun menginang juga menyebabkan gila terpesona, diresapi cinta asmara, tidak bisa menahan perasaan.

7. Hati sudah bulat berani ke sini membuang diri, merendah untuk menyerah, merendah untuk disenangi, tidak mengharapkan untuk berkuasa, ataupun dengan cepat, sama sekali saya tidak bermaksud, asam mengalahkan madu, rumput-rumput mengalahkan tanaman, benalu mengalahkan pohonnya." [ 56 ]53


8. Begitulah kata-katanya memelas, disela oleh Wakparusa, mengigau kata-katanya tidak keruan, "Jambak rambutnya pukul kepalanya, supaya pecah menjadi tiga, sergap kakinya banting, pukul pinggangnya supaya patah," begitulah igauannya. Yang mendengar igauannya lari pontang-panting.

9. Menoleh kanan kiri nafasnya terengah-engah, berhenti mengumpulkan semangat, teguhkan hati yang goyah, goyah sengaja untuk memaksa, lanjutkan pusatkan, kemudian secara tiba-tiba mereka menghilang, setelah jauh mereka duduk, tetapi masih tertarik ingin kembali.

10. Hatinya diliputi oleh perasaan bingung, tidak menghitung di kemudian hari, kalau menuruti kesenangan sekarang, kemalangan yang ditemukan, menerima malu mencari hidung, yang ditemukan hanya malu, begitulah bulat hatinya, senang pada I Mladprana, kemudian dengan lesu mereka berubah wujud.

11. Sesirep I Mladprana dicabut, kemudian menyiapkan seluruh ilmu pengasih yang hebat, pamuter dan pangenduh, serta inti sari dari nematuh, dengan penangkeb jagat, selesai ketiganya berubah wujud, kemudian Sungsangjenar berkata, "Ayo kembali pulang.

12. Jangan menuruti hati yang bingung, ke sana merayu, seandainya tidak diterima, betapa perasaan malu yang didapat, cukup mendapat malu, sudah dua kali mendapat malu." Nilapaksa menurut, demikian pula Ni Swetagana, mereka kembali pulang.

13. Jalannya pelan halus, karena tidak ikhlas, setiap langkah menoleh, rasanya seperti I Mladprana mengikuti, menyebabkan hati resah. Jalannya ngawur, Nilapaksa tersandung, ia terkejut sambil berkata, "Aduh I Mladprana datang."

14. Swetagana kemudian menjawab , "Kamu Sungsangjenar, kalau sekarang jadi pulang, pasti akan mendapat celaka, mati tidak keruan karena sakit hati, ayo lebih baik kita lanjutkan. " Ni Sungsangjenar berpikir, "Saya setuju tidak menolak. " Kemudian turun kembali.

15. Diceritakan perjalanan mereka bertiga, sekarang diceritakan I Mladprana sudan bangun, bulan menyinari kuning langsat, bertambah berkilauan harum, kemudian ia berkata, "Oh kamu bertiga, dan Bapak berdua. semua tidur nyenyak."

16. Kemudian digoyang dibangunkan, mereka bangun berkedip-kedip, kemudian I Mladprana menoleh, dilihatnya di belakang, ada wanita baru datang, jalapnya lemah gemulai, bagaikan Surapsari, kemudian ia mendekat, mendekat menanyai. [ 57 ]54

17. "Anda yang cantik molek, putih mulus bersih, lemah lembut menggairahkan, berbadan semampai pandangan sebagai tunjung biru, mengalahkan penglihatan kijang, lemah gemulai mengalahkan daun hijau.

18. Apa yang diperlukan datang malam hari." Ketiganya menjawab, "Adapun kami datang ke sini, diutus untuk membunuh Tuan, oleh I Dukuh, tetapi saya tidak dapat membunuhnya, dihalangi oleh perasaan kasihan, apalagi akan membunuh, meninggalkan pulang saja tidak rela.

XXXIII. PUH SINOM

1. Dan sudah kami rasakan, kesalahan Tuan sedikit, kebenarannya banyak sekali, karena dikasihi Tuhan, sadu sidi sada dijunjung, segala jenis musuh menjadi hancur, musuh yang galak hancur, datang menambah sahabat, ke sini menyerah, seperti Pancapuspa.

2. Ia tidak mempunyai perasaan malu, tidak sedih saudaranya mati, serakah sengaja bersenang-senang, tidak berbakti kepada guru, merasa akan menemukan kebahagiaan, kalau dia Tuan terirna, jelas saya pikir ini menurut Tuan, umpamakan bagaikan si buta meraba gajah.

3. Karena berdasarkan dorongan, membunuh I Dukuh Sakti, sulit akan berhasil, kalau saya umpamakan Tuan, menghitung bintang di langit, menghancurkan batu segunung, meluruskan sungai dari ujungnya, memandang matahari menimbuni lautan, mengeringkan danau, menjangkau langit memikul gajah.

4. Karena itu sekarang lebih baik, Ni Dukuh pakai sahabat, biarkanlah saya memberitahukan, jelas Tuan diterirna, kalau Tuan sudah menurut, pada Jero Dukuh, I Rudita saya membunuh, janganlah Tuan mengikuti, jelas mati oleh kami bertiga.

5. Tuan menjadi puwana, tenang mengemban istri, tidak ada yang menggoda, musuh kalah istri bakti, saya berbakti dengan tulus hati, kalau sekarang Tuan menolak, jelas akan mati, memerangi Ni Dukuh Sakti, saktinya luar biasa, akhirnya Tuan mati.

6. Apa yang dapat saya lakukan, ingin mencintai Tuan, Tuan meninggalkan mati, iklas tidak mengingat istri, Ketut Oka dan Warsiki, setia bakti dengan tulus ikhlas, tidak kasihan kalau keduanya direbut olehnya, I Rudita yang memakai istri .

7. Kalau itu tidak diusahakan, karenanya sekarang resapkan." I Mladprana tidak berkata, membuang muka mengalihkan perhatian, I Pancapuspa menjawab. "Oh kalian bertiga, mengatakan menyenangi, di perguruan akan melawan, bodoh sekali, tidak tahu malu. [ 58 ]

55

8. Bukankah orang seperti kamu yang bijak, bisa malu bisa berbakti, tahu dengan tindakan benar, karenanya datang ke sini berpetuah, burung gagak lagi ditambah arang, burung cetaka diajar terbang, burung elang diajar melayang, lautan lagi digarami, laksana madu itu lagi ditambah gula.

9. Nah inilah sudah terlalu pandai, luas pemikirannya bagaikan laut, berpasir dengan kebenaran, berair dengan pemeliharaan, banyak memiliki sahabat, selalu menjalankan kebenaran, saktinya luar biasa, akalnya yang baik seperti busa ombak itu, merupakan pelaksanaan yang baik.

10. Itulah sebabnya jangan sekali, kamu ke sini berpura-pura bakti, di depan berpura-pura sayang, tetapi sebenarnya musuh yang sejati, membahayakan secara diam-diam, lebih baik bermusuhan, supaya jangan dikira me1anggar, kalau dibunuh rasanya ia bakti, kalau dikasihi, rasanya tidak urung membahayakan.

11. Karenanya sekarang lebih baik pikirkan, mau memihak ke mana, kalau memihak ke perguruan, lebih baik sekarang pulang." Ni Swetagana menjawab, "Di sinilah kamu menyerah, jelas kamu akan mati, dan I Mladprana juga mati, karena dia angkuh, merasa dirinya sakti."

12. Selesai berbicara mereka kembali, tidak diceritakan dalam perjalanan, sudah sampai di Suradwipa, menghadap pada Ni Dukuh Sakti, semua kejadian diceritakan, Ni Dukuh marah sekali, "Nah kalian bertiga, sekarang ikutilah ibu." dan berangkat, sesampai di Smasana.

13. Sudah lewat senja kala, ditambah gelap bulan, tidak terlihat apa-apa, tetapi timbunan tanah baru kelihatan, terlihat samar-samar, pada tempat yang rimbun tidak jelas kelihatan, mereka menuju ke tempat pembakaran mayat, di tengah kuburan sepi, kemudian sampai, Ni Dukuh kemudian bersiap-siap.

XXXIV. PUH GINADA

1. Bersimpuh sambil memusatkan pikiran, menyembah keliling dengan arah ke kiri, selesai menyembah berdiri dengan satu kaki, mamusti mangembus bayu, waktu sedang memusatkan pikiran gelap sekali menakutkan, cirinya sangat hebat.

2. Burung gagak berbunyi tidak putus-putus, juga terdengar suara tangis pelan, bergema besar dan kecil, anjingnya meraung-raung, kupu-katupuh dan swalak, berbunyi, burung bangau dan burung cegingan. [ 59 ]

56

3. Sekarang diceritakan sudah berubah wujud, berupa rangda tutul loreng, lebih besar daripada satu pelukan, tingginya dua kali jangkauan, rambutnya putih panjang, gigi berkilat ke depan serta panjang.

4. Lidahnya menjulur panjang, matanya merah menyala, badannya loreng menyala, setiap ruas mengeluarkan sinar, dari hidung mulut telinga, dari lubang lagi, nyalanya bermacam-macam.

6. Benar-benar menakutkan hati, bermandikan darah berikat perut besar, berhiaskan leher dengan paru-paru, bercadar jejaringan, berbunga hati, bergelang limpa.

6. Tertawa terbahak-bahak memegang pedang, pohon kepuh disandari, keluar sinar dari kedua hidungnya, putih bagaikan umbul-umbul, dari ubun-ubun keluar sinar berwarna lima, menerangi langit, dari matanya terpancar warna merah.

7. Lalu terbang ke angkasa, diiringi ketiga orang muridnya, Nilapaksa mengeluarkan sinar dua macam, hitam bagaikan payung, Swetagana Sungsangjenar, putih kuning, nyalanya bagaikan emas murni.

8. Tidak diceritakan mereka yang di angkasa, Ni Dukuh dan ketiga murinya, diceritakan Ni Pancapuspa, di tempat I Mladprana berkata, "Ya Tuan dengarkanlah dan pikirkan, kata-kata peringatan si hina.

9. Sekarang Tuan harus bersiap-siap, kalau teledor akan menemukan kesulitan, bermusuhan dengan Dukuh Sakti, karena saktinya luar biasa, mencabut jiwa tidak perlu dua kali, ia tahu, berubah wujud tujuh kali.

10. Juga muridnya yang tiga orang, sakti perkakasnya hebat, Sungsangjenar tangting emas, Ni Swetagana itu, sarinya pudak sategal, Nilapaksa, sarasijakusuma utu.

11. Itulah yang harus dipikirkan Tuan, bersedia-sedialah dengan baik, menandingi Ni Dukuh Sakti, apa yang akan dipakai melawan, jelaskan katakan dulu, supaya jangan salah, terkejut terlambat bergerak."

12. I Mladprana lalu menjawab, "Memang benar kata-katamu, tetapi sayang karena nista sekali, karena Kakak orang desa, hanya mengandalkan anugrah Tuhan, hanya satu, dengan menyucikan pikiran.

13. Karena Kakak mendengar cerita, kalau sakti bertingkah laku usil, katanya tidak bisa muda, seperti Raniakasipu, sakti mendapat anugrah, tidak mati dengan segala senjata.

14. Juga tidak mati oleh dewa, Raksasa manusia sakti, karena usilnya mengakibatkan mati, oleh bukan manusia, mengakibatkan mati, bukan oleh manusia atau dewa, tidak senjata raksasa, menyebabkan mati, tetapi oleh kukunya Hyang Narasinga. [ 60 ]57

15. Itu jelas sekali, yang jahat menganggu musuhnya Ida Sang Hyang Wenang, yang benar seharusnya kokoh, sayang pada kesucian dan dunia, itu yang benar-benar, dianugrahi oleh Tuhan.

16. Karena itu perlu belajar teguh pada pendirian, perangi dahulu musuh dalam diri kita, kalau musuh dalam diri kita sudah kalah, jelas musuh yang di luar akan tunduk, karena itu utamakanlah dulu itu, memikirkan pelajari siang malam.

17. Karena kita diberi mata, memang untuk melihat, tetapi tidak diberikan untuk memandangkan, lagi pula diberi mulut, untuk berbicara, ia tidak boleh berbunyi dan makan.

18. Diberi telinga untuk mendengar, tetapi tidak diberikan untuk mendengarkan, ada kaki untuk berjalan, tetapi tidak diperbolehkan pergi, diberi tangan untuk mengambil tetapi kalau bisa, tangan itu dipakai mengambil.

19. Pikirkan itu baik-baik, orang seperti kita, supaya jangan gelagapan, berani takut tidak karuan, karena tingkah laku seperti bibit, sebagai bukti, dari lahir sampai mati.


XXXV. PUH DEMUNGI

1. Perlu sekali berhati-hati menjadi manusia, jangan durhaka pada pendeta, seperti pada ayah ibu, jangan suka mencela, berbicara jangan kasar, serta cerewet dan memaki, sebagai suatu kesukaan, berbicara berbisik-bisik, iri dengki banyak pantangan menentang, iri pada orang miskin.

2. Jangan sekali membahayakan orang secara diam-diam, membuat orang sengsara, untuk memuaskan cinta kasih, jangan marah kalau dinasihati, jangan terlalu mudah percaya, pikirkan dahulu, jangan marah mendengarkan, nasihat dari kidung kakawin, serta wariga agama, karena itu merupakan cermin kebenaran dan kesalahan.

3. Karena banyak yang harus dipikirkan menjadi manusia, jangan mengutamakan bekal, tingkah laku harus baik dan benar, dilakukan sedapat-dapatnya, jangan mengutamakan perut kenyang, kalau berdasarkan kecurangan, kalau salah bertingkah laku, angkuh loba pelit, mertanya menjadi bisa, kalau diperoleh dengan berbohong.

4. Suka bohong menentang nasihat, handel sekali merasa diri dipercaya, manja sekali, semuanya menjalankan kehendak sendiri, biluk-kiluk nglentuklukluk, tingkah laku angkuh, menggendong mendorong hati usil, keusilan itu diwarisi, suka menuruti yang tidak baik. [ 61 ]58

5. Di alam sana menemukan kotoran dan di alam nyata, setiap yang dilaksanakan terhalang, kalau mengeluarkan kata-kata tidak pernah dipercaya, karena bohong kasar sekali, punya sepupu bermusuhan, dua pupu tiga pupu menjauh, kekasihnya meninggalkan, semua melawan membuat marah, jengal didasarkan atas kemarahan, sindiran datang mengintai.

6. Begitulah kalau tidak bisa mengatur diri, kelamin bau perut itu, peliharalah dengan pikiran, jangan diberikan setiap yang diinginkan, tangan kaki dijaga, menjaga mata telinga dan pikiran, kata-kata dan kemauan, yang menjaga adalah tingkah laku, supaya bisa berpikiran baik, jangan memuaskan hati dengan makan minum.

7. Supaya bisa menghindar dari maut, pramada jauhkan usir, mana yang disebut pramada, kroda moha loba yang sangat besar, raga pisuna angkara, paraninda matsarya, irsia kingking tresna, kedua belas itu harus dihindari, lagi pula jangan sekali, bersahabat dengan musuh."

8. Setelah selesai menasihati tidak diceritakan, diceritakan Ni Dukuh, berkata pada muridnya, "Ke sanalah kamu mendahului." Ketiga muridnya menurut, kemudian langsung turun, menuju I Mladprana, bermaksud mencabut nyawanya, I Mladprana telah mengetahui, serta berkata halus,

9. "Duh Anda bagaikan bulan purnama, nah rela datang kembali, saya kira Anda minggat, waktu pergi bermuka masam, hati saya merasa risau, karena melihat Anda marah, kalau memang benar marah, lebih baik saya mati, kalau tidak bertemu dengan Anda, karena hati ini benar-benar sayang."

10. Ni Swetagana menjawab, "Aduh Tuan bagaikan Hyang Semara turun, tidak mungkin saya, bisa melupakan Tuan, di mana lagi mencari orang seperti Tuan, lebih benci pada madu, bunga tunjung dengan air, si kumbang dengan bunga, begitulah umpamanya Tuan, hati saya pada Tuan.

11. Karena itu saya datang ke sini terbang, supaya dapat bertemu, kalau tidak berjumpa dengan Tuan, bingung ingin melihat-lihat, bagaikan diusik, ya kalau sudah bertemu semakin bimbang, karena belum dapat, umpamakan seperti lebah, menantikan madu di dalam botol.

12. Kalau dipaksa untuk menunggu apa akan datang, nyawa dipakai membayar, jadi mati tergeletak, Tuan tidak mengetahui, saya sengsara, sengsara menyakitkan Tuan di dalam hati, hati ini bersungguh-sungguh pada Tuan, Tuan tidak mau menolong.

13. Karena itu saya berkata sekarang memohon kejelasan, kalau Tuan tidak [ 62 ]59

rela, kalau sudah ikhlas, segala yang diinginkan saya menurut, menurut berjanji membunuh, itu musuh Tuan, Rudita Dustaka, pakai tanda berbakti." Selesai berkata demikian, I Mladprana menjawab.

14. "Kalau sudah benar-benar dan buktikan, kerelaan menolong dengan mempertaruhkan nyawa, tidak mungkin saya tidak bisa menerima, orang yang setia, tetapi kalau belum berjalan, baru setia pada kata-kata, bagaimana saya bisa menerima suara, karena tidak bisa diambil, mengambil kata-kata yang tidak terlihat."


XXXVI. PUH DURMA


1. Sudan dimengerti oleh Swetagana, Nilapaksa meresapkan di hati, serta Sungsangjenar, sekarang bersama-sama berkata, "Saya permisi Tuan, sekarang membuktikan kerelaan hati saya.

2. Benar-benar kembali akan membunuh, musuh Tuan dua orang, Rudita Dustaka, saya memasangi upas, supaya mati seketika, kena ering mendadak, tiwang bantang tiwang angin."

3. Selesai berkata Raktakuja menyela berkata, Pancapuspa dan Sugandi, "Oh biarkan saja, sekarang turut kembali, kalau memang tidak benar, saya membunuh ketiganya itu."

4. Selesai berkata keenamnya berkata, beterbangan di angkasa, sudah menyiapkan, semua kesaktiannya, tidak diceritakan di perjalanan, sekarang diceritakan, I Rudita berkata.

5. "Oh Kak Dustaka, bagaimana rasanya, perjalanannya Dukuh Sakti, berhasil atau tidak." I Dustaka menjawab tersenyum, "Tidak ada dugaan lain, I Mladprana pasti mati sampai seluruh keluarganya.

6. Ketut Oka Warsiki pasti diperoleh, kamu menerima sudah di sini, nah tetapi ingatlah, seperti janji yang sudah-sudah, Ni Warsiki kamu mengambil, Ni Ketut Oka Kakak akan mengambil.

7. Nanti pulangnya muridnya kita minta, sama-sama satu, kakak Pancapuspa, Swetagana mau minta, supaya menduakan wanita, supaya sama-sama punya, untuk diajak pergi di malam hari."

8. Begitulah pembicaraan berdua, tiba-tiba keenam orang muridnya datang memasang upas, I Rudita Dustaka kena, seketika ia lesu, sakit perut, keringatnya bercucuran.

9. Dan mengeluh, "Oh Ni Warsiki datang, ke sini memasuki hati." I Dustaka mengganti, mengeluh menangis menahan sakit perut, "Aduh Ni Jangga Ketaki, masuk ke dalam, bagaimana caranya sekarang." [ 63 ]60

10. Keduanya bergilir mengaduh, gelisah terlalu bingung, panasnya luar biasa, tergeletak mengaduh-aduh, saling pental, selesai gelisah, terbanting kemudian diam.


XXXVII. PUH MIJIL


1. Di sana murid-murid datang menyakitinya, berganti-ganti berteriak, Nilapaksa dan Raktakuja, mencabut perkataan di hati, membuka pintu jiwa, yang terletak di kaki.

2. Swetagana dan Sugandi, mencabut pikirannya, dan segera mencabut empedunya, Pancapuspa Sungsangjenar, juga membuka kancing baju, yang berada pada pangkal telinganya.

3. Dan mengeluarkan semua tenaganya, memutuskan memotong limpa, dan sengaja memotong-motong perut, dan paru-paru juga semuanya dirobek, langsung mati, Dustaka dan Rudita.

4. Setelah mati kepalanya dipenggal, Dustaka Rudita, dan sekarang kepalanya dibawa, dan semuanya terbang, tidak diceritakan dalam perjalanan, tiba-tiba sekarang sudah sampai.

5. Semuanya duduk mendekat, pada I Mladprana, berkata, "Ini hanya kepalanya." Kemudian I Mladprana memperhatikan, dua buah kepala, senang sekali hatinya.

6. Dan berkata, "Kalian semua, benar-benar dengan ikhlas, kesetiaannya amat beres, kamu semua tidak berbohong, nah lanjutkan pula, kerelaannya menolong."

7. Semua murid berkata bersama-sama, "Ya perintahkanlah saya, ya pertemukan dengan Dukuh Sakti, kalau belum mati kami semua, jangan Tuan melawan."

8. Begitulah kata-kata semua murid itu menyanggupi, berani melawan Ni Dukuh Sakti, semuanya berjanji mempertaruhkan nyawa, tidak takut pada bahaya mati, membela I Mladprana.

XXXVIII. PUH GINADA

1. I Mladprana menyela berkata, "Berangkatlah kalian semua." Semua muridnya berangkat, kemudian terbang, perjalanan siswi itu, sekarang tahu, Ni Dukuh Sakti muridnya berkhianat. [ 64 ]61

2. Ia marah luar biasa, kepada semua muridnya, kemudian Ni Dukuh memasang pemungkem dan penawut, sekarang semua siswi sudah kena, gelisah bingung, Ielah rasanya tidak bernyawa.

3. Kakinya tidak bisa dilangkahkan, matanya tidak melihat, tangannya tidak dapat digerakkan, telinganya tidak mendengar, hidungnya tidak bisa mencium bau, mulutnya tidak kuasa berbicara.

4. Kemudian Ni Dukuh berkata, marahnya bukan main, bagaikan api yang sedang membara, menghunus pedang, menghancurleburkan semua siswi, semuanya mati, keenam muridnya.

5. Kawitweruh Wakparusa, mengetahui semua murid-muridnya mati, kemudian mendekat I Mladprana, kata-katanya halus, "Semua sahabatmu mati Nak, nah bersiaplah." I Mladprana menurut bersiap-siap.

6. Memusatkan mantra-mantra sarin durga agung sakti, wak bajra dan sidimantra, seketika Ni Dukuh jatuh, menimpa Wakparusa, menyebabkan Wakparusa sakit tidak sadarkan diri.

7. I Kawitweruh mendekat, menghunus keris dengan mengacungkannya, lalu menusuk Ni Dukuh Sakti, setiap ditusuk mengeluarkam cahaya, nyalanya berwarna lima, mengakibatkan Kawitweruh kena upas.

8. Lelah tidak kuasa bergerak, gemetar kedinginan, I Mladprana menolong mendekat, dan memantrai Ni Dukuh dengan wisnu-murti sakti, sangat bertuah, Ni Dukuh hilang.

9. Seketika menjadi manusia biasa, I Mladprana mendekati, menghunus keris akan memenggal, Ni Dukuh menjelma menjadi asap, tegak besarnya satu peluk, menakutkan, I Mladprana mengukuhkan diri.

10. Mengeluarkan mantra bayu Anoman, disertai kusuma-sari, segera datang angin ribut, meniup Ni Dukuh, Ni Dukuh jatuh terpental, cepat bangun, berubah wujud menjadi brare petak.

11. I Mladprana mendekat, mengeluarkan mantra Siwa-murti, seketika Ni Dukuh hilang, kalah lalu dikejar oleh I Mladprana, Dukuh Sakti, kemudian terbang ke angkasa.

12. Kemudian ia berubah wujud, menjadi gadis muda remaja, cantiknya bagaikan bidadari Supraba. Selesai berubah wujud, memakai pangenduh pangasih jagat, kama ratih, sudah semua dikuasainya.

13. Kemudian turun ke bumi, terang bulan menyinari, wajahnya cantik jelita, jalannya lemah gemulai, berwajah sedih, sekarang sampai, di depan I Mladprana. [ 65 ]62

XXXIX. PUH DANGDANG


1. Serta menyembah didahului dengan tangis, "Aduh dewa, bagaikan Samara, tampannya tiada bandingan, teguh pada kebenaran bagaikan Wisnu, rela pada pemohon kasihan, bagaikan penguasa, karena sadguna Tuan, sandi stana naya kriya swagata sraya, ikang ingaranan sandi, ceguh pada keutamaan anugrah.

2. Karena tahu membedakan tingkah laku yang baik dan benar, tahu akan tipu daya, akal yang baik dengan buruk, tahu mendengarkan yang baik dan mendengarkan yang jelek, perkataan baik dan buruk, kokoh pada kedarmaan, tahu upaya musuh, walau jauh atau dekat, dan triguna, kesaktian keberanian dan ksatria, semua ada pada Tuan.

3. Keberanian itu disebabkan karena tidak ada yang ditakuti, tidak ada kecintaan, yang dinamakan sakti, memperhatikan perkataan yang benar, sebab tujuh upaya gusti, danda upeksa ksana, indrajala surya itu, dana dan beda, semua itu, semua diketahui, kesaktiannya juga sama.

4. Dana itu memberkahi belas kasihan memberi makan dan kehidupan, upeksa tahu pada baik buruk, pelaksanaannya tidak tergesa-gesa, jika belum jelas, denda dan dosa jika salah, jangan tidak mengikuti arah, indrajala hasil tipu daya, mencari kesempatan, hilang dari penglihatan, barulah itu benar.

5. Mengganti wajahnya yang sejati, kuasa menahan, segala nafsu yang timbul, sifat indriya hilang, sebagai air yang jernih, disinari oleh matahari, dari angkasa tanpa mendung, suci bersih hilanglah kotoran, sebenarnya, Tuan merupakan segala akhir yang baik, menguasai inti dari menguasai nafas."

6. I Mladprana kemasukan kata-kata manis memelas, dengan senyum berkata, "Aduh Tuan dari mana, asal usulnya katakan dahulu, apa manusia atau bidadari, berkenan mendatangi hamba, apa maksud Tuan, ya , katakan pada hamba, jangan malu, hamba bersedia menuruti, setiap keinginan Tuan ."

7. Si jelita kemudian menjawab. Oh Tuan. sebabnya saya datang, sengaja memohon hidup, ibu saya Ni Dukuh, karena kecewa sudah kalah, jangan Tuan membunuhnya, saya mohon, supaya dia tetap hidup, ya saya, sebagai pengganti jiwanya, sengaja menghamba kepada Tuan."

8. Tetapi permohonan saya kepada Tuan supaya rela. membersihkan ibu saya, supaya berhenti bersifat usil." I Mladprana menjawab, "Oh Anda bagaikan Dewi Ratih, tahu mengambil hati, jangan waswas di hati, kata-kata saya, menuruti, sekehendakmu." Si jelita menyahut, [ 66 ]63

9. "Kedua ada permohonan saya pada Tuan, sesudah saya menghamba, ya kalau seandainya Tuan, sudah bosan di hati, janganlah diam-diam, tidak cinta mencari dalih, walaupun Tuan tidak lagi cinta, janganlah tidak berkata pada saya, dengan air muka, supaya berterus terang Tuan, mengatakan pada saya."

10. Kemudian I Mladprana menjawab, "Oh Dik, saya tidak mungkin, tidak benar-benar sayang, sungguh saya tidak takut, akan mempertaruhkan nyawa, tetapi relalah Adik, mengikuti saya pulang, ke sana ke Purbawyadnyana, walaupun sudah, saya punya dua orang, tidak sepadan dengan Adik."

11. Kemudian si jelita menjawab, "Ya saya, tidak menolak, Tuan berjalan di depan saya di belakang Tuan, supaya agak samar sedikit." I Mladprana menurut, serta berjalan pelan, si jelita di belakang, mempersiapkan, mengambil jiwanya yang sakti, nguyup bayu idep sabda.

12. Sekarang I Mladprana secara diam-diam dikenai jiwanya, jatuh kelelahan, pikirannya bingung, tidak kuasa berjalan, dunia dilihat gelap, kemudian si jelita mendekat, sudah berubah berupa Ni Dukuh, nguyup membunuh seketika I Mladprana sudah melayang jiwanya, mayatnya bagaikan ditidurkan.

13. Karena Ni Dukuh sangat benci maka ia ingin, langsung akan ke Purbawyadnyana, karena waktu sudah siang, kemudian Ni Dukuh langsung pulang, sampai di rumahnya didapatkan, mayat dua orang tanpa kepala, I Rudita dan Dustaka, Ni Dukuh marahnya bukan main, menyesalkan diri tidak terkira.

14. Sekarang diceritakan mayat I Mladprana kuning langsat, dengan tanda-tanda, hujan deras angin berembus, cahaya pelangi melengkung, dunia dan langit semuanya kuning, petir kilat sambar menyambar, hujan kembang dan gempa, mayatnya harum, semerbak baunya memenuhi a1am sekitarnya, kumbang merebut.

15. Kawitweruh sekarang sudah bangun menerajang, dan ia mendekat, I Mladrana didekati, ditemukan sudah mati, Wakparusa nangis berang, Kawitweruh menepuk dada, menangis tersedu-sedu, dan berkata, "Kakak pulang, untuk menyampaikan." Sekarang langsung ke hutan, mohon pada Mpu Wrediaguna.

16. Kawitweruh di sana menunggui dan Wakparusa, kemudian pulang, sesampai di rumah ia berkata, menceritakan kejadian kekalahannya,"Nah Adik ke sana sekarang, ke desa Jenggalatresna, Bapak akan langsung, menghadap pada Mpu Wrediaguna." Lalu berjalan, Wakparusa cepat berjalan, tidak diceritakan perjalanannya itu. [ 67 ]64

XL. PUN DEMUNG

1. Sekarang Ketut Oka dan Warsiki melihat, tanda-tanda pada cincin, kelihatan tidak berkepala, tanda I Mladprana mati, selesai melihat mengamatinya, hatinya renyuh lesu, kosong tanpa jiwa, kemudian berjalan, lakinya lemas, juga berusaha untuk berjalan.

2. Perjalanan keduanya sangat lambat, dalam perjalanan tidak diceritakan, sesampai di sana, mayatnya tersenyum, dirasakan menyapa, Ni Warsiki memeluk kaki, menangis tersedu-sedu, Ni Jangga Ketaki, marah kemudian pingsan, karena hatinya benar-benar sedih.

3. Ni Alit Warsiki pelan berkata-kata, "Ya Tuan yang meninggal, ikhlas sekali Tuan, meninggalkan saya si miskin, apa sih artinya saya, hidup menyandang derita, sedih menahan malu, sedih karena ditinggalkan, karena sayang terlalu ikhlas, hati ini dielus hingga lepas.

4. Siapa lagi yang saya harapkan dalam hidup ini, bermaksud mencintai Tuan, sekarang sudah mati, tidak mengajak saya mati, kalau Tuan menemukan neraka, sayalah pakai dasar neraka, kalau Tuan mendapat surga, pakailah saya sahaya Tuan, tetapi rela mengajak mati, karena ingat dengan hati turut serta.

5. Karena saya berutang nyawa supaya nyawa, sekarang saya pakai membayar, membayar utang ayah ibu, bagaimana Tuan mengapa diam, mau atau tidak mengajak, walaupun sudah tidak cinta, disebabkan karena salah, janganlah diam sampai sekarang, katakanlah Tuan terus terang, berhentilah merenggut.

6. Tidak ada gunanya penglihatan tajam kalau tidak dipakai melihat, mimik manis, tidak ada gunanya kalau tidak tersenyum, tutur kata ramah manis, tidak berguna kalau tidak bicara, berbicaralah ya Tuan, berhenti tidak menyapa, saya tidak merasa bersalah, kecuali salah mencintai, cinta menurut kehendak.

7. Tidak berani menolak perintah, sekarang menerima nasib jelek, karena ditakdirkan menemukan petaka, akibatnya ini didapatkan, kehancuran sedih dan sakit, sakit hati sangat gelisah, kegelisahan mengganggu, menyakitkan hati, hati bakti tidak diterima, karena nasib tidak mujur, mengeluarkan kata-kata tidak berguna."

8. Ni Warsiki berharap-harap dikasihi menyesal, sakit hatinya setinggi gunung, tidak takut ikut mati, kemudian pedangnya diambil, sengaja akan membunuh diri, kemudian ia berkata halus, "Tuan Mladprana, ini pedang Tuan, nah saya pakai jalan, mengikuti Tuan mati." [ 68 ]

65

9. Dan menghunus medang lantas baru ingin membunuh diri, I Kawitweruh mengambil, dengan cepat merebut pedang, Ni Warsiki rebah berguling-guling, hati resah kemudian pingsan, I Kawitweruh, memukul paha, "Rugi sekarang, menantu mati, anak mati." Dia bengong memeluk lutut.

10. Sekarang Ketut Oka sadar, tetapi masih hampa, badannya merasa lemas, lebih payah selesai tidur, kata-katanya manja bersuara merdu, tersendat-sendat terputus-putus, dengan merayu-rayu, tersendat pendek-pendek, "Ya Tuan yang rela, rela meninggalkan, meninggalkan saya orang bingung.

11. Bingung diam menangis dan menyesal, resah pingsan karena sedih, memang dibuat supaya gila, tidak sedikit menyakiti, supaya mengharap kosong, mencaci berkata-kata cabul tidak karuan, karena jelas hatinya, cinta sejati menyatu, takut berpisah rela ke hutan, juga sekarang menemukan kehancuran.

12. Malang sekarang suami meninggal mati, disebabkan karena dosa bercinta kasih, sekarang saya masih hidup, pasti akan sedih, hati bingung pikiran bimbang, mengendap kosong tidak menentu, tidak dapat dilupakan, ingat pada peristiwa dahulu, karena sudah bersama menderita, bersama menderita dengan saya.

13. Banyaklah yang tidak bisa dilupakan, karena Tuan sangat penurut, semua prilakunya pantas, bagaikan hutan_dengan isinya, saling menjaga, nah kalau sekarang Tuan terus meninggalkan mati, saya menjadi apa di sini, hidup malu lebih baik mati, tidak berharga tidak berguna.

14. Karenanya sekarang saya mohon pada Tuan, seperti pada Sang Hyang Tuduh, supaya saya cepat mati, supaya berhenti sakit hati, saya tidak mampu Tuan, seumur hidup menemukan sengsara, sedih tidak enak makan, menyebabkan orang benci melihat, melihat saya orang hina, nista miskin sekali.

15. Siapa yang disuruh dan sudi menerima, nah dari sudut mananya bisa dipercaya, orang malas bodoh bandel, miskin tidak berharga, congkak bohong penipu, bohongnya bukan main, menderita sekali, tidak berguna tidak sempurna, bertingkah laku tidak ingat pada siapa-siapa, siapa orang yang percaya."

16. Begitulah Ni Jangga Ketaki mengigau marah, mengamuk tidak menentu, gentar semua diraba, menggelinding kemudian menangis, berhenti menangis kemudian pingsan, tidak diceritakan orang pingsan itu, sekarang diceritakan Wakparusa sudah sampai di pertapaan, menghadap pada Maha Empu. [ 69 ]66

XLI. PUH SINOM

1. Sang Mayati berkata, "Kamu dari mana datang kemari." Wakparusa berkata pelan, "'Ya Tuan Sang Mayati, saya sahaya Sang Yati, nama saya Wakparusa, disuruh menghadap pendeta, oleh Ni Jangga Ketaki, supaya terus kerelaan Tuan pendeta.

2. Serta menyampaikan seluruh kejadian, sebabnya I Mladprana mati, dan berkata supaya Tuan sekarang! melihat." Pendeta kemudian berkata, "Ya mari sekarang pulang." Kemudian segera berjalan, tidak diceritakan dalam perjalanan, sudah tiba, di Janggalatresna.

3. Kemudian beliau berkata, "Oh kamu Jangga Ketaki, bangunlah kamu Bapak datang." Ketut Oka dan Warsiki , baru sadar lalu bangun, melihat Sri Empu datang, serta berkata diiringi sembah, keduanya memeluk kaki, "Duh sang Wiku, benar-benar bagaikan air hidup.

4. Hati saya gelap gulita, Pendeta bagaikan bulan purnama menyinari saya, saya bagaikan pohon kayu yang kering, panas disinari matahari, Sang Yati bagaikan hujan, meneduhkan hati saya, saya bagaikan orang sakit, hanya Tuan sebagai Hyang Kasiapa.

5. Lanjutkanlah kerelaan pada saya, supaya dia dapat hidup kembali, sahaya pendeta, matinya karena tidak wajar, kematiannya karena ilmu hitam, salahnya mencintai saya orang miskin, itulah yang saya malukan, panas menusuk ranting hati, kembali hidup, sudah melarat bersama saya."

6. Pendeta berkata pelan, " Bagaimana caranya sekarang menghidupkan, beginilah hakikatnya Nak, sebabnya manusia itu hidup, ada dua Sang Hyana Atma itu Nak, begitulah ajarannya, ketiga Sang Hyang Pramana, keempat Sang Hyang Manon, kalau hal itu salah satu pergi.

7. Menyebabkan kesusahan kesakitan, kalau atma-nya meninggalkan manusia, akan menjadi sakit, kalau pramana meninggal, manusia itu menjadi pingsan, kalau Hyang Manon tidak tinggal, menjadi butalah manusia itu, bila Sang Hyang yang menunggu hidup ini, meninggal pergi dari sana, matilah orang itu.

8. Ya karena Bapak sayang sekali, sekarang cobalah caranya, di kuburan memohon, pada Hyang Praja-pati, marilah sekarang ke sana Nak, beserta mayatnya bawa ke sana." Jangga Ketaki menurut, "Ya Bapak berdua, mari usung, mayatnya bawa ke kuburan.

9. Kawitweruh Wakparusa, menjawab agak gemetar, "Mau dibagaimanakan maya tnya." kemudian Ni Warsiki bertolak pinggang, "Mari kita se[ 70 ]67

mua usung, kemudian bawa ke kuburan, sampai di sana kita lihat." Sekarang mayatnya diusung, tidak diceritakan setibanya di kuburan.

10. Matahari sudah tenggelam, kemudian pendeta berkata halus, "Taruhlah di tempat pembakaran, kemudian pergilah semua." Yang empat orang ikut serta, berkumpul dari jauh menungguinya, hatinya sangat ngeri, melihat makhluk-makhluk halus berkeliaran, menari menghadapi mayat.

11. Burung gagak berbunyi tidak henti-henti, merobek-robek mayat berbau bulu terbakar, diterbangkan ke pohon kepuh, perut jejaring hati, paru-paru limpa dan kaki, tangan kepalanya, air mayat itu bercucuran, anjing datang berebut, ribut sekali, berebut mayat itu.

12. Mayatnya I Mladprana, tidak ada yang berani mencolek, makhluk halus anjing burung gagak, semestinya galak menjadi sayang, pendeta sangat kasihan, bersiap memusatkan pikiran, mengeluarkan puja-puja, memuja Hyang Praja-pati, terutama, pada Ida Hyang Giri-nata.

13. Semangat sekali memohonkan, supaya I Mladprana hidup, selesaikan mengaturkan puja, dunia menjadi gempa, burung gagak anjing orang halus, sepi tidak hanya berbunyi, karena tanda Tuhap datang, menyebabkan makhluk balus takut, mereka melihat cahaya di langit.

14. Semua pada bersembunyi, segala makhluk halus, burung gagak dan anjing diam, semua tidak berani ribut, karena tanda-tandanya diketahui, Tuhan akan datang, mengeluarkan tanda-tanda, dari puja pendeta, utama sekali, yoganya memuja.

XLII. PUH GINADA

1. Terang menyala bersinar-sinar, di atas kuburan tidak terkira, seperti bintang kartika, dari sana keluar asap, turun menuju tempat pembakaran, berbau harum, diikuti sabda.

2. "Aduh anak Wrediaguna, I Mladprana bisa hidup, lagi pula sudah tersurat, pantas memilih mati, karena sudah mencapai moksa, kalau mati, berhak berkereta semaya."

3. Selesai wahyu tersebut, asap hilang sinar juga hilang, I Mladprana tidak terbakar, lalu bangun dan duduk, dilihat Empu Wrediaguna, masih duduk masih mangaranasika.

4. I Mladprana tidak berani, berkata pada Sang Mayati, kemudian segera bangun, duduk di belakang, tidak diceritakan I Mladprana, saat di sana, sekarang diceritakan Ni Dukuh. [ 71 ]68

5. Sengaja akan membunuh, Ketut Oka Warsiki, Kawitweruh Wakparusa, supaya semua mati, kalau sudah mati keempatnya, baru kemudian, menghabiskan sanak keluarganya.

6. Karena marah, kemudian ia berangkat, ke desa Jenggalatresna, sampai di sana ditemukan kosong, Kawitweruh Wakparusa, tidak masih, sampai mayatnya juga hilang.

7. Sekarang Ni Dukuh langsung, menuju Purbawyadnyana, mencari keempat orang itu, di sana tidak ditemukan, di rumah I Mladprana, dan langsung, Ni Dukuh berkeliling menanyakan.

8. Tidak diceritakan Ni Dukuh Sakti, sekarang diceritakan Ni Warsiki sengaja ingin melihat, memperhatikan yang mati, pelan-pelan berjalan ke sana, dan dilihat, I Mladprana bangun dan duduk.

9. Kemudian dia kembali, sangat senang, nafasnya turun naik, bergegas jalannya cepat, sampai di sana kemudian berkata, semua diceritakan, kejadian yang baru.

10. Yang diceritai semuanya gembira, semuanya tergesa-gesa mendekat, pendeta sudah bangun, dan berkata pada I Mladprana, karena hidup, dan dianugrahi.

11. I Mladprana kemudian menyembah, berkata pada Sang Mayati , "Ya Tuan junjungan saya, benar-benar tulus sekali anugrah Tuan, menolong memberi kehidupan, disertai pikiran yang utama.

12. Saya berutang amat besar, apa yang saya pakai membayar, ini kami semuanya, dipersembahkan pada Tuan, walaupun seribu kali menjelma, supaya tetap, saya menghamba."

13. Kawitweruh dan Wakparusa, menyela berkata pada Sang Yati, "Hanya saya mohon, supaya Tuan rela, menjaga juga pekerjaan kami, marilah sekarang, pulang ke Purbawyadnyana.

14. Bila pernikahan sudah selesai, kami akan mengiringkan, pendeta pulang ke hutan." Ida Sang Sri Empu menjawab halus, "Ya Ayah tidak menolak, ayo pulang, sekarang ke Purbawyadnyana."

15. Kemudian berjalan, I Mladprana juga menurut, Warsiki Ketut Oka, Sang Yati dituntun, oleh I Wakparusa, serta I Kawitweruh.

16. Jalannya agak lamban, kemudian Wakparusa berkata, "Ya Tuan junjungan saya, cobalah ceritakan ajaran-ajaran, pakai menyelingi masa kantuk, mengenai asal terjadinya dunia." Pendeta kemudian berkata.

17. "Wah benar Wakparusa, pakai selingan saat di jalan, menghibur rasa kantuk, melek semalam. Nah sekarang dengarkanlah, ceritaku, mengenai keadaan dunia ini. [ 72 ]69

XLIII. PUH DURMA

1. Tersebut Dewa tanpa badan tanpa bentuk, adapun bentuk beliau, sepersembilan dari panjang tubuhnya, menjadi bumi, mata kiri beliau menjadi bulan, mata kanannya menjadi matahari.

2. Ujung matanya itu menjadi bintang, kedip matanya menjadi bintang trenggana, tenaga beliau menjadi angin, keringat beliau menjadi tetes-tetes embun dari langit.

3. Kedipannya menjadi asap dalam badannya, mengeluarkan mendung, kepala beliau menjadi pusat bumi, ketidurannya menjadikan petang, menjadi siang, bangunnya itu.

4. Lidah beliau menjadi manusia, pangkal lidahnya menjadi gerigi, jantungnya menjadi ilmu dan angkara, hatinya menjadi api, perut beliau menjadi neraka.

5. Lagi pula ada kama pat misalnya, warna ungu merah hitam putih, warna ungu menjadi orang kasim, yang putih menjadi laki-laki, yang merah menjadi wanita, kama yang hitam, menjadi manusia mulia.

6. Adapun yang dinamai kama putih, beliau adalah Sang Hyang Suryakanta, kama yang hitam itu, bernama Sang Hyang Laler-manga, kama berwarna ungu Sang Hyang Grahakanta, yang merah Sang Hyang Candrakanti."

7. Belum selesai pendeta bercerita, tiba-tiba datanglah Dukuh Sakti, bertemu di jalan, dan berkata dengan marah, "Ini pendeta yang menghidupkan I Mladprana, karena hidup ia bisa pulang.

8. Sungguh pendeta berani menyabung nyawa, waspadalah terhadap jiwa pendeta, pasti akan meninggal , karena berdosa terlalu berani, tidak takut pada Ni Dukuh Sakti, tidak ada menyamai, sangat menakutkan di dunia ini."

9. Sang Pendeta melihat Ni Dukuh marah, sedikitpun tidak merasa takut, dan berkata dengan pelan, "Ya kau sakti dan pemarah, sungguh Bapak tidak takut, oleh karena ada contoh, Desa Siwa ingin berbuat jahat.

10. Bersedia membunuh orang tanpa dosa, kini ia mengganti kakinya, diganti dengan kaki kuda, lalu beliau dinobatkan, sebagai Sang Hyang Aswa-pada, oleh karena beliau menyembunyikan, dinamakan Sang Hyang Lenging . [ 73 ]70

11. Sebabnya beliau bernama Sang Nilakanta, karena haus setelah kalah, dapat minum, air racun bangkai burung merpati, baru sampai dalam perut, cepat dimuntahkan, diganti dengan kehidupan mulia.

12. Lebih baik kau masih berwujud manusia, musuh itu berada pada badan kita, telinga hidung mata, mulut lidah hati perut, bulu gigi dan alis, semuanya sepuluh, jadi musuh hidup maupun mati.

13. Bila meninggal mata menjadi paksi raja, alis menjadi pisau taji, baja batu putih, lidah jadi titi gonggang, hati jadi api, rambut jadi keris, telinga menjadi yaksa anjing.

14. Perut itu jadi Goa Gala-gala, mulut jadi Cidamalung, hidung itu jadi semut merungut, karena patut dipelajari, lebih-lebih dasa-sila, dan dasa bayu itu.

15. Nah sekarang kamu hendak membunuh Bapak, Bapak bertanya padamu, jika tahu semua, Bapak menyerahkan jiwa, jika tidak kamu tahu, ini berarti, hidupmu akan Bapak ambil.

16. Nah itu yang bernama Nawasanga, nawa itu artinya sembilan, sanga juga sembilan, delapan belas jadinya, yang diam padamu, persatuannya, siapa itu yang sebenarnya.

17. Lagi pula yang sesungguhnya di badan, ulupuwun miwah nabi, dengan ubun-ubun, dimana tempat menyatukannya, pikiran dan budi, pikiran dan perkataan, serta tempat sadar tak sadar.

18. Dan sebabnya manusia itu, bisa sehat bisa sakit, apa yang menyebabkan, nah mana jiwanya atma, mana dewa leluhur yang sejati, jika belum tahu, jangan dulu minta hidup."

XLIV. PUH GINADA

l. Ni Dukuh berkata pelan, "Ya Tuan Sang Mayati, saya mohon maaf, karena terlalu berani, tidak tahu kebenaran, berhati jahat, tidak tahu kebenaran orang seperti saya ini.

2. Sekarang saya bersedia, meniru kebenaran Sang Yati, supaya pendeta ikhlas, meruat supaya mau punah, semua kekotoran saya, dan memberikan, mengajar tentang kependetaan.

3. Begitulah permohonan saya, ya sekarang saya mohon pamit, setelah pendeta pulang, kala itu saya datang memohon ajaran kebenaran, dan memberikan Tuan persembahan." [ 74 ]71

4. Pendeta berkata pelan, "Kalau kamu memang benar demikian, nah itu memang benar sekali, sekarang pulanglah kamu." Ni Dukuh berkata menyembah, dan mohon diri, ia langsung pulang.

5. Sesudah Ni Dukuh pulang, kemudian pendeta berkata, pada I Mladprana Wakparusa, "Nah ke sanalah kalian pulang. Bapak merasa curiga, musuhmu, barangkali sudah menyerah."

6. I Mladprana berkata dan menyembah, "Kalau tidak salah, supaya Tuan rela, setelah selesai upacara saya mohon datang." Pendeta berkata halus, sudah terlanjur, besok melanjutkan brata.

7. "Nah biarkanlah Bapak sendirian, sekarang kembali pulang, kamu ke sanalah pulang." Kemudian semua pulang. Tidak diceritakan dalam perjalanan, Sang Mayati sudah sampai di pertapaan.

8. I Mladprana sudah sampai, di Purbawyadnyana, dan berkata pada keluarganya, Wakparusa Kawitweruh, "Nah sekarang tuluslah, kalian semua, mengundang handai tolan dan sahabat."

9. Kawitweruh dan keluarganya, Wakparusa serta semua, menjawab, "Janganlah disusahkan, nah tidurlah, karena sudah hampir siang, besok mengurus pekerjaan dan mengundang."

10. Selesai pembicaraan, kemudian semua tertidur. Hal itu tidak diceritakan, sekarang diceritakan Ni Dukuh, kemudian ke Negara Pratama, dan menghadap pada Prabu Nirbana.

11. Setiba Ni Dukuh di sana, Sang Nirbana kemudian berkata, "Baru datang sahabatku, lama tidak pernah bertemu." Kemudian Ni Dukuh menyembah, dan berkata, "Ya Sang Sri Ratu.

XLV. PUH SINOM

1. Sebabnya saya datang pagi-pagi, karena saya mendengar, Tuan masih bujangan, kalau bermaksud mencari istri, ini saya menemukan, orang perempuan yang cantik sekali, namanya· Ni Jangga Ketaki, cocok dipakai penghuni puri, benar-benar cocok, Tuan mendampinginya.

2. Sekarang dia sedih, karena cepat dijodohkan, dengan sepupunya yang jelek sekali, karenanya sedih sekali, kalau Tuan menginginkan, besok akan datang dipersembahkan akan tetapi saya mohon, seorang patih agar turut, membawa kendaraan gajah."

3. Prabu Nirbana berkata, Bu Dukuh rela sekali, menyambung persahabatan, kalau sudah berhasil didapat, berarti kata-katamu benar, kemu[ 75 ]72

dian hari kalau memerangi musuh, kalau kau mati, saya bersedia membela, baik buruk, supaya bersama-sama denganmu."

4. Ni Dukuh berkata menyembah, "Gusti Patih yang mana, akan mengikuti saya." Kemudian Sang Prabu berkata, "Kamu patih Bayuuri, kamu mengikuti Bibi Dukuh, sekarang kamu berangkat, pakailah gajah itu." Patih itu, mohon diri lalu berjalan.

5. Ni Dukuh pamit, kemudian keduanya berangkat, tidak diceritakan dalam perjalanan, sudah tiba di Purbawjadnyana, sudah ada tengah malam, Ni Dukuh berkata pelan, "Gusti di sini menunggui, sekarang saya ke sana sendirian," dan langsung Ni Dukuh masuk ke dalam.

6. Mendapatkan orang banyak, tua muda menolongnya, di sana di rumah I Mladprana, Ni Dukuh kemudian nglekasih, memasang sesirep yang paten, semua tertidur nyenyak, ada tidur memeluk teman, memegang kapak, nyenyak tidurnya, yang perempuan, memegang janur mengacungkan pisau.

7. Sekarang Ni Dukuh langsung menuju tempat tidur, dijumpainya I Mladprana. Ketut Oka dan Warsiki nyenyak tidur berbelit. Kemudian Ni Dukuh menyergap, diangkat Ni Ketut Oka, ditaruh di atas gajah. Ni Dukuh, setelah selesai menyerahkan.

8. Ya Gusti saya harap , membuat surat sedikit, ditujukan pada I Mladprana. katakan Anda mengambil, bertempat tinggal di tengah lautan, gantilah nama Anda katakan Jangga Ketaki, yang memanggil datang kemari, begitulah." Kemudian I Patih menulis.

9. "Ini kamu Mladprana, terlalu berharap memeluk istri, istrimu saya mengambil, namaku Paranglungid, berumah di tengah lautan, sebab saya datang ke sini, istrimu memanggil, sudah mengadakan perjanjian dulu, sudah disepakati, waktu ia akan pergi ke hutan."

10. Selesai menulis surat demikian, Ni Dukuh kembali, menaruh surat tersebut di samping Ni Warsiki, selesai menaruh langsung pergi. "Gusti mari pulang." Kemudian langsung berangkat, tidak diceritakan dalam perjalanan, pagi-pagi sekali, diceritakan di Purbawyadnyana.


XLVI. PUH DEMUNG


1. Semua penolong bangun tersipu-sipu, Wakparusa Kawitweruh, mengetahui tertimpa bahaya, kemudian meninjau ke dalam, ditemukan tidur berdua, Ketut Oka tidak ada, sekarang keduanya dibangunkan, kemudian bangun tersipu-sipu, Wakparusa berkata halus. [ 76 ]73

2. "Dimana Ketut Oka mengapa berpisah." I Mladprana berkata halus, "Saya tidak ada melihat." Selesai berkata melihat surat, dan surat tersebut dibaca, isi surat itu menceritakan kecurian, Wakparusa kemudian menangis, keluar menceritakan pada keluarganya, semua keluarganya menangis meraung-raung.

3. I Mladprana sakit hati penglihatannya kosong, seketika pucat pasi, batinnya sakit, tenggorokannya terasa kering, seluruh orang di sana dirasakan sepi, jadi bingung, tidak dihiraukan suratnya, setiap ada orang datang, dikira Ni Ketut Oka datang.

4. Sekarang I Mladprana menangis berbicara tidak menentu, "Ya Tuan sampai hati, rela meninggalkan dan menipu, tidak mengingat kesetiaan yang dahulu, Adik mencari kesenangan sendiri, saya sekeluarga supaya sakit, belum mendapat kebahagiaan, bahagia bersama Adik, Adik rela tidak mengasihi, ya sekedar memberi kata-kata baik.

5. Mestinya kalau Tuan ingat sedikit saja, pada lekatnya hubungan kita dahulu, bersepakat kata, tidak adalah peristiwa seperti ini, Adik tidak memandang, serakah mencari yang baik, yang mengasyikkannya, ya silakanlah menikmati, di saat sedang berguna, biarkanlah saya sakit hati.

6. Walaupun sampai mati saya rela, karena tidak dapat menahan rasa cinta, mungkin sudah nasib, nasib mati sakit hati, harapanku saya mohon, kalau saya sudah mati, supaya Adik rela Tuan melihat, membekali saya dengan sirih, dan menimbuni dengan segenggam tanah."

7. I Mladprana sedang menangis meratap, Wakparusa berkata kasar, "Bagaimana kamu mau mati, menyakitkan wanita nakal, Adikmu Ni Warsiki, pantas kamu pertaruhkan dengan nyawa, dia teguh pada cinta, cantik muda beliaa sejati, pacar sejak di dalam perut, dijodohkan ibu dan bapak.

8. Itu sebabnya pantas dibela dan menuruti nasihat Bapak, membangunkan kau sudah bangun, lagi Ni Jangga Kekati, sudah jelas dengan ikhlas, menipu pergi secara diam-diam, membuat malu, usahakan hatimu Nak, supaya bisa merelakan, hilangkanlah cintamu yang lalu."

9. Kemudian I Mladprana berkata, "Ya Bapak, kata-kata Bapak benar, sepantasnya saya menuruti, tetapi saya mohon maaf, belum berani menyanggupi, sanggup merelakan sekali, ya saya masih mencoba, mengurangi kesedihan hati, mungkin ada nasib baik saya, nanti jelas Bapak mengetahuinya."

10. Begitulah jawabannya pelan sekali, serta menceburkan diri, semua ke[ 77 ]74


luarganya berkata, bergilir menasihati, I Mladprana mukanya cerah, bercanda saling ejek, bercampur muda mudi, saling raba, kini tidak lagi diceritakan, diceritakan Ni Dukuh.

11. Setelah sore tiba di Pratama, patih Bayahuri serta Ni Dukuh, langsung ke puri, kemudian sang prabu berkata, "Mana si jelita." Ni Dukun menyembah, bersama patih Bayahuri, " Inilah hamba Tuan, masih tidur karena lesu sekali."

12. Sang Prabu mendekati dan melihat, wajahnya cantik sekali, Sang Hyang Ratih turun, sang Nata terpesona melihat, dan rasa kasih di hati, hati asmara bercinta kasih, kemudian mengusap-usap, "Oh cantik bangunlah, tidak ada menyamai di dunia ini, Sang Hyang Adri putri akan terkalahkan."

XLVII. PUH ADRI

1. Sang prabu berkata halus, kepada Dukuh Sakti, dan patih Bayahuri, "Nah teruskan sekarang junjung, langsung masukan di sana, di kamar pernikahan, dan langsung siapkan, semua keperluan perlengkapannya, untuk pernikahan."

2. Sesampai di sana, Ni Jangga Ketaki, sekarang sudah bangun, terlihat Ni Dukuh, Patih dan Sang Prabu. Ia terkejut, tahu dirinya dicuri, kemudian menenangkan pikirannya, sedihnya supaya tidak terlihat.

3. Kemudian Sang Prabu berkata halus, "Duh Jangga Ketaki, permata hatiku, janganlah dulu bersusah hati, jangan pula merasa susah, bagaimana seperti masih di rumah, begitulah sekarang di sini, kalau masih ngantuk, tidurkanlah dirimu sayang."

4. Jangga Ketaki tidak berkata, karena belum sanggup, menghibur hatinya, ia menurut kemudian tertelungkup bercucuran air matanya keluar, I Patih dan Ni Dukuh Sakti, menilai sudah menurut, Ni Dukuh kemudian menyembah, "Sekarang saya permisi pulang."

5. Setelah semua pulang, pembantu dan sahayan, kemudian menutup pintu, berbicara berkumpul, memuji kesaktian Ni Dukuh, bakti pada raja, tidak diceritakan mereka yang berkumpul, diceritakan raja, merayu di dalam kamar.

6. "Duh ratu intan permata, tambatan hati saya, serta bagaikan air suci, nah berhentilah marah, sayang penglihatannya kalut, serta tajamnya kening, gusinya memerah, serta gigi putih, tidak berguna kalau tidak tersenyum. [ 78 ]75


7. Berhentilah Tuan bersedih, apa yang diinginkan, saya mempersembahkan padamu, sahayan kembar delapan orang, dan berbungkus dari emas, permata windusara dan berlian, ke taman bersenang-senang, memetik bunga yang bermacam-macam, serta menonton area manik."

8. Si Jelita tidak menjawab, raja mendekatinya, memandang dengan mesra, ingin bertemu serta membuka pakaiannya, sang ayu berkeliling menghindar, Sang Nata berkata halus, "Duh ratu mengapa, tidak menuruti kehendak saya."

9. Sang ayu berkata terputus-putus, "Ya Baginda Raja, bukannya saya tidak mau, sebab sebenarnya, memang sengaja datang untuk mengabdi, carikan hari baik, supaya benar tata caranya, memulai sanggama dengan asyik, supaya mendapat hari baik.

10. Begitulah sebenarnya Tuan, karena itulah saya, sekarang tidak menurut, ia kalau memang Tuan, bermaksud baik untuk seterusnya, turutilah kata-kata saya, pikirkan lagi dalam hati, kenapa saya tidak mengikuti kehendak Tuan.

11. Ia ratu kaya dan tampan, berkuasa, lagi pula masih bujang, sulit saya tidak cinta, sebenarnya demikian, kalau Tuan tidak percaya, jelaslah oleh saya, bahwa Tuan bermaksud iseng, hanya mengharapkan sarinya saja.

12. Ia kalau begitu, saya mohon, pamit lebih baik mati, di sini akan habis terbayar, saya sudah terlanjur datang mendesak, sengaja bersedia menghamba, lagi pula ratu bujang tampan, malu kalau saya kembali pulang, menjadi bahan tertawaan orang."

13. Hati baginda bagaikan hancur, luntur seketika, lingkung bungkam dan sayang, kemudian berkata halus, "Begitu kehendakmu, saya menurut tidak menolak, tetapi Tuan supaya benar-benar." Begitu kata-kata raja, karena kena kata-kata manis.

XLVIII. PUH DANGDANG

1. Sang Nirbaya kemudian berkata ha1us, "Aduh dewa, kalau sudah benar-benar, seperti yang baru dikatakan, kemarilah dekati Kakak pe1uk, Ketut Oka menurut, berbantal tangan, supaya Sang Prabu merasa yakin, bisa reda dan tidak marah, supaya dapat, untuk menghindarkan yang disucikan, serta tertidur nyenyak.

2. Tidak diceritakan di Pratana, sekarang diceritakan di Purbawyadnyana, I Mladprana di tempat tidur, berselimut tertelungkup, mendongak [ 79 ]76

matanya berkedip-kedip, menyesal berulang-ulang menahan nafas, resah gelisah tidurnya, setiap memejamkan mata terkejut, lalu datang, Ni Alit Warsiki, mengunci pintu dan mendekatinya.

3. Serta sekarang tidur di samping I Mladprana, mengusap pipi, mengusap-usap punggungnya, membantali tangan memeluk, berkata suaranya halus, "Hiburlah hati Kakak, saya tidak menyalahkan perasaan Kakak, sudah dalam hati, dan saya, turut bersusah hati, rasa malu ditinggalkan.

4. Itulah sebabnya saya mengingatkan dengan keras, berkata memperingatkan sekarang pada Kakak, kalau bisa bunuhlah saya terlebih dahulu, supaya tidak mewariskan sakit hati, keinginan saya pada Kakak, karena Kakak terlalu ikhlas meninggalkan, karenanya, biarkanlah saya mati terlebih dahulu, mati setia pada Kakak."

5. I Mladprana menyela menjawab dan berkata, "Oh Adik permata hati, janganlah merasa khawatir, di mana ada Adik dengar, kumbang tidak menginginkan bunga, membuang bunga yang sedang mekar, mencintai yang sudah layu, pikirkanlah supaya jelas, kalau bersama Adik, memang didasarkan oleh kehendak orang tua, menyatukan persaudaraan."

6. Begitulah Ni Warsiki dimanishati, serta langsung melakukan pertemuan asmara, karena tumben diliputi perasaan cinta, Ni Warsiki lemas sekali, kemudian tertidur nyenyak, berbantal tangan berpelukan, berbelit bertindih paha, I Mladparna, berpura-pura lesu bermaksud mengintip, tidurnya Ni Warsiki.

7. Sekarang sudah lewat tengah malam, I Mladparna bangun pelan-pelan, hatinya sangat bingung, mendapat cinta kasih bagaikan dibangunkan, ingat pada Jangga Ketaki, bisa menyatukan cinta, melupakan segalanya kalau menyatu, menghapuskan perasaan baik, tidak setia, pada sanak keluarga, serta nasihat orang tua.

8. Pikirannya buyar kalau sekarang pergi, jelas dibenci, oleh teman dan keluarga kalau langsung menentang, tidak tahu menghargakan cinta, bingung sendiri sedih cinta dan setia, cinta yang tidak menentu, sebab pergi tidak diketahui, di mana cari, cari supaya dapat diajak berbicara, supaya tahu yang sebenarnya.

9. Kalau sekarang sampai hati meninggalkan orang yang tertinggal, jelas dapat diterka, sangatlah sakit hatinya, begitulah I Mladprana bingung, termenung bingung tidak sampai hati, lagi mendekati Ni Warsiki, ditangisi dan diciumi, setelah merayu Ni Warsiki, bagaikan terpukul, hatinya teringat, pada Ketut Oka.

10. Kemudian bangun mendadak bersiap akan meninggalkan pelan-pelan. [ 80 ]

77

ditarik oleh perasaan sayang, hatinya tidak ikhlas, bimbang ragu, hancur lebur, setiap langkah menoleh, air matanya bercucuran, bagaikan tercabut tanpa tenaga, dada sakit terasa pecah, dan kembali, mengambil kertas kemudian menulis, dengan hati hambar.

XLIX. PUH MAS KUMAMBANG

1. "Adik sayang, sekarang saya mohon pamit, mencari Ketut Oka, perginya secara diam-diam, agaknya seperti dicuri.

2. Karena itu saya, berusaha mencari kebenarannya, kalau saya ingatkan, sekarang berkata pada Adik, rasanya dia pergi tidak ikhlas.

3. Karenanya saya, sekarang berkata pada Adik, jangan salah paham, menduga saya tidak setia, karena pergi secara diam-diam.

4. Asal sudah jelas, tentang dia Ni Jangga Ketaki, saya akan kembali, ke sini menghadap Adik, janganlah Adik bersedih hati.

5. Perasaanku, menyayangi Adik berdua, bagaikan timbangan, tidak ada lebih berat, berani bertaruh dengan jiwa.

6. Itulah sebabnya, Ni Jangga Ketaki, suka diajak menderita, Adik karena dijodohkan orang tua, rupa sama, tingkah laku kesetiaan sama,

7. Sama-sama, disayangi, yang wangsanya tinggi, dan baktinya tinggi, berbakti pada suami.

8. Begitulah, kata-kata saya yang sebenarnya, janganlah salah sangka, saya mohon kenang-kenangan, sebagai tanda kesetiaan.

9. Kepunyaan Adik, cincin pendok yang di kelingking, selendang handuk Adik, sekarang saya minta, saya pakai pengganti Adik.

10. Ini saya, sekarang memberikan Adik, umpal sutra hijau, cincin saya di kelingking, cet wareg turun-temurun.

11. Anggaplah saya, sudah bersama-sama di sini, itu laksana saya, senang menasihati menyanding, mendampingi setiap hari siang malam."

12. Selesai menulis surat ditaruh, di dadanya Ni Warsiki, diambil handuknya, membukakan cincin yang di kelingkingnya, kemudian I Mladprana pergi.

13. Kepergiannya, ikhlas menuju laut, tidak diceritakan dalam perjalanan, sudah sampai di tepi pantai, melihat pulau kecil sekali.

14. Rasanya menyembunyikan Ni Jangga Ketaki, air menjaga, serasa ombaknya menahan, riaknya bagaikan bersorak. [ 81 ]78

15. Di sana memanggil-manggil, I Mladprana menjerit-jerit, "Ketut Oka, ke pinggirlah sebentar, hanya supaya Adik saya temui.

16. Saya rela, meninggalkan istri datang kemari, sengaja menemui Adik, Adik tidak mau pinggir, mendekat karena merasa sayang.

17. Adapun saya, tetap untuk menyatu, menyatukan persaudaraan, akan di- benci keluarga, tidak disukai Paman.

18. Tidak dirasakan, nasihat yang sebenarnya, hati saya gelap, setiap hari rencananya bingung, selalu menyebut-nyebut Adik.

19. Adik, ingatlah sedikit, kesetiaan saya yang dulu, walaupun sekarang Adik melupakan, relalah berbicara sebentar.”

20. Begitu, I Mladprana di sana mengigau, sampai siang, lautan terasa meng- asihi, karena waktunya sudah surut.

21. I Mladprana, cepat-cepat berjalan ke dalam, tidak menghiraukan lum- pur, ia kotor dan basah, diceritakan sampai di pulau kecil.

22. Sampai di sana, terheran melihat batu padas, dan berkata ngawur, "Ya Adik Jangga Ketaki, lihat saya menahan sakit.


L. PUH DANGDANG

1. Panas terbakas mengakibatkan Adik tidak terlihat, tidak ikhlas ke mana-mana, rasanya lebih baik di sini, kalau untung supaya berjumpa; Adik di, sini di pulau kecil, kalau Sang Hyang Titah tidak berkenan, su- paya saya mati di sini, mati mengharap-harap Adik, begitu selesai, ke- pingin teguh tidak menyerah, sengaja menyayangi Adik."

2. Begitu I Mladprana, tetap pada pendirian, dan ia bersila, menyatukan pikiran yang suci, menghapuskan pikiran yang kotor, menyatukan pikir- an dan kemauan, dan mematikan rasa, diikat oleh sarinya pikiran, me- nyembah Hyang Ludra, tidak diceritakan, I Mladprana di tengah pulau, diceritakan di Purbawyadnyana.

3. Ketika Alit Warsiki bangun baru duduk, melihat surat, kemudian di- ambil suratnya, selesai membaca meresap di hati, lihat cincin di keling- king, serta handuk benar hilang, dilihat juga ada pengganti, cincin serta selendang hijau, dan diambil, dipeluk dan ditangisi, merasa perih dan mencaci.

4. "Ya Kakak benar-benar terlalu teringat pada kesetiaan, yang disayangi

bisa, sekarang menipu pergi, mengaku sayang tetapi bohong malu di [ 82 ]

79

muka berani di belakang, keliling menjajakan meminjamkan, yang Kakak sayangi, katanya menyayangi Kakak, sayang di mulut, juga Kakak terlalu percaya, membalas dengan kesetiaan sejati.

5. Tidak sesuai antara kata-kata dengan pelaksanaan menyayangi, yang disayangi bagaimana, apakah ikhlas menerima, telanjur takut tersandung, semua kehendak diikuti, jinak bermaksud setia, mulutnya dimasuki nira, manis enak ditelan, tidak diketahui, ia akan menyakiti, menyakitkan perut.

6. Menurut saya Kakak kena siya-muwa, dan pangirut buwana, pamegeng dan pangasih, kalau tidak benar begitu, mengapa ikhlas berani mencari, orang sudah jelas rela, juga sekarang dicari dan dikejar, tidak bisa memutuskan rasa sayang, menyedihkan, orang gila nakal, tidak bisa menerima kesetiaan.

7. Seharusnya kalau orang didorong oleh harta, dibayar dengan meladeni, kalau berutang cinta kasih, bayar dengan bakti setia, kalau berutang kasih dengan kata-kata, bayar dengan kesetiaan dan kesenangan, Kakak sekarang berpikiran lain, yang menipu dibalas dengan kebenaran, hati saya yang bersungguh,sungguh, hati saya benar-benar bakti, Kakak balas dengan kata-kata bohong.

8. Karena ramah sekarang pergi diam-diam, meninggalkan rumah istri, orang tua saudara dan keluarga, menuruti hati yang bingung, tidak menghitung ling ing aji, wariga tidak diperhatikan, tan pakadang angan kidung, saudara agamanya ditinggal, semua lebur, hati saya tidak disayangi, bwana-mabah sudah goyah."

9. Begitulah Ni Warsiki marah mukanya merah, marah gemetar, karena sengaja menyayangi, yang disayangi lain-lain, menyebabkan sakit hati, hati sayang dan marah, marah karena ke sana dia pergi, kalau dibiarkan menjadi gelisah, kalau terpejam, ingin untuk mengikuti, ditahan semakin mendesak.

10. Ni Warsiki kemudian menjungkir memeluk bantal, menghibur hatinya marah, marah karena ditinggal, setiap bangun bertambah bingung, dada berdebar kepala pusing, bagaikan dibelah merasa panas, kerongkongan kering, penglihatan terasa kabur, resah gelisah, kembali terjungkir, tidak berani pada orang ramai.

11. Bila diingat banyak sekali yang menyebabkan sakit hati, keadaan orang yang ditinggalkan, putuskan ceritanya sekarang. Wakparusa Kawitweruh, Ni Luh Ngasa mengikuti, ke sana meninjau ke tempat tidur, didapat Warsiki menjungkir, tidak bersama I Mladprana, Ni Luh Ngasa, menanyai Ni Warsiki, "Kakakmu ke mana?" [ 83 ]

80


12. Ni Warsiki marah tidak menoleh seperti batu, marah menyodorkan surat, sudah terasa di hati, kemudian diberikannya kepada mereka berdua, keduanya membaca surat, setelah mengerti keluar, menyampaikan kepada keluarganya, yang diceritai marah sekali, bukan main menyesalkan kesetiaannya.

13. Semua orang yang berada di sana kumpulan keluarga, dari I Mladprana, seperti Kawitweruh, keluarga yang perempuan, Wakparusa berbicara, ribut silih berganti, membuat perencanaan bingung bertengkar, ada mengusulkan supaya mencari, yang lain tidak ingin mencari dia, lebih baik Ni Warsiki dinikahkan.

14. Sayembarakan pada saudaranya yang masih bujang di sini, yang mana dipilih, oleh Ni Warsiki, supaya jadi, menikah Ni Warsiki, karena sudah selesai, bagaimana malunya kalau batal, begitulah rencana semuanya, tidak diceritakan, yang berbicara saling melampaui, ceritanya diganti.


LI. PUH GINANTI

1. Sekarang diceritakan di Pratama, Sang Prabu Nirnaya bangun, Ketut Oka masih tidur, upacara masih siap, Sang Nata kemudian mandi, selesai mandi kemudian dihadap.

2. Oleh Demung Tumenggung, beserta para menteri, seperti Mpu Datumala, serta patih Bayahuri, berbicara sambil tertawa-tawa, kemudian pendeta berkata.

3. Kata-katanya pada Sang Prabu, "Tuan memang beruntung mendapat istri utama sekali, pemberian Dukuh Sakti." Sang Prabu kemudian berkata, "Ya benar saya mendapatkan.

4. Sekarang silakan pendeta, memikirkan hari baiknya, baik untuk hari perkawinan, tetapi supaya segera." Kemudian pendeta menghitung, selesai menghitung kemudian berkata.

5. Lagi tiga hari Tuanku, hari baik untuk menikah, kajeng pada sasih kelima, saat sukra umanis, jelas tanggal ketiga belas, pertemuan yang utama."

6. Sang Prabu berkata halus, "Kebetulan sekali mendapatkan segera." Kemudian ia berkata, pada Gusti Patih, "Kamu mengusahakan supaya beres, pekerjaan pada sukra manis."

7. I Patih berkata halus, "Saya akan laksanakan." Kemudian I Patih mengaturnya, untuk pertemuan yang mulia, banyak menjalankan undangan, pekerjaannya diurus masing-masing. [ 84 ]81


8. Tidak diceritakan yang mengurus pekerjaan, sekarang diceritakan pela- yannya, Ni Wiraja dan Padapa, Salaga serta Losari, menyediakan air un- tuk mandi, bunga-bunga yang harum.

9. Lama menunggu Sang Ayu, karena belum juga bangun, Ni Ulasari ber- kata, "Ayo kita bangunkan." Mereka bertiga berkata, "Siapa sanggup Kakak tidak berani."

10. Ni Ulasari sanggup, dan ke tempat tidur membangunkan, didapat Ni Ketut Oka, menjungkir nangis tersedu-sedu, sambil memikirkan akal, supaya dapat menghindar.

11. Ni Ulasari berkata, "Bangunlah Tuan." Ni Jangga Ketaki menurut, ke- mudian mandi dan berbersih, selesai berias, kemudian duduk di teras.

12. Melihat kesunyian pintu gerbang yang bagus, berisikan ukiran permata, mengukir’ kesedihan yang bertambah, pintu emas terlihat samar-samar, kurus kering mekar dalam kekaburan, terpencar seakan pergi.

13. Dewa alus dan suci, terlihat tidak menentu, tembok kaca terbayang, ukiran cina dan ulandi, semakin membangkitkan kesedihan, keinginan sendiri tidur ke dalam.

14. Sedang tidur sendirian, ada tikus datang mempermainkan, ia geregetan dan memukul, tikus kena kemudian mati, mayat tikus disembunyikan, kemudian darahnya diambil.

15. Digosokkan pada paha, kain dan betis, serta bangun berlari, memberi- tahu Ni Ulasari, "Aduh Luh sekarang apa daya, saya datang bulan di sini."

16. Ni Ulasari berkata, pada semua saudaranya, keempatnya ke sana, me- mang benar ia berisi darah, Ni Wiraga ke luar, sesampai di sana berkata pelan-pelan.

17. Kepada Baginda Raja, cepat-cepat ia berjalan, setelah sampai di peng- hadapan, duduk langsung bersujud, serta berkata pelan, perlahan kata- katanya manis.


LII. PUH DANGDANG

1. "Ya Tuanku Jangga Ketaki datang bulan, baru selesai mandi, sedang du- duk di teras, saya ajak memuji mandi." Sang Nata kemudian masuk, se- sampai di dalam, kaki Ni Jangga Ketaki dilihat, mengalahkan bunga pu- dak, putih mulus, sayang berisi darah, kemudian Sang Nata berkata. [ 85 ]82


2. "Ya kamu anak-anak hambaku laki perempuan, kau semuanya, pergilah ke Pamengkang, antarkan Sang Ayu, kemudian tunggui di sana." Menu- rutlah semua mengiringkan, Sang Prabu berkata halus, pada Ni Ketut Oka, “Ya Adik, di Pamengkang dua hari, selesai mandi kembali lagi kemari."

3. Ketut Oka mohon diri dan berjalan ke Pamengkang, sesampai di sana, hatinya masih bingung, berhasil berpisah dengan Sang Prabu, bagaimana mencari I Mladprana, begitulah pikirannya tidak dapat dilupakan, ke- mudian ia tidur menjungkir, mengaduh-aduh berdesah, penglihatannya kabur, air matanya bercucuran, menangis tersedu-sedu.

4. Ni Ulasari bingung sekali menyaksikan, yang menderita sengsara, sangat kasihan juga hatinya, mendekat memeluk kaki, "Duh Dewa Sang Ayu yang utama, apa yang disusahkan katakanlah pada saya, mungkin saya bisa, menghilangkan, dengan ladenan pelaksanaan bakti, saya bersedia menuruti."

5. Kemudian Sang Sayu menjawab tersendat-sendat pelan, "Ya kalau kamu setia, dengan perasaan ikhlas, Kakak beritahu kamu, sebabnya Kakak sakit hati, Kakak bersaudara dua orang, sekarang ditinggal jelas sedih, Kakak sudah senang di sini, ia di rumah, jelas sakit hati, mungkin saja bisa membuang diri.

6. Ni Ulasari menyela menjawab, "Kalau benar, itu sebabnya, saya menu- ruti kehendak, sekarang mencari pulang, buatkanlah sedikit surat, ini pensil dan kertas." Jangga Ketaki menyahut, "Bisa kamu merahasiakan, supaya jangan, diketahui kedatangannya kemari, oleh orang-orang Pra- tana.

7. Supaya jangan orang di sini tahu, menyatakan memilih suami, mati ti- dak berteman." Ni Ulasari menjawab, "Janganlah khawatir Gusti, saya tidak akan bodoh, saya berbakti dengan tulus ikhlas, walaupun jauh di- pisahkan hutan, saya mengantar, cepatlah menulis surat.” Ketut Oka kemudian menulis,

8. "Oh ini cincin, andaikan Gusti, saya menghadap Kakak, mengingatkan cinta kita, karena sekarang Kakak masih teguh, supaya jangan Kakak lu- pa, pada kesetiaan yang sudah lewat, walaupun berjauhan tempat, supa- ya jangan Kakak menganggap saya kurang setia, pada Kakak, saya be- nar-benar masih cinta.

9. Walaupun sekarang Kakak tidak ingat pada saya, jadi memusuhi, tidak mengingat kesetiaannya, walaupun Kakak tidak cocok, tidak henti- hentinya saya menggantungkan diri, walaupun berjauhan tempat, hati saya sudah di sini, benar-benar jiwa saya, tidak berpisah, pada Kakak se- lalu melekat, karena besar kasih sayangnya. [ 86 ]83


10. Walaupun tujuh kali menjelma menjadi manusia, supaya bertemu, lagi ingatkan cinta kita, lekatnya seperti dahulu, karena cintanya melekat di hati, sekarang kehendak Bhatara, memisahkan saya dengan Kakak, ka- rena cinta Kakak putus, pada saya, putus sekali, rasanya tidak berbekas sedikit pun.

11. Ya walaupun sekarang sudah ada yang lebih baik, tempat menggantung- kan pikiran, yang menghanyutkan hati, janganlah putus sekali, berpa- ling dan bermuka masam, ingatlah sedikit, kesetiaan saya yang sudah lewat, tidak pernah merasa goyah, terus menerus, tidak berubah sedikit pun, berbakti seumur hidup.

12. Begitu sebenarnya hati saya berbakti selalu setia, tertuju pada Kakak, berani mempertaruhkan jiwa, sekehendak Kakak saya turuti, umpama- nya sekarang Kakak, menipu membohongi saya, di depan serasa takut, melawak rasanya setia menurut, diperhatikan, Tuan melempar sembu- nyi tangan.

13. Kalau tidak demikian hati Kakak pada saya, mengapa langsung diserah- kan, pada Ni Dukuh Sakti, dan dipersembahkan pada Sang Prabu, di negara Pratana, raja Nirnaya yang jejaka, banyak memiliki tentara kaya tampan, juga akan saya layani, saya tidak ingin, untuk menduakan suami, hanya ingat pada Kakak.

14. Itulah sebabnya sekarang saya mencoba, kalau memang Kakak, masih ingat sedikit saja, ingat karena sudah terlanjur bersama-sama menderi- ta, carilah saya ke sini, kalau Kakak sudah ikhlas, titipkanlah kepada saya cincin, yang di kelingking kanan, tanda putus, saya mohon pamit meninggal, meninggal karena setia takut berpisah.

15. Di kemudian hari supaya bersama-sama menjelma menjadi manusia, ini- lah permohonan saya, pada Sang Hyang Uma-Stiti, supaya menyaksikan dan menunjukkan, supaya saya menjadi orang laki-laki, Kakak menjadi wanita, supaya menemukan sakit hati, begini seperti saya, tidak henti- henti, benci malu prihatin, akan menghamba pada Sri Nata."

LIII. PUH SINOM

1. Setelah selesai menulis surat, berkata pada Ulasari, "Nah ke sanalah se- karang berangkat, menuju hutan Suradwipa, sesampai di sana belok ke timur." Ni Ulasari berjalan, sudah sore dan hari sudah malam, sekarang

sudah sampai di hutan, dan terus, berjalan menyusuri hutan. [ 87 ]

84


2. Perjalanan amat sukar, tidak diceritakan Ni Ulasari, diceritakan I Mladprana, teguh bertapa di tengah pulau kecil, ketika malam sepi, sekarang datang Sang Hyang Ludra, berkata pada I Mladprana. "Nah apa yang kamu harapkan, di sini membuang diri, bercebur di tengah lautan,”

3. I Mladprana melihat sekeliling, memperhatikan baik-baik tetapi tidak tampak, kemudian berkata menerawang, "Siapa yang berkata ini, permohonan saya besar, supaya mengalahkan musuh, serta danur weda sastra," Hyang Ludra kemudian berkata, "Oh kamu, manusia terlalu utama.

4. Saya ini Sang Hyang Ludra, sekarang menganugrahi kamu, panah kecil mudah dibawa, namanya Ki Maya-geni, setiap yang kena bisa mati, kalau sukar karena kebanyakan musuh, pusatkan pikiran kemudian keluarkan, raksasa-raksasa yang sakti, yang menadah musuh, serta segala kekejaman.”

5. Selesai beliau menganugrahi, sekarang gaiblah Hyang Ludra, I Mladprana gembira sekali, pagi-pagi kemudian ke tepi, segera berjalan ke barat, diceritakan Ni Ulasari, berjalan tidak berhenti-henti, serta segala dan sudah sore, dan bertemu, I Mladprana di jalan.

6. Ketika bertemu pandangan, bengong Ni Ulasari melihat I Mladprana, manis tampan tidak ada tandingan, malu-malu mendahului menyapa, memperbaiki selendang kemudian jatuh, melucu I Mladprana berkata, "Mengapa sakit hati, sayang sekali, badanmu terjatuh.”

7. Serta ia mendekat, ingin saat itu ditarik, serta bertanya sambil tersenyum, "Ya Anda dari mana, apa perlunya kemari, Anda wanita sendirian membuang diri.” Ni Ulasari berkata, menceritakan kejadian, selesai bercerita, I Mladprana ganti berkata.

8. "Ya sayalah saudaranya, dengan Ni Jangga Ketaki, kamu mengaku utusan, mana bukti yang sebenarnya." Ni Ulasari menyodorkan, suratnya dengan cincin, I Mladprana menerima suratnya serta dibaca dalam hati, benar-benar mengharapkan sekali.

9. Kemudian ia berkata, "Oh, kamu Ni Ulasari, mari kembali sekarang.” Ni Ulasari mengiringi, sekarang kembali berdua, malam hari berjalan di hutan, bulan sudah tenggelam, Ni Ulasari payah, dan berkata, "Mari istirahat Tuan."

10. I Mladprana menurut, keduanya tidak diceritakan, sekarang diceritakan Ni Dukuh Sakti, melancong di kala malam hari, ditemukan I Mladprana, Ni Dukuh berkata samar, "Oh kamu Mladprana, ke sini menjajakan jiwa, merasa batal, kamu akan dipakai cundang di sini." [ 88 ]85


11. I Mladprana melihat dengan jelas, jelas kelihatan Dukuh Sakti, kemu- dian diambilkan panah, yang bernama Maya-geni, Ni Dukuh mati ter- bakar, tidak dapat mengelak mati, I Mladprana berkata, "Oh kamu Ula- sari, ayolah, karena hari hampir siang."

12. Kemudian langsung berjalan, pelan dan berulang-ulang mengaso, sesam- pai di tepi desa, matahari sudah terbenam, I Mladprana kemudian ber- kata, "Mana negeri Pratana itu." Ni Ulasari menjawab, Ini sudah dekat istana." Dan langsung, sesampai di halaman istana.

13. Ada kira-kira satu setengah jam, lampu sudah menyala, diikuti terang bulan, persis seperti siang hari malam itu, semua pelayan gembira, sudah selesai memasang bangunan darurat, beratap dengan sutra, I Patih di sana memimpin, dan Tumenggung, serta Demung pemimpinnya.

LIV. PUH DEMUNG

1. Ulasari kemudian berkata pada I Mladprana, "Tuan kemarilah ikuti, se- dang hilir mudik, supaya samar ke puri." I Mladprana menurut, turut mengikuti, menuju ke pamengkang, tidak ada orang menyapa, sesampai di sana I Mladprana, disembunyikan di bawah bakung.

2. Ni Ulasari langsung ke sana mengintai, ke tempat tidur Sang Ayu, dida- patkan dia menjungkir, pelayan di sana menghadap, Padapa Wiraga Sala- ga, ketiganya berkata, "Ada pekerjaan apa, ke mana dari tadi malam, enak perasaan kamu meninggalkan, Kakak bertiga bengong.

3. Tidak dapat menghibur yang menderita. Nah mungkin sekarang kamu sanggup, menghibur sang Ayu, Kakak akan menuruti kamu." Ni Ulasari berkata, "Jangan Kakak ingkar pada kata-kata." Ketiganya berkata, "Kalau Kakak ingkar pada kata-kata, supaya selamanya tidak bahagia, perbudaklah Kakak sekehendakmu."

4. Ni Ulasari kemudian mendekat, "Ya Ratu Sang Ayu, berhentilah men- jungkir, Kakaknya sudah datang." Ni Jangga Ketaki diam, Ni Ulasari keluar, mencari I Mladprana, "Cepatlah Tuan ke sini, Adik Tuan sedih sekali, tidak dapat makan tidur."

5. I Mladprana kemudian langsung ke tempat tidur, sampai di sana meme- luk bahu, meraba pipi, mengambil susu, sambil mencium mengisap bi- bir, Ni Jangga Ketaki masih kesal, menyenggol mukanya masam, meng- hindar sambil menolak, marahnya bukan main, karena salah pengertian, supaya dapat juga ngambul. [ 89 ]86


6. I Mladprana kemudian berkata, "Ya Adik, mengapa merajuk salah pe- ngertian, Adik kira bagaimana, makanya saya datang ke sini, sengaja mencari Adik, aku bertaruh nyawa untuk Adik, kalau ketahuan, direbut di sini, walaupun sampai mati, mati menyayangi Adik.

7. Lagi pula dari dulu tidak ada, yang Kakak sayangi, hanya Adik, sangat menyintai, merasa sebagai permata hati, tunduk menyerah diperintah, sekehendak saya menurut, tidak pernah terlupakan, walaupun banyak umpat, karena tidak bisa dihalangi, perasaan setia pada Adik.

8. Apa sebabnya hati saya demikian, ingat di kala bermesraan, tidak ada mamanduk, teringat menyakitkan hati, lagi pula bisa melakukan kese- tiaan, menurut tidak pernah menipu, ingat setia sekali, sesuka-sukanya akan dilakukan, seperti sekarang menimbulkan, perasaan cinta selalu pa- damu.

9. Bagaimana saya bisa melupakan Adik, hati cinta sampai mati, kalau gu- nung itu belum terbalik, lautan semuanya kering, bintang trenggana ber- jatuhan, rumput tinggi mencapai embun, jelas tidak bisa, saya berpisah pada Adik, Adik mengingatkan bagaimana kesetiaan saya dahulu,

10. Janganlah bersungguh-sungguh menyakiti saya, dengan alis ratu yang bagus, kalau jadi marah, sekarang saya mohon pamit, merusak rumah pernikahan, sebagai tanda setia selalu, supaya ketahuan, direbut di sini diikat, dibunuh menjadi korban, relalah ratu menolong."

11. Sang Ayu kemudian memberi tahu, "Aduh Tuan, mengapa sengaja pas- rah, bagaimana pikiranmu, mungkin mengira tidak bakti, mustahil saya tidak setia, belum habis kesetiaan saya, masih meraba-raba, merayu Ka- kak sangat besar, kalau tersinggung sebentar, karena menduga Kakak menipu,"

12. I Mladprana menjawab, "Kalau benar, Adik masih setia, ayo cepat ke- luar, meninggalkan desa ini." Jangga Ketaki menurut. I Mladprana ke- mudian berkata, kepada keempat pelayan, "Oh kamu semua, kalau ka- lian punya perasaan, setia pada Kakak si miskin.

13. Ayo kalian berempat ikut, bersama Kakak pulang, ya kalau kalian hen- dak bermusuhan, sekarang ke puri, sampaikan pada Sang Nata, supaya jelas lebur, bumi Pratana, nah kalau tidak selamat Kakak mati, nah di situ tolonglah, tutup dengan kain dan selimutmu."

14. Semua pelayan menjawab, "Oh Dewa, bukannya saya ingin bermusuh, saya bersedia menurut, menurut pada adik Tuan, berbakti pada Tuan, supaya ikut suka duka, hidup maupun mati, begitulah yang sebenar-

nya." I Mladprana menyela berkata, "Kalau begitu bersiaplah kalian." [ 90 ]

87


15. I Mladprana mamusti ngaregepang, memasang sesirep kemudian, semua tertidur nyenyak, semua orang Pratana, Ni Jangga Ketaki keluar, serta keempat pelayan, lancar tidak ada hambatan, paling depan Ni Ulasari, tidak diceritakan perjalanan itu, sudah sampai di Tegalneku.

16. Diceritakan pagi-pagi sekali sang Prabu bangun, memberitahu pelayannya, yang tua, "Ke sana kamu memberi tahu, sang Ayu di pamengkang.” I Tanmala segera berjalan, sesampai di pamengkang, didapatkan sepi sekali, Tanmala kembali menyampaikan, kata-katanya keluar tidak jelas.

LV. PUH MIJIL

1. "Ya Tuan sang Ayu tidak ada, di Pamengkang sepi.” Sang Nirnaya mendengar laporannya, terkejut, pucat sekali, "Cari I Patih.” Kemudian Tanmala mencari.

2. Setelah Tanmala sampai di luar, ditemukan semua terlentang, Demung Tumenggung masih tidur, para mantri, dan Gusti Patih, serta rakyat tidur nyenyak, sekarang semua dibangunkan, dan semuanya bangun.

3. Semua bangun, menghadap ke puri, di sana serentak bersila, sang Nirnaya, kemudian berkata, "Kalian semua dan saya ditinggalkan sang Ayu.”

4. Yang diceritai ada menangis menjerit, ada bingung, Gusti Patih merah padam mukanya, malu sekali, mengerumuk menyesal, "Aduh apa yang hendak dilakukan sekarang, malu yang kita peroleh.

5. Karena terlalu diharapkan sekarang, mencari yang baik, akhirnya mendapat malu, terlalu memilih, menyebabkan salah, punya dari hasil mencuri, sekarang pencuri telah berbuat,

6. Kata-kata manis juga yang menyakiti, kelihatan jinak, melukai menyakitkan hati diri terhanyut, sekarang sakit hatinya, karena berpura-pura manis, dapat dipegang menyebabkan susah.

7. Sekarang Gusti Patih susah, menyampaikan pada sang Nata, "Ya Tuanku di taman. sekarang, cari istri Tuan, siapa tahu dia ke permandian, sangat asyik mandi.”

8. Sang Prabu membenarkan I Patih, berangkat ke taman, Gusti Patih berkata pada Demung, Ki Tumenggung, serta para mantri, semua pada mengiringi, ke sana berjalan menanyakan.

9. Sira Demung Tumenggung dan mantri, semua yang mengiringi, dan [ 91 ]

88

mengutus supaya membunyikan kentongan, geger gencar, kentongan berulang-ulang, senjata yang bagus, panah tombak bedil tulup.

10. Sira Mantri memakai pakaian serba kuning, bersenjata panah, Ki Tumenggung pakaiannya merah, bersenjata pedang dan suligi, demikian pula Demung, berpakaian hitam bersenjata limpung tombak.

11. Serta berangkat menggoncangkan alam, menuju timur laut, tidak diceritakan sikap Tumenggung, Sang Nirnaya, sekarang diceritakan, I Patih yang mengiringkan, sudah sampai di taman bunga.

12. Sesampai di sana melihat daun tampak bola, bergerak di atas pancuran, itu disangka, memanggil-manggil, menunjukkan yang dicari, sang Nata menuju ke sana.

13. Tetapi bukan permata hati, tampak bela dirabas dihabiskan pohonnya, kemudian melihat, kelapa gading muda, kembar kecil mungil, disangka susunya sang Ayu.

14. Pohon pudak cinaga berbau harum, amat muda, betis sang Ayu, demikian pula tunas sokasti, muda menyamai, keluwesan sang Ayu.

15. Sari bunga tunjung biru berbau harum, juga ikut durhaka, sengaja menyamai mata sang Ayu kuneup bakung, durhaka menyamai jari-jari, daun intaran iri, menyamai alis sang Ayu.

16. Di sana sang Nata marah sekali, pada yang disangka, menyamai kebaikan sang Ayu, sekarang habis, semuanya dihancurkan, dan ia langsung ke dalam taman tersebut.

17. Sesampai di sana mencium bau harum, gadung melati selaga, sedap malam, dan anggrek lonjong, di sana Ida Sang Nata mangurimik, "Ratu yang meninggalkan, berhentilah minggat dan bersembunyi.

18. Yang menyamai sudah semua mati, sekarang sendirian, ratu yang unggul mengenai kecantikan, menghambakan, saya kesedihan, bersedia dan menghamba, menghamba kepada Tuan."

19. Selesai berkerumun sekarang naik, ke meru dan membuka pintu, kemudian me1ihat area terang mulus, berbentuk Bhatari, Sang Hyang Giri Putri.

20. Sang Nirnaya kemudian mengambil, disongsong area tersebut, "Ya ratu mas lanjutkan kerelaannya, sedang merayu, gaya Jawa, ditiup angin, rasanya menyoraki sang Ayu.

21. Sang Sri Nata menoleh ke kanan kiri, melemparkan arca tersebut, sudah tiba dalam telaga, tidak diceritakan, sang Prabu sekarang, diceritakan yang dalam perjalanan, sikap I Demung Tumenggung. [ 92 ]

89

22. Sekarang ditemukan sang Ayu, di Janggala Wiyar, I Mladprana mengaku mengambil, sekarang sira Demung kembali, menunggang kuda dengan cepat, menyampaikan pada sang Prabu.

23. Sang Nirnaya marah sekali, kemudian beliau pulang, dan berhias berpakaian kebesaran, selesai berias, kereta sudah siap, I Dusbudi sebagai kusir, kuda yang menarik delapan ekor.

24. Persenjataan setelah disimpan pada kereta itu, setelah semua prajurit bersiap-siap, mengendarai wajik, dipimpin oleh I Patih, sekarang sudah lengkap mengendarai gajah.

25. Dan semua prajurit berangkat, terlihat bagaikan mega, Gusti Patih bagaikan angin, Sang Sri Nata, bagaikan kilat, sang Bupati sekarang datang memimpin.


LVI, PUH DURMA


1. Guruh menggelegar, tidak henti-hentinya, matahari bersinar kuning, tidak memanasi, gelap gulitalah dunia, burung gagak galak menyambar, hujan lebat, anjing meraung tidak henti.

2. Sang raja ksatria tidak takut mati, tidak ragu berjalan, tidak diceritakan beliau, diceritakan Tumenggung, sudah dekat mengikuti dari belakang, memaki I Mladprana, "Ih kamu manusia sangat bagus.

3. Wajahmu tampan hatimu busuk, mengambil istri yang mulia, empat pelayan, tidak lepas dari mara bahaya, laksana ramai-ramai mencari api, terpesona pada wajah, tidak urung mendapat kesusahan.

4. Namun, jika kamu mau hidup takut mati, mengembalikan sang putri, tetap kau menyembah, setelah menyembah lari ke hutan, barulah kamu hidup, jika tidak demikian, aku sekarang membunuhmu."

5. I Mladprana menyahut kurang jelas, "Kau yang bagaikan api, badan muka merah, engkau tahu menerima sembah, jika kebesaran sembah, tidak tahu menerima, tidak luput mati kesusahan. "

6. Setelah demikian kata I Mladprana, cepatlah membentangkan busur, "Terima sembahku." Selesai dimantrai dilepaskan, keluarlah raksasa kembar, seperti Kalantaka, tombak pendek senjata ini.

7. Sang putri gemetar dan berkata, "Kak hamba tidak berani, melihat perkelahian." I Mladprana berkata pelan, "Jangan khawatir Dik, Kakak tidak akan jera, direbut musuh puluh ribuan. [ 93 ]

90

8. Agar Kakak tenang berperang, kalau demikian Adik menunggu, di pinggir hutan sana, kamu ini sekalian, seperti Ni Ulasari, semua mengiringi, berjalan di sana menunggu.

9. Tidak diceritakan kelima perempuan di hutan, sekarang diceritakan pertempuran, semua prajurit, bersorak merebut si raksasa, memanah menombak manulup menembak, raksa tidak bersinar, bagaikan dibangunkan marahnya.

10. Bergerak maju bagaikan singa memburu kijang, prajurit diinjak merintih, matanya muncrat, ada yang perutnya meleleh, limpa paru-paru dan hati, kepalanya hancur, ada lumpuh pincang.

11. I Tumenggung sangat malu hatinya, melihat prajuritnya kesakitan, selain yang sakit sudah mati, menyingkir tidak menghiraukan teman, sekarang menyerang beliau, bersiap akan berlaga, belum dapat ditandingi sudah mati.

12. Kemudian dua orang mentri sudah siaga, baru membentangkan panahnya, sudah kena tombak pendek, matilah keduanya, prajurit sisa yang mati, takut bergulungan, batuk tersengal-sengal tidak menoleh.

13. Bebas gemetar pada ketakutan, beliau Demung menjajagi, kemudian ditanyainya, sebab pada lari, prajurit tidak ada yang menyahuti, gemetarlah badannya ditumbak juga masih menunduk.

14. Beliau Demung segera mengambil kuda, memutar tombak sembari menuding, "Kau Mladprana, ini Demung kini hadapi, masak kau tidak akan mati." Setelah selesai berkata, raksasa dekat melihat.

15. Kemudian Demung dibanting, bersama kudanya lalu mati, prajurit membalaskan, seribu orang bersatu, merebut raksasa tidak mundur, prajurit banyak yang mati, sisa yang mati pada menyingkir.

16. Gusti Patih Bayahuri membalaskan, menduduki gajah, memutar senjata, baru ditusukkan tombaknya, gajah kena lalu mati, I Patih melompat, dengan tujuan menghindar.

17. Cepat menghunus pedang untuk memenggal, pedangnya terlepas, I Patih ditarik rambutnya, oleh kedua raksasa, ditusuk darahnya diminum, dipotong-potong, mayatnya Ki Gusti Patih.

18. Sang Prabu melepaskan tanahnya, senjata itu dimakan habis, oleh raksasa itu, kemarahan raksasa semakin menjadi, melepas senjata tombak keduanya, terkena Siandana, remuk beserta kusirnya.

19. Sang raja melompat menahan kecewa, menghadapi raksasa sangat sakti, karena terasa khawatir, tidak kalah dalam perang, kemudian sang raja, menyatukan pikiran, berwujud Santabudi. [ 94 ]

91


20. Setelah menciptakan raksasa tidak berhasil, kembali pada api maya, kalah oleh santa, sang raja kemudian membentangkan, panah beliau yang hebat Bujaga-pasa, setelah dilepaskan menakutkan.

21. Mulutnya menganga bagaikan gua, I Mladprana tersingkir, waspadalah I Mladprana, oleh karena raksasa kalah, sembari melepaskan panah, Winata-astra, keluarlah garuda yang sakti.

22. Dan Bujangga-pasa itu dimakan, baga habis garuda kembali, sang raja terkejut, kemudian melepaskan senjata tombak, I Mladprana menanggal kembali, dengan tulak tala, tumbak itu terpenggal.

23. Sang Nirnaya melihat tombak terpenggal, lalu sekarang mengambil, melepas panah sapu, I Mladprana melepaskan, bayu-bajra, yang amat dahsyat, panah sapunya habis, tergeletak berserakan.

24. I Mladprana mengambil panah Arda-candra, sang raja dibidik, setelah dilepas, kena hulu hati sang raja, darahnya muncrat bagaikan hujan, darah beliau menjadi, raksasa yaksa beberapa ratus ribu.

25. Kepalanya bagaikan Kalarau menganga, wajahnya menakutkan, terbang ke angkasa, mengejar I Mladprana, raksasa mayanya pada menjerit, gelap seperti mendung, taringnya bagai kilat.

26. I Mladprana seperti matahari bersinar, hingga bingar tiada takut, sambil mencipta, sari dari api maya, setelah keluar lalu dilepaskan, api melayang-layang, berkobar bersinar menakutkan.

27. Terasa bentangan langit penuh sampai ke bumi, oleh inti dari api siluman, membakar banyak raksasa, seperti raksasa Mastika itu, segera terbakar, matilah sang raja, serta mayatnya hangus.

28. Tidak diceritakan I Mladprana setelah berperang, sekarang rakyat Pratana, sisa-sisa yang mati, semua takut lari ke hutan, ada tunduk minta hidup, pada I Mladprana, berkumpul di Begari.


LVII. PUH SINOM


1. Diceritakan I Mladprana, mendekati Jangga Ketaki, di sana di tepi hutan, dilihat sedang duduk, diikuti pelayan, asyik pada menunggu, di bawah pohon beringin, takutnya bukan main, gelisah bingung, menuduh mereka yang berpetang.

2. Sekarang baru dilihat, I Mladprana mendatanginya, serta beriringan rakyat, sudah menyerah mohon ampun, rakyat Pratana mengiringi, Ni Ula[ 95 ]

92


sari menyampaikan, "Ya Gusti lihatlah, itu Kakak Gusti sudah datang, mungkin sudah, berhasil mengalahkan sang Nata."

3. I Mladprana kemudian mendekat, mendekati Jangga Ketaki, "Aduh Ratu permata hati, lihatlah rakyat menghadap, menyerahkan diri, rela Ida Sang Hyang Agung, berhasil menang dalam peperangan, sang Prabu sudah mati, ini ratu, semua rakyat jajahan.

4. Ayolah sekarang pulang Ratu, ke Purbawyadnyana, karena lama ditinggalkan, adikmu bagaimana rasanya, jelas sedih menangis tersedu-sedu, menyesalkan ratu ayu, karena musuh sudah habis." Ni Ketut Oka menjawab, "Mari pulang, supaya jangan lama ditunggu."

5. Aduh kalian, berempat, kalau memang kalian setia, ayo ikut pulang, ke Purbawyadnyana sekarang, di sana bersama-sama menderita, sudah terlanjur bersama-sama sengsara, rela membantu yang sedang sakit." Kemudian berkata, pelayan mengiringi.

6. Kemudian berangkat, pelan-pelan di jalan, sambil melihat-lihat alam sekitar, berjalan di hutan-hutan, tidak diceritakan di jalan, di Purbawyadnyana diceritakan, Wakparusa mendengar berita, konon I Mladprana kembali, di sana kemudian, memberi tahu semua keluarganya.

7. Keluarganya gembira, Ni Luh Ngasa memberitahukan, Ni Alit warsiki, "Aduh Gusti berhenti menangis, Kakak Gusti sudah datang, Ketut Oka menyertai, lagi pula beriringan banyak rakyat, ayo sekarang jemput." Kemudian bangun, Alit Warsiki bangun bersiap-siap.

8. Kemudian menjemput, sudah bertemu di jalan, Ketut Oka kemudian mendekat, Ni Warsiki didekati, keduanya berpelukan pada menangis, berjalan sambil bercerita, menceritakan peristiwa yang lalu, sebabnya hilang karena dicuri, oleh Ni Dukuh, dipersembahkan pada Raja Pratana.

9. Bercerita sambil berjalan, berda secara bergilir, sekarang sudah sampai di rumah, Kawitweruh menanyai, I Mladprana sekarang, mengenai peristiwa hilangnya dulu, "Kok tidak bilang, semua keluarga gempar, pada bingung, tidak tentu bekerja."

10. I Mladprana menceritakan, mengenai perjalanannya dulu, semua sudah diceritakan, sampai di tengah pulau kecil, mendapat anugrah Hyang Utama, sampai matinya Ni Dukuh, serta dapat berperang, dengan prabu Nirnaya, sampai selesai, sudah semua diceritakan. [ 96 ]

93

11. Karena semua sudah bahagia, pada mendapat keselamatan, berdasarkan kesetiaan hati, bersuami istri, sama-sama cinta sama-sama sayang, ya sekian selesaikan, gaguritan rangkuman, ceritanya sekedar berjalan, kesana kemari, selesaikan kekurangan kelebihannya.



Kabandungan antuk I Gusti Ngurah Rai bersama putra-putranya.

Selesai tanggal 28 Januari 1978.

•••

[ 97 ]

94

ALIH AKSARA GAGURITAN I MLADPRANA Om Awignam astu nama sidyam. Swakawya

I. PUH DANGDANG

1. Manah sarat Sujati saking ngapikin ngawe gita, anggen nyalimurang, pamrat ing sakit hatine, eling teken tumbuh lacur, uling cering nganti kelih, twara nawang keneh jirna, rasa Widine mamusuh, krana tong ngelah geginan, goba kasar, tiwas ludin tan pahaji, manah paitungan tuna.

2. Krana sami braya wargi dadi hati tan tolihan, pisaga tan lega, krana titiang payu sedih, sedih inguh manah sungsut, manyelselang sang dumadi, lintang tan pakerti pisan, karana jani titiang nemu, nemu kingking tan sah wirang, tan paneda, sanguin antuk pangawi, pinehke dadi lipurang.

3. Nglipurang citan sang ngawi iki lintang mokak, cangkap lintang langkap, pupuh gending liwat paling, kabatek pongahe ngetuh, twara takut kakedekin, inggih sudi sang mamaca, ida yadian dane ipun, makadi Hyang Kawiswara, Saraswatya, sweca ngampurayang ugi, titiang tambet mabet bisa.

4. Nyaritayang katuturane riyin satwa nungkang, masih kadurusang, ngawitin pangawi iki, dina Bregu Siwa Retu, ukun ipun Sila-Giri, kresna paksannya ping sapta, sasih kartika kawuwus, ulu weda rahnia sunia, isakannya, pawilangan cara Bali, sinia naga warga nora.

5. Cara Blanda tanggal nyane wiaktin netra sua, September wulannya, taunipun critang mangkin, cara ulandi punika, wong wreksa wulan asti, pradeseng sang ngawi gita, ring Manga nagareku, wetan ing wratmara ika, wesman ira, wah ing cita naman eki, ingaran sira ing perang.

6. Ampurayang tiiiang sang mangurit sami tuna, reh tan ja gaginan, manadi juru kawine, kewala antuk ulangun, ring satwan anake nguni, kerama laju ng we gita, anggen panyalimur inguh, inggih manahe lipurang, ban kakawian, satuane anggen nglemekin, manahe ibuk uyang.

II. PUHDURMA

1. Saking durma mimitan ing carita,carita yang ne mangkin, ring pradeseng Kasta, mangaran I Rudita, matur ring gurune mangkin, "Duh inggih bapa, titiang mapidaweg ugi. [ 98 ]

95

2. Mangda sweca bapa luas ka Wanapuspa, ngarsang Ni Jangga Ketaki, ring bapa Gede Taman, mangda sida ugi titiang matmu ring Jangga Ketaki, nah suba srahang, mangda yang ditu manjakin.

3. Yan tan sida antuk bapa matemuang, titiang ring Jangga Ketaki, sukayan, makadi titiang, matinggal satiba para, roaring luwah wana giri, nglebok samudra, sukayan titiang ring mati."

4. Raramannya gelis manyanggra mangucap, "Da cai nglalu pati, sida bahan Bapa, masa ko tuara kasidan, yan Bapa kema namakin, sinah ya kaserah, tuara ia bani nulakin.

5. Nah, ne jani cai nongos jua dijumah, Bapa luas kema ngidih." Ngararis mamargi, tan kocapan ia di jalan. Sampun rauh sane mangkin, ring Wanapuspa, jumah Gede Taman wiakti.

6. Tan kocapan puput pakarunan ira, I Rudita kaorahin, "Sida antuk Bapa, buin mani cai kema, tongosin ia adin cai, Bapa ngitungang, duasa pawarangan becik."

7. I Rudita kenyem tur alon angucap, "Titiang pitelas mangiring. Wenten pinunas titiang, papending gelang kana, sasimping lan skar mas sami, buat titiang mrika." "Nah to sara suba cai."

8. Tan kocapan wengi benjangnya caritang, semengan raris mamargi, tan kocapan di jalan, ya I Wayan Rudita, ring Wanapuspa parapti. I Gede Taman, manyapa madulur krnying.

9. "Cening Rudita semengan ko cai teka." I Rudita manyaurin, "Inggih rauh titiang, mangkin titiang mitulusang, bawos gurun titiang dibi, sweca jwa Bapa, marekang titiang ne mangkin.

10. Tur nuturin tingkah patut dados jadma, eda ngubda nglemeking." I Gede Taman angucap, "Da cai liu satua, Bapa suba dadi abesik, ring bapan wayan, nah dini suba ne jani.

11. Nah bisayang dewek caine manyama, tekenin ya adin cai, idihin ia ayah, rawosin di pedeman, mangdane ia dadi asih, raket masomah, tutut mangidepang munyi."

12. Kacutetang aketo pitutur ia, raris dane ngandikain, "Wih Jangga Ketaki, mai nyai jua paekang, baang base belin nyai." Raris ia prapta, mangenjuhang pabuan aris. [ 99 ]

96

III. PUH SINOM

1. I Rudita ia mananggap, raris ipun mangenjuhin, gelang kana sekar emas, papending lan ali-ali, "Niki Adi aturan beli, cirine bakti saturut." Ni Ketut Oka mitulak. Gede Taman muwus aris, "Tampi eluh, pabaan belin idewa.

2. Nyai suba plegang Bapa, jani ia ajak dini, bisang awake manyama, keneng-keneng ia ayahin, sapabaangnyane tampi." I Ketut Oka amuwus, "Inggih beli titiang nunas." I Rudita mangenjuhin, sada kenyung, sambilang ngecekin bancang.

3. Jangga Ketaki ngesiabang, "Sampun sih aketo beli. "I Rudita manyaruang, nyemak papuan nginang sirih. Reh ing lintang kabilbil, temakone pakpak malu, pamore kasisigang, lengeh lebuk tuara gigis, ban ulangun, ngantenang Ni Ketut Oka.

4. Ban pangguh kenehe liwat, dadi bingung lengah paling, manguyuk masebeng kiyap. Bayune ngareteg sami. Gede Taman muwus aris, "Masare ko cai dumun, nyai kema ngulig odak, borehin ia belin nyai," raris tedun, Ketut Oka ngulig odak.

5. I Rudita mangurayang, ka pedeman lawut nyumpling, Jangga Ketaki parapta, makta odak gading merik, "Gelisang matangi beli, maodak beli dumun." Wayan Rudita mage bras, raris dane kaodakin, ditu lawut, ngenjuang tangan ngabag tangkah.

6. Sampun usane maodak, caritanan jani wengi, ada nalikan ping tiga, ngranjing Ni Jangga Ketaki, I Rudita manutututin, Ni Ketut Oka amuwus, "Kema ke beli pesuan." I Rudita manyaurin, "Ngawos malu, beli nyerahang awak.

7. Apang nyai mangodagang, akenken pituduh nyai, beli tuara pacang tula, pinunas beli abesik, titiang sakit buduh paling, buduh teken ratu ayu, ento ne pingit mudahang, manah titiang sai kanin, jampi ratu, antuk ganten muah tegesan.

8. Susu rupit gading nyalang, anggen nambanin sesai, pupug baan wangkong rengkiang, lukat ban pangaksi luncip, lolohin jua baan lati, ne ngatirah manis muluk, usug ban batis mamudak, tutuh ban pakayun asih, arap ipun, murup ganten ring pamreman.

9. Pipi montok anggen sembar, trag ban salulut sai, raket pakayune tresna, anggen jua pangraksa urip, ngemanying anggen nglabanin, magaleng tangan magelut, anggen panyengker tatulak, rasane nemuang karasmin, makambuh, ban ubaya ring pamreman. [ 100 ]

97


10. Apanga dadi yuwana, mamanggihin legan ati, atin titiang ring i mirah, yen i ratu nora asih, nyen konkon nake sudi, kadianggan ing cicing berung, i ratu mula nruwenang, lamun i ratu tan asih, masa urung, titiang mamanggih duh kita.

11. Kitan titiang ring i dewa, nguda ratu tan panolih. Yadian tan cumpu i dewa, nora seneng tan nresnanin, elek takut masih tusing, ring titiang pongah mamerud. Yadian sapunika ida, tan wangde titiang ngulanting, tuara kimud, tusing jengah kasepekang.

12. Reh manahe langkung sarat, mangalinus kadi angin, wulangune kasamaran, lumimbak makadi pasih, taresna saha mapanggih, suluk kadi, yeh macebur, sungleng manahe dumilah, muntab kadi gunung api, lebian enyud, kadi tanah yan upama.

13. Empugane dalem linggah, Ratu jani melaburin, ngujanin antuk duhkita. Isep titiang nika sami, ban manah tan rered bakti, krana tong marasa ibuk, ibuke suba bubukan, erang manah urung sami, gedegipun sampun sami madegdegan.

14. Elek suba maleklekan, osah suba dadi asih, asih-kasih asih teka, malulut ngalilit hati, pedihe sampun pakidih, takute suba ia bekut, ngidalem nyilem satata, kasemarane nglaranin, bas kadurus, ati bingung bakat bungang.

15. Bungan matan titiang ida, nguda mamengos i gusti, tuah ke saja tuara nyandang, titiang manjakin i manik, satsat cabol nungkap langit, yan ring kedis kadi puuh, nagih manyanding i merak, yan ring wastra blacu dekil, nagih manduk, i prancis lintang nguranyab.

IV. PUH DEMUNG

1. Ento makarana Adi tan tolihan, teken pasawakan inguh, bahan beline buduh, mula beli uli cerik, manjus baan kagedegan, masugi ban liyat rengu, mambuh ban ujar para, mapun bahan sakit hati, sai matoya ban temah, mabunga ban munyi pisuh.

2. Pisuhe pisah ne jani sebete sabatang, rengute rengatang empug, gedege jani gudug, temah pastu amah pisi, ujar a1ane jua ulah, ulah beline mamerud, nyewaka ring i dewa, ratu nguda ngajang pedih, lemperang kayun i dewa, nguda gusti tong nyak teduh.

3. Surya petengne ngebusin panes bara, masih ida dadi teduh, angin baret ngalinus, bisa alus mangusirair, pasihe ia dadi puras, besi bisa masih elung, macane kereng manyarap, masih ia bisa kasih, atu bengkung nyen katulad krana tong dadi ban teduh. [ 101 ]

98

4. Sakatah atur i miskin nunas ica, tan ngawales yag mamatu, jani pisan barutu, panglemese tan katampi, kadi ngamunyinin tunggak, tunggake atine uwug, sedeng janine mangawag, nyen jua bin elekin, i bapa ia suba lega." Keta kenehe ngalalu.

5. Raris ia mangancing kori tur nangsekang, Jangga Ketaki kaejuk, baong-nya kagelut, wastra sinjang kalukarin, pupu dada katitihan, kakarsa turin karumrum, Ni Jangga Ketakia, laut nyakar tani gigis, lintang paksa maplawanan, Rudita ia telas renyuh.

6. Rudita ia nyumingkin manyajaang, sengit ngocok ngantos peluh, I Ke- tut Oka lesu, tambis keni kahaworin, raris ngawetuang daya, mangda kasidayan luput, ento ne pingitang, alus anggen pangalalis, ngalempe- rang keneh ia, pesu munyi ngalelunyuh.

7. "Nguda beli sapunika tan ngubdayang, kayune pacang salulut, inab wenten pacang ngrebut, sapunapi sengguh beli, krana titiang tan ngiringang, wireh titiang alit kantun, andeyang kadi i bunga, durung kembang pusuh kari, kranane sedeng antosang, yen jati saking pakayun.

8. Mapakayun nganggen becik nah dabdabang, boya titiang ngapus atu, manah titiang bakti mulus, mamanjakin linggih beli, dulurin paleganbapa, nyumingkin kenehe pulus, mamanjak mangayah, idup manggih legan ati, sareng beli ring pamreman, makilit sai majangkut.

9. Kewala mangkin jantosin tigang bulan, kala ditu titiang nurut, mangiringang sapakayun, peteng lemah jua mabuncing, kenken yan asapunika, ngapus kayunin i ratu, duh inggih yan ing titiang, nora satia manglinyokin. mangda titing temah pitra, sakit enyag tumpur agung.

10. Niskala salahang Widi ring sakala, atu nyisipang satuuk, gela-gela titiang ratu, pinunas titiang ring gusti, sajeroning tigang bulan, mabelasan yan aturu, beli i rika diwangan, di kamare merem sai, mangda sampunang sangsaya, sekalane mangda pangguh.

11. Pinunas titiang ring beli pineh pisan, yan tan dadi andeng ratu, kayune nyadia salulut, titiang pamit pisan mati, krana nglalu dipejah, ban munyi tuara kagugu, nah kadung bebasang, pekayun beline mangkin, mangda sinah antuk titiang. " I Rudita ia sumawur.

12. "Sapunika kayun adi titiang nyadia, pinunas titiang ring ayu, nah kewala pang mulus, ayah tingkah anggon ciri, titiang pamin jani pesuan." "Nggih matangi beli bagus.', ngraris ia diwangan, kakamare juwa mangungsi, Ketut Oka ngancing duara, ngararis dane aturu.

13. Tan kocap rahina wengi sampun lemah, suen ipun kalih uku, I Wayan [ 102 ]

99

Rudita, tetap dane kahayahin, mirib ngayuh ban nyak ngayah, lega ngenot payu enyud, kakolongan babak, tan critanan ditu sai, gentosin jani carita, ring Purbawyanjana kawuwus.

V. PUH GINANTI


1. I Mladprana kawuwus, miragi orta sujati, dane Ni Jangga Ketakia, sampun reke kapakidih, maring dane I Rudita, saking bapannya ngardinin.

2. Osek dane maring kayun, pakayune nyadia manggih, apane anggon jalaran, ngrawos ring Jangga Ketaki, pisan surat jani baang, raris ia makarya tulis,

3. "Niki tulis mapitulus, nanginin sampun matangi, saksat nasikin segara, mitegehin gunung nginggil, ratu sampun lintang sueca, titiang malih jua makeling.

4. Antuk ubayane sampun, sampunang i ratu lali, sanggup i ratune suba, jele melah sareng kalih, mati matungalan bangbang, papa suarga titiang ngiring.

5. Ditu idupe mangda lulut, murup tresna makarasmin, tur masaksi pitra dewa, dulurin supata sai, nyen ja ngawit megat tresna, mangda kasisipang widi.

6. Yan ratu elong ring sanggup, mangda mangguy tan abecik, idupe nemu sengsara, yan mati nraka kapanggih, lebok ring kawah Gomuka, ring jambangan kapunpunin.

7. Yan titiang nitia ring atur, mangda dadi dasar gumi, mati dadi entip kawah, siu taun mangemasin, metis ring kayu curiga, katuwek ban lalang taji.

8. Krana titiang ratu agung, purun cepung mupasaksi, reh manahe culup terang, wantah sungleng ring i manik.

9. Nora lian ratu ayu, anggen titiang bungan ati, pinakayang pajimatan, pangilangan sakit hati, anggen titiang area mas, di pedeman sai lingling."

10. Kudiang lali dadi saru, ban ayune tan patanding, dewan pasihe i dewa, Sang Hyang Giri Putri nyiwi, Supraba lan Tilotama, kasor Ratih Saaswati.

11. Jegeg ing buana i ratu, bisa nglalunyuh ngaremih, muluk rempuh yan ngandika, kasor rebabe ban jangih, kemikan bibihe mlenyad, madu juruh kasor manis. [ 103 ]

100

12. Untu selem ngatibambung, putih kadi danta asri, isite ngembang rijasa, cacingake galak manis, gidate mulan tumanggal, alis tajep kadosangih.

13. Roma samah panjang gempuk, pipi meros ngawe rasmin, pamulune lempung nyalang, susu alus rupit nyangkih, adeg lanjar wangkong rengkiang, palane ngurangka bangkit.

14. Tangane lemet malengkung, naka panjang pakurining, jariji rurus mangancang, pupu nyalang putih gading, betekan batis mamudak, tandange ngenyudang ati.

15. Duh nyen bangkit nyen ja muluk, misi kadengan di pipi, kudiang titiang tani pusang, sing solahang mamuduhin, yan salulut lintang pradnyan, sebet tan wenten nyamenin.

16. "Manah titiang kadi ketus, ngatut sasiki ring gusti, nyadia sapatitah ida, tan tulak titiang tan gingsir, nyadia nyusup gunung alas, diastu pacang mlebok pasih.

17. Ban manahe lintang culup, misadia pacang ngulanting, ping asta ratu tan suka, ping sanga titiang ngubakti, nyadia ngayah mamarekan, ban tong bisa ngret budi.

18. Napi krana sapuniku, ring idup tekan ing mati, budin titiang ring i dewa, tuara dadi jua silurin, nyen ja mampuh ngret cita, keneh kesemaran paling.

19. Lila-lilayang tong lipur, purnayang nyumingkin eling, pulesang titiang nguramang, yan pules tan mari ngipi, ngipi sareng ring i dewa, ring pamreman silih anyih.

20. Makesiab ngrupata bangun, ban ida rasa nyisinin, usudin sampinge ungang, bangun titiang negak ngeling, ngenah bulan wawu endag, nyumingkin manahe, sakit.

21. Uluh ati kadi seluh, maketug ngenek ring ati, buka tebek asah buyan, runtag asa pacang mati, mati antuk kasamaran, prateka titiang ne mangkin.

22. Gulung titiang ban salulut, badusanin madia ramping, ante jua bahan taresna, ubayane anggen tali, matatindih antuk sinjang, mampok-ampok bane pingit.

23. Plangkungin tangan malengkung, angenin ban susu nyangkih, rambut demdem anggen prangat, pupunida putih gading, lan betek cokor mamudak, punika anggen dedamping.

24. Jriji rurus anggen ukur, gelengin ban pipi bangkit, ulonin antuk wedana, [ 104 ]

101

laluwurin ban karasrnin, slendang angen rurub kajang, tekanin antuk wewangi."

VI. PUH DANGDANG LARA

1. "Sapunika pinunas titiange gusti ring i dewa, kadi mungguing surat, punika cihna baktine, mangkin katur ring i ratu, umpal titiang sutra kuning, bungkung krang makrapit mas, lan pinggel pendok masanglup, mas matatah soca mirah, inten brelian, maduluran pupur miik, muah pender sabun canana."

2. Puput nyurat raris dane mangaukin Ni Luh Ngasa, "Embok kema luas, ke Wanapuspa ne jani, ring Ketut Oka kapangguh, aturang surat puniki, ne dulurin kakaputan." Luh Ngasa raris amuwus, "Titiang sairing tan tulak," tur mamarga, tan kocapan maring margi, Jangga Ketaki carita.

3. Engsek bengong ring patununan ngamikmik ngembeng cingak, eling teken raga, pinah sue katongosin, dadi tuara dane rauh, I Mladprana mapekeling, manawi te dane suqgkan, yan tan sungkan pinih rauh, tong pantes dane ngengsapang, ring ubaya, buin tresna kadung makilit, raket kadi ancur ketan.

4. "Kudiang titiang nyaruang manahe sakit kasemaran, bas malo nyantosang, kadi ngaliatin kupinge, nyantosang puuh maikuh, mangantiang damuh tengai, sinah ngepah mangantosang, saruang jani manglalipur, nganggur ka karange tuwang, sing nya enyak, lilayang apanga lali, raris nyemak panyapungan.

5. Lawut nyapung ring karang tuwang singid tan carita, Carita Luh Ngasa, mentas di rurunge nyreming, manahnyane mangda saru, dadi nyak buka temonin, kadi patitah ing dewa, nuduhang ditu katepuk, Ni Luh Ngasa manangsekang, "lnggih dewa, embok mangaturang tulis, saking ia I Mladprana."

6. Ketut Oka raris dane nanggapin tur kapaca, sampun paridarta, wus sumusup ring atine, raris dane ngucap alus, "Embok nyantos nden dariki, titiang pamit ngae surat," raris dane mangkin mantuk, sarauhe dane jumah, ngambil kretas, raris dane nyurat nyingid, ngwales surat Mladprana.

7. "Inggih beli pican beline matampi antuk titiang, sapadaging surat sami, wantah kari saking nerus, sueca pitresnan i gusti, sarat ban titiang mamuat, tegen suun kari langkung, boya sida mangalaliang, uling suba, temus katekan ing jani, tong dadi engsapang titiang. [ 105 ]102

8. Yadiapin titiang mangkin medohan linggih ring i dewa, atma jiwan titiang, ring i ratu neket sai, antuk bakti lintang cukup, tuara sida ban ngelenin, krana pageh sarat ngraksa, ngemit ne pingit i ratu, diatun rerama melegang, tur kapaksa, titiang nglawan pageh ngemit, misadia ngetohang jiwa.

9. Krana titiang misadia ngetohang urip nresnin ida, reh ing kadung titiang kadi benang yen upami, tatalokan wus macelup, keni celepin i gusti, kadulurin perah melah, samanah titiang katurut, tuara taen salah arsa, miwah duka, tan sah suka makarasmin, eling sasiki ring titiang.

l0. Arah kudiang titiang tuara bakti ring i dewa, ban bagus ngonyang, Sang Hyang Semara ngutpeti, krana baguse manerus, kayun becik rupa genjing, Mlayu Panji Sanjaya, Sang Arjuna Kresnaku, kasor mungguing kabagusan, yan ring suargan, Hyang Indra kasob mangaksi, Sang Hyang Siwa Nilakanta.

ll. Aruh kudiang titiang nyangka budi ring i dewa, yan paksa jangkayang, jangkeh jangkung titiang dadi, krana tituang mangkin matur, nunas ica ring i gusti, nyanan sueca ngrereh titiang, neked ditu badauh, di karange tuang ngantosang, painganan, wenten sampun tengah wengi, mangda napak sampun drika.

12. Sapunika atur titiang mungguing tulis ring i dewa, niki cihnan terang, patitip titiang ring gusti, bungkung titiange ring tujuh, muah sabuk titiange plangi, kamen crik amesan, odak miwah lungan kuku, ganten madulur tegesan, miwah destar, songket babantangan becik, wastra batik Jugjakarta. "

13 . Puput nyurat raris dane mawali ring Ni Luh Ngasa,"Niki mbok aturang, surat titiang ring i beli, punika duluran ipun. " Ni Luh Ngasa mananggapin, mangararis ipun budal, neked jumah kawuwus, Ni Luh Ngasa manangsekang, "Ene surat. " I Mladprana nanggapin, raris kapaca ring manah.


VII. PUH MAS KUMAMBANG


l. Sampun krasa, sadaging surat sami, tan critanan lemah, kacarita sampun wengi, Mladprana jua marika,

2. Neked ditu, di karange tuang nengil, Mladprana crita, kacrita Jangga Ketaki, tong maan ambah makaad,

3. Baan katah, truna bajang mangenemin, nganggurin Rudita, ngajain ia makakawin, pinah kantos buka lemah. [ 106 ]

103

4. Tan critanan, ane ditu makakawin, Mladprana crita, ningehang bucica nguci, irib kedek ngawe jengah.

5. Tuu-tuu, mrasa ngopak jerat-jerit, Mladprana mrengang, mara nolih galang kangin, raris nyrucut dane budal.

6. Neked jumah, raris ia makarya tulis, surat babesan, nguningang manahe mangkin, pamunyin surate nyajang.

7. "Ratu ayu, resepang atur i miskin, pitaken ring ida, akenken kayun i gusti, krana nglongin ubaya.

8. Jeneng mula, taresnan ratune ganjih, dong ja saking tresna, takut di arep saking geting, kadi nakutin lalintah.

9. Krana dadi, ubayane baya sami, ugaga ban degag, demene buia ancurin, kupak antuk salah arsa.

10. Tresna ngonyang, dadi palalian mleketik, tunggul ban supata, matinggal sampun magedi, katundung banjengah wirang.

11. Prataline ban ubaya, salulut sai, gedege megatang, kancingin ban upasaksi, canggih gunjihe ngelesang.

12. Krana ida, tong bisa negakin munyi, saja tuara nawang, munyine pawakan angin, layahe lemuh ngilegang.

13. Nto awanan, kadi taluh yan upami, putih kedas nyalang, ngenahnya uli di sisi, di tengahnya malegendah.

14. Mula atu, seneng nglompang ngamaukin, manis pengandika, kamugutan teken daging, nanging tresnane ngampar.

15. Kadianggan ing, mapikat ratu mikatin, titiran ban goak, ndikapan sih pacang keni, sinah ipun mangejohang.

16. Ngalih tresna, gedege anggon nasarin, sinah ipun rengas, kadi ngubuh bebek muani, buin pidan taluhne bakat.

17. Amunika, upami kayun i manik, krana payu titiang, ngalih lega legu keni, ban cagere ngacagerang.

18. Ngalih jegeg, nyagegage payu keni, ngalih asa melah, asu ngulun manekanin, ngalih cunguh bakat congah.

19. Ngalih lemah, ngantos lemah maan licit, nyadia nunas ica, bacica ngedekin nguci, ngalih pipi papa bakat.

20. Krana jani, nyandang pisan jua tangarin, da bas kadroponan, manise tuah mamanasin, suluke wantah nganyudang.

21. Nto krana, manah titiange masalin, arah banggiang titiang, tuara bungah nganggo prancis, prancise leledan jagat. [ 107 ]

104

22. Yan upamiang, angganin sakadi nasi, sampun pasil benyah, kadi sekar yan upami, layu tan pasari ida.

23. Baan ida. titiang maan manyarinin, kadianggan ing wastra, buuk anggon titiang sai, kadi uek ban nekehang.

24. Mara jani, ida rnisadia ngelenin, akenken ban titiang, yan saking titiang tan ganjih, nyadia nganggon saidupan.

25. Nah ne jani, saking ida mangelenin, megatin taresna, ngawe jengah sakit ati, sada apa antuk titiang.

26. Banggiang tatak, sakit atine sesai, diastu pacang kera, ban tan bisa ngret budi, budi buduh kasemaran.

27. Boya nyidang, ngangge brata sai-sai, mangda sama rata, alane kalawan becik, manunggalang suka duka.

28. Dukan ida, ban nyajaang ngewek sai, lagute taresna, diapin demene tan kari, anggan elek masih tuara.

29. Tuah ke saja, yan i ratu nyuecanin, jadma kadi titiang, satsat sueca ringpamali, sinah ia pacang milara.

30. Satmakannya, di batan latenge ngetis, yan keni tempuh, panes mias sakit genit, yan usud mingkin nyangetang.

31. Krana titiang, mangkin matur megat bakti, mangda pisan bebas, mangda kari alang-eling, ilangang kayune mokak.

32. Ban bas ceceh, ida ngamaukin singid, kenkenang manyaruang, dakine dadi telain, linyoke kudiang ngusapang.

33. Titiang suba, ngrasa pisan sane mangkin, kagawenin jengah, ngrasa kimud bas sasai, kranane manyelsel awak.

34. Bapa meme, ndatan pakerti ne nguni, duke ngawe titiang, krana ntip kawah dumadi, dadi jadma sisan para.

35. Krana kene, sing kenehang dadi pelih, tuara bisa jengah tuara elek mamerudin, ne tunasin tuara sueca.

VIII. PUH DANGDANG

1. Bau mara titiang ngrasa mangkin teken awak, bas kajorog pisan, antuk ngejang pitresnane, kadi anggan ing dedalu. nyeburin apine ngendih, sat nglanginin segara, manyeburin dalem pengung, sawireh kayun i dewa, sring pisan, nake nyepel emas pipis, ida nyepel rerongkakan. [ 108 ]

105

2. Mangamuk sai ngalinyokin saking titah, tuara ngagen ida, jani ngancogin titahe, suba tuduh buin ugug, pelihe jelapang alih,jani suba keniang ida, titiang suud jani ngulgul, ngentuk-entukin i dewa, nah lautang, tuukin kayune jani, teken ne mula keneang.

3. Kayun i ratune mula ganjih yan upamiang, pakayun i dewa, masih kadi mawastrane, apang ngelah seh pang Iiu, yan meseh jadma sesai, ngranang osah uug manah, manahe punyah satuuk, punyahe ban kajejegan, bas andelang, kadi ngelah prabot becik, yan ing mileh pasiliang.

4. Dadi usak kadi sekar yan upami sarine telah, saru dadi ida, yen eling siki kayune, kadi sang sita puniku, miwah ida Sang Hyang Saci, satia wakya guru lakya, tulus ida mangguh ayu, jani ida nyen katulad, nglah lalima, kadi Dewi Drupadi, miwah satsat Ni Supraba.

5. Boga nyidang wireh anak polih panugrahan, sida muali daa, yen ento tempa tingkahe, sinah ida manggih kewuh, krana jani sedeng jumunin, tulad bratan Hyang Bruna, ganjih pakayune tegul, bratan ida Hyang Danendra, nyuci cita, eling pakayune gisi, da nuukin keneh punyah.

6. Bayu brata punika buatang ugi anggen natas, ne patut Ian iwang, mangda patut jua tingkahe, Yama brata jani rangsuk, sakitin kayune jalir, Agni bratane tulad, geseng kayune ngamauk, Surya bratane rangsukang, nah teherang, panesang atine cinging, da drenggi iri atia.

7. Iri ati teken jadma dekil kadi titiang, kandugi ban ida, rumasat anggen satene, kranane jani i ratu, nake nyancang kebo sampi, ratu titiang jani cancang, congrongo atine buut, ne buatang tuara bakat, bakat bungkung, bangkenga kene jani, batik mamatek megatang."

8. Puput nyurat, raris dane mangaukin Ni Luh Ngasa, "Mbok buin kema, ne baang ia surat." Ni Luh Ngasa muus alus, "Mbok ngiring tan nulakin," ngararis ipun mamarga. Kacrita nekede ditu, dapetang Ni Ketut Oka, negag ngayap, acum kuru nesnes gading, kadi bulan kerainan.

9. Ni Luh Ngasa nesek mengenjuin tur katanggap. Ring sampun katrima, rauh Wayan Ruditane, raris dane nyapa alus, "Tembe san Mbok mariki, nawi karya apa karsang. " Ni Luh Ngasa ia sumaur, "Mbok nulad sesongketan, ngidih ajah, teken ing ia adin cai." I Rudita raris negak.

10. Mangaraos saling pujinin saling guyonin, ia Ni Ketut Oka, esek pisan jua manahe, raris dane muus alus, "Mbok budal jua ne mangkin, reh tan becik manah titiang, buin pidan malajah nunun." imbuin dane kejitan, ditu nyantos, di genahe ngraos dibi, Ni Luh Ngasa tur makaad.

11. Raris ngojog ring karange tuang nyingid tan critanan, Ni Ketut Oka crita, jani merem ka sarene, kapaca surat puniku, sampun parisarta [ 109 ]106

sami, nyusup di unteng ing manah, ulun ati kadi seluh, kudiang jani jua kenkenang, kadung iwang, pisan wantunin ne jani, raris nyurat ngambel kertas.

IX. PUH GINADA


1. "Inggih beli Mladprana, sadaging ing surat beli, sampun krasa antuk titiang, maseman teken kalicung, pakehan teken ing uyah, sepet pait, kantowaline kasoran.

2. Saja kadi surat ida, titiang cangih lintang jalir, ngelap mangancogin titah, suba tuduh buin ugug, kranane dugi ban titiang, ngiyasanin, angganin kadi matapa.

3. Sakatah anake ngoda, pageh titiang tuara gajih, lintang langgeng kaden nglanggang, titiang nguningang ring atu, krana titiang tan marika, ane dibi, tong polih ambah makaad.

4. Wireh katah truna bajang, nganggurin tur makakawin, pinah ngantos buka lemah, yan paksa titiang ngalalu, tan urungan titiang pejah, mangulintik, mati ngawag tong mabaan.

5. Antuk demene kalintang, durung tutug antuk bakti, nirdon yan ing titiang pejah, wireh bakti manggeh kantun, kadi jukung ratu titiang, tan pakantih, kudiang mlayar ngalih ida.

6. Manah titiang kadi wayang, maprada turin maukir, nguranyab tong ngelah peta, sara dalange punika, mangigelang tur ngucapang, wireh gusti, upamiang titiang dalang.

7. Sara gusti mangucapang, titiangjadma sakit ati, i ratu upami balian, pait sepet tamban atu, masih jua gelekang titiang, diastu kari, kasakitan manah titiang.

8. Kadi gadung yan upamiang, paksa manyujuh ngalilit, teka angine ngampuhang, ngawe manah titiang sungsut, panes rasa jua gumuluk, kapunpunin, maluab dadi yeh mata.

9. Yeh matan titiange membah, kaden manganyudang sakit, sakit atine nyangetang, kadi dawut tan pabayu, kadi kena upas mandar, roga mandi, ban atune cepung pisan.

10. Jani suba megat tresna, uug tan dadi ampetin, ampat kari manah titiang, ban baktine manggeh kantun, putihan tekenin kasa, kadi sundih, endih degdeg tan kanginan.

ll. Tresnan titiang kadi toya, apasih maombak ening, kemkenang jani me[ 110 ]107


gatang, sepeg ban kayune cepung, masih tuara dadi pegat, meh sumingkin, maombak galak lumimbak.

12. Gilik manah dadi galak, tuara ngitung ujan angin, krana nyak ngelengang manah, nyadia merihang i ratu. Krana nyak ngaturang awak, pang da ngewakin, titiang matur ring i dewa.

13. Cacad titiang buni pongah, pongah nunas pican beli, pender miik miak tresna, pinggel pendoka masanglup, sane nyunglap matan titiang, buduh paling, pulangin atu duhkita.

14. Kitan atu suba telah, kranane jani megatin, tan tresna ngalih dalihan, reh kayune tuara cumpu, mara jua polih dadalan, sandang becik, ban ida nampesang titiang.

15. Yadian sapunika ida, titiang taler miserengin, mangda ratu sueca pisan, ngrauhin titiang i dusun, rauh ring karange tuang, kuanten polih, titiang matur ring i dewa.

16. Cihnan ing matampak tresna, tampekang ngraos ne mangkin, pang da pada ngadut duka, sami manginggilang patut, yan ento bakat tuutang, dadi puik, ngranang puek pakayunan.

17. Sapunika atur titiang, yanin tan sueca ngrauhin, keris beli paicayang, anggen titiang ambah lampus, nyihnang subakti ring ida, reh ne mangkin, tan tutug ban titiang tresna.

18. Ri wekas mangda kasidan, antuk titiang nresnin beli, reh ne jani titah ing Hyang, megatang tresnane culup, krana atu salit arsa, olas lalis, tan ngitung tresnane suba."

19. Sampun puput dane nyurat, raris drika dane mangkin, ngojog ke karange tuang, ring Luh Ngasa dane muus, "Niki surat buat budal," katanggapin, wus katampi sami budal.

20. Kacrita ia Ni Luh Ngasa, teked jumah nyrahang tulis I Mladprana ia mananggap, . raris kapaca ring kayun, wus karasa raris mojar, "Mbok mawali, mapajar ring Ketut Oka."


X. PUH PANGKUR

1. "Pajarang titiang tan obah, manggeh kadi tulis titiange i tuni, titiang tusing milu ngapus, keto pongah maklinyaran, mapi tresna, titiang jani tuara ngugu, samunyin Ni Ketut Oka, ban keneh iane ganjih."

2. "Nah kema jani majalan." Ni Luh Ngasa raris matulak ne mangkin, ring margine tan kawuwus, crita rauhnya i rika, raris mojar, ring Ketut Oka puniku, samunyin I Mladprana, sampun paridarta sami. [ 111 ]

108

3. Puput mojar raris tulak, tan critanan Ni Luh Ngasa wus mulih, Ni Ketut Oka kawuwus, sedih kingking manah buyar, "Duh kenkenang, kadung pelih ban ne malu, dewek anggona palalian, mara jani ngrasa pelih.

4. Yaning kenehe tuutang, ngalih ia I Mladprana ne jani, yan tulak teken i guru alpaka reke adannya, yan iringang, ngenyakin Rudita iku, tusing pageh guru-lakia, tan wangde nraka kapanggih.

5. Nah jani pisan laluang, lasia pejah wekasan malih jurnunin, nabdabang kenehe patut, ane jani kadung iwang, nah alahang, uripe anggon manaur," keto manahnya pragat, kacrita jani ring wengi.

6. Wen ten pingan tengah wengia, laut bangun satiba para mamargi, ngungsi alas durga rejung, jani tan crita ring wengia, tatas lemah, ring alas mayura rauh, alas suket madurgama, makueh macan lan kesari.

7. Kaclepin alas punika, tuara ngitung kena lateng miwah dui, ngungsi ka tengah manyusup, raris ngacundukang macan, Ketut Oka, asih ia masabda alus, "Jro macan tadah titiang, apang mati suud sedih."

8. Ngalingus makaad i macan, kapiwlasan tuara nyak mamati-mati, Ni Ketut Oka ngalaut, ebete gede nyurambiah, gua linggah, kacelepin gua iku, mlaib singane murengang, Ni Ketut Oka kajrihin.

9. Sarwa galai ajrih pisan, teken patut turin nirmala satiti, Ni Ketut Oka punika, ngrasa tuara enyak pejah, raris ditu, ring gook bingine nayuh, punika kaanggon umah, peteng lemah sai-sai.

10. Tan crita Ni Ketut Oka, kacritanan I Rudita sane mangkin, mapineh di kenehipun, "Nguda tembe tengai pisan, Ketut Oka, dadi tuara dane bangun," raris ngojog kametenan, nyadia nundun apang panggih.

11. Raris ngusudin pedeman, enyem latig lad ibi sanja tan kari, ngatabtab ngararis pesu, "Inggih Bapa Cede Taman, jani kudiang, Ni Ketut Oka tan kantun, lahad ibi sanja ilang, dija jani ruruh alih."

12. I Cede Taman angucap, kablegbegan. "Cai kema ngorahang mulih," I Rudita jani mantuk. Sateked dane ne jumah, "Inggih Bapa, titiang jani tempuh lacur, Ni Jangga Ketaki ilang." Bapannyane manyaurin,

13. "Ilang nyen maorta nyuang?" Kesaurin, "Durung kanten ne mangambil." I Huru ja raris pesu, tur nyarayang gendongan, raris rauh, i wong desa pacerungung, I Huruja midartayang, raris masaserep mangkin.

14. I Rudita raris tulak, ka Wanapuspa dapetang sampun makinkin, I Gede Taman mawuwus, ring sami i wong desa, "Jalan luas, maseserep nyusup trejung, yan panggih Ni Ketut Oka, suba matimpal muani. [ 112 ]

109

15. Da buin matakon apa, jagjag matiang makadadua da ngolasin." I wong
desa mapiturut, raris majalan nyerepang, peteng lemah, suen ipun maka-
telun, nenten pisan wenten gatra, raris matulak ne mangkin.

16. Sateked dane di jumah, kadi smayin I Huruja parapti, I Gede Taman
amuwus, "Sapunapi pangguh gatra." I Huruja, sumawur, "Ndatan ma-
mangguh, malih nenten wenten gatra, anak muani minggat dini."

17. "Jani dayan beli nyamuakang, ring wong desanyen ya makatang, i ce-
ning, yaning suba enyak ipun, apang ento lantas nyuang," Gede Taman,
masaur wantah mamatut, raris majaruak di desa, i wong desa egar sami.

18. Wenten ne prenah mamisan, wastanipun Dirantaka raris mulih, ngambil
kris kliliranipun, kaucap I Gunapangan, raris luas, nyusup alas durga tre-
jung, tan critanan Dirantaka, ngrereh ka Wananegari.

XI. PUH ADRI

1. Kawuwus I Mladprana ngrungu, piorta sujati, Ni Ketut Oka ninggalin,
ndewek dane mangalalu, telas maninggalin guru, antuk satia ring waca-
na, krana manglalu ring lampus, tong pangguh baan nyerepang, kesahe
satiba para.

2. Wau daslemah I Mladprana bangun, negak ngembeng waspa, "Dija alih
titiang gusti, yan di pasih yan di gunung, reh tan magatra i ratu, kari
nyeneng lawan pejah, yan i ratu sampun lampus, alih titiang ajak pejah,
mangda titiang masarengan.

3. Yan kene titiang nu idup, tan sah nandang lara, masangu ban sebet ati,
pinah nrakane kapangguh, ban ida tuara kacunduk, krana mapinunas
pejah, yan nu idup sakit kayun, sakadi sakit kacacar, pabaliknyane nya-
ratang."

4. Mangamikmik munyinnyane ngacuh, kabatek duhkita, tuara dadi ban
ngamberin, raris dane ngunus duung, nyadia nuwek raga nglalu, Ni Luh
Ngasa saha nyagjag, ngebutin keris puniku, "Nguda Gusti nyadia pejah,
akuda nrakane tatak."

5. I Mladprana jani jua mawuwus, "Mbok Ni Luh Ngasa, krana titiang
culup mati, idep apa anggen silur, silurin ban bajang satus, tong atengah
Ketut Oka." Ni Luh Ngasa tur masaur, "Lipurang kayun i dewa, da ngu-

lurin manah osah." [ 113 ]

110

6. I Mladprana masawang manurut, mlali kapisaga, bajang truna mangenemin, ngantos makasore nganggur, nyumingkin kenehe bingung, sing awasin katon nyirang, raris mangkin dane mantuk, sampun nalikan apisan, nuli ngojog ka pemreman.

7. Ngancing kori raris dane aturu, tan maren bulasak, raris bangun masasangi, "Inggih ratu Sang Huang Wisnu, Hyang Agni Surya iku, saksi jua atur titiang, yan sadia titiang kapangguh, tuara titiang pacang tulak, kalan ing anggon kurenan.

8. Titiang pacang nyadia mapitirut, tuara mapitulak, satuduh Jangga Ketaki, ring patemon titiang ratu, nyadia ngabin makatelun, tur ngawentenang karamian, kumedi gambar puniku, miwah kembang api cina, solas dina ada wayang."

9. Mangamikmik raris dane bangun, bangun lempuyengan, lesu rasa tan pagalih, kadi dawut tan pabayu, batis ngetor kadi rumpuh, kabatek ban sebet ngonyang, nglawanin masih lumaku, ngulati Jangga Ketaki, bilang tindak maangsegan.

10. Ngenah bintang kartikane kauh, minab Ketut Oka, pakrejep rasa mawangsit, tada asih ngengkik alus, inab Ketut Oka iku, sedih kingking engkak-engkak, I Mladprana jua ngarungu, mangkin manahe duhkita, tan sah mamespes yeh mata.

11. Raris dane mangkin ngalaut, maninggal pradesa, ndatan carita ring margi, ring Alas Mayura rauh, tatas lemah neked ditu, ban licit raris mararian, negak mecik batis nguntul, raris ningeh munyin kidang, makaik ia nengkejutang.


XII. PUH PUCUNG

1. Ngesiab bangun, I Mladprana tengkejut, kaden Ketut Oka, ngelur sambilang malaib, raris bangun, Mladprana nyusup alas.

2. Alas ngrembun, suket akeh duinipun, sengka ban majalan, mararian dane ne mangkin, wireh lesu, turin ayub ban damuhan.

3. Negak ditu, di batan kayune tunggul, wenten siung prapta, luh masarengan muani, iban ipun, ngewek mangawenang jengah.

4. Buin I Blatuk, bau teka laut ngulkul, irib ngataraang, Mladprana sakit ati, raris bangun, malih nyalupsup ka tengah.

5. Malih kuru, sampun lingsir dauh pitu, macepol manegak, di batan gununge ngepil, tan kawuwus, Jangga Ketaki carita. [ 114 ]

111

XIII. PUH SAMARADANA

1. Sedih kingking kaprihatin, nulame masesambatan, "Inggih Ratu Sang Hyang Titah, jamud mangkin urib titiang, wireh sue nandang lara, elas maninggalin guru, i riki manyusup alas.

2. I Meme ninggalin mati, enyen malih tolih titiang, ane tresnin suba elas, braya waggi tuara ngelah, buron jani anggon kadang, mapisaga teken lutung, i macan anggon sawitra.

3. Merak panggih ngigel becik, merokang mecokang manah, titiran manotor lega, bawine ngilangang bawa, menjangan ngajingang liang, mangut-ngut ngawe marengut, ebet ngawe sebet manah.

4. Manahe misadia mati, uripe kalintang kuat, pisan jani jua lipurang, raris bangun dane mahas, sue nyusup bedak layah, raris dane ngalap gunggung, anggen sangu nyusup alas.

5. Sedek ngalap gunggung manis, sambilang dane ngajengang, raris wenten mangkin cingak, manusa pules irika, muannyane kailidan, kaangkebin antuk saput, raris dane mangkin mojar.

6. "Inggih jro manusa dini, apa pisadiane ngalas, yan sadia nusta mamegal, neh urip tiange juang, hyang misadia maang upah, ene selaka akutus, maimbuh bungkung ginaran."

7. I Mladprana ningeh munyi, kari ngidem ngrabang sawa, inab ia Ni Ketut Oka, raris ia bangun magebras, kanten sinah Ketut Oka, raris nasekang mawuwus, "Jiwatman titiang ida."

8. Ketut Oka ngenjuh uri, rengu mamengos mangucap, Ketut ujar nyane bangras, "Apa alih beli teka, lakar apa nresnin titiang, titiang jadma jalir buduh, turin tiwas goba kasar.

9. Nah depang ja titiang mati, pang suud ngae duhkita, apang da santul i dewa, ngalih ane jegeg pradnyan, titiang jele depang kutang, bin maan suba ne malu, nyarinin nganggo palalian.

10. Kanggiang munika nyakitin, mrika beli tulak budal, yan i riki nyusup alas, buka elus dadi ida, gsit ngranang gesut manah, gunggung ginggang bana kayun, suung ngranang masuangan.

11. Bukuit bekut bana ati, irengan ngerangin manah, samong smang kaduhkitan, manggih sedang sedih ida, legune ngilangang lega, gaga ngranang tong kagugu, sarwa paksi kunang paksa.

12. Dasar mekanin nggih beli, rasanin jua atur titiang, lawar gerang da nyagerang, nagih medon jaka wayah, makaronan ajak titiang, da masok gede i ratu, nagih mangodagang titiang. [ 115 ]

112

13. Titiang suba ngrasa mangkin, ne malu bas kajoragan, titiang manyulsulang awak, yan angde tingkahe suba, pitik nyulsul sikep galak, timbungan manempuh bungut, dadi tuara nyak ajengang."

14. I Mladprana nyaurin, "Sampun ratu nyalit arsa, titiang mitahen ring iwang, nah ne sub ampurayang, mangkin yaning purun titiang, nulakin kayun i ratu, ledang kayune myisipang.

15. Yan titiang nitia ring janji, dumadak ja ratu titiang mati kajet dongkang kipa, labuh nepen song baduda, sander capung lakitikan, samangdene uluh legu, kasarap antuk lelasan.

16. Pinunas titiang abesik, kimon gusti manggeh sueca, yan nora sueca i dewa, becik jumud urip titiang, niki keris nggen muputang, mangdan titiang suud ngulgul, mamerud manunas ica."

17. Jangga Ketaki nyaurin, "Yan sampun manggih i dewa, pang da kadi i bramara, tresna tekenin i bunga, eda manasak paspasan, sampunang kadi i kepuh, di crita Tantri punika."

18. I Mladprana manyaurin, "Ampunang ratu sandeha, pang da ampat pakayunan, kenken pamidin i dewa." Ni Jangga Ketaki ngucap, "Da ja beli akeh wuwus, wireh sampun surup surya.

19. Ngiring nyayub sane mangkin, ring guan bingin punika." I Mladprana ndatan tulak, mamargi madandan tangan, tan sah ngaras bilang tindak, goba tingkahnyane atut, kadi bulan sanding bintang.

20. Teked di guane ngranjing, merem matikeh kedapan, ngraos matutur-tuturan, nuturang tingkahe suba, selanin awor semara, rasa jaen nyanggel nyusup, kapolo neked ka jajah.

21. Boya nyandang critang malih, puput tingkah buat karasmian, pinah sue sampun drika, asta dasa punang dina, Ni Jangga Ketaki ngucap, "Jalan ke masucian ratu, ngaksi karasminan ing alas."

22. I Mladprana ngucap aris, "Titiang sairing tan tulak." Raris kesah pakalihan, adoh manglanglang kalanguan, rauh angin nglinus sulak, guak nyanderin pasliur, nyihnaang durmangala teka.

XIV. PUH DURMA

1. I Mladprana mojar ring Jangga Ketakia, "Margi tulak mangkin gusti, niki cihnan terang, pacang ganti manggih baya, len pabawan Sang Hyang Ari, makalangan teja, rahina katon wraspati." [ 116 ]

113

2. Ni Jangga Ketaki manis alon angucap, "Yan sampun titah ing widi, ken-
kenang ngelidang, margi durusang masucian, ring Gangga tungtung ing
asih." I Mladprana, turut tan purun nulakin.

3. Pamargine tan caritanan di jalan, Dirantaka crita mangkin, masaserep
murang lampah, dadi kacunduk i rika, "Ne ko Ni Jangga Ketakia, ba-
reng Mladprana, uling i pidan ban ngalih.

4. Dosan iba munggelin anak magelan, tendas ba anggon masilin, yan cai
takut pejah, sumbah kai pang tlung atak, tlapak batisku silapin, yan
tuhu wira, unus keris mu pang gati.

5. Ne tebekin pilihin yan di tengkah, takut ngarep uli duri."I Mladprana, mandep nyingsetang awak, Dirantaka ngariinin, nuek ban kadga, Mlad-
prana sebet nagkis.

6."Bagia kai jani kacunduk ring iba, urip ibane tangarin, ne jani taurang daing iba liwat dosa, mai lakun iba mlaib, masa ke luputa, punggalane aba mulih."

7. Ni Jangga Ketaki jejehe magetoran, Mladprana kaglantingin, tangan-
nyane kiwa, "Eda beli ngutang titiang." Mladprana muwus aris, "Rewed
ban titiang, samping ang ragane Adi."

8. Jangga Ketaki pisreng tur angucap, "Mangda titiang sareng beli, urip
yadian pejah, apang da kena kajarah." Mladprana nuli nyabit, bas rewed
pisan, tuara dadi ban nangkisin.

9. Dirantaka iri manah muwuh erang, kroda ngetahasa mangkin, ngaruket
sahasa, Mladrpana karewedan, palane ring kiwa keni, mangawalesang,
mangenanin ulun ati.

10.Dirantaka betel ulun atine kena, getih muncrat laut mati, ia I Mladpra- na, tatune kalintang rahat, narebes rahnyane mijil, macepol kalesuan,
niwang layu nesnes gading.

XV. PUH DEMUNG

1. Ni Ketut Oka manyerit nyaup nyundang, "Aruh kudiang titiang ratu,
dadi beli las lampus, elingang ragane gusti, sasadin yeh matan titiang, pusungan titiange embud, benahin ja becikang, sampunang ngidem i
gusti, tidong aksi ratu titiang, wencananin pangerumrum.

2. Engken kelemuhan i gusti nyiksik ngaras, murup sepah tur mangelut, [ 117 ]

114

merem ngambel susu, tan mari nyenyepin lati, nguda jani lalis pisan, napi sisip titiang ratu, yaning sampun iwang, nah salahang da muikin, kenken kayune nikaang, titiang misadia manurut.

3. Buin musih suba mati yaning ida, jani mitulusang lampus, becik jantos titiang, sinarengan jua mamargi, mangda ratu nuntun titiang, ring ugal-agil puniku, wekasan yan mangjadma, mangda malih juga kapanggih, mangguh lega makurenan, reh ne jani durung puput,

4. Antuk titiang miselangin suecan ida, ratu sueca metoh angsur, yan an urip anggen naur, naurin mautang asih, yaning eseh tong nyak asah, asan asihe salulut, keto trang manah titiang, sakala niskala ngiring, ngiring atu ring kadituan, ngayain sai manyatu.

5. Nyatu lega nyatu bakti rauh ing wekas, wekas yan malih tumuwuh, yan titiang dadi jukung, sara ratu ngamudinin, yan dadi angsana titiang, ratu mangda dadi gadung, inggih yening kadi titiang, manadi kidung kekawin, ratu dadi paribasa, titiang tlaga ratu tunjung.

6. Apang danan buka jani ngalam-alam, ngalem lega durung puput, tuah pangaban titiang lacur, widine suba magedi, dewane onya ngalewa, braya tuara ada kudu, kudu angan nangah, dilacure buka jani, jani kapegatan lega, apa ketone nu idup.

7. Idupe padalan mati ngentak-entak, ngentikang atine bingung, eling tumbuh lacur, lacur kapegatan asih, ban asih asuh rudira, reh pulung atine nulung, nulung apang waras, prade masih katinggalan, tong katanggulan ban titiang, krana gusti tutus lampus."

8. Akueh ujar dane ngumikmik ngantos sareg, tan carita dane ngacuh, Mpu Wrediaguna kawuwus, rauh ida saking beji, sampun wus matirta yatra, tulak budal makta sibuh, kanggek pamargine ngrenga, sang masambat saha tangis, tur ida natas nagsekang, Jangga Ketaki kapangguh.

9. Raris ida nganampekin mawacana, "Bapa mapitaken ayu, uli dija nyai luh, dini sedih nyanding muani, turin muani kanin rahat, orahin nah bapa malu." Ni Jangga Ketaki rika, raris matur saha tangis, "Duh ratu sang Yatiwara, niki Mladprana ranipun.

10. Titiang Ni Jangga Ketaki jadma nista, masomahan ne ring ipun, lacur titiang bas kadurus, keni bancana i riki, ne mangkin titiang ndawegang, nunas tulung ring i ratu, nggih yan sueca sang Widuan, urip somah titiang niki, mangda urip turin waras, malih kadi sane sampun.

11. Rahajeng matulak mulih ka Wanapuspa, titiang mangaturang lembu, muang parekan akutus." Mpu Wrediaguna nyaurin, "Kenken unduke ne suba." Ni Jangga Ketaki matur, satingkahe suba, sampun sami kapiuning, ida Mpu Wrediaguna, pakayune kadi ketus. [ 118 ]

115

12. Ngandika mangembang aksi, "Aduh dewa, enyag basang bapa ngrungu, tuah saja asing tumuwuh, ia mabeke1lara pati, yan sanget mangguhin liyang, gede sebete kapangguh, dening mula tuar belas, betek layah tiwas sugih, mati idup suka duka, seger sakit pelih patut.

13. Nah bapa ngindayang jani sing nya ada, suecan Ida Sang Hyang Tuduh, nguduhang apanga idup." Raris ida manyampenin, nulung antuk Mretyu-jiwa, makamiwah dasa-bayu, masedana mantra, I Mladprana mangalilir, wau eling teken raga, kambang kumbang nrawang-nruwung.

XVI. PUH MAS KUMAMBANG

1. Bau eling, kaden ilang Jangga Ketaki, tengkejut merengang, wau Ketut Oka panggih, malih metu rahnya muncar.

2. Tur macepol bayu runtag mangadirdir, enyem suku tangan, Ni Jangga Ketaki nyerit, sedih ngeling ngacuh ngawag.

3. Tur kakocok, lambe pangaksian kabitbit, tur dane kabatbat, ngagem pisan jeneng gusti, ngawe sakit manah titiang.

4. Nggih yan gusti, tulus jani maninggalin, pacang pisuh layon gusti basah dini, mangda garang asu ajag.

5. Ketut Oka, kaliwatan sebet sedih, bungeng buduh ngopak, ngopak anak kuru sakit, tan nyukatang ne ring raga.

6. Raris ida, Mpu Wrediaguna manyawis, "Suwud ngacuh ngopak, bapa mastikang nulu ngin, don piduh ambengan aliang."

7. Ketut Oka, gelis ngrereh sampun polih, tur raris ngaturang padanda nyapen manyampi, kajampi tatune uwas.

8. Kewanten biket miwah, sakitnyane kari, ia I Mladprana, raris bangun mangubakti, ring ida Mpu Wrediaguna.

9. Tur matur, " Inggih Ratu Sang Mayati, sueca lugra jiwa, durusang suecana ugi, nambanin titiang wong nista.

10. Yaning sadia, titiang seger kari urip, rahajeng matulak, ka Purbawyanjana malih, titiang mangaturang punia.

11. Ali-ali masoca manik akatih, wastra tlung rangsukan, sarwa sutra sane putih, miwah pegandan apasang."

12. Puput matur, raris Mpu manyaurin, "Nah ne jani jalan, pasraman bapane ungsi, ditu bapa micang tamba."

13. Raris bangun ipun, Ni Jangga Ketaki, nuntun I Mladprana, "Baong titiang gelut beli." Ratis bangun I Mladprana. [ 119 ]

116

14. Ngelut bahu, matuntun raris mamargi, pamargine ngregah, lesu ban
bayune nipis, bilang apangked mararyan.

15. Raris mojar, "Nggih adi Jangga Ketaki, beli bedak pisan, kakaolongane
tuh aking, tunasang ko beli toya."

16. Raris nunas, ipun Ni Jangga Ketaki, sampun kicen toya, kawadahin don
tamutis, "Duh puniki beli toya."

17. I Mladprana, polih nginum toya suci, panawar japanya, krana pranane
nglilir, ne mangkin nuli mamarga.

18. Tan critanan, ring margi dane ne mangkin, ne mangkin carita, ring
pasraman sampun prapti, kayogin kajaya-jaya.

19. Wus kayogin, aturu dane ne mangkin, tan kocap ring wengia, benjang
semengan matangi, sampun dane ngrasa kenak.

20. Kenak nyingak, tatamanan lintang becik, bunga sarwa endah, pudak
cinagane ngrawit, ring sor batu lempeh ngenah.

XVII. PUH DANGDANG

1. Tlaga linggah di tengahne bale cenik genah masucian, tunjung manca
warna, di sisinya sarwa sari, bunga sarwa kuning kawuh, barak kelod
putih kangin, sarwa selem biru kaja, di madya sawarnan santun, gadung
mlati lan angsana, muang katrangan, canigara mnuh jampiring, terate
tanjung campaka.

2. Sawarnaning sekar ane mrik wenten drika, tan sandang caritang, tlagane
matepi sari, tanjunge ahas masepuk, inab ia ngaturang bakti, sangga-
langite nyurambyah, inab ngalap-kasor ipun, menuh gambir sari-kosta,
rasa nywaka, naga-puspa lan sokasti.

3. Ngrempayak cara nyapa, to krana sang ayu Jangga Ketaki I Mladprana,
kanggek ring sor pudak, di batune lempeh ngetis, kadurus manonton
santun, raris ngalap pudak mangkin, kaempu pinakang putra, tambuli-
lingan ngariyung, rasa makidung nyangkrimang, Ketut Oka, ngucap,
"Niki beli ambil, emban sih anak idewa."

4. I Mladprana mananggapin tur mangucap, "Ngiring adi budal," ka Pasra-
man sareng kalih, tan kocap dane iriku, I Rudita kocap mangkin, mapi-
neh nabdabang manah, pacang malali manganggur, ring tatagon Mlad-
prana, aran ira, Sang ayu Alit Warsiki, bawu mara menek bajang. [ 120 ]117

5. Adeg lanjar pamulune putih gading lempung nyalang, pangide mangonyang, sing solahang ngarimangin, solah waged semu alus, pencad ring pakaryan istri, nyongket ngendek manyulam, melah pakaryannya kasub, sandang jani to buatang, lemesin kema, bilihne sadia katampi, raris dane mangiring nyurat.

XVIII. PUH DEMUNG

1. "Inggih punika tulis anggen jalaran, mangda olih marek matur, nguningang manahe lulut, wireh mahadohan linggih, mangda ratu sahu ninga, ring titiang subakti culup, yadian doh magenah, manah titiang nampek sai, atman titiang tan marenan, meket ring ragan i ratu.

2. I ratu wantah kahesti peteng lemah, ring ati mata magantung, tong bisa lali sadawuh, tuara dadi jwa silurin, yan hret mingkin mamerat, blasak tan kena aturu, layu tan paneda, yan pulesang tan sah ngipi, ngipi sareng i dewa, ring pamereman adung lulut.

3. Makesyab bangun ngusudin ngarapata, gabag di sampinge suwung, jmak gagulinge kupkup, aras dupdup pangelingin, mrebes mangenang gawang i ratu tan wenten uning, uning ring titiang sangsara, sakit nyedihangi ratu.

4. Sakite tidong agigis yang upamiang, kadi paksi kumayaum, misadia pacang makebur, mangulati punang bukti, mangdoh ke pacang nyidayang, reh upami kadi jukung misadia malayar, tanpa bidak tanpa kantih, keto upaminnya titiang, jani mangaptiang i ratu.

5. Wireh pakayun i gusti adoh sawat, rasa selat pasih satus, tegeh di langite pelung, selat alas pangkung iding, madurgama kalintang, ne mangemit ngresin kayun, kakia buaya lan ula, warak singa macan asti, yan titiang pakan merika, tan urungan lacur lampus.

6. Matine pacang ngulintik tan papwara, wireh durung polih matur, nuna sang kayun i ratu, krana titiang matur mangkin, buwat manawegang pisan, nunas ica ring i ratu, mangdane pasweca, yadian tan cumpu tan apti, diapin gedeg geting ida, tan wangde titiang manyulsul.

7. Sawireh manahe tiling sampun ngajah, culup nyungleng ring i ratu, buin sinah tong ada laku, pacang nyewaka ngubakti, yan tan i ratu sweca, tan urungan titiang ngimur, nahanang duhkita, manyakitang jua i gusti, gusti helas tan piwlesan, olas teken titiang lacur.

8. Ratu sang mustikeng ati inggih sampunang, drenggi duleg mapakayun, babeki ring titiang lacur, ngawe jengah mangawakin, titiang jati sakeng [ 121 ]118

srusa, nglungsur suwecan i ratu, nggih mangda i dewa, nitah titiang idup mati, kawanten sweca nywecayang, to ne pingitang i ratu.

9. Wantah mula saking sujati atur titiang, kewanten ke bakti bungut, wireh titiang lacur, tan wenten anggen nulurin, nulurin manahe tresna, mangaturang dewek lujug, luir kadi paindekan, mangdoh sida nitah angin, kadi wayang nitah dalang, keto upaminnya ratu.

10. Titiang matur ring i manik yaning titiang, tuara bakti srusa culup, du madak ja titiang ratu, sahidupan sakit hati, mangda mlarat ngarat-arat, salampah nemu tan patut, wekas yan ring pejah, mangda titiang mati ngipi, sander kilat tan paujan, mangda nraka mati idup.

11. Ataman titiang manda dadi entip kawah, mangemasin sepa tahun, tan dadi manusa iku, wekas yan malih numadi, dadi sane kagedegan, lalin tah nyulati kalung, iris-iris poh punika, uled bijal miwah cacing, endep namu-namu ika, ndatan kasupat satuwuk.

XIX. PUH SINOM

1. Sapunika atur titiang, punika cihnaning bakti, mangkin katur ring i dewa, bungkung di tujuh asiki, pendok bedbed makarapit, miwah ginaran cap gadung, maduluran cakrawaka, susiah atine asiki, pinggel ipun, dantane masoca mirah.

2. Samalih pender cap nyonyah, pupur miwah sabun miyik, miwah wastra berem cina, papetete leler kuning, suntagine sutra randi, sasulaman sampun paut, sinjang plangi sutra gadang, slendang sutragosa becik, tenunan ipun, macoblos makembang Cina.

3. Puniki aturan titiang, samatra anggen caciri, wekas yan sampun i dewa, sweca ring titiang iriki, ditu titiang mangulurin, saledang kayun i ratu, nganggo prada sasongke tan, mas sasocan miwah pipis, malih ipun, ngawentenang imian-imian."

4. Sampun puput dane nyurat, raris ngutus jadma alit, Cai Dalidra kema luas, ka Purbawyadnyana jani, kumah dane Ni Warsiki, manging mangda cai nyaru, mangaturin dane surat, maruntutan keben cenik." I Dalidra narima nuli mamarga.

5. Ndatan kocapan ring marga, sampun rawuh sane mangkin, maring Purbawyadnyana, osek manah nyane mangkin, dikalan olih manangkil, nabdabang pacang masawut, saget Ni Warsiki teka, medale praya ka beji, ngucap alus, "Cai cenik uli dija?" [ 122 ]119

6. I Dalidra nadak daya, raris ipun manyaurin, "Titiang praya ngadol gelang, pender miwah ali-ali." Ni Warsiki manyaurin, "Indayang edengang malu." Raris ipun mangaturang, Ni Warsiki mananggapin, tur karangsuk, bungkunge tekening gelang.

7. Sami jwa sedeng luwunga, kadi sikut sampun pasti, bungkunge tekening gelang, lintang seneng Ni Warsiki, tur ngandika sada kenying, "Aji kuda sami iku, yaning sampun patut arga, embok misadia mameli." Sang kautus, tumuli ngenjuhang surat.

8. "Punika surate paca, janten arga siki-siki, pender bungkung kalih gelang." Ni Warsiki ngambil tulis, urin kapaca ring ati, sami paridarta sampun, nuli dane mangandika, "Embok matakon ring cai, surat iku, kija konkona ngaturang?"

9. I Dalidra matur banban. "Titiang nikangan mariki, mangaturang ring i dewa." Bawu munika kauning, Ni Warsiki ngembus gelis, pinggel bungkung tur sumawur, "Yaning keto kema tulak, embok tuara nyak manampi, tuara urun, pacang dadi juru titah."

10. I Dalidra nuli tulak, satekede jumah jani, ngaturang keben lan surat, satingkah sampun kauning, I Rudita mananggapin, nanging kayune tan ngugu, ring ipun sampun pareka, pisan ke deweke jani, mangalalu, kama ngalih Ni Warsiki.

XX. PUH DANGDANG

1. Puput mineh laut mamargi gagelisan, tan kocap ring jalan, rawuh jumah N Warsiki, Ni Warsiki sedek nunun, ngaraga ngijeng ring puri, biyange luwas madagang, gurunnya sedek ka kubu, nengokin isin pabyanan, krana sunia, awinan Rudita polih, manyogiog jeg nyanding negak.

2. Kablegbegan Ni Warsiki mamunyi aduh dewa, "Nggih titiang nunasang sa king napi jwa i gusti, na pi pisadiane rawuh." I Rudita manyaurin. "Titiang saking Banjar Kasta, krana titiang mangkin rawuh, misadia manunas ica, ring i dewa, nanging mrikine manyingid, sa mpunang nggih nyalit arsa."

3. Saking lami antuk titiange gusti ngeret manah, wireh ngrasa pisan, ring dewek bodok gudige, tan paguna tumbuh lacur, kadang warga twara sudi, salihke kadi i dewa, mangdoh ratu pacang kayun, wireh upa minnya dewa, yan ring wreksa, i ratu i nagasari, pantes linggayang ring pura.

4. Yan ring sekar cempaka i gusti yan patutang, dadi bunga bancingah, mapi kadi prada malih, ring Prancis sutrane adung, yan soca mirah i gus[ 123 ]120

ti, pantes matatakan emas, titiang sa ksat timah blacu, tong pantes nyanding i dewa, nyadia langgah, ban meret manahe ngilis, tong dadi tulakang titiang.

5. Titiang matur ne ngranayang lek tan kari yaning suba, keni salah tunggal, demen sebet sedih sakite, yan banget keni puniku, ilang jwa eleke sami, mangkin titiang kasusupan, kasamaran ring i ratu, hretin titiang mamilara, sbet kebukan, ngranang dadi sakit ati, merat tong dadi lemperang.

6. Blasak uyang ngamah tong marasa nasi yan pulesang, tan mari nguramang, yan lalíang sumingkin eling, lilayang sumingkin ngalu, nglalu rawuh mangkin mriki, nyadia nyewake ring ida, ratu pang da nyalit ka yun, kayun kuda ne ring titiang, nah idepang, suduk cicing berung gudig nyupat pitrane kasasar.

7. Yan sampun ratu sweca mangkin teken titiang, nggih ubayan titiang, ngiringang sapatuduhe, yan titiang nitia ring atur, mangda kadanda ring Widi, nah salampah lakun titiang, mangda nemu tan rahayu, wekas yan malih manyadma, twi ping sanga, mangda manjakin i gusti, anggen titiang pajekjekkan.

8. Pangda ampat mangkin kayun gusti marna titiang, jumbuh bungut ilar, nagih pisan pidonin arsan, ane nyandang dadi tuku, malih ne yogya siyatin, titiang nyadia mangiringang, wireh saking bakti mulus, mamitang swecan i dewa, nah idepang, pinunas i lara miskin, rawuh nglungsur panyupatan.

9. Kadiangganin titiang taru gusti kasangsaran, layu kapanasan, i ratu gulem pabane, sweca nyabehin i dusun, bengar begeh parejani, mangkin bebasang nyuwecang, mangda sampunang i ratu, sakadi wastrane melah, yan sepelang, sapasira sane uning, sajaba pacang ngetngetan.

10. Yan upami kadi jadmane sugih tet ngeretang, nunin ngamah nganggo, kasugian sepel pang ilid, ilid kaparanin pandung, keto kaupaminnya gusti, pineh pisan atur titiang." Keto I Rudita matur, angin nglinus upamannya, panglemesnya, kayun dane Ni Warsiki, sekadi gunung tan obah.

11. Tur ngandika sepet manyaurin, "Pang bedikang, i dewa ngandika, titiang twara bisa nampinin, ratu pang da nyalit kayun, titiang nunasang abedik, krana jeg laju ngandika, kenken titiang cingak atu, ring samita jawat tindak, maka miwah, ortane pireng i gusti, napi cangih maklanyiran?

12. Bane ada katuturan anake istri arang pisan, pageh leser manah, sadurungna mahan ngalih, tunjung mentik duwur batu, tukad akah leser [ 124 ]

121

becik, pasih twara maparangan, jeneng to elingang ratu, krana jwari mai teka lagas, bane marna titiang ganjih, tan patutur maklanyiran.

13. Titiang matur ne mangkin ring gusti sujatinnya, manah i manusa, tan bina kadi paksine, bina goba len kayun, siyos tadah siyos munyi, krana patut ngunadika, sang nyewaka mapakayun, pangda katelonjok ngawag, upaminnya, bojog celeng bahang miyik, asu kambing wehin wastra."

14. "Nah sakadi ratu ngandika mangkin teken titiang, sami nirdon pisan, titiang pitelas tan ngiring, yan i dewa mapakayun, bapan titiang juwa lemesin, enyak kosing ditu karwan, yan titiang alih i ratu, sinah pisah tusing bakat, manah titiang, ring waduk i guru sami, ma ra dane manitahang."

15. Rudita nuli nyaurin nyangga mojar, "Krana titiang plapan, ring i ratu matur riyin, dening titiang sampun kebus, nglemesin bapannya riyin, raramannya sampun lega, panaknya mangalih angkuh, payu titiang mahan jengah, asah pejah, dadi kakedekan gumi, congah tong jwari maliat.

16. Krana matur nunas bebas ring i dewa mangkin, yanjantan sweca, sinah titiang nglalu dini, apang pisan dini lampus, titiang tan nyayangang urip, napi malih antos titiang, lali tan pacang nu idup, idupe twara kasidan, krana nyandang, ne jani emasin mati, mati mabela i dewa.

17. Nto pilihin ne ngken pacang enyakin dua pilihang, urip lawan pejah, yan pageh ratu ne jani, baktine teken i guru, pagehang ngamong ne pingit, tan ngidepang atur titiang, tan urungan ratu lampus, yan sing mati kacekukan, meh mapedang, yan ratu nyayangang urip, idepang nggih atur titiang."

18. Ni Warsiki tumuli nyaurin alus banban, "Titiang twara wedia, mati pacang kapedangin, yadiastu mati kacekuk, sing ja pindo titiang mati, jani mati mahan ambah, saking bakti ring i guru, yaning jani takut pejah, jag maserah, nistaning istri numadi, urip nraka tekeng pejah.

19. Keto pragat atur titiang ring i gusti twara obah, becik pisan budal, ring puri malih pinehin. " I Rudita tanpa saur, mace bur ngadebros mulih, ngamokmok manyesel awak, "Napi nemah titiang ratu, amunika antuk titiang, manyewaka, prade masih tan katampi, pisan jani ngalih guna.

20. Raris luwas numbas guna sane luwih up as mandar, muah panangkeb jagat, jaran-guyang guna lilit, campur talo lengis duyung, guna Sunda mrajah luwih, jangkep luwas atengah bulan, polih guna warna pitu, numbas aji siu leyar, mangkin tulak, ka Purbawyanjana malih, sahasa masangang guna. . [ 125 ]

122

21. Sampun puput masangang guna-guna sinami raris budal, pesu munyi sasumbar, "Masa buwung mangungahin, ka banjar kasta bin telun, dening suba ia maciri, tangis duyung upas mandar, maluab-luab ngalebut, makacihna nyida karya, pisan antiang, pawenengan nyani di jani." Mangararis dane budal.

22. Tan kocapan Rudita sampun mulih jani crita, Ni Warsiki crita, engsek bengong mangumikmik, ngapa-apa anak bagus. liyat salap munyi lamis, raramannya ia kagiat, "Nguda ia i cening ngacuh, nyen ja duleg teken titiang, ngawe jengah, dewek twara taen cinging, bin tong taen nekang plamar.

23. Raris ipun bilang pura masasangi nunas ica, nuli ngalih balian, teka balian petang diri, ngalukat raris mapugpug, nebusin tur ngalabanin, buduhe mingkin nyangetang, sami baliane ngalepu, baliane ya sami tulak, raramannya, payu bekut jani sedih, ngapa-apa Mladdprana.

24. Tan kocapan ring Purbawyanjana mangkin kacarita, dane I Rudita, bicak tindakannya tuwi, dening suba maketelun, dadi twara manekanin, pesu mulih dane nguyang, nyagjag pesu manggih suwung, tulak mulih mangguh embang, manah nyane, muwuh inguh munyi paling, mamisuh tong karwan-karwan.

25. Raris mrika ka Purbawyanjana mangkin ngojog mulian, I Paseban nyapa, "Cening kija tembe mai?" I Rudita sawur guyu, "Titiang nyadia twah mariki, kocap pianak bapa sungkan, sami baliane ngalepu, I Mladprana suba ilang, yan twah bapa, lega maang tiang ngidih, titiang sanggup manyegerang.

26. Diapin bapa pacang migegetin mangkin wireh suba, ia ngelah gegelan, janten ipun elas ngalahin, bin katekan sakit buduh, tan wenten nyidang ngubadin, nyen ja nyidang manyegerang, wenang tawirang mariku." I Paseban buli ngucap, "Kadung bapa, suba mlegang uli cenik, tekan ia I Mladprana.

27. Buin tong morta ipun idup mati I Mladprana, malah bapa mlegang, teken cening ane jani, yan ia teka nu idup, adwa bapa teken munyi, bapa suba mawak tuwa, asing ja sedeng mlajah mauk, kema cening jani budal, bapa nabdah, ngalih orta tur minehin, pungkuran malih bawosang."

XXI. PUH PANGKUR

1. I Rudita tan pangucap, raris bangun mangedebros lantas mulih, mecuk alis se beng mrengut, liyat salap tindak ngawag, sing katonang, kaparna inab mamusuh, ane beneh katon nyisang, bahan kasusupan brangti. [ 126 ]

123

2. Wenten pangguh anak katah, masangkepan mangrawos sating lengkungin, punika sengguhang ipun, ngedekin mangawe jengah, raris budal, sebeng nyane bengah-benguh, teked jumah besus ngawag, asing paek kapedihan.

3. Turin matur ring bapannya, "Kenken bapa kari sweca yaning tusing, yan sweca lungake durus, Ni Alit Warsiki yan tan sida, titiang masomah ring ipun, titiang pamit pisan ngalas, jengah yan kari iriki.

4. Dadi tanggun kakedekan, nama wirang suka yan titiang ring mati. "Raramannyane sumawur, "Ngudiang bapa twara tresna, uling cenik, bahan ngastiti pang lanus, jani suba kelih kutang, ngiasanin buin abedik.

5. Bapa nyadia twara tulak, twah nyalanin nah nden dabdabang jani, apang nyak masulur patut, jani bapa nu blegbegan, reh kadadak, jani lipurang nden malu, ingkel wong apang masalah, bapa luwas kema ngidih."

6. Puput bawos amunika, tan critanan ring banjar Kasta ne mangkin, ring pasraman ne kawuwus, Sri Mpu Wrediaguna, mangandika, ring Mladprana, Cai mantuk, jeneng sengkala di jumah, yan sing mati ada sakit."

7. I Mladprana matur nyumbah, "Titiang ngiring titiang nunas bekel mulih, arepang titiang ring satru, ring lara miwah ring mrana, samalihnya, mangda titiang panjang tuwuh, mangda tutug antuk titiang, nawur kadi ature riyin."

8. Ida Mpu Wrediaguna, asung lugra Mretyun jaya aji luwih, wimohana mantra putus, ne arepang ring payudan, yan ring lara, Pancabuta Dasabayu, muwah Wijayakusuma, Bayurampag Wisnumurti.

9. Puput ida nganugraha, raris budal Mladprana Jangga Ketaki, ring marga ndatan kawuwus, kacrita tekede jumah, pisagannya, braya wargi teka ngrunyung, cenik kelih tua bajang, bingar suka manakonin.

10. "Gusti kija uli pidan, ne nyen ajak." I Mladprana manyaurin, nuturang tingkahe sampun, turin matempahang awak, "Singgih bapa, beli cai wayan eluh, durasang sweca ring titiang, ngaryanang sapula-pali.

11. Satingkahing pangantenan, apang pragat." Wargine manyawurin, " Eda gusti ngraos liu, nggih titiang ajak makejang, nyadia ngayah, gusti meneng sampun ibuk." Warginnya sami madabdab, ngetang karya tur ngajengin."

12. Magilir i truna bajang, rawuhing tua makemit rahina wengi, kabiaya ortane sampun, Sang Ayu Jangga Ketaki, kakeniang, antuk I Mlradprana iku, I Paseban ia marika, kumah I Mladprana ngungsi. [ 127 ]

124

XXII. PUH GINADA

1. Raris mangojog mulihan, I Mladprana nyapa aris, "Nguda wawu bapa prapta, suwe sampun titiang rawuh, manawike bapa sungkan, acum arig, kadi twara nyak ngajengang."

2. I Paseban nanggal ngucap, "Saja kadi rawos ceninge." Raris midartayang yingkah, krananing mamanggih sungsut, rek aketo krana teka, bapa mai, pangda saking bapa engsap.

3. Teken pragate ne suba, Ni Warsiki cening ngidih, diapin cening ngelah somah, turin ubuh meme guru, yaning saking cening ngulihang, buwung ngidih, saking bapa tan megatang.

4. Nah yan saking cening ngulihang, bapa trima saking hening, tan sebet sedih samatra, bahane ia sakit buduh, krana bapa ngalih bebas, teken cening, apang beneh ban ngenehang."

5. I Mladprana nanggal ngucap, "Titiang naweg matur sisip, sampunang jwa salit arsa, iwang antuk titiang sampun, ngamargiang drowakan manah, ngimur paling, sapatinggal meme bapa.

6. Ne mangkin bapa durusang, sweca ring titiang i miskin, titiang manggeh tinut pisan, ring swecan bapane sampun, yan wantah manggeh suweca, kadi nguni, duke kari bapan titiang.

7. Yadian ipun adin titiang, Ni Warsiki mangkin sakit, indayang titiang mamanah, nunas ica ring Hyang tuduh, bilih wenten sadian titiang, dados becik, seger sakadi ne kuna.

8. Ngiring mangkin bapa budal. "I Paseban tan nulakin, ndatan carita di jalan, satekede jumah ditu, I Paseban nuli ngucap. "Apa alih." Mrika rerehang pasepan.

9. Pere miwah toya anyar, menyan Arab gumpang injin."Pangayahe ngrereh enggal, sampun polih sami rawuh, I Mladprana manguncarang. mantra sandi, Bayu rampag geni ngalayang.

10. Mamugpug ngeseng ngalukat, geseng lebur wisia sami, sahananing guna punah, sampun jani suud buduh, ngelepu kuru sang sungkan, mwah kamantrin, antuk Dasabayu puja.

11. Crita mangkin sampun kenak, Sang Ayu Alit Warsiki, ibu yayah sane ledang, Mladprana nuli matur, "Yaning wantah bapa sweca, Ni Warsiki, banggiang jumah ajak titiang."

12. I Paseban raris ngucap, "Bapa twara magegetin, nah kewala manut tingkah, alihang dewasa malu, bin pidan dewasa minggat, ditu ambil, bapa tuwah misukayang." [ 128 ]125

13. "Inggih yaning sapunika, titiatlg mapamit ne mangking." Raris dane tulak budal, saketede jumah gisu, ngongkon nunasang dewasa, dewasa ngambil, muwang dewasa pawarangan.

14. Utusan dane mamarga, manunasang sampun polih, raris tulak mangkin budal, maring I Mladprana matur, ngambile bin sia dina, mangararis, pawarangane irika.

15. I Mladprana raris ngucap, "Yaning sapunika beli, mrika beli mangkin ngundang, ring wong desa ngidih tulung." "Nggih to gusti da ngitungang, titiang ngiring, ngotang karya pawarangan."

XXIII. PUH SINOM


1. I Tantulak mangitungang, mangundang desane sami, i wong desa pada egar, nyakap karya pada gipih, pada cumpu manulungin, tan crita karyane ditu, ne mangkin malih sutwayang, indike sane i tuni, crita ditu, irika ring banjar Kasta.

2. Mangkin dane I Rudita, miragi orta sujati, sampun prapta I Mladprana, sareng I Jangga Ketaki, Ni Warsiki katambanin, sampun seger kadi dumun, turin sampun kapatrimang, mitulus bawose nguni, pacang durus, mabuncing bin sia dina.

3. I Rudita ibuk manah, misadia ngalalu mangkin, raris ngrawuhang rencangnya, sarawuh rencange sami, tatindih pangorob wargi, akwehnyane tigang atus, turin katuturin tingkah, krana nama sakit ati, ktarek sampun, sami mangaku pitresna.

4. "Nah ke cai beli pada, yan tresna saking sujati, keneh icang ngwalatkara, ka Purbawyanjana jani, diarep bapannya ambil, Ni Alit Warsiki ejuk, yaning ada kumawirang, siyatin apanga mati ], mangda payu, tiang matemu bin sia dina .

5. Buwin ada katuturan, yan sida sakadi kapti, polih istri ngwalatkara, diarep raramannya ambil, nika patemone luwih." Sami sumawur mamatot, jani manabdab sanjata, seket mangaba gagitik, seket urug, satus pedang satus tumbak.

6. Puput bawos sapunika, maluwaran pada mulih, mangambil punang sanjata, sampun sregep malih prapti, risampun makumpul sami, I Wuruju mangkin rawuh, raris mapitaken nyagjag, "Cening kenken kaptin cai, krana kumpul, sregep mangaba sanjata."

7. I Rudita mangkin ngucap, kapidarta punang kapti, I Wuruju masam[ 129 ]126

bada, "De juwa aketo cening, diapin Ni Jangga Ketaki, jani lajuang ban ipun, jeneng mula to karmannya, nah bapa nuturin cai, ada tutur, sang prabu Cedinagara.

8. Sang Cedi ngelah gagelan, mangaran Diyah Rukmini, kahambil antuk sang Kresna. Cedi wirang payu mati, cai nyadia ngwalat ngambil, Ni Alit Warsiki iku, ada satwa sang Rawana, kalawan Dewi Janaki, masih lacur, pejah tekeng wandu warga.

9. Yan ngalanang drati karana, miwah paradara wyakti, sang agama mamidanda, nah bapa nuturin cai, solah tan patut ambahin, yaning ngalih anak luh, eda pisan saking kosa, sahasa nto kelidin, yaning purug, tan wangde mangguh sangkala.

10. Mrejo ngalih di pedeman, amrugul ngalih ring beji, amalat diarep kadangnya, mlagandang nyuwang ni margi, mamegating apus malih, nyuwang gegelan wong len iku, amungpang malih adanya, yan sing nyak embusang keris, nyuang nak eluh, lawut ngadep madan ngiwat.

11. Yaning nyuang somah anak, ane madan ngaud mangris, muaninnyane lawut matiang, angatel adanya malih, sedek jumahan ia ambil, muwah ane mungpag laku, ngrusak nyuwang somah anak, drati krana aran iki, pradareku, to makejang madan salah."

12. Keto liu paingetnya, nanging tong kagugu sami, tan carita durus reko, kadi kaptinnya mamargi, nanging manda bagia jati, cutet sami kawon ipun, keni sasirep samian, pada tong ada ngedusin, bayu enduk, crita watek Mladprana.

13. Sinamian ia pada budal, dening satru sampun lilih, bapan Warsikine kocap, ipun endeh manyarengin, mangkin budal sareng kalih, kumah Ni Warsiki nyujur, Ni Warsiki alus ngucap, "Jeneng bes makita mati, krana nglalu, mai mangejotang jiwa.

14. Twara ngelah paitungan, ngadu wanene padidi, anake kadena getap, ngaden saktine padidi, onya kaden anake jerih, keto yan jadmane ngagu, bes punyah ring pakenehan." Keto raos Ni Warsiki, tur masawur, "Bapa seger jani teka.


XXIV. PUH SEMARANDANA


1. I Mladprana mahang urip, jani cening plegang bapa, anggon bapa nebus jiwa, buin mula uling suba, cening mula magegelan, duk i guru pada enu, nah jani cening titigang." [ 130 ]127

2. Ni Warsiki manyawurin, "Yan sampun pandikan bapa, titiang twara puruh tulak, sara bapa manitahang, reh titiang mula kawawa, antuk biyang miwah guru, titiang wantah mangiringang."

3.Bapannya mawuwus aris, ring dane I Mladprana, "Nah cening mangkin
durusang, kadi acepane suba, bapa cutet nyukserahang." I Mladprana
mahatur, "Inggih bapa titiang nunas."

4. I Mladprana muwus malih, marep ring nyama baraya, kalih wong desa
makejang, sawatek sareng irika, ne wawu wusan mayuda, bawos nyane
sada alus, "Bapa beli cai pada.

5. Ke mane jani busbusin, sikep musuhe makejang, pedang arug miwah
tumbak, yan mungguwing ia I Rudita, juwang panganggone onyang,
apang ia pisan malalung, tan pasikep tan pawastra."

6. I wong desa mituturin, sikep satrune kajarah, I Rudita kalalungin, panganggone wus kajarah, kari pules tan marasa, mwang kadangnya lelep
aturu, twara tau teken raga.

7. Crita i wong desa sami, sakadangnya I Mladprana, pada gisu majajarah,
puput nyarah raris budal, sinamian ia pada egar, ngiring I Mladprana
mantuk, maring Purbawyanjana.

8. Awengi irika ngemit, sami muji I Mladprana, ndatan carita irika, sakanoan I Rudita kocap, mangkin bangun kapupungan, misadia pacang
ngalalu, gagawannya telah ilang.

9. I Rudita bangun paling, sambilang nekep parana, sambil ngabag Ni Warsiki, "Duh ratu mas kija ilang, nguda las mangutang titiang." Paling
ngbag ngusud-usud, mara ngrasa kalalungan.

10. Ditu lawut dane ngeling, wawu masa kalalungan, lawut ngeling makiyayangan, brayane kedek mabriyag, adane welas andulu, lawut ditu ia
nangsekang.

11. "Jalan dewa mulih jani, lacur pajalane ngonyang, jumunin jumah buin
itungang. " I Rudita tan matulak, raris sareng sami tulak, ring marga
ndatan kawusus, pagumung tekede jumah.

XXV. PUH DEMUNG

1. Wenten mindonnyane mangkin I Rudita, I Dustakara aran ipun, luwih
asih tur amuwus, " Jalan pisan ngalih kanti, beli ada ngelah sawitra, saktine suba kawuwus, nesti naranjana, wenang ia mamati-mati, nanging ke
adoh genahnya, di alase jwa manukuh. [ 131 ]128

2. Alas Suradwipa luwih madurgama, ajnyana wisesa ipun, tur ngelah sisya
apitu, sami pada bajang cenik, paling klih Ni Panca Puspa, sakti kapracaya ayu, miwah Nilapaksa, Swetagana Mretawati, Raktakuja Sungsangjenar, muwah Sugandi ran ipun.

3. Jalan kema lakun jani mamarekan, mangda mwales, wirang kayun, yan
suweca sinah gempung, sa-Purbawyanjana sami, I Mladprana janten
pejah, somahnyane jalan ejuk, beli ane kelihan, ne cenikan cai ngambil." Puput mojar sapunika, I Rudita ia sumawur.

4. "Titiang pitelas mangiring." Tur mamarga, wengi punika lumaku, reh
kayunne culup, peteng lemah ia mamargi, suwen ipun tigang dina, kocap mangkin sampun rawuh, maring Suradwipa, I Padukwan nyapa aris,
"Cening Dustakara prapta, menekan cai malungguh."

5. Menekan ia sareng kalih tur tinanyan, "Napi karya tumben rawuh."
I Rudita muwus, "Krana titiang rawuh mriki, titiang mangaturang
awak, mangda wa suweca nuduk, nuduk jadma naraka, nraka erang
twara gigis, buduh ngimur ngutang-utang, tanpa guna tumbuh lacur.

6. Lacure tan sipi-sipi ngonyang arsa, nyama wargi anggen musuh, kagedegin ban i guru, i meme ninggalin mati, yan ada makuma welas, liu
nekayang gegajul, krana payu wirang, wirange ngawinang mangkin,
kongkong timpal kacweran, antuk gudig ludin ubuh.

7. Krana titiang nawegang mangkin nering uwe, langgana rawuh mangimur
mangda sweca manuduk." Ni Dukuh raris nyaurin, "Kenken kawit
krana osah. "I Rudita rarus matur, satingkahe suba, sampun sami kapiuning, ring Ni Adnyawisesa, dane piwelas kalangkung.

8. Tur angucap, "Inggih cening da nyebetang, meme ngwales mangda antu,
I Mladprana puniku, karayaning kadang wargi, sa wong Purbawyanjana,
mangda tumpur telas gempung, Ni Jangga Ketaki, miwah Ni Alit Warsiki, sida jwa cening manjakang, madoh buin limang wuku."

9. I Rudita manyawurin, "Titiang nunas, gelisang pisan lumaku." Ni Dukuh sumawur, "Petenge jani mamargi." Ni Dukuh raris ngandika, ring
Ni Mretawati iku, miwah Pancapuspa, "Ke manyai luwas jani, ngamatiang I Mladprana, ring Purbawyanjana iku."

10. Sisia kalih matur ngiring tur mamargi, sampun puput dane ngrangsuk,
tumuli makebur, ring ambarane mamargi, ndatan kocapan ring jalan,
ring Purbawyanjana rawuh, jumah I Mladprana. I Mladprana mangkin
kaksi, nglicuk ngulangun ring natar, bagus pangid nesnes lumlum.

11. Edan ngulangun sang kalih mangatonang, keneng karagan kalulut, liwat [ 132 ]129

ngedot ngenyud, twara dadi ban ngamberin, mangkin bimbang mamancana, kabancana den kung lulut, raris meseh rupa, waluya sakadi nguni,
nuli turun manangsekang, I Mladprana nyapa alus.
12. "Inggih dewa saking napi wengi prapta, pawongane nikang dumun, napi
sadiane rawuh, turin mameteng manyingid, malih bajang cerik ida, makakalih bangkit muluk." Sang katakenan ngucap, "Tiang nyadia wantah
mriki, mangapti pacang mamanjak, mangayah satunggun idup.

13. Swecayang kayun i gusti nah idepang, ngenceh ring sombahe mlumut,
nywecin babanden mategul, anggen juru pecik batis, mangilihin kala
nguyang, yadian ke dadi tatingguk, sarwi mangalengin tangan, mangupkupang kala dingin, juru sembar nuju sungkan, kwanten polih mimpek
nyintud.

14. Yan sampun sweca i gustine ring titiang, sapakayun titiang turut, nganggo ngajeng nginum, titiang nyadia manuwukin, yaning makayun mangguran, menek saduwurin embun, yadian batan tanah, titiang sanggup
pacang ngiring, makalangan ring sagara, yadian ring pucaking gunung.

15. Kwanten sweca manambanin sakit titiang, gelis nyampi antuk iku, ne
pingitang i ratu, mangda wusan mrat mangkin, ne tan sakit ipun malara,
ka ati jajah manyusup, ngranayang bulasak, munyi ngacuh mangumikmik, sakadi paksi Cataka, ri kalaning sasih lahru.

16. Bedak tan kena hrotin sakit manah, manah kasamaran ibuk, ibukang ne
suba tepuk, tepuk twara bakat tundik, payu titiang enyud ngingak,
nyingak atu twara kayun, kayun mangandika, salih ka pacang ngaworin,
awor ring titiang i pongah, pongah teka mai nyintud.

17. Nyadia nunas bekel mati-mati ngawag, ngawag buwungang mangulgul,
ngulgul ratu bekut, ngupkup ngembar anak istri, istri kakalih utama,
tami ratu saking ngregut, regut rusut marebat, ngrebutin ngetohang
urip, uripa urupang mudah, irib aluh ngalih angsur.

18. Patin keris pican gusti lintang pangan, dangan ngamadwang nak eluh,
mamadu madwi ngrusuh, yaning encotang abesik, besuk ratu mangitungang, ngitungang ratayang ngedum, ngedum apang asah, asah asihe
apasih, mayah panglemek utama, ombakin antuk salulut. "

XXVI. PUH GINADA
1. Keto munyin Pancapuspa, I Mladprana tan nyawurin, Jangga Ketaki mirengang, munyi mamatbatang madu, raris dane mangkin medal, nesek
mlinggih, tirin natas nyangga mojar. [ 133 ]130
2. Jegeg nyane nedeng bajang, teteh nabdab nutur mai, "Kai jani nyatwin
iba, twara kai ati madu, sadian kaine manyama, dini nyiwi, ring dane
I Mladprana.

3. Ngastiti mangda yuwana, panjang yusa suta wredi, braya wargi mangda
restah, sasomahan mangda lulut, puput pageh guru lakia, minakadi, astiti bakti ring Hyang.

4. Dong ja keto buka iba, teteh mamisuna gidih, gidih pongah ngetuh jahat, buwang meleng cangih jaruh, genit magadgad masubia, twara dadi,
ban iba mangret manah.

5. Manah kadi cakrawaka, saksana nglemesin mwani, mameteng nyingid
majalan, jalan kene jani tepuk, buka tepuk keneh jengah, budi sakit,
sukat ne budiang tong bakat.

6. Bakat sakit manah erang, urung mahan anak mwani, diapin ngenyud
manganyudang, payu jengah mahan rengut, bene ngagen ngawe rengat,
katengilin, tengal jani ban maliyat.

7. Twara sida ban nyelekang, nyelek mata pongah jwari, tuhan ring panyannyan belah, wat matane pegat rampung, mam tu tong makijapan,
saksak-siksik, nyurere mahirib galak.

8. Wireh mabudi ring pasta, pastuna tendase jani, ngalih cunguh congah
bakat, misadia macentok ngrebut, ngrebet keneh apang bahang, ne mabuncing, buncangang apanga jengah.

9. Jengah wireh twara nyidang, nyadangin nepukin pelih, peluh bane salah
parna, kaden madui mamadu, madu manis raket tresna, mamanesin,
muwunang muwane barak.

10. Barak ban berek di basang, krana malawat kasisi, bas kasusuban matindak, tundika atine berung, apa jani anggon ubad, yan lolohin, leleh
lilihe kacihnan."

11. Keto munyin Ketut Oka, Ni Pancapuspa nyawurin, "Duh nyai Jangga
Ketaki, tehteh breteh jwa mawuwus, mawuwas kenehe ngaban, me
swang munyi, patrubus kenehe ngranang.

12. Jangkeh jangkung dadi iba, bane kangkang dadi kingking, ban jaruh
krana kajarah, nganti ngalas nyusup gunung, ban milihin dane garang,
buka gining, gineng ngulurin indriya.

13. Indriyane kalintang corah, corah nadwin anak mwani, sai kenehe ma-
canggah, canggih bisa mangamuk, mauk tekening gagelan, mai nyiwi,
nyiwi ring I Mladprana.

14. I Mladprana lakar nraka, pastan nyane magargaji, iba borbor besi barak, [ 134 ]131

ban dosane lintang jaruh, jerih rahayune teka yaning urip, arepa tan
surud ala.

15 . Ala rusuh liwat tangar, ngaden awak paling ririh, tur sakti tong ada
pada, pada jani alih musuh, meseh rupa twara tawang, tuwi sakti, nesti
neluh naranjana.

16. Kai kanti I Rudita, utusane dukuh sakti, ngamatiang I Mladprana, nyai
apang katur idup, muali nyiwi I Rudita, muah Warsiki, mamanjak teken
I Rudita.

17 . Ditu mara ia ngarasa, ngrasa ban mahan nyengahin, jengah sama pacang
pupuang, nyadia ningsal tulus nungkul, nenggel yeh matane membah,
mimbuh gelip, wangsul dadi wewangsalan."

XXVII. PUH GINANTI
1. Ni Warsiki nyangga muwus, "Nyai Pancapuspa sakti, ngantinin ia I Rudita, masangup nulakang kai, mamanjak teken Rudita, sida ban kaine
ganjih.

2. Tuna bakti tanpa tutur, tuna sastra tanpa Widi, tusing nawang asan jengah, tan weruh tingkah astiti, kewala abesik ada, nyadia tan nadwin
muani.

3. Kaling jani suba cepung, bebas katawurang dini, nguni duk kari magelan, lami kai katinggalin, Rudita masangin guna, tur nyewaka tan katampi.

4. Nto apang iba tau, ring sungleng kaptine nyiwi, yadiapin sida ban iba,
nyedang dane saking nesti, nica matiang duta sumbar, janten pejah manyatianin .

5. Reh eling atine pulung, misadia wantah mamesik, satekane pacang tatak, jele melah apang dini, nadian ke twara kaswecan, nyadia twara
keseh bakti.

6. Sujati aketo mulus, pantike nyai minehin, tulung teken I Rudita, laksanannyane pedasin, kadi guru teken sisia, apang da salah lugrahin.

7. Apang da kadi i blatuk, mangolasin macan sakit, kadi prabu Narantaka,
ring Dusasana Sakuni, kadi lutung sareng macan, nyadia ngamatiang i
kambing."

8. Mretawati nyangga muwus, "Krana payu mangantinin, yasa punika
kaucap, nulung sang newaka bakti, kadi Hambawati suta, tumulung ring
mahamuni. [ 135 ]132

9. Nyai tan aweh manulung, wireh murka twara gigis, ndatan kahanan piwelas, ne lara malih jengahin, yaning aketo makejang, ne sakit malih
tigtigin.

10. Ne bocok tong ngelah angkuh, makejang ajak ngedegin, ngadug adug
dadi ia, elek takut twara kari, jengah pedihe mapunya, payu punyah
ngalih kanti.

11. Ban suwene wirang sungsut, singset mahan kanti luwih, gantin ia mamanggih sadia, ban nyak I Mladprana drenggi, Mladprana ganti sasar,
yan tan madharma ne jani.

12. Yan nyak dharma pisan nungkul, nangkil ring Rudita jani, uliang Ni
Jangga Ketakia, maka panukuning urip, ring ki Dukuh mangadpada,
manawi ia kari urip.

13. Yan tan bakti sinah gempung, tong gampang kari maurip, kija laku manyawita, yadian ring wikune sakti, Ni Dukuh twara ngewehang, reh
ngambel panugran luwih.

14. Sida sida sapakayun, amejah yadian tan sisip, yaning paksa mangalawan,
ri saksat ngenyatang pasih, ngrapahang gunung Himawan, kadi slaba
ngungsi api.

15. Tan wangdea manggih puwun, puwen-puwena nyakitin, sakadi patih
Suwanda, kadi kumbakarna nguni, matinnya mangguh sangsara, krana
ngayuh pisan jani."

16. I Mladprana nyangga muwus, "Pancapuspa Mretawati, nuduh kai manawita, tan jangkayan meswang munyi, tan weruh ring unadika, mangdoh
kai mamisinggih.

17. Reh iba sakadi bangkung, ne buang to kademenin, Ni Dukuh miwah
Rudita, keneh reged tan sinipi, kadi sekadi bramara, tan sah aptine ring
sari.

18. Mangdoh pacang dadi adung, satunggune kari urip, melahan ja nyai
tulak, orang ring Dukuh sakti, miwah teken I Rudita, apang sepalan
tangkepin.

XXVIII. PUH DANDANG
1. Jati kai tusing wedi teken sakti ambek dusta, panglaksanan iba, sinah
kadanda ring Widi, asta corah aran iku, kai jani manuturin, ane madan
asta corah, ingsaka mejah sang patut, codekah saking kenkenan, mang-

amatiang, anak twara ngelah sisip, bojekah natum tan salah. [ 136 ]

133

2. Miwah boktah bareng ngamah minum sai tekan corah, sacarakah muwah, bareng teken selwan maling, pritikah aran puniku, makakasihan
ring maling, astanadah maweh genah, tritah yaning matulung, teken sahananing corah, makamiwah, ane madan Sadtatayi, tatasang jwa dingehang.

3. Angrowana angleyak neluh manesti naranjana, Astrobyatakara, angamuk anak tan sisip, Wisiadah nyetik ngaracun, Acewah yan dratikarami, Agnidah muwunang umah, ngraja pisuna puniku, misunayang gustinya, to makejang, pelaksanannyane pelih, Sang Hyang Gama mamidanda."

4. Pancapuspa makemiwah Mretawati nyangga mojar, "Da dewa langgana ,
kangen titiang ring i gusti, mangda ratu panjang tuwuh, serahang Jangga
Ketaki, mangkin buat titiang tulak, titiang ngaturang panuku, manik
madulur mas mirah, sapakarsa, titiang ngaturin i gusti, mangda tulus
sami yuwana."

5. I Mladprana masawur sada kenying, "Dong ja mula, pacang anggon dagangan, ngalih somah pacang tresnin, misadia ngetohang angsur, yen
sarat atine meli, beli ban tendas adasa, tendas sisiane papitu, kutus tendas I Rudita, kaping sia, ulunnya Ni Dukuh sakti, adasa tendas Dustakara.

6. Yan tan ika anggon pacang meli mangdoh bakat, nagih ngedih numbas,
tuwi silurin ban kakalih, kalih pentes mangaluku, bajang cerik buka
jani, mimbuh mas selaka mirah, tong dugi antuk masilur, silur manike
ban timah, yan upamiang, bulan bintang matan ai silurin ban kunang-kunang.

7. Diastun kuning dipta sunaran makenyit akenyitan, abesik gunanya,
ngawe besuk kala latri, letre dadi tanpa bayu, letre dadi tan pabayu,
baya yan nto tresnanin, waluya ngaracun awak, kadi Watakwaca iku,
kaupaya ban Hyang Indra, tulus pejah, kadaropon kena manis, Supraba Parta dinuta.

8. Nah keto upami yan nyai dini mlahan tulak, da nelukang awak, nelek
deweke sasai, bane byai patiluplup, leplep keneh ngaleplepin, culup
calep kacelepan, tan wangde manggih pakewuh, reh manahe lintang galak, kadi mina, ngamah baren misi pancing, luir paksi keneng pikat."

9. Pancapuspa tumuli nyawurin bangras mojar, "Lek ati matulak, yan
tuara angan kanin, ban ibane liwat ngagu, ngugah ngagah ati runtik,
runtike pacang tilara, ngelarin jajah papusuh, bani bane jejeh pasah,

krana wenang, gela-gela apang ngrigis, ngareges mati ska lawas." [ 137 ]

134

10. I Mladprana nyangga manyawurin srengan mojar, "Nah lawutang pisan, ciryang kasaktiane dini, tlahang jua jani rangsuk, panugrane ane luih." Mretawati Pancapuspa, mangregep tatan pasawur, puput ngregep mlecat ilang, tan pamengan, ngranjing ring sor ing pratiwi, Mretawati manggagana."

11. Tan kocapan Pancapuspa Mretawati jani crita, I Mladprana ngadika, ring rabine makakalih, "Beli pamit mangkin ayu, amejah Ni Dukuh Sakti, I Rudita muang Dustaka, tekening sisia papitu, apang da ada mangoda, pabuncingan, i dewane sareng beli, musuhe malu telahang.

12. Tan asuwe mejah satru dasa diri tui ia saktia, swenia limang dina, teka beli ngalih adi, da sangsaya ring kayun, ne bungkung beline gisi, uli ditu atu nyingak, yaning ngenah tanpa ulu, janten titiang sampun pejah, yaning ngenah, makta bunga miwah paksi, nto cihna musuh kalah."

13. Ketut Oka Ian Warsiki manyawurin, "Nggih mamarga, dumadak kasadian, sida jua musuhe mati, ring tan ica Sang Hyang Tuduh, yaning palatra i gusti, kewanten da ngalaliyang, alih titiang ajak lampus, mangda matunggalan bangbang, ciri tresna, mangda sareng pati urip, pitui swarga naraka."

XXIX. PUH GINADA

1. Wenten bapannya ring misan, antuk Ni Alit Warsiki, aran ira Waksarusa, ne alitan Kawitweruh, nyelag nesek I Mladprana, muwus aris, "Bapa nututin i dewa."

2. Tumuli raris mamarga, sareng tiga jwa lumaris, tan kocapan sampun sawat, Ni Mretawati kawuwus, suba ia masalin rupa, rupa paksi, agengnyane tan sapira.

3. Bungut tajep luwir konta, jambul jamprak uwok jering, matannya barak maguwa, ikuh kadi umbul-umbul, kampid lumbang tajep nyapnyap, turun mangkin, apti mejah Mladprana.

4. Wawu ngabehbeh nganuwunang, Mladprana sampun uning, raris dane ngunus pedang, paksi nyander nyadia nucuk, kasempal ulunya pegat, Mretawati, rahnya muncar nuli pejah.

5. Tan kocapan sang lumampah, Pancapuspa reke mangkin, uning ring raine seda, duka dane nuli ngrangsuk, ngaregep masuku tunggal, wus mamusti, mangkin sampun meseh rupa.

6. Kalih peluk agengnya, gundul tur nanar makenyit, kumis jenggot kales [ 138 ]

135

samah, dada gigire mabulu, atub suket luwir alas, untu putih, calinge ngredep tur panjang.

7. Pangaksiane kadi kasna, selem malodlod tur ngendih, luwir meka mapas surya, anggrek gringsing punang suku, raga tangani saliwah, basang endig, nabi ngendih manca warna.

8. Lindu kang pratiwi rengat, mledot dane raris mijil, ring arep IMladprana, I Mladprana tongkejut, Wakparusa bah nungkayak, manguliling, I Kawitweruh kasaban.

9. I Mladprana ngregepang, Sang Hyang Aji Wisnu Murti, nunggaling cita matemuang, pucuk lidah tungtung irung, mangregep mangranasika, mantra sandi, Ni Pancapuspa ia punah.

10. Lesu tan kawasa molah, matimpuh lawut ngubakti, "Inggih dewa Mladpprana, sampunang kadurus bendu, titiang nunas geng ampura, minta urip, nyadia mamanjak katitah.

11. Tungkasang titiang pucukang, nyiyatin Ni Dukuh sakti, I Rudita muah Dustaka, mangda mati tanpa tatu, kena upas gring kadadak, tiwang angin, gerah ngemokang ring basang."

12. Keto atur Pancapuspa, Mladprana mendep minehin, Wakparusa bangun nrajang, sareng lan I Kawitweruh, manesek Ni Pancapuspa, ngusud cadik, naen tendas laut mojar.

13. "Janiko krasa ban iba, dosa nyungsung anak pelih, teteh pees bungut ilar, cadik galir lintang jentul, kenehe satata corah, meruk takil, engkang isin nyane tuna.

14. Tuna sakti ngagu sumbar, ila pakeweh kapanggih, kalingke nyai manusa, ida Sang Hyang Brahma Wisnu, sumbar manggihin sengkala, kalingke nyai, manusia kaliwat corah.

15. Corah katempur tumbuhan, luh yogya kalahang muani, sakti kalahang kadharman, mangiwa panengen nempur, buka telu suba kalah, lemah wengi, pituwi di sakti kalah.

16. Yogya jiwane tawurang." pedang bapane tanggapin, Wakparusa gagrepenan, misadia mamunggal lawut, nyambak tendas ngunus pedang, tur manuding, I Mladprana nyagjag melat.

XXX. PUH DEMUNG

1. "Sampunang bapa barangti parikosa, mamademang anak nungkul, ila kadharmane lebur, titiang matur mapekeling, nguningang kawi carita, [ 139 ]136

kadi Sutasoma iku, ida ngamanggehang dharma, sweca ring aminta urip, sadia sida ngawengku rat, patut jwa punika tiru.

2. Wakparusa makakirig nyimpen pedang, mamineh jani mamatut." I Mladprana muwus, semu manis sada kenying, "Aduh nyai Pancapuspa, misadia dadi pamucuk, mejah I Rudita, kengken pacang antuk nyai, nah satwain beli amatra, pangda malah cager ngugu."

3. Ni Pancapuspa nyawurin, "Nggih pirengang, pengawit nglekasin musuh, kalahang dewanya malu, Hyang Tiga Siwa di hati, lekasin apang matinggal, saking atinya i satru, tiga Sada Siwa, ring ampru ida malinggih, Sang Hyang Tiga Prama Siswa, ring pabahan tundung malu."

4. Bayu kancing kedeng riyin saking karna, Hyang Pramana saking irung, Hyang Panon saking netra, papupulannya lekasin, ring tumpuking ati ika, bayu sabda idep embus, saking Siwadwara, Sang Hyang atma jwa ambil, panunggu atma udepang, mangda matinggal ngalawut.

5. Wawu munika kasatwin Mladprana, raris dane nyangga muwus, "Liwat mandel beli luh, nanging ada tong cumponin, dening kucap nraka pisan, kasaktiane bisa neluh, twara dadi supat, masih liu nak mlajahin, dikenkene ada lega, lan pamarisudan ipun."

6. Ni Pancapuspa nyawurin, "Wenten pisan, pamarisudan puniku, makadi legane nglungku, di petenge twara gigis, nganggur ka tengah sagara, miwah ka pucaking gunung, puma ring kumpulan, indriyane kahulurin, buin erange majalan, masih ngranang legan kayun.

7. Nto ngranang tan nakutin ujar ala, pamadatne anggon tiru, kucap jele masih payu, reh ngulurin legan ati, sakite twara kenehang, dikatagihane ngarusuh, ngamaling mamegal, duwen dewa masih ambil, sinah ia nemu naraka, ring dasar kawahe mungguh.

8. Ban corah nesti mamaling pantes nraka, inggih yan kadi i ratu, mraga nalian matulung, yan tugak ban ngamong aji, nyanang seda kasangsaran, sakadi brahmana wiku, maicayang dewasa, yan iwang antuk niwakin, nyepuk sasih tanggal ika, makakalih rnanggih kewuh.

9. Ento ngranang tan nakutin ujar ala, pamadatne anggon tiru, kucap jele masih payu, reh ngulurin lega ati, sakite twara kenehang, dikatagiane ngarusuh, mamaling mamegal, duwen dewa rnasih ambil, sinah ia nemu naraka, ring dasar kawahe mungguh.

10. Inggih yan kadi i gusti, mraga balian, ring raga sregepang dumun, balian sarirane rangsuk, nyamane patpat kasihin, ikang sastra dasaksara, mangda pastika ban ngrangsuk, ngapasuk wetuang, kadharman anggen nasarin, miwah aji Dipamala, sarin Ampelgading rangsuk. [ 140 ]137

11. Puniki malih apalih nyandang pisan, i ratu mangdane weruh, Arjuna-
sancaya iku, Bimasrani Pudasrani, miwah Aswadharma Siwa, maring
bayu mangda weruh, nengerin kawisian, kapongor miwah pamali,
yadian kasakitin pitra, pangda ngawag pati kacuh.

12. Nenger panas lawan tis dumalada, makamiwah genah ipun, samalih nga-
rangsuh tenung, nggen ngitungang ngangkepin, sampun uningin to ma-
kejang, muwah niki mangda weruh, apane makada, baana bisa pules
ngipi, ngedusin nyen mangunang, ring grah jajron sang weruh.

13. Mkamiwah nyen malinggih maring netra, maring cangkem muwang
irung, ring tungtung lidah i ratu, ring pabahan Ian ring kuping, ring kulit
enyen irika, yan tan weruh ngrangsuk iku, enu kasusupan, antuk pan-
cendriya gusti, sadripune nu ngawasa, punika kalahang malu.

14. Yan kari to ngarangsukin janten obah, ento kalahang enden malu, yan
jerih ia i sadripu, i sadguna dadi ngranjing, yan kalah i pancendriya, pan-
ca gagunane ngunggul, puput ngrangsuk dharma, kuntisraya rambang
buntil, miwah marining astaka, yan suba en to karangsuk.

15. Lawut ndewasraya sai nunas lugraha, maring Prajapati dumun, yan sam-
pun polih i rika, ring kayangan malih nangkil, yang sampun polih lu-
graha, marajah pawarah puput, mara mahadan balian, yan tong ada nga-
lugrahin, ngandelang usada mantra, idep-idepan puniku.

16. Babayone baya sami telas rusak, panjengkere jengker ipun, pamatuse
kabantus, usada masadah sami, pamugpug dadi pegpegan, panawute
suba muwut, tatulake matulak, pangasih sedih kasiasih, pamatuhe etuh
patah, panawar kalah manawur."

XXXI. PUH DANGDANG

1. Sapunika Ni Pancapuspa nuturin tan carita, Ni Dukuh carita, uning ring
sisiane mati, Pancapuspa kalah nungkul, reh aketo mangesengin, "Ne
nyai sisia makejang, mangkat ne jani ngalawut, anggo kasaktiane onyang
nah matiang I Mladprana to kembulin, tekaning Ni Pancapuspa."

2. Sisia sami matur telas sahiring lintang galak, sami ngasgas tangkah, ature
silih langkungin, "Titiang pamit mangkin ratu, ngwalesang apanga mati,
I Mladprana Pancapuspa, bane nista ipun nungkul, I Mladprana salah
langgah, krana yogia, sakadangnya apang mati, sa wong Purbawyan-
jana."

3. Ia Ni Dukuh tumuli nyawurin, Nah majalan, tur ingetang pisan yan
Mladprana suba mati, nyai marika ngalawut, ka Purbawyanjana raris, [ 141 ]138

sakadangnya I Mladprana, mangda tumpur gempung, pasangin gering
kadadak, taranjana". Sisia sami matur ngiring, tumuli raris mamarga.

4. Wus ngrangsuk mesat ring gagana sami Raktakuja, ngendih barak nga-
rab, Sungsangjenar ngendih kuning, Swetagana putih ngunggul, endih-
nya muncrat ngeresin, Ni Sugandi ngendih sliwah, bonnya miyik nga-
lup-alup, Nilapaksa selem ndihnya, kadi jantra, suteja angresin ati, lam-
pah sisiane lalima.

5. Tan critanan lampah nyane gelis sampun prapta, ring Janggalatresna,
I Mladprana ia kapanggih, muwah Pancapuspa nyintud, sang sisia lalima
brangti, Nilapaksa alon ngucap, "Nyai Sugandi mamucuk, sareng ia
Ni Raktakuja, senapatia, mbok di guleme nganti, nanggal nyai yan
kuciwa."

6. Raktakuja, Ni Sugandi tan nulakin lintang galak, tan panahen baya,
turun nyadia manglekasin, wawu ngregep dadi bingung, bengong engsek
kadi lantig, ngebrasang jaga nyingitang, nyengetang enyud ulangun, tam-
banin atine pusang, buka tumbak, enek pusing buka mati, tur punah
waluya jadma.

7. Raris nyagjag I Mladprana kaungsi tur kasembah, kagelut sukunya, bok-
nya kanggen nyadsadin, ciri kalah suba ngayuh, tur matur madulur ta-
ngis, "Inggih dewa Mladprana, supat titiang ratu." I Mladprana beleng-
began, ngucap nyapa, "Saking napi dewa gusti, napi pisadiane prapta."

8. Raktakuja Sugandi nyaurin, "Inggih titiang, saking Suradwipa, utusan
Dukuh saktine, mangda nyedayang i ratu, nista titiang nyadia nesti,
sadurung manggih i dewa, galak titiang tur sumanggup, wawu titiang
manggih ida, balik titiang, mati kasamaran paling, pulung manahe nya-
wita.

9. Kejat-kejat kene kejitan i gusti buka panah, antuk tajep ing wimba,
natunin ngencel atine, kapetengan bengong bingung, kadi sander kilat
tatit, keni seledet i dewa, manah titiang kadi ketus, alep cacingake
nyapnyap, mangranayang, enyud makita nyicipin, lambene manis nga-
tirah.

10. Amunika kitane saking sujati ring i dewa, de gusti nyengguhang, titiang
ngulgul mangulgulin, wantah jati saking culup, calep tong dadi kadetin,
kedetin sumingkin kedat makita manggih i ratu, i ratu sayangang
titiang, da mitulak, diapin twara ada ati, lawanin buat apisan.

11. Nah suudang mamatu manyebengin marungusan, mrenges manah ti-
tiang, titiang pongah ngamerudin , mamerudin mangda kudu, kuduang
kuda ngenyakin, ngenyakin titiang i pongah, pongah teka mai nyulsul, [ 142 ]139
nyulsul ngimur mangda sweca, manampedang, titiang jadma lama mis-
kin, tanpa aji tanpa bikas.

12. Ngarah ngrosah i ratu mriki tanpa sukat, bane sakit manah, manah mi-
sadia ngayahin, ngayahin mai mangayuh, ngayuh yan wantah katampi,
tampen ratu baktin titiang, titiang masanggup ring atu. Sapatitah twara
tulak, nyadia tangkas, ring dane Ni Dukuh sakti, pintonin titiang pu-
cukang.

13. Ditu cingak yaning titiang wedi metoh angkian, baong titiang punggal,
tektek titiang tanding-tanding, bacarang tur anggon, caru, cirine ma-
ngaku bakti, sapunika atur titiang, yan titiang mitia ring atur, mangda
Widine nyisipang, ri wekasan, yadian ping keti numadi, mangda i ratu
manjakang."

14. Keto pragat aturnya ngabakti tur katanggal, antuk I Mladprana, "Bli
tampin ring tresnan nyai, sakewala da mangapus, ngepet singse saking
singid, ila yan ngapus sawitra, kadi Sang Hyang lndra iku, ngapus sang
detya Si Wreta, nraka ida, siyu tahun mangemasin, reh kakenan brah-
matia.

15. Malih wenten ring saritan Tantri kedis Baka, mangapus sawitra, sang-
kala katekan mati, nyai pangda kadi iku, krana beli mapakeling, wireh
liu ngranang punyah, ban bajang jegeg kagugu, sugih sakti luih wangsa,
ngranang betak, yan durung mahan ngenehin, dadi satru to makejang.

16. Ane jejeg ban liune enyakin madan punyah, andel teken goba, kadi
mastra anggon sai, kaden twara bisa buwuk, yan andel deweke ririh, tan
papakering ring apa, bikase ngodag mangadug, twara ngidep gagleme-
kan, ring anak tuwa, bane ngasen awak ririh, ruruh pakaeweh satata."

XXXII. PUH ADRI
1. Puput I Mladprana nutur, nilapaksa crita, sareng tiga sampun uning,
ring Ni Raktakuja nungkul, lan Sugandi sampun ngayuh, erang dane
Swetagana, Sungsangjenar duka murub , Nilapaksa gagrepenan, raris
turun sareng tiga.

2. Masang sasirep pamungkem iku, lan panawut jiwa, sasirepe luih sidi,
Wakparusa kawit weruh, pules ia bah magerebiug, Pancapuspa Rakta-
kuja, Sugandi lelep aturu, I Mladprana sareng nidra, tan maha kena
wimoha.

3. Nilapaksa Sungsangjenar turun, miwah Swetagana, misadia mamati[ 143 ]

140

mati, mamatek tungkede ditu, ditu mrutu nyadia nyatu, tur kaharas I Mladprana, tangannya usudang susu, ngusap-usap kang wedana, ming- kin wulangun kang manah.

4. Wireh ngidem krana kayun, enyud ngetel ngelag, elud tan dadi kedetin, "Kedat juwa kuda i ratu, cingak titiang wawu rawuh, rawuh manga- turang awak, awak dingin tidong kupkup, kupkup tekep juwa ilidang, ban elud ngepah ngantosang."

5. Tur kakocok I Mladprana kadundun, kasaluk bawune, kasundang lawut kahabin, "Matangi nggih ratu bagus, suud puik amuniku, yaning sisip nah salahang, eda nyebeng mamurungus, mamengos ngelenang ulat, uleta juwa atin titiang.

6. Ati kadi lablab gebuh, panes buka panggang, manyahnyah puun ngari- tik, ban merat manahe cumpu, pitresna ageng sagunung, ngantenang i ratu nginang, nginang juwa buduh ulangan, kasusupan kasamaran, tong dadi ban ngeret manah.

7. Manah gilik galak mai ngalalu, mangasor manyarah, sereha pacang adia- nin, titiang kosing nagih ngunggul, ngenggalang nginggilang mampuh, adoh para manah titiang, masem mangalahang madu, jukutan ngalahang pamulan, kapasilan nyrihang punya."

8. Sapunika aturnya ngarumrum, selag Wakparusa, ipit ujarnya ngarumuk, "Jambak jwa tendasne kapeluk, apang belah dadi telu, saup batisnya pantigang, panteg bangkiangne pang lung, sapunika jwa ipitnya," sang ngrumuk mlaib murengang.

9. Tolah-tolih angkiane ngarutug, tegtegang tuptupang, teptepin atine gunjih, ganjah misadia mamuuk, tuwekang jani ngalawut, raris dane maklimpengan, sampun madohan malungguh, nanging kari alam-alam, makita ia malipetan.

10. Liput manah bungeng bingung, tong ngitung riwekas, legane jani ulurin, pa pipi bakat pupu, bani congah ngalih cunguh, ambul bakat ne caco- ngah, keto manahe tur culup, calep teken Mladprana, raris nglesu meseh rupa.

11. Sasirepe I Mladprana bancut, tur dane ngrangsukang, sahanan pangasih luwih, pamuter miwah pangenduh, muwah sarining pamatuh, tekaning panangkeb jagat, puput sareng tiga ngrangsuk, Sungsangjenar muli mo- jar. "Jalan malipetan budal.

12. Ne nuwukin atine bingung, malalemes kema, jalane twara katampi, akuda jengahe salud, dimonene suba cukup, pindo suba mahan jengah."

Nilapaksa ia miturut, miwah ia Ni Swetagana, matulak ia ngamulihang. [ 144 ]

141

13. Pamargine ngrarantun alus, bane twara elas, bilang atindak manolih, inab I Mladprana nutug, ngranang gembor atine uwug, ngawag majalan ngebrosang, Nilapaksa ia mananjung, tongkejut ia sambil ngucap, "Aduh I Mladprana teka."

14. Swetagana juwa sumaur, " Nyai Sungsangjeriar, yan jani pitulus mulih, sing buungan mangguh lacur, mati ngawag sakit kayun, jalan pisan pitulusang," Ni Sungsangjenar makayun, "Titiang sahiring tan tulak." Raris mawali mangetan.

15. Kocap sang tiga lumaku, I Mladprana crita, sampun jwa dane matangi, Hyang Ratih nyundarin lumlum, sumungkin suteja marus, raris dane mangandika, "Duh nyai makatatelu, miwah bapa maka dadua, kadurus leplep aturua."

16. Lawut kakocok kadundun, bangun ngundap-undap, nuli I Mladprana
nolih, kacingak wenten di pungkur, anak istri wawu rawuh, lenja-lenja magoleran, kadi surapsari iku, raris dane nangsek nyagjag, mapitaken manangsekang.

17. "Dewa sang bangkit tur mu1uk, nesnes gading nyalang, lempung lembut mangedanin, pangid sing solahang pangus, semu manis ngawe enyud, pangadeg waringin sungsang, cacingake nunjung biru, ngasorang laliat kidang, lemuh ngasorang kedapan.

18. Napi arsa mameteng juga rawuh." Sang katiga ngucap, "Krana titiang rawuh mriki, kautus nyedang i ratu, antuk dane i wa Dukuh, nanging tong dadi ban nyedang, kahret ban olas kayun, salihke pacang nyedayang, nilar mulih twara elas.

XXXIII. PUH SINOM

1. Tur sampun rasayang titiang, iwang i ratu akidik, kapatutne akweh pisan, krana kahyangin Widi, sadu sidi sida kapti, punah sahananing satru-satru galak dadi punah, nambehin taka ngruwangin, mai nungkul, kadi ipun Pancapuspa.

2. Twara ipun nge1ah jengah, tan erang nyamannya mati, kadaropon nyadia lega, ring pagurwan nungkas bakti, masa rahayu kapanggih, yan ipun tampi i ratu, sinah jwa manahang titiang, sinung tutut jwa i gusti, pamin ipun, kadi buta ngusud gajah.

3. Wireh antuk kahangsokang, nyedayang Ni Dukuh sakti, mangdoh ke

pacang nyidayang, yan upamiang titiang gusti, metekin bintang ring la[ 145 ]

142

ngit, nekdekang batu agunung, ngaleserang tukad akah, neleng surya
ngurug pasih, ngenyatang danu, ngujuh langit nampa gajah.

4. Krana ne jani patutan, Ni Dukuh jwa anggen kanti, banggayang titiang
ngokasang, sinah i ratu katampi, yang sampun ratu lulut sih, maring
dane jero Dukuh, I Rudita titiang mejah, sampunang ratu nyarengin, si-
nah lampus, antuk titiang sareng tiga.

5. I ratu dadi puwana, namtamin ngamong pawestri, twara ada manyang-
kala, musuh kalah istri bakti, baktin titiang saking jati, yan mitulak
mangkin atu, tan wangde sengkala seda, nyiyatin Ni Dukuh Sakti, sakti
putus, tulus ratu basmi buta.

6. Napi pacang kenten titiang, nyadia naresnin i gusti, ratu maninggalin
seda, las ran tolihan ring rabi, Ketut Oka lan Warsiki, satia bakti saking
nulus, tidong padalem elingang, yan kajarah maka kalih, antuk ipun,
I Rudita nganggon somah.

7. Yen kento tusing jengahang, krana idepang ne jani," I Mladprana tan
pangucap, mamengos nglenang aksi, I Pancapuspa nyaurin, "Duh nyai
maka tetelu, ngonek mbok nyadia lega, ring pagurwan nungkas bakti,
belog biluk, twara nawang asan jengah.

8. Dong ja buka nyai pradnyan, bisa jengah bisa bakti, nawang patut saso-
lahan, krana teka nutur mai, guake buin mangsinin, cetaka urukang
nambung, sikepe urukang ngindang, pasihe pasihe buin uyahin, suba
madu, ento buin jangin gula.

9. Nah ne suba lebian pradnyan, pakayun waluya pasih, mabiyas ban ka-
patutan, matoya antuk satiti, malinggah luih ing kanti, dalemnya ka-
darman terus, saktine maka parangan, luih naya maka didih, ombakipun
kadiran jaya laksana.

10. Ento krana eda pesan, nyai mai mapi bakti, di harep makuma tresna,
telektek satru putui, ngepet singse saking singid, melahan pisan masatru,
apang da kaden ngalanggang, yan matiang ia mirib bakti, yan kalulut,
rasa tan wangde nyangkala.

11. Krana jani sedeng ilisang, kija pacang lakun bakti, yan manggeh teken
pagurwan, tulak jani kema milih." Ni Swetagana nyaurin, "Dini suba
iba nyintud, sing buungan iba pejah, I Mladprana milu mati, ban ia
punggung, ngagwang awaknya paradnyan."

12. Puput mojar raris tulak, ndatan carita ring margi, rauh maring Suradwipa, matur ring Ni Dukuh Sakti, satingkahe kapiuning, I Dukuh ia duka murub, "Nah nyai maka tetiga, tututin meme ne jani," tur lumaku

rauhe ring Smasana. [ 146 ]

143

13. Sampun lintang sandikala, peteng bulane nulurin, twara kanten paran- paran, kewala gumuk kaaksi, samar-samar kapanggih, saru ring ebet nga- rembun, ring pamuune kaungsiang, ring tengah setrane sepi, gelis rauh, Ni Dukuh raris madabdab,

XXXIV. PUH GINADA

1. Matimpuh laut ngregepang, nyembah mider kiwa mangkin, wus nyem- bah masuku tunggal, mamusti mengembus bayu, sedek ngregep peteng tang rat, angresresin, cihnannya dahat apurbwa.

2. Gagak ngagalok tan pegat, tangis alon mananggurin, ngiskis kalawan ka- tekan, asune mangulun-ulun, kupu-katupuh lan swalak, yeg mamunyi, dadi bango lan cegingan.

3. Mangkin crita meseh rupa, rupa rangda tultul rakrik, apeluk lintang agengnya, landungnya kalih panyujuh, rambut putih nyapuh jagat, siung asalit, untu ngrede tonggos panjang.

5. Jati mangeresin manah, maodak mabasma getih, masalimpet basang wa- yah, mabapang antuk paparu, makakudung jejaringan, sekar ati, mage- lang ia antuk limpa.

6. Tur nylep lidahe panjang, pangaksiane barak ngendih, ragane rengreng makenyah, medal endih bilang buku, saking cangkem irung karna, bega malin, endihnyane malegendah.

6. Ngakak kedek ngagem pedang, kepuh randu kaslelegin, mijil endih irung karwa, putih kadi umbul-umbul, ring pabahan mancawarna, nyucuk langit, saking netra muncrat barak.

7. Malih mesat manggagana, sisia katiga mangiring, Nilapaksa endih kem- bar, selem kadi pajeng iku, Swetagana Sungsangjenar, putih kuning, endih kadi mamas bandrang."

8. Tan crita sang ring gagana, Ni Dukuh lan sisia trini, kacrita Ni Panca- puspa, ne ring Mladprana matur, "Inggih dewa inggih pirengang, tur pi- nehin, atur pikeling i nista.

9. Mangkin ratu mangda yatna, yan ampah pakewuh panggih, masatru ring Dukuh Sakti, wireh saktinya ngalangkung, nawut jiwa twara pindo, ipun uning, masalin rupa ping sapta.

10. Malih sisiane tatiga, sakti pananggennya luih, Sungsangjenar Tangting Emas, Ni Swetagana puniku, sarin ing pudak sategal, Nilapaksa, Sarasija-

kusuma ika. [ 147 ]

144

11. Punika yatnanin dewa, dabdabang mandannya pasti, magutin Ni Dukuh Saktia, napi pacang anggen magut, bawosang dumun pastika, pang da pelih, blegbegan kasep matingkah."

12. I Mladprana nyangga mojar, "Liwat patut bawos nyai, sayang dadi nir- don pisan, krana ban beline dusun, pojol mangandelang titah, twah mamesik, dasarin ban ening manah,

13. Wireh beli ningeh orta, yan sakti malampah rusit, kocap tan dadi yo- wana, sakadi Raniakasipu, sakti polih panugrahan, twara mati, antuk ing sarwa sanjata.

14. Muah tan pejah dening dewa, raksasa manusa sakti, ban rusuhnya dadi pejah, tan manusa dewa iku, tan sanjata detia yaksa, ngranang mati, ban kukun Hyang Narasinga.

15. Ento ia nyinahang pisan, ne angkara ngusak-asik, rusuh Ida Sang Hyang Wenang, ane darma pageh patut, asih ring sadu muang jagat, ika jati, lugrain ida kayasan.

16. Krana sedang pageh mlajah, musuh di raga siatin, yan kalah musuh di raga, ne di sisi sinah nungkul, krana to saratang pisan, maminehin, sai gulik peteng lemah.

17. Reh i dewek kicon mata, mula katuduh ngenotin, nanging tan kicen ngiwasang, samalih kaicen bungut, katuduh ia mangucap, ia sing dadi, mamunyi miwah mangamah.

18. Kicen kuping nggen ningehang, anging tan kalugra miarsi, ada batis nggen majalan, nanging tan kicen lumaku, kicen lima anggen nyemak, yaning dadi, limane ento jemakang.

19. Ento pinehin tatasang, nake buka beli nyai, apang eda garing gingan, tabah takut tan paunduk, reh laksana kadi binian, pacang bukti, uli idup kayang pejah.

XXXV. PUH DEMUNG

1. Patut pisan pelapanin dadi jadma, eda langgia ring sang Wiku, makadi ring bapa ibu, da pati cacad-cacadin, nabuh munyi eda bangras, miwah lamis tur mamisuh, to makadi kasukan, mangrawos makisi-kisi, iri drenggi cinging pangpang, jela teken anak lacur.

2. Eda pisan ngipik nyingid mangupaya, mangawenang anak lacur, ngu- lurin tresna lulut, eda pedih gagle mekin, eda teleb ngaresepang, pine hin pastika malu, da gedeg madingehang, pitutur kidung kakawin, miwah

wariga agama, reh to suluh iwang patut. [ 148 ]

145

3. Wireh liu jwa kenehin dadi jadma, eda mamesik ring sangu, tingkahe pa- tut rahayu, kasida-sida gawenin, da mangulah betek basang, lamun sa- king twara patut, yan pelih ban matingkah, pangkah kone ngipik pripit, mretane ia dadi wisia, yan saking bobab ngamawuk.

4. Mawuk kereng mamuwikin caceketan, bangkung langkung pungung, teken awake kagugu, ngagune bakat gugonin, nganggoang kenehe padi- dian, biluk kiluk nglentuk lukuluk, tingkahe pangkah ngandang, ngan- dong ndongdong ati rusit, rusute pacang tampedang, dosa nuwut ane buwut.

5. Niskala manggih aweci ring sakala, salampah lakune santul, yan nyu- waka munyi puntul, ban mikak jedig mredigdig, ngelah misan ia me- mesan, mindon mingtelu ngalalu, kakasihane kesah, tungkas onya ngawe jengil, jengal umahin ban tamah, sasimbing masambang rawuh.

6. Sapunika yan tan uning ngunadika, bega pasta weteng iku, raksa antuk pakayun, da bahanga asing kapti, lima batis mata ngraksa, ngraksa mata kuping kayun, munyi miwah manah, i tingkah laksana ngemit, apang sida sakti jnana, da muwukin pangan kinum.

7. Mangda sida ban ngelidin Mretyu ika, premadane johang tundung, ken pramada ran ipun, kroda moha loba geng sih, ragapisuna angkara, para- ninda matsaryeku, irsia kingking tresna, maka roras to kelidin, samalih sampunang pisan, makakasihan ring satru."

8. Wus manika manuturin tan critanan, kacrita dane Ni Dukuh, ngandika ring sisia iku, "Kema nyai mamucukin." Sisia katiga ngiringang, raris sahasa tumurun, ngungsi I Mladprana, prayane mamancut urip, I Mlad- prana sahuninga, nuli mangandika alus.

9. "Duh ratu sang kadi Ratih nyalantara, nah sweca ja malih rawuh, kaden titiang ratu ngambul, matinggale semu brangti, ngrebet nyapnyap ma- nah titiang, bane marna ratu bendu, yaning saja duka, lasia pisan titiang mati. yan tusing nepukin ida, ban nguleng manahe cumpu."

10. Ni Swetagana nyawurin, "Aduh dewa, sang kadi Samara turun, di kapan sih titiang ratu, dadi lali ring i gusti, duh dija sih dewa ada, nyawan gedeg teken madu, tunjunge ring toya, i bramara teken sari, keto upamin- nya dewa, manah titiang ring i ratu.

11. Krana teka mangkin mriki mangalayang, nah kewala mangda tepuk, yan ratu twara kapangguh, blasak makita ngantenin, buka bitbit makrebetan inggih yaning sampun pangguh, nyummingkinang rumbang, krana wireh durung polih, upami kadi i nyawan, ngantiang madu jroning pucung.

12. Yan paksa antosang ugi meh katekan, uripe pacang manawur, baya mati [ 149 ]

146

ngalentuk, i ratu tan wenten uning, uning ring titiang sangsara, sangsara nyakitang atu, maring untenging manah, manahe kalintang tiling, tilinge tekening ida, ida tan kayun manulung.

13. Krana titiang matur mangkin nunas terang, ndatan suweca i ratu, yaning sampun asung, asing kayun titiang ngiring, ngiring nyanggupang ngamatiang, satrun i ratu puniku, Rudita Dustaka anggen maka ciri bakti," Puput matur sapunika, I Mladprana ia masawut.

14. "Yan sampun saking sujati tur cihnayang, tresna tulung metoh angsur, ndi kapan sih titiang ratu, twara bisa pacang nampi, manampi ring anak tresna, yaning yan durung lumaku, bawu tresna swara, kudiang titiang nampi munyi, wireh tong bakat ban nyemak, nyemak munyi tan kapangguh."

XXXVI. PUH DURMA

1. Sampun resep antuk dane Swetagana, Nilapaksa ngraseng ati, miwah Sungsangjenar, sinarengan mangkin ngucap, titiang mapamit ring gusti, nu mangkin nyihnang, manah kapitresna jati.

2. Jati paksa matulak pacang mademang, satrun i dewa kakalih, Rudita Dustaka, titiang mamasangin upas, mangda mati paramangkin, kaknan gring nadak, tiwang bantang tiwang angin."

3. Puput matur Raktakuja nyangga mojar, Pancapuspa lan Sugandi, "Uduh banggiang titiang, manyarengin mangkin tulak, yan ipun saking sujati, titiang mademang, maka katiga punika."

4. Puput matur maka nemnem nuli mesat, ring gaganane mamargi, sampun mangrangsukang, kawisesannya punika, ndatan carita ring margi, mangkin carita, I Rudita bawos mangkin.

5. "Duh beli Dustaka kenken rasannya, pamargine Dukuh Sakti, sadia napi twara. I Dustaka kenyung ngucap. "Sing ada pamarna malih. Mladprana sinah, mati kayang kadang wargi.

6. Ketut Oka Warsiki ia sinah bakat, nampi cai suba dini, nah kewala ingetang, buka sanggupe ne suba, I Warsiki cai ngambil, I Ketut Oka, ento beli pacang ngambil.

7. Dimulihe sisiandane pacang tunas, pada ukud ajak beli, beli Pancapuspa, Swetagana cai nunas, mangda ngembar anak istri, pang pada ngelah, ajak mlali kala wengi."

8. Sapunika babawose makalihan, jag sisiane nemnem prapti, mamasang[ 150 ]

147

angupas, Rutita Dustaka kena, lesu dane paremangkin, nyakitang basang, peluhnyane paturibis.

9. Tur manuwuh, "Aduh Ni Warsiki teka, mai manyelepin ati." I Dustaka nimbal, nuwuh ngeling naen basang, "Aduh Ni Jangga Ketaki, macelep ka tengah, kenken juwa kudiang jani."

10. Saling timbal duwuhane padadmanan, blasak uyang liwat paling, kebus bara pisan, gamulisah makyayangan, patikaplug saling lukis, sawusan nguyang, memanting lawut manengil.

XXXVII. PUH MIJIL

1. Ditu ngajang sisiane nyakitin, kadudonan ngerong, Nilapaksa lan Raktakujane, nawut sabda miwah nawut ati, nglesang baju kancing, sane magenah ring suku,

2. Swetagana miwah Ni Sugandi, nawut idep reko, tur sahasa mangambil amprune, Pancapuspa Sungsangjenar neki, nawut bayu kancing, nering pukuh karna iku.

3. Tur manguyup bayun nyane sami, ngepus punang limpa, tur sahasa menektek basange, lan paparu sami jwa kabisbis, mangalantas mati, Dustaka Rudita iku.

4. Sampun pejah tur kapunggal nuli, Dustaka Rudita, tur kabakta nemangkin ulune, nuli mesat miber sareng sami, tan crita ring margi, saget mangkin sampun rawuh.

5. Sareng sami nangsekang malinggih, maring I Mladprana, matur "Niki wantah punggalane," I Mladprana tumuli mangaksi, ulu kalih siki, lintang rena maring kayun.

6. Tur ngandika, "Dewa sareng sami, jati saking srusa, kalangkungan buat pitresnane, tan amitya dewa sareng sami, nggih durusang ugi, suwecane mapitulung."

7. Punang sisia matur sareng sami, "Nggih titiang pucukang, nggih pagutang ring Dukuh saktine, yaning durung telas punang urip, titiang areng sami, sampunang gusti lumurug."

8. Sapunika atur sisia sami, pada makusara, purun magut Ni Dukuh saktine, sami nyadia pada metoh pati, tan wedi ring pati, nindihin Mladprana iku. [ 151 ]

148

XXXVIII. PUH GINADA

1. I Mladprana naggal ngucap, "Mangkat dewa sareng sami." Sami sisiane ngiringang; tumuli raris makebur, sapamargin sisia ika, mangkin uning, Ni Dukuh sisiane tungkas,

2. Kroda dane tan sapira, maring sisian dane sami, Ni Dukuh nuli masa- ngang, pamungkem miwah panawut, sisia sami sampun kena, bungeng paling, lesu rasa tanpa jiwa.

3. Suku tan sida tumindak, netrane ndatan pangaksi, tangane tan luma- beya, karnane ndatan pangrungu, irunge ndatan pangungas, lamben iki, ndatan kawasa angucap.

4. Ni Dukuh raris angucap, krodane tan sipi-sipi, kadi geni ngarab-arab, niwakang pedang puniku, dekdek renyuh punang sisia sami mati, si- siane nemnem punika.

5. Kawit weruh Wakparusa, uning ring sisiane mati, munyin nyane sada asru, "Kantin cening sami pejah, nah tragianin." Mladprana ngidep tra- gia.

6. Karegep punang japa mantra, nurin durga agung sakti, wak bajra tur sidi mantra, saksana ulung Ni Dukuh, manepen I Wakparusa, ngabasanin, Wakparusa kengin niwang.

7. I Kawit weruh manyagjag, ngunus keris manudingin, tur nuwek Ni Du- kuh saktia, tunggal tebek muncrat mumbul, endih nyane manca warna, ngawisianin, Kawitweruh kena upas.

8. Lesu tan kawasa molah, kukul dungkul ngetor dingin, Mladprana nu- lung nyagjag, tur kalekasin Ni Dukuh, antuk Wisnu murti saktia, sidi mandi, Ni Dukuh tumuli punah.

9. Saksana waluya jadma, I Mladprana manyagjagin, ngunus pedang nya. dia nunggal, Ni Dukuh ia dadi andus, nyeleg apeluk agengnya, angres- resin, I Mladprana pageh dira.

10. Nlekasang nayu Anoman, Bagawan Kusumasari, angin baret nglinuh prapta, mangampahang ia Ni Dukuh, Ni Dukuh tiba mantepan, glis ma- tangi, nglekas dadi brare petak.

11. I Mladprana manangsekang, ngle kasin ban Siwa murti, saksana Ni Dukuh punah, lilih ne mangkin kaburu, antuk dane Mladprana, Dukuh sakti, raris mesat manggagana.

12. Nuli dane nyuti rupa, dadi anak bajang cerik, jegeg kadi Ni Supraba. [ 152 ]

159

Sampun puput dane ngrangsuk, pangenduh pangasih jagat, Kama ratih, sampun sami karagayang.

13. Raris turun maring tegal, galang bulane nyandarin, rupane mangayang- ngayang, pamargine ngararantun, masamita kasedihan, mangkin prapti, ring arep I Mladprana.

XXXIX. PUH PANGKUR

1. Turin matur sembah dulur tangis, "Aduh dewa, sang kadi Samara, ba- guse nora padane, dharma pageh kadi Wisnu, sweca ring aminta kasih, maka pangembonan jagat, wireh sadguna i ratu, sandi stana naya kriya, swagata sraya, ikang ingaranan sandi, pageh ring luihing sabda.

2. Reh uning ring uguaning ala becik to sasana, naya bane tatas, naya paya ala becik, dwigata wruh rengan iku, ikang sabda ala becik, kriya pageh- ing kadharman, wruh upayaning satru, twi adoh apereksa, tur triguna, i sakti sura wani, sami sampun ring i dewa.

3. Ikang wani reh tan ana kajerihin miwah sura, tan ana katresnan, ikang ingaranan sakti, kadep ing wirawos patut, reh sapta upaya gusti, danda upeksa kesama, indrajala surya iku, dana makemiwah beda, sang ke- sama, pada-pada kaweruhi, saktinya juga asama.

4. Ikang dana asung ring kawelas asih aweh teda, miwah kahuripan, upeksa wruhing ala becik, panglaksana ndatan gisu, yan durung terang sujati, danda dosa ikang salah, beda tan panuting laku, indrajala pala cidra, twara singse, putusing pangindra warih, ikang marya iku wenang.

5. Mangentosin parupanya jati sakrepa, ajur-ajar kewasa, sakama-kama anadi, indriyane nora kantun, sakadi toyane ening, kasundarin antuk surya, dadi langit tanpa hembun. sucining mala malilang, sujatinnya, ratu pamuputing luwih, ranagan sarin pranayama."

6. Mladprana kasusupan ujar manis kapiwlasan, tur kenyung ngandika, "Aduh dewa saking napi, ongane nikang dumun, manusa Wi- dyadari, sweca ngerawuhin titiang, napi pisadian i ratu, nggih nikayang ne ring titiang, da ngidalem, titiang nyadia maninutin, saparan kayun i dewa."

7. Sang Ayu tumuli nyawurin, "Aduh dewa, krana titiang prapta, misadia ngalungsur urip, temen titiang dane Dukuh, reh kuciwa sampun lilih, sampunang ratu mademang, titiang pisarat ngalungsur, ipun, mangda mahuripa, inggih titiang, teka panukunning urip, nyadia manjakin i

dewa. [ 153 ]

150

8. Sakewanten pinunas titiang ring gusti mangda sweca, nglukat memen titiang, mangda wusan mambek rusit." I Mladprana tur sumawur, "Duh dewa sang kadi Ratih, waged weruh ngetug manah, eda sangsaya ring kayun, gambel pisan atur titiang, mangiringang, sapituduh i mas ma- nik." Sang Ayu nanggal angucap,

9. "Kalih wenten pinunas titiange gusti ring i dewa, ring sampun yang manjak, inggih yan saget i gusti, sampun waneh ring pakayun, sam- punang nggih saking singid, tan tresna ngalih dalihan, nadiapin ratu tan cumpu, eda mamuwikin titiang, saking sipta, mangda saking terang gus- ti, wecanane teken titiang."

10. I Mladprana nuli nyawurin, "Aduh dewa, mangdoh ratu titiang, twara tresna saking jati, jati titiang twara takut, pacang mangetohang urip, sakewanten ratu sweca, iring titiang mangkin mantuk, mrika ka Purbaw- yanjana, diapin suba, titiang mangelah kakalih, sing ja asah ring i dewa."

11. Sang ayu tumuli nyawurin, "Inggih titiang, tan wenten mitulak, ratu riyinan mamargi, titiang ring pungkur i ratu, mangdannya sarwan aki- dik." I Mladprana ngidepang, tumuli alon lumaku, Sang Ayu maring pungkuran, mangregepang, panawut jiwane sakti, nyusup bayu idep sabda.

12. I Mladprana mangkin keni kasilib punang jiwa, macepol kaleson, bu- ngeng putek ikang ati, ndatan kawasa lumaku, peteng salwirning ka- haksi, Sang Ayu raris nangsekang, sampun waluya Ni Dukuh, nguyup sahasa nyedayang, I Mladprana, wus matinggal ikang urip, layone kadi sirepang.

13. Ia Ni Dukuh rehing lintang sengit pisadiannya, praya ngararisang, ka Purbawyanjana mangkin, wireh galang kangin sampun, Ni Dukuh ia raris mulih, neked jumah manapetang, layon dadwa tanpa ulu, I Rudita lan Dustaka, ia Ni Dukuh, mingkin sengit mretag-mretig, nyelsel awak tan critanan.

14. Crita layon Mladprana mangkin gading nyalang, katekan prabawa, ujan raja angin riris, teja guling kuwung-kuwung, jagat langit sami kuning, kilat tatit masliweran, ujan bunga miwah lindu, miyik layonnya irika, ngalikubang, ngebekin ategal miyik, tambulilingane ngarang.

15. Kawitweruh ne mangkin eling bangun nrajang, tur dane manyagjag, Mladprana katampekin, dapetanga sampun lampus. Wakparusa nglur ngeling, Kawitweruh nigtig awak, mangeling ia sengu-sengu. Turin mojar beli budal, "to ngorahang," lawutang ka alase jani, matur ing Mpu Wre-

diaguna. [ 154 ]

151


16. Kawitweruh nu ditu manongosin Wakparusa, raris mangkin budal, teked jumah ia mamunyi, midartayang tingkah lacur, "Nah dewa kema ne jani, kategal Janggalatrena, bapa pacang mangalawut, nangkil ring Mpu Wrediaguna, "Tur mamargi, Wakparusa sada gati, tan ucapan lampah ira.


XL. PUH DEMUNG

1. Ketut Oka lan Warsiki jani nyingak, pracirine maring bungkung, ngenah tanpa ulu, cihnan I Mladprana mati, puput nyingak ngawas ika, macepol kayunne lesu, tanpa atma galang, tumuli raris mamargi, gempor dempo sukun ira, nglawanin masih lumaku.

2. Pamargine sareng kalih lintang kadat, ring margi ndatan kawuwus, satekede ditu, layone masemu kenying, rasayanga macapatan, Ni Warsiki ngelut suku, mangeling sigsigan, dane Ni Jangga Ketaki, garegetan lawut niwang, ban parnrat kayunne sungsut.

3. Ni Alit Warsiki ngumik masarnbatan, "Inggih ratu sang alampus, lasan sajai ratu, ninggalin titiang i miskin, napi sih puwaran titiang, idupe nandangin sungsut, sungsut rusut erang, wirang wireh katinggalin, bane tresna liwat elas, elusa atine kepus.

4. Enyen tolih titiang malih yan uripa, arepe nresnin i ratu, jani suba lampus, tidong ajak titiang mati, yan ratu papa naraka, titiang anggen dasar ratu, yan ratu mangguh swarga, nggen panyrowan titiang gusti, kwanten sweca ngajak pejah, ban eling manahe turut,

5. Reh titiang mautang urip mangda jiwa, mangkin anggen titiang nawur, nawur utang meme guru, kenken ratu dadi nengil, enyak ngajak apa twara, yadiapin suba tong cumpu, kabatek ban nyalah, dongda meneng kayang jani, nikayang ratu terangang, suudang nggih da marengut.

6. Nirgawe lunciping aksi yan liyepang, kemikane manis muluk, nirgawe yan tan kenyung, pangandika mengad manis, nirdon yan tusing ngandika, ngandika nggih ratu bagus, suudang muwikang, titiang twara ngrasa sisip, sajawining salah tresna, tresna nurut sapakayun,

7.Twara ja bani nulakin sapatitah, titah jani nemu lacur, bane undukang katepuk, tepuk lacur erang sakit, sakit ati liwat osah, osah asahe mangrusuh, nyakitin imanah, manah bakti tong katampi, wireh tulis lintang ngampar, nyalampar munyine puntul."

8.Ni Warsiki ngasih-asih maselselan, duhkitannyane agunung, twara surud nyadia lampus, pedange nuli kahambil, misadia manuwek raga, raris [ 155 ]

152

dane matur alus, "Dewa ratu Mladprana, puniki pedang i gusti, nah anggen titiang jalaran, mangiring i ratu lampus."

9. Tur mangunus pedang nuli wawu mayat, pacang nerek raga iku, I Kawitweruh mangejuk, ngebutin pedange gelis, Ni Warsiki bah maguyang, manah ibuk raris kantu, Kawitweruh ika, manteg paha, "Pocol jani, mantu mati pianak pejah." Mlongok bane meluk entud.

10. Ketut Oka mangkin eling kari guyang, raga mrasa puyung-puyung, ruru-ruru wus aturu, munyi manying nganyih-anyih, seret kadat padalatdat, tur kapiluh muluh-muluh, pegat-pegat mangatgatang, "Inggih ratu sang alalis, lalis nunggal jwa matinggal, ninggal titiang jadma bingung.

11. Bingung bengong-bengong ngeling mapangenan, simuh ngalimuh ban sungsut, aduh tuduh nguduh buduh, misakitin tidong gigis, mangda ngejap kijap-kijap, misuh rusuh crucuh ngacuh, ban sinah i manah, culup taresna mamesik, takut palas elas ngalas, masih tepuk jani lacur.

12. Lacur somahe ninggalin jani seda, ngemasin dosane lulut, titiang jani nu idup, sing buwungan sakit akit, ati osah manah rumbang, kambang suwung nrawang-nruwung, twara dadi engsapang, eling ring tingkahe nguni, kadung ajak nraka ngumbang, saturut ring titiang lacur.

13. Katah ne ngranang tong dadi ban ngengsapang, reb i ratu tutut manuh, saelwan lakunecadung, kadi wana ring kesari, pada ngraksa rumaksa ia, nah yan ratu jani tulus, manginggalin seda, titiang dadi apa dini, idup jengah lasian pejah, tanpa aji tanpa angkuh.

14. Krana titiang nunas mangkin ring i dewa, makadi ring Sang Hyang Tuduh, mangda titiang gelis lampus, mangda wusan sakit ati, twara mampuh ratu titiang, sahidupan manggih sungsut, sedih tatan paneda, ngawenang duleg sang ngaksi, ngaksi titiang jadma nista, nista lacur ngusur-ucur.

15. Nyen konkon anake sudi manampedang, nah dijane sandang gugu, nak mayus belog pengkung, tiwas lotre tanpa haji, mokak mauk pamiratan, bogbog gorohe satuwuk, mlarat mangarat-arat, tanpa guna sintrig gudig, ngagu tan eling ring sira, sira ke anake ngugu."

16. Keto Ni Janggaketaki ngumik brangtia, mangarumuk pati kacuh, mangetor ia pati usud, mangulingling lawut ngeling, pegat eling lawut niwang, tan ucapan sang kahantu, ne jani critanan, Wakparusa sampun prapti, irika maring pasraman, umarek maring Maha Empu. [ 156 ]153

XLI PUH SINOM

1. Sang Mayati mawacana, "Cai uli dija mai." Wakparusa matur banban, "lnggih ratu sang Mayati, titiang parekan sang Yati, Wakparusa titiang ratu, kakonkon marek Padanda, antuk Ni Janggaketaki, mangda mulus, swecan palungguh Padanda.

2. Nuli nguningang satingkah, kranan I Mladpranan mati, turin matur mangda sweca. I ratu mangkin mangaksi. Padanda ngandika aiis, "Nah jalan te jani mantuk." Tumuli raris mamargi, ndatan kocapan ring margi, saget rawuh, rika ring Janggalatresna.

3. Raris ida mangandika, "Duh nyai Janggaketaki, bangun nyai bapa teka." Ketut Oka muwang Warsiki, wawu eling tur matangi, nyingak Seri Empu rawuh, nuli matur saha sembah, ngelut suku sareng kalih, "Duh sang Wiku, waluya parangan merta.

4. Manah titiang kapetengan, Padanda waluya sasih, purnama nyunarin titiang, titiang satsat taru aking, kebus kapanasan rawi, sang Yati para- gan jauh, manayuhin manah titiang, titiang mapedewek gering, twah i ratu, paragan Hyang Kasiapa.

5. Durusang sweca ring titiang, mangda dane malih urip, parekan singgih Padanda, reh pejah tan maseng pati, pademnya keni kadesti, dosa nres- nin titiang lacur, nika ne jengahing titiang, ngahngah nyeluh ulun ati, malih idup, kadung ajak titiang nraka."

6. Padanda ngandika banban. "Kudiang ngidupang ne jani, kene katatwan- nya dewa, awanan jadmane urip, dadwa sang Hyang atma cening, keto tuturannya ayu, telu sang Hyang Pramana, catur Sang Hyang Manon malih, yan puniku, salah sawiji matinggal.

7. Ngranang pakewuh kalaran, yaning atmane ninggalin, dadi sakit jadma ika, yan pramanane ninggalin, dadi niwang jadma niki, yan Hyang Ma- non nora kantun, dadi wuta ikang jadma, yaning Sang Hyang nunggu urip, ninggal ditu, dadi pejah ikangjadma.

8. Nahke ban bapa tarema, indayang jalane jani, ring setrane nunas ica, ring ida Hyang Praja pati, jalan cening kema jarii, kayang layon kema pudut." Jangga Ketaki ngiringang, "lnggih bapa makakalih, margi pu- ndut, payone aba ka setra."

9. Kawitweruh Wakparusa, ngreges sideg manyawurin, "Pacang kukudiang

ikang sawa, Ni Warsiki lawut nyengking, "Nahke gosong sareng sami, [ 157 ]

154

buwat kasetrane lawut, teked ditu jwa karwanang." Raris kagosongne
mangkin, tan kawuwus, sawruhe maring setra.

10. Sampun surup Sang Hyang Surya, Padanda ngandika aris, "Ring pamuwune ia pejang, lawut kalin sareng sami." Sane sareng patpat ngiring, nongosin ejoh mapunduh, lintang maras ring manahnya, mangatonang buta-buti, paseliyur, mangigel ngarapin sawa.

11. Guwak ngagalok tan pegat, mesbes sawa mambu angit, ring kepuhe kakeberang, basang jajaringan ati, paparu limpa lan batis, tangan mastaka puniku, banyehnyane makacakan, asu ngalulu acangil, lintang muwug, mangarabut punang sawa.

12. Sawannya I Mladprana, twara ada bani nundik, buta-buti asu gagak, patut galak dadi asih, asih Padanda tan sipi, ngregep nunggalang pakayun, manguncarang pangastawa, ngastawa Hyang Praja Pati, mucuk ipun, ring ida Hyang Girinata.

13. Pisereng pisan nunasang, mangda I Mladprana urip, puput ida mangastawa, dadi lindu kang pratiwi, gagak asu buta-buti, sepi tan ana amuwus, wireh cihnan Sang Hyang prapta, mawinan butane wedi, ipun mangguh, diptane maring ambara.

14. Sami pada mahapepan, sakancaning buta-buti, gagak asune manongos, twara bani uyut sami, wireh cirine kapanggih, ida Sang Hyang jaga rawuh, ngawijilang parabawa, saking pujanda sang Resi, luih nulus, yogan ida mangastawa.

XLII. PUH GINADA

1. Galang ngendih pakanyabnyab, duur setrane tan koti, sakadi bintang kartika, uli ditu pesu andus, tuwun ngungsi mamuwunang, mebo miyik, maduluran ada sabda.

2. "Uduh nanak Werdyaguna, I Mladprana sida murip, turin suba ia marajah, wenang ia mamilih lampus, reh suba mawug kamoksan, yaning
mati, wenang makerta samaya."

3. Puput sabda sapunika, andus ilang endih tan kari, I Mladprana ia ageseng, tumuli bangun malungguh, dapetang Empu Werdyaguna, nu malinggih, kari mangaranasika.

4. I Mladprana nora wania, umatur ring sang Mayati, raris bangun naresdesang, ring ungkur raris malungguh, tan ucapan Mladprana, ditu mengil, Ni Dukuh jani carita.

5. Misadia pacang nelasang, Ketut Oka Lan Warsiki, Kawitweruh Wakparu[ 158 ]

155

sa, mangda telas jani lampus, yan sampun pejah sang patpat, ditu raris, sakadang nyane telasang.

6. Keto manahnya brangtia, tumuli dane mamargi, ka tegal Janggalatresna, teked ditu mapet suwung, Kawitweruh Wakparusa, nora kari, tekan ing sawane ilang.

7. Ni Dukuh jani nglawutang, ka Purbawyanjana ngungsi, ngalih ne patpat punika, dadyannya twara kapangguh, ditu jumah I Mladprana, tur ngararis, Ni Dukuh mider nyerepang.

8. Tan kocapan Dukuh saktia, Ni Warsiki crita mangkin, misadia jani natasang, manilikin sang alampus, nresdes pamargine mrika, tur kapanggih, I Mladprana bangun negak.

9. Raris dane malipetan, kendele tidong agigis, angkiane ngatugtug runtag, maslesuan tindakane gisu, neked ditu nuli mojar, darta sami, pamargan dane ne busan.

10. Sang kaortin pada egar, gisu nyagjag sareng sami, neked ditu manapetang, Padanda sampun ngalesu, tur ngandikin Mladprana, krana urip, tur kahicen palugrahan.

11. Mladprana raris nyembah, umatur ring sang Mayati, "Inggih ratu siwan titiang, kalangkung swecana mulus, nulung ngicen kauripan, manulurin antuk pakayun utama.

12. Tami titiang genging utang, napi ariggen manawurin, niki titiang sareng samian, katur ring lungguh i ratu, yadian ping ketimang jadma, mangda kari, titiang mekul mamarekan."

13. Kawitweruh Wakparusa, nyelag matur ring sang Yati, "Kewanten titiang nawegang, mangda pasweca i ratu, rumaksa jwa karyan titiang, mangkin ngiring, mantuk ka Purbawyanjana.

14. Yan sampun puput pwarangan, titiang sareng sami ngiring, Padanda mantuk ka wana." Ida Sri Mpu sawur alus, "Nah bapa twara mitulak, jalan mulih, jani ka Purbawyanjana."

15. Tumuli raris mamarga, I Mladprana jwa kinanti, de Warsiki Ketut Oka, sang Yati ida katuntun, antuk dane Wakparusa, minakadi, I Kawitweruh punika.

16. Pamargine sada banban, Wakparusa matur aris, "Inggih ratu sasuwunan, indayang nyatwa pitutur, anggen nyalimurang kiyap, witing gumi." Padanda raris ngandika.

17. "Aduh saja Wakparusa, anggon panungkul di margi, nyalimurang mata kiyap, magadang jantos adalu, nah ne jani dong pirengang, tutur kaki, indik tatwaning buwana. [ 159 ]156

XLIII. PUHDURMA

1. Ana Sang Hyang tanpa awak tanpa sarisa, kunang awak nira iki, sajawa pinaro sanga, geng ira dadi pratiwya, socan ira kiwa dadi, ikanang wulan, soca tengen dadi rawi.

2. Tungtunging panon ika dadi lintang, kedeping panon mangdadi, ikang tranggana, bayun ira nadi baywa, ambekane dadi angin, wen ira dadia, truh-truh ikang langit.

3. Idep ira dadi kedap kukusing raga, anadi mega wredi, sirah ira dadia, pancer ikanang buwana, sirep ira dadi wengi, dadi rahina, satangin ira sujati.

4. Lidah ira mangdadi punang manusa, bungkah lidah dadi girigi, papu- suhe mangdadia, ikang sastra mwang ongkara, atin ira dadi geni, kang weteng ira, mangdadi kawah wiyakti.

5. Muwah ana kama pat luwir nira, dadu abang ireng putih, dadu dadi kli- wa, ane putih dadi lanang, ane abang dadi istri, kama ireng punika, mangdadi manusa luwih.

6. Kunang ika ingaranan kama petak, Sang Hyang Suryakanta wyakti, kama ireng ika, ngaran 'sang Hyang Lalermanga, kama dadu ika dadi, Sang Hyang Grahakanta, abang Sang Hyang Candrakanti."

7. Durung puput Pandanda nutur ngandika, kaget rawuh Dukuh sakti, ma- cunduk ring marga, tur mojar ia kabangan, "Ne Padanda jeneng ngurip, I Mladprana, krana murip dadi mulih.

8. Twah Padanda langgana ngejotang jiwa, jiwan Padanda tangarin, sing buwungan pejah, reh dosane langgana, bani ring Dukuh sakti, sakti tan pada, di gajate ngresresin."

9. Sira Mpu ngaksi ni Dukuh ia galak, samatra norang wedi, tur alon ngandika, "Duh nyai sakti angkara, jati bapa twara wedi, rehana imba, Sang Hyang Siwa mambek rusit.

10. Nyadia mejah anak tan adwa dosa, meseh sukune ne jani, gentos ban batis kuda, teher ida abiseka, Sang Hyang Aswapada yukti, reh nyingid ida, abiseka Sang Hang Lenging.

11. Krana ida ngaran Sang Hyang Nilakanta, wireh kasatan wus lilih, polih ngarayunang, toya racun bangken dara, wawu ring weteng wiyakti, gelis wangsulang, tulungin ban mreta luwih.

12. Luwih ke nyai nu madewek manusa, musuhe di awak sami, karna cu- nguh mata, cangkem lidah ati basang, bulu giri miwah alis, dasa make- jang, dadi musuh idup mati. [ 160 ]157

13. Kala pejah mata dadi paksi raja, alis dadi alang taji, waja watu jlada, li- dah dadi titi gonggang, ati dadi petra geni, rambut curiga, karna asu yaksa dadi.

14. Ikang weteng dadi gua gala-gala, cangkem sidamalang dadi, irunge puni- ka, semut marungut dadinya, krana sandang plajahin, kang dasa sila, dasa bayu ika malih.

15. Nah ne jani nyai nyadia mejah bapa, bapa matakon ring nyai, yaning tawang makejang, bapa manyerahang jiwa, yaning nyai twara uning, ento kayogia, urip nyai bapa ngambil.

16. Nah to ada madan Nawasanga, nawa asia ran eki, sangane masih asia, pelekutus pawakannya, ane magenah ring nyai, patunggalannya, sapa ika kang sujati.

17. Makamiwah kang sujati ring sarira, ulupuwun miwah nabi, kalawan siwadwara, dija tongose nunggalang, i manah lawan i budi, idep ring sabda, rniwah genah engsap eling.

18. Makamiwah kranannyane i manusa, bisa seger bisa sakit, apane makra- na, nah encen atmaning atma, ken dewa pitara jati, yan durung tawang, da enden malu nagih urip."

XLIV. PUHGINADA

1. Ni Dukuh mahatur banban, "Inggih ratu sang Mayati, gung ampura ugi titiang, antuk prasanggane langkung, twara uning ring kalingan, mam- bek rusit, kadharmane kadi titiang.

2.Titiang ne mangkin misadia, niru kadharman sang Yati, mangda Padan- da suweca, ngalukat mangda ia lebur, samala patakan titiang, tur nywecanin, pituduh indik kawikwan.

3. Sapunika atur titiang, nging titiang mangkin mapamit, ring sampun Padanda budal, rika titiang parek nglungsur, sapaindikan kadharman, tur ngaturin, i ratu panguriyaga."

4. Padanda alon ngandika, "Yan sujati keto nyai, nah to liwat patut pisan, jani kema nyai mantuk." Ya ni Dukuh matur nyembah, tur mapamit, mangraris dane budal.

5. Ri sampun NI Dukuh budal, Padanda ngandika aris, ring Mladprana Wakparusa, "Nah kema jwa cai mantuk, bapa sangsaya di manah, satrun

cai, sampun nungkul manawita." [ 161 ]

158

6. I Mladprana sawur sembah, "Yan tan krawos titiang sisip, mangda di
ratu sweca, wus karyan titiange mantuk." Padanda ngandika banban,
kadung jani, bin mani nutugang brata.

7. "Nah depang bapa padidian, ane jani tulak mulih, cai kema juwa bu-
dal Nuli sami mangkin mantuk, tan kocapan roaring jalan, sang Mayati
sampun rawuh pasraman.

8. I Mladprana sampun teka, ring Purbawyanjana mangkin, tur ngandika
ring warginnya, Wakparusa Kawitweruh, "Nah ne jani pitulusang, sa-
reng sami, ngundang braya Jan sawitra."

9. Kawitweruh lan warginnya, Wakparusa sareng sami, "Sumaur sampun
ngobetang, nah dewa kema aturu, reh sampun tampek rahina, ne bwin
mani, nabdab karya tur mangundang."

10. Puput bawose punika, sami aturu ne mangkin, tan caritanan punika, Ni
Dukuh mangkin kawuwus, raris ka Bumipratana, tur manangkil, ring ida
prabu Nirbana.

11. Sarawuh Ni Dukuh drika, sang Nirbana muwus aris, "Tembe sawitrane
teka, lami twara taen pangguh." Ni Dukuh raris manyumbah, matur
aris, "Inggih ratu sang Srinata.

XLV. PUH SINOM

1. Krana titiang semeng prapta, sawireh titiang miragi, i ratu kari jajaka,
yan wen ten kayun ring rabi, niki titiang wenten manggih, wong pawes-
tri lintang ayu, ngaran Ni Janggaketakia, patut anggen isin puri, jati pa-
tut, i ratu nyanding punika.

2. Mangkin dane kasedihan, wireh kapetemwang gelis, ring mindone bocok
pisan, krana osah tidong gigis, yan i ratu mapakarsi, nene benjang rawuh
katur, kewanten titiang mamitang, patih druwene asiki, mangda tumut,
muwatang gajah palinggihan."

3. Prabu Nirbana ngandika, "Wa Dukuh pitulus ugi , manyambungin pasa-
witran, yaning suba sadia keni, dadi munyin wane jati, wekas yan me-
rang i satru, yan wa katkaning pejah, tiang misadia nyatianin, ala ayu,
mangda kapisareng uwa."

4. Ni Dukuh matur manyembah, "Sane ken I Gusti Patih, pacang manya-
rengin titiang." Sang Prabu ngandika aris, "Iba Patih Bayahuri, iba nu-
tutin Wa Dukuh, ne jani iba majalan, gajahe jua tegakin." Patihipun,

mapamit raris mamarga. [ 162 ]

159

5. Ni Dukuh mamitang lugra, raris mangkat sareng kalih, tan kocapan ma-
ring marga, ring Purbawyanjana prapti, wenten sampun tengah wengi,
Ni Dukuh angucap alus, "Gusti driki manyantosang, titiang ndewek
mrika mangkin," tur ntalawut, Ni Dukuh ngranjing mulihan.

6. Manapetang anak katah, uwopane cenik kelih, ditu jumah I Mladprana,
Ni Dukuh raris nglekasin, masangeng sasirep luih, sami ia lelep aturu,
ada pules nyekuk timpal, ngisi pancak geris geris, ane eluh, ngisi busung
nganggar lemat.

7. Ni Dukuh jani ngrarisang, kapasaren jani ngungsi, kapanggih I Mladpra-
na, Ketut Oka lan Warsiki, lelep aturu maplilit, Ni Dukuh raris ma-
nyaup, kagosong Ni Ketut Oka, kagenahang maring asti, ia Ni Dukuh, ri
sampun puput matampiang.

8. "Nggih Gusti aturin titiang, nyuratang mangkin akidik, picang ring I
Mladprana, nikayang ragane ngambil, mapuri ring tengah pasih, siwosin
parab i ratu, unggahang Janggaketakia, mamesenang krana mai, sapu-
nika" I Patih raris manyurat.

9."Ne ke cai Mladprana, malah cager ngupkup istri, luh caine wake nyu-
ang, adan kai Paranglungid, maumah jeron ing pasih, krana kai teka laju,
somah caine mesenang, puput ngawir adung, duk ia makirene ngalas."

10. Puput nyurat sapunika, Ni Dukuh ipun mawali, ngenahang surat punika
maring samping Ni Warsiki, wus ngenahang nuli mijil , mojar, "Gusti ngi-
ring mantuk." Tumuli raris mamarga, tan kocapan maring margi, se-
meng sampun, ring Purbawyanjana crita.

XLVI. PUH DEMING

1. Uwopane bangun sarni kapupungan, Wakparusa Kawitweruh, mitaen ka-
tempuh lacur, raris ka gedong ninjoin, panggih sareng kaliy nidra, Ketut
Oka nora kantun, sang kalih punika, ugah mangkin katanginin, raris ba-
ngun nungdap-undap, Wakparusa muwus alus,

2. "Ketut Oka dija cening tumben belas." I Mladprana muwus alus, "Ti-
tiang tan wenten mangguh." Puput mojar nyingak tulis, tur kapaca pu-
nang surat, pidagingan surat iku, nyritang kamalingan, Wakparusa laut
ngeling, peswan nyritang ring kadangnya, warginnya ngeling pagelur.

3. I Mladprana sakit ati liat nrawang, paramangkin cuong acum, atine
ngahngah puun, kakolongan mrasa uwing, saliyun jadma i rika, rasa ia
kalintang suung, dadi mabyayuan, tan karungu kadi tulis, nunggil

wenten anak prapta, kaden Ketut Oka rauh . [ 163 ]

160

4. I Mladprana jani nangis matur nyawang, "lnggih i ratu manulus, las ma-
· ninggal ngapus, tan ngitung tresnane nguni, ratu ngalih liyang ngraga,
· titiang mangda sakit bangkrut, durung polih lega, lega makaron ring
· gusti, gusti elas tan piwelas, ngan makelin raos patut.

5. Patut yan i ratu eling ngan amatra, ring raket tresnane sampun, raos
· pada adung, twara ada buka jani, i ratu tosung tolihan, dropon nyag-
· jagin ne luung, ne nglangenin ida, nggih durusang jwa tamtamin, ri
· mungpung sedeng maguna, titiang depang sakit sungsut.

6. Diastu katekan ing mati titiang nyadia, wireh belog ngerat lulut, jeneng
· mula saking tuduh, nguduh mati sakit ati, kaptin titiang sareng nunas,
· yaning sampun titiang lampus, mangdene i dewa, sweca i ratu mangaksi,
· mekeling jwa titiang sepah, ngurug ban tanah ajumput."

7. Sedek I Mladprana ngeling masambatan, Wakparusa bangras muwus,
· "Kenkencainyadialampus, manyakitangjadmajalir, adin cai Ni Warsiki
· pantes tohin cai angsur, ia pageh tresna, jegeg bajang genten jati, gelan
· uluh nu di basang, pakardin meme lan guru.

8. Nto krana patut tindih mangidepang, munyin bapa mapitutur, nundun
· cening suba bangun, buin Ni Janggaketaki, karwan suba saking elas,
· nyingid matinggal mangapus, mangawenin jengah, jengahang atine ce-
· ning, apang dadi masih elas, ilangang tresnane sampun."

9. I Mladprana matur aris, "Inggih bapa, wencanan bapane patut, patut ti-
· tiang saturut, nanging titiang matur sisip, durung purun manyanggup-
· ang, manyanggupang elas cepung, inggih kari negarang, nambakin ma·
· nahe sedih, bilih wenten sadian titiang, pungkur sinah bapa weruh."

10. Keto antuknya nyaurin lin tang plapan, nuli magebras macebur, wargine
· sami mahatur , seleg ganti mituturin, I Mladprana sebeng bingar, macan-
· da ia saling gulgul, maduk truna bajang, saling jokot sating tundik, ne
· jani ndatan critayang, kacarita ia Ni Dukuh.

11. Wawu sore sampun prapti ring Pratana, Patih Bayahuri iku, makadi
· dane Ni Dukuh, manyogjog raris ka puri, sang Prabu raris ngandika,
· "Engken ke dane sang Ayu." Ni Dukuh manyembah , sareng Patih Ba-
· yahuri, "Niki panjroan i dewa, kari ·pules liwat lesu."

12. Sang Prabu nganampekin tur manyingak, swarupane lintang ayu, Sang
· Hyang Ratih manurun, lengleng sang Nata mangaksi, tur kapiwlasan
· ring cita, cita kasemarang lulut, tur ingusap-usap, "Duh dewa sang Ayu
·

bangkit, tong ada pada dijagat, Sang Hyang Sdri Putri nungkul." [ 164 ]

161

XLVII. PUH ADRI

1. Sang Prabu mangandika alus, maring Dukuh Saktia, miwah Patih Baya-
· huri, " Nah lawutang jani pundut, ka puri lawutang ditu, maring bale pa-
· buncingan, tur dabdabang ditu lawut, sailen-elen makejang, satingkah
· ing pabuncingan."

2. Ri sampun rauh i rika, Ni Janggaketakia, sampune mangkin matangi,
· tolih cingak jwa Ni Dukuh; Patih makadi sang Prabu, tangkejut dane
· makesiab, mitahen d3ne kapandung, nuli manuptupang manah, sebet
· mangda tan kaciryan.

3. Sang Prabu raris ngandika alus, " Duh Janggaketakia, mas mirah beline
· adi, eda dewa sungsut kayun, da jua keweh i ratu, kenken ja cara nu
· jumah, keto jani dini Ayu, yan i dewa enu kiap, peremang ragane mi-
· rah."

4. Janggaketakia nora mahatur, reh ing durung kwasa, antuk dane nglipur
· budi, tutut dane raris nyingkrung, mrebes yeh panone metu, I Patih lan
· Dukuh Saktia, marna saking suba tutut, Ni Dukuh rarus anyembah,
· "Titiang pamit mangkin budal."

5. Ri sampune pada mantuk, panjrowan parekan, nuli mangunebang kori,
· mangrawos pada pagumung , muji kasaktian Ni Dukuh, bakti ring ida
· Sang Nata, tan kocapan sang magumung, kocapan ida sang Nata, nga-
· rumrum ring pakasutan.

6. "Duh ratu mas mirah saparahu, atma jiwan titiang, tuliamreta sanjiwani,
· nah wusang munika rengu, sayang pangaksine balut, miwah katajep ing
· wimba, isite ngatirah muluk miwah untu nyeridante, nirgawe yan ten
· kenyungang.

7. Wusan ratu amunika rengu, nggih napi karsayang, titiang ngaturang ring
· gusti, panjrowan kembar akutus, tur nyanglup antuk mas ajur, widusara
· lan breliyan, kataman juwa ngulangun, nganggit sekar kang subanda,
· tur manonton manik area."

8. Sang Ayu ndatan sumawur, sang Nata nangsekang, tur angaras angre-
· remih, aptin ida jawa salulut, nyadia nglukar sinjang ditu, sang Ayu
· mingser angesah, sang Nata ngandika alus, "Duh ratu emas kadiang apa,
· tan miturut kaptin ingong."

9. Sang Ayu matur sret amuluh, " Nggih ratu sang Nata, boya titiang tan
· mangiring, awinan titiange ratu, mula nyadia bakti rauh, rerehang riin
· diwasa, mangda patut tatan ipun, ngawit keneng smaratantra, mang-
·

dannya polih dewasa becik. [ 165 ]

162

10. Amunika sujatinnya ratu, nggih awinan titiang, ndatan mangiring ne mangkin, inggih yanwantah i ratu, pakayun swecane nerus, pituhu nggih atur titiang, malih pinehin ring kayun, di kenkene ratu titiang, nora ngiring pakayunan.

11. Nggih i ratu sugih turin bagus, manruweang jagat, samalih kari taruni, mangdoh titiang twara cumpu, sujati asapuniku, yan i ratu nora ngega, sinah antuk titiang sampun, pikayun iseng-isengan, mangaptiang sari kewala.

12. Inggih yaning sapunika, titiang manawegang, mapamit sapisan mati, iriki puput manawur, kaduk titiang rauh nyulsul, misadia lega mamanjak, kalih ratu truna bagus, jengah titiang tulak budal, dadi kakedekan jagat."

13. Sang Nata kayune kadi ketus, dekdek renyuh elad, linglung bungeng tutut asih, raris mawencane alus, "Sapunika kayun atu, titiang mangiring tan tulak, kwanten ratu mangda tuhu," asapunika sang Nata, wireh keni kamanisan.

XLVIII. PUH DANGDANG.

1. Sang Nirnaya ngandika aris, "Aduh dewa, yan sampun sujatia, kadi wawu wancanane, miriki desek beli kupkup." Ketut Oka tutut ngiring, kaharas galengin tangan, mangden umandel sang Prabu, sida empah tuara rosa, apang sida, baan ngelidang ne pingit, tumuli lelep aturwa,

2. Tan caritan ring Pratana ne mangkin mangkin crita, ring "Purbawyanjana, Mladprana ring pamremne, makrubung saput manyingkrung, nyangongak kijapne ngijir, dekas-dekes mapangen, blasak uyang grebyag grebyug, tunggal ngidem makejengan, nuli prapta, dane Ni Alit Warsiki, ngancing dwara tur nangsekang.

3. Nuli mangkin merem manyisinin I Mladprana, ngusap pangarasan, mangurut-urut tundune, ngalengin tangan magelut, tur matur sabdane aris, "Lipurang kayun i dewa, titiang tan nyalahang atu, nyebetang ring pakayunan, kadi titiang, milu kambang sebet ati, atijengah katinggalan.

4. Ento krana titiang mapakeling mirerengang, matur makelingang, ne mangkin ring i ratune, yaning dadi sida lipur, titiang juwa pademang riyin, mangda tan nami dubkita, kitan titiang ring i ratu, ratu lintang welas ninggal, krana titiang, banggiang inggih riyin mati, matine nresnin i dewa."

5. I Mladprana nyangga anyawurin tur angucap, "Duh dewa mas mirah, da [ 166 ]163

sangsaya kayune, dija ada pireng ratu, bramara ne ngapti sari, mangutang ne sedeng kembang, nresnenane mayang layu, malih pinehin pastika, yan ring atu, saking pakardin nak lingsir, makilitang panyamayan."

6. Sapunika antuka mituturin Ni Warsiki, turin kararisang, nemuang samara tantrane, wireh tembe keni lulut, lesu gayang Ni Warsiki, tumuli lelep anidra, magaleng tangan magelut, malilit mateteh paha, I Mladprana, mapi lesu saking ngintip, ngintip sirep Ni Warsiki.

7. Sampun lintang mangkin tengah wengi I Mladprana, bangun manresdesang, lintang ibuk pakayune, polih lulut kadi dundun, eling ring Janggaketaki, bisa ngraketang taresna, ngepus idep yan salulut, nelasang pitungan dharma, tan taresna, pitresna ring kadang wargi, miwah pitutur wong tua.

8. Buyar bimbang pakayune mangkin yan matinggal, sinah kagedegan, antuk braya lan wargine, yan laju jani manuwuk, ne pacang tresnin tong uning, gawang ngraga sedih tresna, tresnane tuara maunduk, unduk makaad tong tawang, dija alih, alih pang bakat raosin, apang pangguh ne pasaja.

9. Saja jani yan nglalu ninggalin sang katinggal, sinah ban ngenehang, tan pira sakit kayune, keto I Mladprana bingung, bengong engsek tuara lalis, malih desek Ni Warsiki, pangelingin aras dupdup, sampun rumrum Ni Warsiki, kadi impek, makesiab kayune eling, roaring dane Ketut Oka.

10. Nuli bangun magebras nyadia ninggalin lintang kadat, kedetin taresna, tong dadi elas kayune, buwut bingbang dekdek renyuh, bilang atindak manolih, toyan panone nurabias, kadi dawut tan pabayu, tangkah sakit kadi belah, tur mlipetan, ngambil kretas raris nulis, antuk dawat ngampar kambang .

XLIX. PUH MAS KUMAMBANG

1. Ratu ayu, titiang maparnit ne mangkin, netes Ketut Oka, kesahnyane kadi nyilib, kadi saking kamalingan.

2. Krana titiang, nyadia netes ngalih jati, yan elingang titiang, mangkin matur ring i manik, rasa dane tan las ninggal.

3. Krana titiang, mangkin matur ring i manik, eda salit-arsa, nampi titiang tuara bakti, wireh nyingid ya matinggal.

4. Kwanten janten, dane Ni Janggaketaki, malih titiang prapta, mriki mamarek mas manik, da ratu walang driya. [ 167 ]

164

5. Manah titiang, nresnin ratu makakalih, satsat kadi timbang, tuara encet silih tunggil. bani ngetohin ban angkian.

6. Nika krana, dane Ni Janggaketaki, tresna ajak lara, atu pakardin nak lingsir, rupa bikas tresna sama.

7. Sama-sama, sami antuk manresnanin, sane luwih wangsa, teken ane luwih bakri, baktine ring guru lakia.

8. Sapunika, atur titiang saking jati, sampun iwang tarka, titiang nunas praciri, ciri kari manggeh tresna.

9. Druwen ratu, bungkung pendoke di kacing, slendang andukida, pamitang titiang ne mangkin, ngngen titiang silur i dewa.

10. Niki titiang, mangkin ngaturin i gusti, umpal sutra gadang, bungkung titiange di kacing, cet-wareg kaliliran.

11. Idepan titiang, suba bareng ajak dini, nika luya titiang, lega manyentod manyanding, sanding sai peteng lemah."

12. Puput nyurat pejang ring, tangkah Warsiki, ambil anduk ika, ngembusin bungkung di kacing, raris I Mlaprana kesah.

13. Kesahnyane, elas pasah ngungsi pasih, tan kocap ring jalan, sampun rauh ring pasisi, nyingak gili gila pisan.

14. Rasa ipin, ngengkebang Janggaketaki, toyane mangebag, ombak rasa manambakin, riyaknya kadi masuryak.

15. Ditu ngluwin, I Mladprana jerat-jerit, "Dewa Ketut Oka, mai akejep kasisi, kwanten ratu panggih titiang.

16. Titiang elas, ngutang somah teka mai, nyadia manggih ida, ida tusing nyak kasisi, tampek reh matampak tresna.

17. Krana titiang, sungleng tiling twah mamesik, mesikang manyama, turin kagedegin wargi, twara iyengin rerama.

18. Twara dusin, pititur ikang sujati, peteng manah titiang, pitungan bingung sasai, sai mangayap i dewa.

19. Dewa ratu, elingang juwa ngan gigis, baktin titiange suba, diapin jani ratu jani geting, welasang ngrawos ajahan."

20. Sapunika, I Mladprana ditu ngumik, jantos maka lemah, pasihe rasa welas sih, wireh sarnpun masan puras.

21. I Mladprana, gisu katengah mamargi, twara ngitung nyanyad, blekod dane telah licit, crita rawuh maringgilia. [ 168 ]

165

22. Neked ditu, bengong parangan kapanggih, tur angucap nyawang, "Nggih dewa Janggaketaki, cingak titiang nandang lara.

L. PUH DANGDANG

1. Panes bara sakit nyakitang i gusti tan marawat, lasia twara kija, becikan rasane dini, yan sadia mangda kapangguh, ratu dini maring gili, yan tan aweca Sang Hyang Titah, mangda titiang dini puput, mati ngati-ati ida, keto pragat, budi pageh twara gingsir, misadia nresnin i dewa."

2. Sapunika I Mladprana lintang tiling ring manah, tur dane masila, nuptupang kayune suci, nelasang citane letuh, manunggalang manah budi, turin mamati sarira, kahret ban sarin kayun, ngastawa ida Hyang Ludra, tan ucapan, I Mladprana maring gili, ring Purbawyanjana crita.

3. Kala bangun dane Alit Warsiki wau nekag, manyingakin surat, anuli kambil tulise, wus maca krasa ring kayun, baliin bungkung di kacing, miwah anduk saja ilang, cingakin tur ada silur, bungkung miwah umpal gadang, tur kajemak, jangkutin tur pangelingin, kangen pedih tur mamatbat.

4. "Inggih gusti wyakti dane lintang eling manggeh tresna, tresna dane bisa, jani mangapus magedi, ngaku tresna nguluk-uluk, lek di arep bani duri, mileh nanjang masilihang, sane sayangan i ratu, ratu oranga tresnina, tresna swara, masih ratu teleb nyadin, ngwales ban tresna susrusa.

5. Dong ja awas laksana teken ing munyi malih tresna, ne tresnin kenken ya, apa srusa bisa nampi, malah takut macelekut, sapituduhnya tututin, manuh manahe taresna, bungute turwin juruh, manis jaen ban ngelekang, twara tawang, ya pacang ngawisyanin, mangilut nyakitang basang.

6. Manah titiang mamarna ratu keni siya-muwa, muah pangirut buwana, pamegeng miwah pangasihe, yan tan jati sapunika, nguda elas bani ngalih, anak suba karwan elas, masih serep jani kepung, tong dadi ban megat tresna, manyedihang, jadma pun yah bangsat jalir, tong bisa nampi pitresna.

7. Yan patutang anake ne kadananin ban barana, ayah anggon mayah, yan kadanan tresna asih, tawur antuk bakti lulut, yan mautang tresna munyi, bayah antuk tresna lega, ratu jani siwos kayun, ne ngapus bales ban saja, saja titiang, manah titiang bakti jati, ratu ngwales mitya ujar.

8. Ulat ajer ngajerjer jani magedi masingidan, ngutang umah somah, rarama nyama lan wargi, nuwutang kenehe buwut, tan pangitung ling ing aji, wariga tan karaga, tan pakadang angan kidung, nyama agamane kutang, onya lebur, ati yasa tan kayasin, bwana mabah suba obah." [ 169 ]

166

9. Keto ngopak Ni Warsiki pedih mua barak, ngetor garegetan, baana misadia nresnin, ane tresnin ngelen angkuh, ngranang sakit ulun ati, ati tresna muuh jengah, jengah kema ia manutug, yan oyongang dadi yuang yaning ngidem, ngidam makita nututin, kedetin nyumingkin kedat.

10. Ni Warsiki nuli nyingkrung nyangkutin pedek ika, nyarwang atine jengah, jengah wireh katinggalan, tunggal bangun mimbuh ibuk, tangkah nrugtug sirah sakit, kadi belah raga gerah, enek kakolongane etuh, liyat sudat kadat nrawang, asah buyan, buin manyingkrung nyuminin, twara bani ring nak katah.

11. Katah pisan ne makmna sakit ati yening rambang, tingkah sang katinggal, tanggal caritayang jani, Wakparusa Kawitweruh, Ni Luh Ngasa manyarengin, mrika ninjo ka sarenan, dapetang Warsiki nyingkrung, nora sareng I Mladprana, Ni Lus Ngasa, nakenin dane Warsiki, "Belin i dewa nak kija?"

12. Ni Warsiki mamatu tan nolih garegetan, besus ngenwang surat, Ni Luh Ngasa maca tulis, sampun karasa ring kayun, katimbalang ring sang kalih, sang kalih mamaca surat, sampune karasa pesu, midartayang ring warginriya, sang kadartin, gedeg jengah tidong gigis, angen tresnane tan pira.

13. Sakatah ing ditu punang wargi akumpu1an, saking I Mladprana, Kawitweruh minakadi, pawargiane ane eluh, Wakparusa mangrawosin, mabyayutan saling timbal, matungkas itungne bingung, ada nangih manyerepang, ne sewosan, sing nyerep dane 1alis, pisan Warsiki antenanti.

14. Sewamarang ring nyamane dini sane truna, ne ken jwa piliha, teken dane Ni Warsiki, mangden sida jua payu, nganten dane Ni Warsiki, kadung suba ada pragat, kenken jengahe yan buung, keto pitungne makejang, tan critanan, sang ngrawos saling lingganin, ginanti punang carita.


LI. PUH GINANTI

1. Ring Pratana jani kawuwus, Sang Prabu Nirnaya matangi, Ketut Oka kari nidra, pacara sampun sumaji, sang Nata raris masucian, wus masuci tur tinangkil.

2. Antuk I Demung Tumenggung, makamiwah para mantri, mekadi Mpu Datumala, miwah Patih Bayahuri, ngrawos mahica-icayan, Padanda

ngandika aris. [ 170 ]

167


3. Ature maring sang Prabu, "Ratu wyakti sadia polih, istri dahat ing utama, aturane Dukuh Sakti." Sang Prabu mahatur banban, "Inggih wyakti titiang polih.

4. Mangkin Padanda dumurus, ngayunin dwasane becik, becik yaning pawarangan, nanging mangda polih gelis." Padanda raris ngetartgang, wus ngetang ngandika aris,

5. "Malih tigang dina ratu, dwara pwarangan becik, kajeng dadi sasih klima manuju skura umanis, pasti tanggal ping talulas, patemon sang ratu luih."

6. Sang Prabu umatur alus, "Nyandang becik polih gelis." tumuli ida ngandika, maring dane Gusti Patih, "Iba nyaratang pangsisa, gawene di sukra manis."

7. I Patih mahatur alus, "Titiang pitelas mangiring. "I Patih raris ngetangang, tingkah patemon sang luih, luih nyalanang pangundang, karya madudon kamongin.

8. Sang ngetang karya tan wuwus, wang jrone kacrita mangkin, Ni Wiraga lan Padapa, Salaga miwah Losari, nyumandangang toya siram, sekar pasuryan wawangi.

9. Ngayap ngantosang sang ayu, wireh durung jwa matangi, Ni Ulasari angucap, "Jalan ja kuda tanginin. " Mabawosan sareng tiga, "Nyen sanggup mbok tong bani.

10. Ni Ulasari masanggup, turin ka saren nanginin, dapetang Ni Ketut Oka, manyingkrung sigsigan ngeling, sambilanga ngrikrik daya, mangda sida ban makelid.

11. Ni Ulasari amuwus, "Margijwa gusti matangi." Tutut Ni Janggaketakia, masiram raris masuci, sampun pupute mapayas, ring amben raris malinggih.

12. Nyingak luwong luwang luwung, gumendung manik maukir, ukir sebete manakan, kori mas matrawang kaksi, kuru hmis nruwung sumbrah, sumbrah misadia magedi.

13. Batarane marmer alus, aksi kaden mormor mrismis, tembok gedahe matrawang, patra Cina lan Ulandi, sayan mangunang duhkita, kita ngraga turu ngranjing.

14. Sedek ngraga jwa aturu, ada bikul teka nyandin, gregetan dane ngalempak, bikul kena lawut mati, bangken bikul kahengkebang, getihnyane nuli kambil.

15. Kauwapang maring pupu, sinjang rniwah betek batis, nuli matangi mage[ 171 ]

168

bras, ngandikin Ni Ulasari, "Aduh eleh jani kudiang, icang ngraja swala dini."

16. Ni Ulasari amuwus, ring panyamannyane sami, sami makapatpat mrika, saja dane melad getih, Ni Wiraga ngajabayang, neked ditu matur aris.

17. Ring ida anake agung, gagison ipun mamargi, sampun rauh ring payunan, negak ngalawut ngabakti, tumuli mahatur banban, srenggara ature manis.


LII. PUH DANGDANG

1. "Inggih ratu dane Janggaketaki ngrajasewala, wawu wus masucian, sede mlinggih ring ambene, iring titiang ngajum gelung." Sang Nata raris ngaranjing, sarwuhe maring puryan, kahaksi cokor sang ayu, ngasorang pudak cinaga, gading nyalang, sayang jwa katiben getih, sang Nata raris ngandika.

2. "Ih iba parekan cenik-cenik lan panyroan, to ajak makejang, kema jwa ka pamengkange, iringang dane sang ayu, lawut ditu jwa tongosin," tutut ngiring sareng samian, sang Prabu ngandika alus, maring dane Ketut Oka, "Nggih i dewa, di pamengkang kalih wengi, wus mabresih mriki tulak.

3. Ketut Oka mamargi wus mapamit ka pamengkang, srawuhe i rika, kari ibuk pakayune, sida ban belas sang Prabu, Mladprana kudiang ngalih, keto kayune tan elad, raris dane merem nyingkrung, nuwos ngaduh madekesan, liyat nrawang, yeh panone nrebes mijil, mijil tangise sigsigan.

4. Lintang bingung ia Ni Ulasari mangantenang, sang manandang lara, lara jwa manahe, tur manesek ngelut suku, "Duh dewa sang ayu luih, napi sungkanang i dewa, ndikayang ring titiang ratu, bilih sida antuk titiang, mangicalang, antui ayah tindak bakti, titiang misadia ngiringang

5. Sang ayu tumuli nyawurin sret banban, "Nah yan nyai tresna, saking saruse idepe, mbok ngorahin nyai Luh, krana mbok sakit hati, mbok manyama padadwanan, jani tinggal sinah sungsut, mbok suba dini lega, dane jumah, sinah nama sakit ati, meh katekan ngutang awak."

6. Ni Ulasari nyangga nyaurin, "Yan sujati, kranane punika, titiang ngiringang kayune, ngrereh dane mangkin mantuk, karyanang surat akidik, niki dawat miwah kretas." Janggaketaki sumawur, sida ban nyai nyaruang, apang danan, kacihnan tekane mai, antuk manuseng Pratana.

7. Apang da anake dini uning manyengguhang, mapilihan somah, mati [ 172 ]

169

ngawag nyen nyamane." Ni Ulasari sumawur, "Sampunang sangsaya gusti, ditu masa tambet titiang, titiang bakti saking nulus, yadin adoh selat alas, titiang ngentap, gelisang makarya tulis, Ketut Oka raris nyurat.

8. "Duh puniki bungkung susiahati satmakannya, titiang marek ring ida, makelingang wit tresnane, ban mangkin bli pageh kantun, mangda sampun ratu lali, ring baktin titiange suba, diapin madohan lungguh, mangda sampunang i dewa, nampi titiang, rered bakti ring i gusti, titiang manggeh kari tresna.

9. Diapin ratu jani tan eling ne ring titiang, kadurus muikang, twara ngitung pitresnane, yadiapin ratu tan cumpu, tan surud titiang ngulanting, yadian mahadohan genah, manah titiang suba ditu, jati atmajiwan titiang, twara belas, ring i ratu neket sai, ban nginggil sinah taresna.

10. Diastu ping sapta manumadi dados jadma, manga makaronan, malih elingang tresnane, rakete kadine sampun, ban tresnane nekeng ati, ne mangkin titah batara, melasang titiang ring atu, krana tresnan atu pasah, teken titiang, pegat rampung tanpa nolih, rasa tong marawat matra.

11. Nah lagute ada suba uani ne melahan, pangantungan cita, ne nglangenin kayune, da kuda pegat rampung, elen-elen manyebengin, elingang malih amatra, baktin titiange ne sampun, twara taen mrasa obat, nerus pisan, tong kesahanan akidik, manggeh bakti saidupan

12. Amunika manah titiang subakti leket tresna, sungleng ring i dewa, bani ngetohang angkiane, sapakayun titiang tinut, prade masih ratu jani, ngapus ngalinyokin titiang, di arep makuma takut, nglucu rasa tutut tresna, tlektek awas, ratu ngimpak ngelen aksi, ngardi sakit manah titiang.

13. Yan tan sapunika kayun gusti ne ring titiang, nguda jeg serahang, teken Ni Dukuh Saktine, tur katur maring sang Prabu, ring jagat Pratana iki, ratu truna sang Nirnaya, kueh bala sugih bagus, pacang jua panjakin titiang, titiang twara, nyadia nadwin nawang muani, eling wantah ring i dewa.

14. Sapunika awinan titiang ne mangkin manawegang, yan wantah i dewa, kari amatra kayune, eling kadung ajak lacur, rereh titiang jwa mariki, yan i ratu cepung elas, titipin ja titiang bungkung, sane di kacing kanawan, ciri bebas, titiang jwa mapamit mati, mati tresna takut palas.

15. Ri wekasan mangda sareng turnitis dados jadma, nggih pinunas titiang, ring Sang Hyang Uma-sritine, mangda nyaksinin mituduh, mangda titiang dadi muani, i ratu dadi luana, mangda mangguh sakit kayun, sapu[ 173 ]

170

niki kadi titiang, tan marenan, jengah lara kaprihatin, pacang nywita ring Sri Nata."

LIII. PUH SINOM

1. Sampun pupute manyurat, ngandika ring Ulasari , "Nah kema jani majalan, alas Suradwipa ungsi, teked ditu ngungsi kangin." Ni Ulasari lumaku, sampun sire surup surya, rauh ring alase mangkin, tur manerus, pamargine nyusup alas.

2. Kadahatan rungka pisan, tan kocapan Ulasari, I Mladprana kacarita, pageh matapa ring gili, jala wengi sunia sepi, Sang Hyang Ludra mangkin rauh, ngandika ring Mladprana, "Nah apa pisadia cai, dini nglalu, mlebok di tengah samudra."

3. Mladprana maliat ngawas, pedasin twara kapanggih, raris dane matur nyawang," Sira jwa ngandika niki, pinunas titiange luih, mangda mangasorang satru, saha danur weda sastra." Hyang Ludra ngandika aris, "Uduk kamu, manusa liwat utama.

4. Ingong iki Sang Hyang Ludra, jani ngalugrain cai, panah cenik ringkes buat, ngarania Ki Maya-geni, asing kena sida mati, yan meweh kakwehan satru, yeki regep ngawijilang, detiayaksa luih sakti, nyandak satru, muah sakancan wirosa.

5. Puput ida ngalugraha, suksma Hang Ludra mangkin, I Mladprana langkung bingar, semengan laut kasisi, amurang ngulon mamargi, Ni Ulasari kawuwus, mamarga twara rerenan, lin tang alas sampun lingsir, tur kacunduk, I Mladprana ring marga.

6. Ring wau mapapas liat, mlengok ia Ni Ulasari, ngantenang I Mladprana, pangid bagus tan patanding, kimud nuunin nyapatin, nyamping slimped laut labuh, binjul I Mladprana ngucap, "Nguda dadi sakit ati, sayang alus, ragan jero mapantigan."

7. Turin dane manangsekang, mangenang ditu ngedetin, tur matakon kenyung ngucap, "Nggih ragane saking napi, napi pisadiane mai, ragan luh ndewek ngalalu." Ni Ulasari angucap, midartayang punang indik, puput nutur, I Mladprana nimbal ngucap.

8. "Inggih titiang jwa manyama, maring Ni Janggaketaki, ragane ngangken putusan, engken cirine sujati." Ni Ulasari ngenjuhin, surate teken ing bungkung, I Mladprana narima, surate nuli wacenin, maring kayun, lintang ngumandelang pisan.

9. Raris dane mangandika, "Duh nyai Ni Ulasari, jalan ne jani matulak." [ 174 ]

171

Ni Ulasari mangiring, tulak mangkin sareng kalih, wengi ring alas lu- maku, sampun surup Sang Hyang Wulan, lesu ia Ni Ulasari, turin matur, "Ngiring gusti jwa mararyan."

10. Tutut dane Mladprana, tan ucapan sareng kalih, Ni Daksa mangkin ca- rita,mlali kala sunia sepi, I Mladprana ne kapanggih, Ni Dukuh bangras amuwus, "Aduh iba Mladprana, mai mangejotang urip, masa buung, iba dini kapicundang.

11. I Mladprana manatasang, kanten sinah Dukuh Sakti, Iaris katiwakin pa- nah, ne mawasta Maya-geni, Ni Dukuh ia geseng mati, tatan pangudilin lampus, I Mladprana mangandika, "Aduh nyai Ulasari, jalan eluh, reh sampun tampek rahina."

12. Tumuli raris majalan, alon tur mararyan titir, rauh ring pinggir ing desa, sam pun surup Sang Hyang Rawi, I Mladprana muwus aris, "Engken Pra- tana punika." Ni Ulasari angucap, "Sampun tampek punang puri, tur ngalawut, rawuhe ring bancingah.

13. Wenten nalikan apisan, lampune sampun makenyit, maduluran galang bulan, luir rahina kang wengi, pangayahe rena sami, masang tataring wus puput, malaluur antuk sutra, I Patih ditu ngajengin, mwah Tumenggung, teken ing Demung manggala.


LIV. PUH DEMUNG

1. Ulasari muwus aris ring I Mladprana, "Gusti mriki jwa makitut, sedek paseliyur, mangda saru jwa ka puri." I Mladprana mangidepang, tutut nyarutcut makitut, ngojok ka pamengkang, twara ada nak nakonin, teked ditu I Mladprana, kaengkebang ring sor bakung.

2. Ni Ulasari mangraris kema ngawas, ring paturon sang ayu, dapetang dane nyingkrung, panjroane ditu nangkil' Padapa Wiraga Slaga, sareng tiga muwus alus, "Nyai apa ada karya, kija uli ibi wengi, melah kaptin nyai ninggal, embok ajak telu bingung.

3. Twara bisa jwa nandakin sang kalaran, nah jani yan nyai sanggup, ngli- purang sang Ayu, embok nyadia nurut nyai." Ni Ulasari angucap, da mbok adwa ring wuwus, sang tiga angucap, "Yan mbok adwa ring mu- nyi, salampah mangda tan sadia, panjakang mbok satuuk.

4. Ni Ulasari mangraris manangsekang, "Inggih ratu sang Ayu, suudang nyingkrung, rakan ratu sampun prapti." Meneng Ni Janggaketakia, Ni Ulasari ia pesu, ngrereh I Mladprana, "Gelisang gusti mariki, rain ratu

kasedihan, tan keneng pangan aturu." [ 175 ]

172

5. I Mladprana nuli ngraris ka paturwan, teked ditu ngelut bau, ngurut pipi
ngabag susu, sambil ngaras nyepsep lati, sang Ayu kari gregetan, nying-
gukin sebenge rengu, maklid sambil nampokang, rengune tan nekeng
ati, wireh duka salit arsa, mangdan polih masih ngambul.

6. I Mladprana matur aris, "lnggih dewa, nguda ngambul salit kayun, ken-
ken kayunang i ratu, krana titiang teka mai, mai nyadia ngalih ida, ida
tohin titiang angsur, yaning katangehan, misadia karebut dini, diastu
katekan ing pejah, mati nresnanin i ratu."

7. Bwina mula saking nguni twara ada, tresnin titiang twah i ratu, raket
tresna ngitut, sareng rasa unteng ati, nungkul maserah katitah, sapitu-
duh titiang turut, twara taen lempas, saliyun umpet aidanin, wireh tong
dadi tombahang, manah pitresna ring atu.

8. Napi krana keto gusti manah titiang, eling yan kala salulut, twara ada
mamanduk, raket ngilut ngepus ati, buin bisa ngalap tresna, tutut tong
taen mangapus, eling tresna sarusa, sasengka meweh laksanin, sakadi
mangkin nyinahang, tresnan i ratu manerus.

9. Kudiang titiang dadi lali ring i dewa, manah tresna kadung puput, yan
durung rapah tang gunung, asat sagarane sami, ahas bintang trenggana,
teki tegeh nyukcuk embun, sinah tong nyidayang, titiang pasah ring i
gusti, gusti mineh mengelingang, kenken baktin titiang sampun.

10. Sampunang nyajang nyakitin nebek titiang, antuk wimban ratu rengu,
yan kadurus bendu, titiang pamit sane mangkin, ngursak bale pabunci-
ngan, anggen bukti bakti nerus, mangda katangehan, karebut dini ka-
cangkling, kakletek dadi babandan, mangda ledang ratu nulung."

11. Sang Ayu raris ngaturin, "Aduh dewa, nguda misadia ngalalu, kenken
kapakayun, jeneng marna geseh bakti, mangdoh titiang twara tresna,
legan titiang durung tutug, kari ngalam-alam, ngalem i gusti tong gigis,
yan salah tampi ajahan, ban marna ratu mangapus."

12. I Mladprana manyaurin, "Yaning saja, i ratu pitresna nulus, margi geli-
sang pesu, ninggalin pradesa iki." Janggaketaki ngiringang, I Mladprana
raris muwus, ring panyroane patpat, "Uduh nyai sareng sami, yan nyai
ada marawat, tresna teken beli lacur.

13. Jalan nyai sareng sami maka patpat, bareng ajak beli mantuk, nah yan
Luh apti satru, kema ne jani ka puri, uningang jwa ring sang Nata, mang-
da karwan jani lebur, kang bumi Pratana, yan tan sadia beli mati, nah
ditu olasin pisan, kamben cerik Luh nggen rurub.

14. Panjrowan sami nyawurin, "Aduh dewa, boya titiang apti satru, titiang

nyadia nurut, turut ring dane i ari, subaktine ring i dewa, mangda sareng [ 176 ]

173

ala ayu, urip yadin pejah, sapunika saking jati." I Mladprana nanggal ngucap, "Yan keto kereyang Eluh."

15. I Mladprana tur mamusti ngaregepang, masangang sasirep laut, sami lep- lep aturu, sawong ing Pratana wyakti, Ni Jangga Ketaki medal, miwah panjronan catur, kesah tan mantulan, pamucuk Ni Ulasari, tan ucapan lampah ira, sampun lintang tegal neku.

16. Crita sang Prabu matangi palimunan, ngandikin parekan riku, sane tuwa ati sadu, "Kema iba mangaturin, sang Ayu maring pamengkang." I Tan- mala jwa lumaku, rauh ring pamengkang, dapetanga sunia sepi, Tanmala tulak nguningang, ature mijil ngarumuk.

LV. PUH MIIL

1."lnggih ratu sang Ayu tan panggih, suwung ring pamengkang." Sang Nirnaya maireng aturu, tur makesiab, cuwong paramangkin, "Alih to i Patih." Tanmala raris lumaku.

2. Sampun prapta Tanmala ring yawi, panggih pajulempang, kari nidra De- mung Tumenggunge, para Mantri, miwah Gusti Patih, panjaka pageris, ne mangkin sami kadundun.

3. Tur matangi rika sareng sinamia, ngapuryang, neked ditu napak sasilane, Sang Nirnaya, mangandika aris, "Iba sareng sami, ingwang katinggal sang Ayu.

4. Sang kanikin ada ngelur ngeling, ada mlengok bengong, Gusti Patih ba- rak wedanane, liwat jengah, maselselan ngumik, "Aduh kudiang jani, elek jengahe kapupu.

5. Bas cageran ngacagerang jani, malih ne utama, tami'jani congah jwa atine, bas mapilih, peluh pelih dadi, ngelah ban mamaling, maling jani ngalih angkuh.

6. Munyi muluk manis jwa mane sin, mamanuh mangeboh, manatonin nya- kitin atine, awah enyud, nyad atine jani, reh mangid manyingid, bakat gisi ngranang gisu."

7. Gisu mangkin dane Gusti Patih, matur ring sang Nata, "Inggih ratu ma- ring udianane, ngiring mangkin , serepang i ari, sing saget ka beji, wus masucian makulangun."

8. Sang Prabu mituhu I Patih, mamargi ka taman, Gusti Patih mojar ring Demunge, Ki Tumenggung, miwah para mantri, sami pada ngiring, kema nyerepang Jumaku. [ 177 ]174

9. Sira Demung Tumenggung Ian Mantri, sami ne ngiringang, tur mang-

utus, nyuwarang gendongan, geger umung, gendongane tutir, asanjata

Iuih, panah tumbak bedil tuiup.

10. Sira Mantri ngangge sarwa kuning, masanjata panah, Ki Tumenggung ba-

rak panganggene, masanjata pedang lan suligi, sira Demung malih, selem

masenjata lipung.

11. Turin mangkat maburang pratiwi, manungsi ersania, tan ucapan lampah

Tumenggung, Sang Nirnaya, caritane manglin, I Patih mangiring, ring

udiana sampuh rauh.

12. Neked ditu tumuli mangaksi, sinuan tampakbela, maangkaban duur

pancorane, nika sengguh, mawangsit ngulapin, matujwang sang lalis,

sang Nata kema manyujur.

13. Nanging nora sang mustikeng ati, ia i tampakbela, tur kahabastelahang

punyane, raris nyingak, i klungah nyuh gading, kembar cenik nyangkih,

pitaen susun sang Ayu.

14. Ikang pudak cinagane ngrawit, nguda ia mamaha, betek cokordane sang

Ayune makamiwah, kedapan sokasti, nguda manyamenin, kalemuhan

sang Ayu.

15. Sarin bungan tunjung biru ngrawit, milu masih langgah, nyadia manduk

panon sang Ayune, pusuh bakung, langgah ngasah jriji, don intarane

iri, manyamen wirnban sang Ayu.

16. Ditu duka sang Nata mareting, ring ne kasengguhang, mada-mada becik

sang Ayune, mangkin telas, kapademang sami, tur ida mangraris, kaj-

rowan taman punika.

17. Teked ditu ngembuin bo miik , gadung menuh salaga, sedap malem lan

angrek linjonge, ditu ida sang Nata ngumikmik, "Ratu sang alalis, su-

udang mengkeb mangambul.

18. Ne nyamenin sampun padem sami, jani mangaraga, ratu nginggil buat

kahayone, mamanjakang, titiang kasi-hasih , misadia manyiwi, man-

jakang ratu satuwuk."

19. Wus ngamikmik raris munggah mangkin, maring meru ika, tur anungkab

punang lawangane, raris nyingak, area nyalang gading, mapinda Batari,

Sang Hyang Giri Putri iku.

20. Sang Nirnaya tumuli mangambil, kapundut kang area, "Nggih ratu mas

durusang swecane, sedek ngarumrum, eara roaring Jawi, katibanin

angin, rasa nyuryakin sang Ayu.

21. Sang Sri Nata murengang manoiih, nyamparang tang arca sampun tiba [ 178 ]

175

ring we kuntane, tan ucapan sang, Parabune mangkin, crita sang ring
margi, lampah I Demung Tumenggung.

22. Sampun pangguh sang Ayune mangkin, ring Janggala wiyar, I Mladpra-
na mangangken ngambile, sira Demung tulak sane mangkin, nungkang
kuda gelis, nguningang ring sang Prabu.

23. Sang Nirnaya dukane tan sipi, raris ida budal, tur mapayas ngangge
karatone, wus mahiyas, ratane sumaji, srati I Dusbvdi, kuda panarik
akutus.

24. Kang sanjata wus masimpen sami, maring rata ika, wus cumadang pu-
nang prajurite, asahara, ngalinggihin wajik, manggala I Patih, nunggang
sregep sampun.

25. Tur mamargi prajurite sami, luir mega katon, gusti Patih sekadi linuse,
Sang Sri Nata, paka kilap tatit, dunnangala mangkin rauh.

LVI. PUHDURMA

1. Kang andaru tumiba tatan pantaran, suryane mateja kuning, nora ka-
panesan, mubu dedet punang rat, gagak gora anamberi, udan rudira,
asu ngalulu tan koti.

2. Sang Sri Nata sura tan awedi pejah, ndatan janggal mamargi, tan ucapan
sira, sira Tumenggung kocapan, sampun tampek ngetut buri, matbat
Mladprana, "Ih kamu manusa pekik.

3. Eman pekik rupamu hatimu dusta, angamet sang Ayu luih, catur pali-
wara, tan ketung kang baya prapta, luir salapa ngungsi geni, wulangun
ring rupa, tan wurung atemah wisti.

4. Nging yan kita arep urip wedia pejah, wangsulakan sang Putri, teher kita
nembah, wus nembah malaywing wana, manawa pwasira urip, yan tan
mangkana, ingong mangke amejah."


5. I Mladprana sumawur ndatan prakasa, "Kita sang kadi ageni, angga
muka rakta, kita wruh narirna sembah, yan kagengan sembah neki, ta
wruh narirna, tan wun pejah mangguh wisti."

6. Wus mangkana ujari I Mladprana, tan amentang laras gelis, "Trimanan
sembah ingwang." Puput minantran linepas, mijil detia kembar luih, luir
Kahuitaka, tomara ssanjata iki.

7. Sang Ayu runtag ngetor tur umojar, "Bell titiang twara bani, manying-
akin siat." I Mladprana alus mojar, "Sampunang sangsaya adi, beli tan

keputan, rebut satru laksa koti. [ 179 ]

176


8. Pang da rewed beli manangkepang siyat, pisan adi manyantosin, di tepin ing alas ne nyai ajak makejang, makadi Ni Ulasari. Sami ngiringang, mamargi ditu nyantosin.

9. Tan ucapan istri lalima ring alas, yudane Carita mangkin, sawatek Pratana, masuryak ngrebut i detia, manah numbak nulup bedil, detia tan silah, krodane kadi dundunin.

10. Ngerak nyagjag kadi singa muru kenas, wadwa kajekjek paclengik, makeprot, matannya, ada mangembudang basang, limpa paparu lan ati, tendasnya encak, ada kepek perot dingkil.

11. I Tumenggung lintang erang maring cita, manyingak wadwane sakit, sisan sakit pejah, lilih tan panolih timpal, tumandang dane ne mangkin, nangkeping yuda, tan pangundilinwus mati.

12.Tur tumandang Mantri karo wus tumanggal, wawu metang panah neki, kakenan tomara, pejah dene tan pabisa, wadwane sisan ing mati, jrih magulungan, dekah nowostan panolih.

13. Bubar jerih patiluplup ia kaparag, sira Demung amrepeki, neher tinanyanan, karana kapilayuwa, kang bala nora nyaurin, kumeter tang angga, tumbakin masih manyumbil.

14. Sira Demung mangseh ameleg turangga, muter lipung tur manuding, "Iba Mladprana, ne I Demung jani papas, masa iba wurung mati, wus puput mojar, detiane tampek angaksi.

15. Tur kasup sora Demung kapantigang, tekeng kuda lawut mati, prajurit ngwalesang, bareng siyu mapisanan, ngrebut i detia tan gingsir, prajurite pejah, sisan mati telah lilih.

16. Gusti Patih Bayahuri ngawalesang, ngalinggihin punang asti, amuter mudgara, wawu mangseh tang tomara, gajah kena lawut mati, I Patih lumumpat, murengang misadia lilih.

17. Mangebrasang ngnus pedang nyadia nunggal, punggel pedange laketik, I Patih kajambak, antuk i detia karo, katuwek kaceret getih, kapukangpukang, sawannya Ki Gusti Patih.

18. Sang Prabu ngelpas astra tan pantaran, pinangan tang astra enti, dening detia ika, krode detiane tan pira, nglepas tomara kakalih, kena tang siandaba, renyuh tekan ing sarati.

19. Sang Nata lumipat bahen kuciwa, magut detia luih sakti, karana kaparna, nora kasor de wiroda, teher sira Sri Bupati, nunggalang cita, ngragayang santa budi.

20. Puput ngregep detiane tan pajamuga, mulih maring mayageni, kasor dening santa, sang Nata raris mamentang, laras ida nene luih, Bujagapasa, wus linepas angresresin. [ 180 ]

177


21. Mangang-mangang tutuknia kaya giha, I Mladprana kaungsi, tragia I Mladprana, wireh i detia kasoran, tur anglepas panah neki, winata astra, mijil kang garuda luih.

22. Tur pinangan ikanang Bujaga-pasa, naga telas garuda mulih, sang Nata kabangan, anglepasaken tomara, I Mladprana nanggal malih, dening tulak-tala, tomarane punggel keni.

23. Sang Nirnaya ngaksi punggel kang tomara, tumuli mangkin mangambil, anglepas ru sampat, I Mladprana maniwakang, bayu-bajra lintang luih, ru sampate telas, pagalantes paleketik.

24. I Mladprana ngambil eru Arda.candra, sang Prabu kapatitis, sampun katiwakang, keni ulune sang Nata, rah nya muncrat lua warsi, rah ira dadia, detia yaksa pirang koti.

25. Mastakania luir Kalarau mangang, rupan ira mangresresin, mesat ring ambara, mangungsi I Mladprana, detia mayane pajerit, dedet kadi mega, dangastrane luir tatit.

26. I Mladprana kadi rawi prabata, bingar tan kalahan wedi, nulu mangregepang, sarin ikang geni maya, tur katiwakang wus mijil, ikang geni nglayang, muntab murub ngresresin.

27. Rasa ibek nabastala mahitala, de sarin ing maya-geni, ngeseng detia katah, makadi mastaka ika, risaksana sida basmi, pejah sang Nata, saha lalayonnya basmi.

28. Tan ucapan I Mlasprana wus mayuda, panjak Pratanane mangkin, sasesan ing pejah, sarni jrih rarus ngalas, ada nungkul nunas urip, ring Mladprana, kasinoman ing nagari.

LVII. PUH SINOM

1. Kacarita I Mladprana, maranin Janggaketaki, i rika ring tepin alas, kapanggih sedek malinggih, panjrowane manyarengin, seleg pada ditu nunggu, maring sor ing wandira, jejeh nyane tan sinipi, uyang ibuk mangenang sang ngadu laga.

2. Ne mangkin wawu kacingak, I Mladprana ngarawuhin, saha mairingan panjak, sampun nungkul nunas urip, panjak Pratanane ngiring, Ni ulasari umatur, "Inggih gusti nika cingak, rakan gusti dane prapti, nawi sampun, sida alah da sang Nata."

3. I Mladprana nuli nyagjag, nyagjagin Janggaketaki, "Aduh ratu atman jiwa, aksi parekane tangkil, rawuh saking ngendon jurit, sweca ida Sang