Kaca:Geguritan Mladprana.pdf/71

Saking Wikisource
Kaca puniki kavalidasi

67

mua usung, kemudian bawa ke kuburan, sampai di sana kita lihat." Sekarang mayatnya diusung, tidak diceritakan setibanya di kuburan.

10. Matahari sudah tenggelam, kemudian pendeta berkata halus, "Taruhlah di tempat pembakaran, kemudian pergilah semua." Yang empat orang ikut serta, berkumpul dari jauh menungguinya, hatinya sangat ngeri, melihat makhluk-makhluk halus berkeliaran, menari menghadapi mayat.

11. Burung gagak berbunyi tidak henti-henti, merobek-robek mayat berbau bulu terbakar, diterbangkan ke pohon kepuh, perut jejaring hati, paru-paru limpa dan kaki, tangan kepalanya, air mayat itu bercucuran, anjing datang berebut, ribut sekali, berebut mayat itu.

12. Mayatnya I Mladprana, tidak ada yang berani mencolek, makhluk halus anjing burung gagak, semestinya galak menjadi sayang, pendeta sangat kasihan, bersiap memusatkan pikiran, mengeluarkan puja-puja, memuja Hyang Praja-pati, terutama, pada Ida Hyang Giri-nata.

13. Semangat sekali memohonkan, supaya I Mladprana hidup, selesaikan mengaturkan puja, dunia menjadi gempa, burung gagak anjing orang halus, sepi tidak hanya berbunyi, karena tanda Tuhap datang, menyebabkan makhluk balus takut, mereka melihat cahaya di langit.

14. Semua pada bersembunyi, segala makhluk halus, burung gagak dan anjing diam, semua tidak berani ribut, karena tanda-tandanya diketahui, Tuhan akan datang, mengeluarkan tanda-tanda, dari puja pendeta, utama sekali, yoganya memuja.

XLII. PUH GINADA

1. Terang menyala bersinar-sinar, di atas kuburan tidak terkira, seperti bintang kartika, dari sana keluar asap, turun menuju tempat pembakaran, berbau harum, diikuti sabda.

2. "Aduh anak Wrediaguna, I Mladprana bisa hidup, lagi pula sudah tersurat, pantas memilih mati, karena sudah mencapai moksa, kalau mati, berhak berkereta semaya."

3. Selesai wahyu tersebut, asap hilang sinar juga hilang, I Mladprana tidak terbakar, lalu bangun dan duduk, dilihat Empu Wrediaguna, masih duduk masih mangaranasika.

4. I Mladprana tidak berani, berkata pada Sang Mayati, kemudian segera bangun, duduk di belakang, tidak diceritakan I Mladprana, saat di sana, sekarang diceritakan Ni Dukuh.