Kaca:Geguritan Mladprana.pdf/77

Saking Wikisource
Kaca puniki kavalidasi

73

2. "Dimana Ketut Oka mengapa berpisah." I Mladprana berkata halus, "Saya tidak ada melihat." Selesai berkata melihat surat, dan surat tersebut dibaca, isi surat itu menceritakan kecurian, Wakparusa kemudian menangis, keluar menceritakan pada keluarganya, semua keluarganya menangis meraung-raung.

3. I Mladprana sakit hati penglihatannya kosong, seketika pucat pasi, batinnya sakit, tenggorokannya terasa kering, seluruh orang di sana dirasakan sepi, jadi bingung, tidak dihiraukan suratnya, setiap ada orang datang, dikira Ni Ketut Oka datang.

4. Sekarang I Mladprana menangis berbicara tidak menentu, "Ya Tuan sampai hati, rela meninggalkan dan menipu, tidak mengingat kesetiaan yang dahulu, Adik mencari kesenangan sendiri, saya sekeluarga supaya sakit, belum mendapat kebahagiaan, bahagia bersama Adik, Adik rela tidak mengasihi, ya sekedar memberi kata-kata baik.

5. Mestinya kalau Tuan ingat sedikit saja, pada lekatnya hubungan kita dahulu, bersepakat kata, tidak adalah peristiwa seperti ini, Adik tidak memandang, serakah mencari yang baik, yang mengasyikkannya, ya silakanlah menikmati, di saat sedang berguna, biarkanlah saya sakit hati.

6. Walaupun sampai mati saya rela, karena tidak dapat menahan rasa cinta, mungkin sudah nasib, nasib mati sakit hati, harapanku saya mohon, kalau saya sudah mati, supaya Adik rela Tuan melihat, membekali saya dengan sirih, dan menimbuni dengan segenggam tanah."

7. I Mladprana sedang menangis meratap, Wakparusa berkata kasar, "Bagaimana kamu mau mati, menyakitkan wanita nakal, Adikmu Ni Warsiki, pantas kamu pertaruhkan dengan nyawa, dia teguh pada cinta, cantik muda beliaa sejati, pacar sejak di dalam perut, dijodohkan ibu dan bapak.

8. Itu sebabnya pantas dibela dan menuruti nasihat Bapak, membangunkan kau sudah bangun, lagi Ni Jangga Kekati, sudah jelas dengan ikhlas, menipu pergi secara diam-diam, membuat malu, usahakan hatimu Nak, supaya bisa merelakan, hilangkanlah cintamu yang lalu."

9. Kemudian I Mladprana berkata, "Ya Bapak, kata-kata Bapak benar, sepantasnya saya menuruti, tetapi saya mohon maaf, belum berani menyanggupi, sanggup merelakan sekali, ya saya masih mencoba, mengurangi kesedihan hati, mungkin ada nasib baik saya, nanti jelas Bapak mengetahuinya."

10. Begitulah jawabannya pelan sekali, serta menceburkan diri, semua ke-