Kaca:Geguritan Mladprana.pdf/14

Saking Wikisource
Kaca puniki kavalidasi

10


19. Dihibur-hibur juga tidak bisa, makin dilupakan makin teringat, ditidurkan jadi mengkhayal, kalau tidur tidak luput dari impian, mimpi bersamamu, di tempat tidur saling berbicara.

20. Tiba-tiba bangun terkejut, karena rasanya Tuan ada di sisiku, diraba-raba di samping kosong, saya bangun duduk dan menangis, kelihatan bulan baru terbit, bertambahlah sakit hati ini.

21. Ulu hati bagaikan dicungkil, tergetar rasanya di hati, bagaikan ditusuk asah buyan, gemetar rasanya akan mati, mati karena asmara, pelihara mayat saya sekarang juga,

22. Gulung saya dengan cinta kasih, pegang di tengah-tengah pinggang, ikat dengan rasa kasih, janji kita pakai tali, ditutupi dengan kain dalam, ber-ampok-ampok dengan yang disucikan.

23. Ditutupi dengan tangan lengkung, buatkan angenan dengan buah dada kencang, rambut lebat pakai alat, pahamu putih mulus, dan bentuk kakimu bagaikan bunga pudak, itu pakai mendampingi.

24. Jari-jari lurus pakai ukur, bantali dengan pipi montok, diberi ulon dengan wajah, kerudungi dengan keindahan cinta, selendang pakai rurub kajang, ujudkan dengan wangi-wangian.”

VI. PUH DANGDANG LARA

1. "Begitulah permintaanku padamu, seperti yang tertulis dalam surat, ini tanda setia, sekarang disampaikan kepadamu, umpal sutra kuning saya, cincin kerang diapit emas, dan gelang pendok emas, berisi permata mirah inten berlian, disertai bedak harum, serta minyak harum dan samuh cendana.”

2. Selesai menulis surat, ia memanggil Ni Luh Ngasa, “Mbok berangkatlah ke sana, sekarang ke Wana-puspa, menemui Ketut Oka, sampaikan surat ini, disertai bungkusan.” Luh Ngasa kemudian berkata, “Saya bersedia,” dan berangkat, tidak diceritakan dalam perjalanan, diceritakan Jangga Ketaki.

3. Bingung di tempat menenun, berkata-kata sendiri air matanya meleleh, ingat pada dirinya, telah lama ditunggu, belum juga datang, tidak pantas dia lupa, pada janji, lagi pula terlanjur jatuh cinta, lekat seperti lem castol.

4. "Bagaimana saya menyembunyikan sakit asmara, karena terlalu lama menunggu, bagaikan melihat telinga sendiri, menunggu burung puyuh