Geguritan Calonarang

Saking Wikisource

Naskah[uah]

35828Geguritan Calonarang — prev1978I GEDE SEMADI ASTRA, I WAYAN BAWA

Geguritan Calonarang

I Gede Semadi Astra I Wayan BawaGEGURITAN CALONARANGGEGURITAN CALONARANG

Alih Aksara & Alih Bahasa Oleh :

1. I GEDE SEMADI ASTRA 2. I WAYAN BAWA

DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROYEK PENERBITAN BUKU BACAAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH JAKARTA 1978Hak pengarang dilindungi Undang-Undang[ 5 ]=== Kata Pengantar ===

Bahagialah kita, Bangsa Indonesia, bahwa hampir di setiap daerah di seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-karya sastra lama, yang pada hakekatnya adalah cagar budaya nasional kita. Kesemuanya itu merupakan pengalaman jiwa bangsa yang dapat dijadikan sumber penelitian bagi pembinaan dan pengembangan kebudayaan dan ilmu, di segala bidang.


Karya sastra lama akan dapat memberikan khazanah ilmu pengetahuan yang beraneka macam ragamnya. Dan penggalian karya sastra lama, yang tersebar di daerah-daerah ini, akan menghasilkan ciri-ciri khas kebudayaan daerah, yang meliputi pula pandangan hidup serta landasan falsafah yang mulai dan tingi nilainya. Modal semacam ini, yang tersimpan dalam karyakarya sastra daerah, akhirnya akan dapat juga menunjang kekayaan sastra Indonesia pada umumnya.


Pemeliharaan, pembinaan dan pencalian sastra daerah jelas akan besar sekali bantuannya dalam usaha kita untuk membina kebudayaan nasional pada umumnya, dan pengarahan pendidikan pada khususnya.


Saling pengertian antar daerah, yang besar artinya bagi pemeliharaan kerukunan hidup antar suku dan agarna, akan dapat tercipta pula, bila Sastra-sastra daerah, yang termuat dalam karya-karya sastra lama itu, diterjemahkan atau diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Dalam taraf pembangunan bangsa dewasa ini manusia-manusia Indonesia sungguh memerlukan sekali warisan rohaniah yang terkandung dalam sastra-sastra daerah tersebut. Kita yakin bahwa segala sesuatunya yang dapat tergali dari dalamnya tidak hanya yakin berguna bagi daerah yang bersangkutan saja, melainkan juga akan dapat menjelma menjadi sumbangan yang khas sifatnya bagi pengembangan sastra dunia.


Sejalan dan seirama dengan pertimbangan tersebut di atas, kami sajikan pada kesempatan ini suatu karya sastra daerah Bali, yang berasal dari Fakultas Sastra, Universitas Udayana, dengan harapan semoga dapat menjadi pengisi dan pelengkap dalam usaha menciptakan minat baca dan apresiasi masyarakat kita terhadap karya sastra, yang masih dirasa sangat terbatas.


Jakarta, 1978

Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra

Indonesia dan Daerah [ 6 ]Calonarang *)

Pupuh Durma

1. Wonten rakwa carita winarneng
kuna,
ngong wistara mengkeki,
purwakaning kata,
hana ratu subala,

mudageng Daha negari,
Seri Aji Erlangga,
maka catran bumi.


2. Kadi kartayuga swapurueng
negara,
pandiri seri bupati,
nir tang corabaya,
katekeng nusantara,

peresama arap mingkusa jerih,
sakwehing nata,
sampun aserah peretali.


3. Saluaning jagat sampun sinungan
sila,
makadi para yati,
tekeng para mantria,
sama dinikseng kerama,
tinut sarasaning aji,
buating Manawa,


"Adalah suatu cerita yang dikarang
pada jaman dulu,
yang sekarang ini saya ceritakan,
adapun permulaan cerita,
(yaitu) adalah seorang raja yang
banyak rakyatnya,

bertahta di kerajaan Daha,
(yaitu) Seri Paduka Raja Erlangga,
laksana payung peneduh dunia."


"Bagaikan pada jaman kertayuga
kesempurnaan keadaan negara.
sejak masa pemerintahan sang raja,
tak ada bahaya pencurian,
(termasuk) sampai di wilayah
seberang Daha (Jawa),

semuanya tunduk serta takut,
sekalian raja,
sudah menyerahkan tanda ikatan
(pajak-upeti)."


"Seluruh (penduduk) negara menjun-
jung tinggi kesusilaan,
terutama para pendeta,
sampai kepada para mantri,
semua suci dalam perbuatannya,
sesuai dengan isi sastra,
yang termuat dalam kitab Manawa,


  • ) Dari naskah lontar yang tersimpan di Pustaka Lontar Fakultas Sastra

Universitas Udayana dengan ciri Kropak No. 131 Lontar No. 333

7 [ 7 ]sipating ngelus nagari.


4. Penuh masmanis ya Sang Hyang
Danendra,

nitis madangi kapti,

luir prabaning candra,

welasing nirasraya,

subageng sayawa bumi,

jana nuraga,
kotaman datan pingging.


5. Tatan kena winuni presapanira,

himpar Hyang Sacipati,

saerih kertaning rat,

nitiakala ayoga,

dana punia ya weresti,

sakwehing yadnya,
linakuan wus dadi.


6. Sangsaya lumra prebawaning

swanegara,
penuh berata semadi,

hanuting sasana,
sira sang catur warna,

wetning pretapa bupati,

saluaning jagat,
prasama muji-muji.


7. Alama seri bupati siniwing jagat,

wah boga wirya adi,

"yaitu hukum tentang memerintah
negara."

"Penuh dengan mas serta permata dan

dari Sang Hyang Danendra (Dewa

kekayaan),

selalu menerangi (menyenangkan)

hati,

laksana sinar bulan,

kasihan tak terlindung,

kemakmuran seluruh pulau Jawa,

dicintai rakyat,
keutamaannya sangat sempurna."



Tak tertuliskan kemasyuran bagin-

da (sang raja),

mirip seperti Hyang Sacipati,

mengusahakan kesentosaan negara,

selalu beryoga,

sedekah baginda hamburkan,

segala macam upacara korban,
(yang) dilakukan telah berhasil."


Makin termasyur kewibawaan ne-

garanya,

sempurna pelaksanaan pantangan

dan semadinya,

sesuai dengan aturan,

beliau para catur warna (kasta yang

empat),

bersumber kepada kemasyuran sang

raja,

seluruh negara,
semua pada memuji-muji."


Lama sang raja dirajakan di negara-

nya,

berlimpah-ruah pangan, kekuatan
kerajaan dan lain-lainnya (berkem-"


8 [ 8 ]wareging wisaya,
sararasing sarimang,
akweh parabini aji,
sama sulaksania,
anaking mantri adi.

8. Sararas-rarasira amangun rimang,

muang seri paduka sori,
luir kusuma anjerah,
rimasaning kartika,

sumar merbuk gandania merik,
kinusang berangga,
mideran aneranga ngeringring.

9. Tan wuwusan kalaning kartika
masa,
mahasang pasir wukir,

anjajah kalanguan,

tan sah amawa karas,
tan len panduistaning gurit,

rarasing semara,
sinerating tanasingi.

10. Pira kunang desira manggih
keswaryan,
hanut suecaning hati,
aputra ta sira,
Seri Aji Jayabaya,
Seri Jayasaba sang ari,
luir surya kembar,
pretapan nira kalih.

"bang terus),
terpenuhi segala keinginan,
segalanya menyenangkan,
banyak istri sang raja,
semua sangat cantik,
putri dari mantri utama."

Segala kelakuannya mebangkit-
kan rasa cinta asmara,
dan baginda sang permaisuri,
bagai kembang setaman,
pada waktu bulan Kartika (Ok-
tober - Nopember),
semerbak baunya sangat harum,
direbut oleh lebah-lebah,
beterbangan dengan bunyinya
tiuh mendenging."

"Tak diceritakan pada waktu bulan
Kartika.
mengembara di pesisir laut dan
gunung,
menjelajahi tempat yang indah
serta menarik hati,
seraya membawa alat tulis,
tak lain yang digubah dalam nyanyi-
an,
mengenai keindahan asmara,
ditulis dengan gerip,"

"Entah berapa lamanya baginda
(telah) menjadi raja,
menuruti kesenangan hati,
berputralah baginda,
yaitu Seri Baginda Jayabaya,
dan adiknya Seri Baginda Jayasaba,
laksana surya kembar,
kemasyuran tapa baginda berdua."

9 [ 9 ]11. Sapala maka paudiri seri narendra,
tustusning ratu adi,
prewira ring rama,
wawa rumaja putra,
geseng ming lati amanis,
rawat semara,
wawuetareng liring.


12 Henti sukanira sang seri narendra,
tan sah angarih-arih,
sinungan wacana,
amunah gula derawa,
duh mas mirah ingsun kalih,
moga aweta,
kakembanging liring.


13. Wetning tuas tan riamban tumona ri sira,
kemiten yayah bibi,
moga dirgayusa,
seraya ring para nata,
menggehaken sang hyang aji ,
pan hila-hila,
ratu amari aji.


14. Tan wanuh sira waneh putra sasana,
kuneng hama ring enjing,
uwus ira ahias,
awastra pikdewala,
sumunu cinurneng rukmi ,
apinggel kana,
tinerapan manik warih.


Berhasil pemerintahan Baginda raja.
sebagai turunan raja utama,
gagah perkasa dalam peperangan.
baru meningkat remaja,
rekah bibirnya terlihat manis,
membayangkan cinta asmara,
bila terlihat mengerling.


Hentikan (sebentar) tentang kesukaan sang raja ,
selalu berkata merayu-rayu,
(terhadap) yang dikatai,
mengalahkan manisnya gula,
oh putra kesayanganku kedua,
mudah-mudahan panjang umur,
serta selalu menyenangkan hati.


Atas dasar gelisah hal i(ku) melihatmu, (maka aku berpesan),
hendaklah (anakku) menjaga ibu dan ayah,
semoga panjang umur,
melindungi para raja,
menegakkan aturan menurut sastra,
sebab berbahaya,
(bila) raja melanggar aturan menurut sastra.


(Demikian pula) agar tak melalaikan aturan sopan santun sebagai
seorang putra yang lainnya,
konon pada keesokan harinya,
setelah baginda selesai berhias,
berkain dengan lukisan berwama putih,
berkilauan dengan motif keemasan,
memakai gelang kana,
dipasangi dengan permata manik banyu.

10 [ 10 ] 15. Tan sah skampuh jamus wijiling sabrang,

talakon patra sari,

anungkelang kadga,

alandean ratmaja,

awalagri mirah adi,

apepeletan,

raspati jayang tulis.


16. Anguah karna arja sumpang

periaka, jinebadan merik minging,

menggepolahira, tan sah angawe rimang,

mijil sira seri bupati, saupacara, madeg kading perelagi.


17. Sampun mungguing singhasana mani maya,

haneng mijil ping kalih, ngguanira sineba,

amepek para rakrian,

Demung Tumenggung apatih, muang arya Dyaksa,

paca Tanda Mangori.


18. Maka muka sang pinaka bagawanta,

tinuting mahayati,

sama jita aksara, amepeki tangkilan, sama alungguh ing korsi, ajajar-jajar,

kadi sewaning ringgit.


"Selalu memakai kampuh jamus keluaran nagari sebarang, dengan motif kembang, memakai keris (pedang), dengan gagang ratmaja,

dihiasi dengan mirah yang baik, terlihat ruas-ruas kayunya, indah rapi mengalahkan rapinya tulisan."

"Hiasan telinganya indah yaitu bunga priaka,

dengan boreh yang harum semer- bak,

pantas tingkah lakunya,

selalu membangkitkan nafsu asmara,

maka keluarlah sang raja,

dengan upacara,

seperti yang sudah-sudah."

"Telah duduk di singgasana yang berpermata indah,

yang berada di halaman kedua, tempat beliau bersidang,

semua pembesar telah hadir, Demung, Tumenggung serta Patih, dan beliau Arya Dyaksa,

Paca (juru baca?) dan Tanda Mangori."

"Sebagai pemuka yalah beliau sang pendeta istana,

diikuti oleh para pendeta agung, semua mahir dalam sastra, memenuhi persidangan,

semua sama-sama duduk di kursi, berjajar-jajar,

seperti deretan wayang."

11 [ 11 ]19. Sesek supenuh tekeng manguntur pisan,
yaya panjereningsari,
bingaring busana,
muang sepacareng natar,
cara-carania angrawit,
awuwukiran,
ahelet sarwa sari,


20. Tan pegat umarang pangrubunging bramara,
akusa-kusang sari,
anesep sarkara,
luir kakung angamong diah,
angisak-isak anangis,
ndan sori narendra,
matur ri jeng sang yati.


21. Duh singgih bapa sang yatiwara,
rangwakana mengkoki,
wetning kabinawa,
walatik inikang werta,
anenggeng wusa jati,
walu ring Jirah,
Budawangsa brakmani.


22. Ameret ulah marih tumpuring jagat,
ahulah sedtatayi,
muah sisia~sisian,
mudagaken pustaka,
muka siwaning bicari,
sinung nugraha,
de ra Hyang Bagawati .


"Penuh sesak sampai di halaman luar,
nampak seperti bunga mekar setaman,
semaraknya pakaian-pakaian beliau,
serta aturan halamannya,
semuanya semarak,
berakhir,
diselang-selingi dengan bunga.


"Tak putus-putusnya bunyi kumbang,
yang hinggap di bunga,
mengisap madu,
bagai lelaki memeluk putri cantik,
(yang) menangis terisak-isak,
kemudian sang raja,
berkata kepada sang pendeta.


"Ya bapa sang pendeta agung (mulia),
dengarlah sekarang ini,
sungguh telah tersebar luas,
terbetiknya berita,
dan itu memang betul,
janda di Jirah,
seorang brahmana wanita beragama Buda.


"Berusaha keras demi rusaknya negara,
melakukan kejahatan yang tergolong sadtatayi.
serta mempunyai murid,
mempelajari sebuah buku,
sebagai sumber ajaran sihir,
(serta) diberkati,
oleh Hyang Bagawati (Durga). [ 12 ]23. Marmanira angrug punang nagara,

wangnia kadadak mati,
tan kena ingosadan,
mapa deya sang dwija,
sumawur sang mahayati,
saupapatia,
sarjawa harum manis.


24. Singgih pukulun sang seri paduka
ratu,
punapa rasa malih ,
katon ing aksara,
ring wang ahulah dusta,
moo pandita tuhua tui,
tan apa sira,
sang parjlbu amatiani.


25. Apan anaerih ri kaswustaning
nagara,
maka seraya sastra aji,
pageh ing kedarman,
angisti yamabrata,
angrarah lengkaning bumi,
amarlbawa,
dera amati-mati.


26. Sawur paksi sang mantri
sinamadaya,
mukya rakrian patih.
sadara wot sekar,
singgih parameswara,
tuhu ling ira sang yati,
yogia pinatian,
dandaning sad tatayi.


"Oleh karena dia merusak ketentraman negara,
banyak penduduk mendadak mati,
tak dapat diobati,
bagaimana menurut pendapat sang
pendeta,
menjawablah sang pendeta agung.
serta menasehati,
dengan halus serta manis.

"Ya, yang terhormat seri paduka raja,
apa yang dipilcirkan lagi,
tersebut dalam sastra,
terhadap orang yangberbuat dosa,
walau pendeta tua sekalipun
tak akan bagaimana baginda,
sang raja, bila membunuhnya.

"Sebab (baginda) mementingkan
kesejahteraan negara,
serta sebagai pelindung sastra
(hukum),
teguh menjalankan kewajiban,
menginginkan terlaksananya
Yamllbrata.
menghilangkan kecemaran bumi,
mengakhiri kehidupan,
dengan membunuhnya.

"Menjawablah para mentt.ci bersamasama,
sebagai pemuka yalah rakrian patih,
menghormati dengan mencakupkan
tangan,
daulat tuanku raja,
betul kata beUau sang pendeta,
patut dibunuh,
sebagai hukuman bagi kejahatan
yang tergolong sadtatayi

13 [ 13 ]27. Ndan seri narapati aseng brahma cita,
ri tan hananing malih,
bedaning pinatian,
dadi sira andikaha,
patih mangke dandani,
kon matiana,
punang duta sinelir.


28 . Sira rakrian patih asawur sembah,
nuhuri jeng bupati,
tumuli ya pangarah,
ndan sira seri narendra,
sampun sinalah tinangkil,
kuneng ring enjang,
prapta wadwa sinelir.


29. Adenden ing manguntur katekeng marga,
pasar sela atitip,
atiang senjata,
tiga pinakadinia,
weruh ing pasang indra warih,
kertas sasaya,
durung kasor ingjurit,


30. Demung Dedokan tumenggung Akarakar,
apatih Gajah Lecing,
sampun asaniga,
sepacara ayuda,
umera adnyana nrepati,
solah awabawa,
kadi Mong amulirik.


Muka sang raja terlihat membayangkan rasa kemarahan,
oleh karena tidak ada lagi,
lain daripada dibunuh,
maka baginda berkata,
hai patih persiapkanlah sekarang,
suruhlah membunuhnya,
pilihlah utusan ke sana.


Beliau rakrian patih menjawab
sambil menyembah,
mengiakan perintah sang raja,
lalu mengumumkan,
adapun baginda raja,
telah selesai dihadap,
maka besoknya,
datanglah prajurit-prajurit yang dipilih.


Berjejal-jejal di halaman luar istana
sampai di jalan,
penuh sesak sampai di los-los pasar,
siap sedia dengan tenjata,
tiga orang sebagai pemukanya,
mahir dalam tipu muslihat,
serta aturan perang,
belum pemab kalah dalam peperangan.


Demung bernama/Dedokan tumenggung bernama Akarakar,
sang patih bemama Gajah Lecing,
telah siap sedia,
dengan perlengkapan perang,
tinggal menunggu perintah sang raja,
tingkah laku masing-masing,
seperti harimau mendelik. [ 14 ]31. Abrasimang wonten malih wawu prapta.
roro solah prajurit.
Sidura Wacana,
tan sah Ki Jayasuara,
adastar petak pinintir,
sekar wari bang,
simping marga kinulit.


32. Sigra rakrian patih aningkah sanjata,
sarwa amemekasi,
he kong sawaragang,
sidandakan sang nata.
ni rangda mangke patiani ,
mara ing Jirah ,
desania ambicari .


33. Punang duta sumawur henggal kabangan ,
sandika seri bupati,
tan wenang langgana,
yadin sebaya durga,
pira saktining bicara,
mandareng rangda ,
sang hyang towi patiani.


34. Yadin humeta ring guhwa gawara ,
jurang peringga arupit,
masa tan kasida pejah,
ni Rangdeng Jirah,
atakeramang kasaktin,
yan hana ngubda,


Berkilauan, ada lagi yang haru datang,
dua orang, keduanya dengan perilaku prajurit.
yaitu Sidura Wacana.
tak lain yang satu lagi yalah Ki Jayasuara.
berdestar putih di mana terselip.
bunga pucuk (kembang sepatu) merah ,
(serta) berbapang kulit binatang.


Segera rakrian patih mempersiapkan senjata ,
serta memberi pesan-pesan.
hai kalian para prajurit.
laksanakanlah hukuman sang raja.
sekarang bunuhlah Ki Rangda,
pergilah ke Jirah,
desanya (karena dia) menyihir.


Pada utusan segara menjawab
(dengan muka) kemerah-merahan,
hamba menurut perintah seri raja,
tak patut hamba melanggarnya,
walaupun musuh sangat berbahaya,
seberapa sih kesaktian seorang penyihir,
apalagi seorang janda (rangda),
dewa sekalipun akan hamba bunuh.


Walau mencari dalam gua. yang luas
lagi dalam sekalipun,
atau pun di jurang sempit dan sulit,
tak mungkin tak mampu membunuhnya,
dia si Rangda di Jirah,
(dalam) mengadu kesaktian,
bila ada yang menyembunyikan,

15 [ 15 ]rohengkua taker getih.


35. Suka rakrian patih sunggeming bala,
paniscayeng kesaktian,
sama diusdaran,
harta muang sarwa wastra,
wus winekasaning gati,
ndan lumampah,
setaming amamengi.


36. Apajeng gemiring laku nikang senjata,
selahnia ngersai hati,
kinombalan rakta,
waja was ingasahan,
agar kasenusa rawi,
tan beninga haneng margi,


37 Kawama sira sang hana ring Jirah,
anglila-lila mingit,
won ten sering pudak,
sepacara angraras,
akueh punang sarwa sari,
kinuseng berangga,
ngerengreng angingingin.


38. Luir amumunga ragi hunining kumbang,
sumbali angenaki,
mangkin ngerasa uyang,
selah semu sungkawa,


hamba akan tempur habis-habisan.


Suka hati rakrian patih akan kesanggupan para prajurit,
(serta) pemyataan kesaktiannya,
semuanya diberi bagian,
harta-benda serta bermacam-macam pakaian,
setelah minta izin untuk berangkat,
maka mereka berangkatlah,
dengan cara menyamar.


Ibarat payung, miring-miring kelihatannya senjata mereka,
keadaannya menakutkan hati,
dengan jumbai merah,
bajanya bam selesai diasah,
(seperti) gembira disinari matahari,
tak diceritakan keadaan mereka di dalam perjalanan.


Diceritakan (sekarang) beliau yang ada di Jirah,
melipur hatinya yang susah,
tengah berada di bawah pohon pudak,
keadaannya (di sana) menarik hati,
banyak kembang aneka warna,
dikerumuni kumbang,
mendenging-denging menyenangkan hati.


Bagaikan membangkitkan nafsu
asmara bunyi kumbang-kumbang itu,
sepatutnya menambah kesenangan hati,
(kenyataannya) semakin menyebabkan rasa tak tentram,
tingkah laku maupun wajah membayangkan kesedihan, [ 16 ]linila tan kanan lali,
sakuehing sisia,
pawongan amepeki.


39. Larung, Weksina, Mahisawadana,
tan adoh Lenda Lendi,
Gandi, Jaran Guyang,
sama wus atata,
rap tan hana wania mukemik,
katareng tingal,
sumeng ira ring hati.


40. Dadi sira aken angundang
putrinira,
sang kadi Sita rasmi,
nitia medangi tuas,
suguma patibrata,
swapatra Ratna Nanggali,
kebeking raras,
anerang hayu sabumi.


41. Pasancayaning manis amunah
gula,
sasolah angrimangi,

roma atab apanjang,
arja gelung papangkas,
geseng ning lati amanis,
gatra gumiwang,
kadi mas wus singangling.


42. Sampun prapta sang kadi
Semaradayita,
akueh pari carlka ngiring,


dihibur-lubur tak kunjung terlupakan,
sekalian murid-muridnya,
serta dayang-dayang menghadapnya.


Larung, Weksirsa dan Mahisawadana,
tak menjauh (turut) juga si Lenda
Lendi,
Gandi dan Jaran Guyang,
semuanya sudah menurut aturan,
takut tak ada berani berkata,
semuanya membayangkan,
kesedihan di hatinya.


Lalu dia menyuruh memanggil
putrinya,
yang bagaikan dewi Sita yang
cantik,
selalu memikat hati,
yang sangat baik dan setia,
yang bemama Ratna Manggali,
sempurna kecantikannya,
mengalahkan segala kecantikan
di dunia.


Kumpulan manisnya mengalahkan
gula,
segala tingkah-lakunya membangkitkan nafsu asmara,
rambutnya lebat dan panjang,
digelung sangat indahnya,
senyum bibimya terlihat manis,
tubuhnya bak bercahaya,
seperti emas baru selesai dibersihkan.


Telah tiba sang putri yang labana
istri ung hyang Semara,
banyak dayang-dayang yang mengiringkan,

17 [ 17 ]kuneng sira Rangda,
gipih turuning natar,
merana ya rnasku nini,
sama lungguha,
sang diah arsa wot sari,


43. Tan sah asanding lawan swaatmajanira,
tan mari angarih-arih,
ketang tan sihing hyang,
heman durung saaras,
duh mas mirah ingsun nini,
punapa sira,
pinda pindaning wingit.


44. Kaya tan ing lagi-lagi polah ira,
wadana amenesi,
sampun kudu tuan,
atingkah mopewasa,
pilih punika andadi,
luruning warsa,
sang diah umatur aris.


45. Singgih kepi lunghu mahasing samudra,
muksa ikang sinjang,
winuating bayu bajra,
anuksama ring mega putih,
tan pawang matra,
wasanan nikang tapih,


46. Prapta ring umah kaping
rua nikang wigna,
tan duana gagak prapti,
lumincak ing natar,
angunjal denia ngutah,


maka sang Rangda,
segera turun ke halaman,
kernarilah anakku sayang,
sarna-sama duduk,
sang putri lalu menghaturkan sembah.


Lalu duduklah bersanding bersama putrinya,
tak henti-hentinya merayu-rayu ,
(anakku) terhitung bemasib sial,
kasihan belum bertemu jodoh,
oh anakku jan tung hatiku,
apa gerangan,
yang menyebabkan sedih.


Tidak seperti yang sudah-sudah
tingkah lakumu,
wajahmu murung,
janganlah anakku,
melakukan puasa,
malah hal itu menyebabkan,
suramnya warna dirimu,
sang putri lalu berkata.


Ya ibu, hamba mimpi pergi ke laut,
(tiba-tiba terasa) hilang kain dalamku,
diterbangkan angin deras,
lenyap di an tara awan putih,
tak terlihat samasekali ,
di mana tempat kain dalam itu .
Sampai di rumah untuk kedua
kalinya tertimpa bahaya,
sekonyong-konyong datang gagak,
berjalan meloncat-loncat di halaman,
setiap saat dia memuntahkan,

18 [ 18 ]suanita atemah apui,

yangende perepanca,

semang-semang sawengi,


47. Duh nini kalingane hana suwapana,

paran kejar deniki,

pilih durmanggala,

sahenjang perayascita,

malar tan kena ring sarik,

henti aangsaya nira,

Ratna Manggali.


48. Semu mangu ni Rangda kangen ing anak,

sawetning asamu wingit,

luir madapa layuan,

muang wenesing wadana,

henti marma rasang hati,

jaya amuksama,

ri tungtunging pangaksi.


49. Tan mari winangwang seng nikang wayawa,

paniscaya ring hati,

baya apti karma,

luir cataka angarang,

amerih titisaning riris,

mene ri kapan,

sang diah sida alaki.


50. Kadadawan denira angucap-ucap,

malah siram hyang rawi,

tunggang acala,


darah yang berubah menjadi api,

itulah yang menyebabkan kesengsaraan,

berdebar hati sepanjang malam.


Oh, putriku ada bermimpi,

apa gerangan maknanya ini,

kiranya alamat tidak baik,

baiklah besok diadakan upacara penyuciannya,

supaya tidak kena penyakit,

hapuskanlah kerisauanmu,

oh anakku Ratna Manggali.


Termangu-mangu si Rangda memikirkan anaknya,

oleh karena berwajah sedih,

(maka terlihat) seperti daun muda yang layu,

dan muramnya muka,

serta semua kesedihan hatinya,

laksana menghilang,

di ujung pandangan matanya.


Terbayang pada warna tubuhnya,

kenyataan yang terkandung di hatinya,

kiranya yang diharap tak akan kesampaian,

bagaikan burung elang yang kesedihan,

mengharapkan turunnya hujan,

kapankah kiranya,

sang putri mendapat suami.


Berkepanjangan dia berucap-ucap!

malahan telah terbenam sang surya,

melangkahi gunung,


19 [ 19 ] grah amandra-mandra,

luir amungu nguling,

wus aluaran,

sakehing wong anangkil.


51. Semu mangu-mangu sakuehing tumingal,

kocapa madya ratri,

masangaming anidra,

asepi punang kala,

ni Rangda sampun aguling,

enak anidra,

tumakep punang semiri,


52. Sama ngungsi wasnanira soang-soang,

mung mari salit,

atunggu ing natar,

enak denira anidra,

tuhu pangaduning Widi,

henengekana,

punang duta wus prapti.


53. Mangke adan aningkah punang sanjata,

malah ebek ing margi,

sumaput ing pura,

sampun pineri wenca,

demung, tumenggung apatih,

jumugeng harsa,

pangastrian kang inengsi.


54. Kabinasa tinon sepacara natar,

abatur sela kiris,

tinerap bajra lepa,


guruh yang terdengar samar-samar,

laksana memperingatkan untuk pergi tidur,

telah bubar,

sekalian orang yang menghadap.


Termangu-mangu semua yang melihatnya,

diceritakan pada tengah malam,

pada waktu orang-orang tidur,

sepi keadaan waktu itu,

si Rangda sudah tidur pula,

lelap tidurnya,

tirainya ditutupkan.


Semua menuju tempat tidurnya

masing-masing,

tetapi pelayan yang kecil,

yang menunggu di halaman,

enak tidurnya,

sungguh takdir Tuhan,

kita tinggalkan tentang hal itu,

para utusan telah datang.


Sekarang baiklah mempersiapkan senjata,

malah penuh sampai di jalan,

mengurung rumah (ni Rangda),

sudah terpencar-pencar,

demung, tumenggung dan patih,

mendudu maju dengan hati yang bulat,

halaman rumah yang dituju.


Sangat menarik kelihatannya

keadaan halaman,

dengan batur batu yang halus,

dilapisi dengan bajra lepa (semacam semen pelindung),

20 [ 20 ]tiningkah sarwa sukar,

pakekesing greha aradin,

sama ginata,

punang duara akonci.


55. Kanggek citania kan apatih amulat,

anolih sarwi angling,

yayi rasanana,

akonci punang duara,

tambaknia tan wenang pinik,

mapa dayanta,

maran sidaning gati.


56. Ken demung, asawuran nenggah agampang,

paran ingucap malih,

gesang pura nira,

amangun kataragal,

ni Rangda yan sampun mijil,

perih patianana,

pira kesaktianing setri.


57. Taha denta masangaken kira-kira,

apan kasumbung sakti,

weruh amaya-maya,

weruh yan katekan baya,

hilang ika amerih urip,

nusup ing paran,

ratri henti inungsi.


58. Ken tumenggung sumawur wonten sopaya,

parihen sekarang aris,


dengan bunga-bunganya teratur,

aturan rumahnya bersih,

semua yang didatangi,

pintu-pintunya terkunci.


Kaget serta terhenyak hati sang patih melihatnya,

menoleh sambil berkata,

dinda ketahuilah,

terkunci pintu-pintunya,

tembok-temboknya tak dapat dinaiki,

bagaimana akalmu,

supaya berhasil perjalanan.


Ken Demung menjawab mengatakan gampang,

apa yang perlu dibicarakan lagi,

bakar saja rumahnya,

supaya bangun dengan terkejut,

si Rangda bila sudah ke luar,

usahakan membunuhnya,

seberapa sih kesaktian wanita.


Tidak cocok tipu muslihatmu itu,

sebab termasyur kesaktiannya,

bisa melenyapkan dirinya dari pandangan orang lain,

tahu bila dirinya kedatangan bahaya,

bila dia menghilang, untuk menyelamatkan diri,

ke mana (kita) pergi,

malam begini arah mana (kita) tuju.


Ken tumenggung menjawab mengatakan ada akal,

lakukan dengan tipu muslihat yang halus,

21 [ 21 ] kadi umot mina.

umungguh ing talaga,

weh racun pinaka bibit.

pejah sadina,

ken patih hewa angapi,


59. Yayi kalih kaya dudu punang naya,

rimbit akueh tinolih.

tinahang swacita,

setaning ambaranang,

urem mangke garobohi,

rohaning tilam,

reb griwania patiani.


60. Sama mangke yan wus pejah sira Rangda,

mastakania cinangking,

pawat marang Daha,

katurang seri narendra,

muang sakuehing rang nagari,

malar siweruha,

rupaning angdani gering.


61. Payu tang ujar mangke adan atingkah,

makadi ken apatih,

asemadi saksana.

umangang tikang duara,

angligas paduning samir,

ndan sira Rangda,

enak sira aguling.


62. Tanduwa sigra manjing tumerap ing sayana,

sahasa muak tan jerih,


seperti menangkap ikan,

yang ada di telaga,

berikan racun sebagai umpan,

mati dalam sehari,

sang patil kurang setuju.


Adikku berdua kiranya itu bukan akal yang tepat,

rumit banyak perlu diperhitungkan,

menurut hematku,

ibarat berburu,

rebut sekarang juga serta rusakkan,

di tempat tidurnya,

potong lehernya untuk membunuhnya.


Bersama-sama bila telah mati si Rangda,

kepalanya dijinjing,

dibawa ke Daha,

dihaturkan kepada sang raja,

dan semua orang di kota,

supaya mengetahui,

rupa orang yang menyebabkan penyakit.


Selesaikan kata-kata (perundingan)

baiklah sekarang bertindak,

sebagai pemuka yalah sang patih,

segera memusatkan pikiran,

terbukalah pintunya,

serta terbuka pula tirainya,

adapun si Rangda,

dengan lelap dia tidur.


Lalu segera masuk menyerbu ke tempat tidur,

dengan sekuat tenaga menusuk tak merasa takut,


22 [ 22 ]waneh angreb griwa,
Ian desaken ing watuan,
awungu sira mengkeki,
muliar tang soca,
sumirat ikang apai,


63. Katara angarab wijil ing sarira,
tinut ing sarwa sandi,
luir giri pawaka,
ngoreb sumlaplap,
punang duta was basai,
sesaning pejah,
bubar adawut ajerih.


64. Pesamburat ing henu tan weruhing paran,
pating purug-puruging,
tinuting pawaka,
sangsaya kueh pejah,
hana kampeh ing nagari,
ndan sira Rangda,
karura warna anjerihi.


65. Gambira hirungmelua tutuk umangang,
salitning siung alungid,
romane agimbal,
tumikal kadi mega,
lumeng ning netra bang kalih,
luir surya kembar,
asinang tekang burni,


66. Gurnita angerak luir kilat ing cetramasa,
jihwa malad angresi,
lumimbekang tangan,
mider angulap-ulap,


yang lainnya memotong lehernya,
serta menghimpitkannya ke pinggir balai-balai,
terbangunlah dia sekarang,
berdenyar-denyar matanya,
bercipratan apinya.


Sangat menakutkan, berkobar-kobar api keluar dari badannya,
menurut setiap persendiannya,
bagaikan gunung api,
membakar menjilat-jilat,
utusan-utusan (raja) banyak mati,
sisa dari yang mati,
bubar cerai-berai ketakutan.


Cerai-berai di jalan tak tabu arab yang dituju,
tunggang-langgang,
diikuti oleh api.
bertambah banyak yang mati,
ada yang sampai di kota,
adapun si Rangda,
rupanya seram menakutkan.


Hidung besar serta mulutnya lebar terbuka,
gesekan taringnya tajam,
rambutnya lebat,
ikal seperti mendung,
cahaya matanya keduanya merah,
bagaikan surya kembar,
teranglah bumi ini.


Berteriak keras seperti kilat (petir)
pada bulan Cetra (Maret - April),
lidah menjulur mengerikan,
gerak tangannya,
menuju ke aegala arab sambil
memanggil-manggil,

23 [ 23 ]angrarah sesaning mati,
angaweh sisia,
saksana sarni prapti.


67. Weksirsa Larung Weisa Wadana,
tumut ing Lenda lendi,
Gandi Jaran Guyang,
kabeh sampun atata,
prasama anenggah wisti,
si Rangda ngucap,
manning anuruhi.


68. Tinghali wus anatar tekang marga,
sirebu amiweruhi,
kaparagang dusta,
jag hana ring pamerenan,
sahasa teka matiani,
angrab griwa,
kagiat dadi atangi.


69. Mangke wus sima sahana nikang dusta,
tari hana wania apulih,
nghing katahang cita,
sang azawa rat,
paran luputa rabibi,
kinen matiana,
baya irsia ambek juti,


70. Kadi weruha bibi ri tan sukanira,
wetning aderuwe putri,
hana kapti nira,
ri tan sasameng wangsa,
iku marmaning aruntik,


mencari sisa dari yang mati,
melnanggil murid-muridnya,
segera semua datang.


Weksirsa, Larung, Weisa Wadana,
turut juga Lenda Iendi,
Gandi dan Jaran Guyang,
semua sudah ada tempatnya,
sarna-sama me atakan tertimpa kesusahan,
si Rangda berkata,
makanya memanggil.


Lihatlah setelah di halaman terus di jalan.
ibu memberitahukan,
(bahwasanya ibu) kedatangan musuh,
tiba-tiba telah ada di ternpat tidur,
serta merta heodak membuouh,
memotong leher,
terkejut (ibu) lalu terbangun.


Sekarang telah lenyap semua musuh,
tak ada yang berani kembali,
tetapi menurut hemat ibu,
raja yang memerintah negara,
mustahil ihu diluputkan,
(dari) perintahnya untuk membunuh,
karena iri serta niat jahatnya.


Bibi mengetahui sebabnya baginda tidak suka,
yaitu karena (bibi) punya anak,
ada niat baginda,
oleh karena .tidak sama wangsa,
itu menyebabkan marahnya,

24 [ 24 ]sirebunira,
mangke sama asung runtik.


71. Anghing karep ra bibi amisan-misan,
tumurun ing awesi,
mangke inganania,
leburaning swarajia,
gempung atemahan asti,
muah, peredana,
ri tan hannaning bumi.


72. Sakuehing sisia asemu wirang,
singgih paduka padmi,
wonten kayandika,
mangke sedang dadaha,
ri tekaning baya puti,
pang guruyaga,
cihnaning sisia bakti,


73. Uren mangke nini mara ing kahyangan,
mastungkara batari,
aminta nugraha,
parelinaning buana,
daran mangke sira nini,
nara ing setra,
Gandamayu inongsi.


74. Lastaria lumampah iniringing sisia,
tan koning haneng margi,
katon tang pancaka,
ati durgana wiar,
pasamuaning wong aneresti ,


adapun ibu,
sekarang sama-sama marah.


Tetapi bibi hendak menghadapinya secara habis-habisan.
turun ke neraka,
sekaranglah saatnya,
hancurnya kerajaan,
rusak menjadi abu,
kembali kiamat,
yaitu tak adanya bumi.


Semua muridnya membayangkan
rasa berbela bakti,
ya, yang terhormat ibuku,
berkenaan dengan kata-kata ibu,
sekarang hamba wajib menuruti,
pada waktu kedatangan bahaya kematian,
sebagai persembahan kepada guru,
sebagai bukti murid yang bakti.


Baiklah sekarang ibu pergi ke kahyangan (pura),
memuja batari (dewi),
memohon izin,
demi hancurnya dunia,
marilah berangkat sekarang,
pergi ke pekuburan,
(pekuburan) Gandamayu yang dituju.


Cepat jalannya diiring oleh murid-muridnya,
tak diceritakan di jalan,
maka terlihatlah pekuburan,
amat menyerarnkan dan luas,
tempat berkumpulnya orang yang menyihir,

25 [ 25 ]akueh tang wereksa,
agung-agung atitib.


75.Kamalagi rangra bage lawan kutat,
perih ambulu waringin,
kunapa atunah,
wak nanah narewata,
tinubing baya asamit,
luaning salmalia,
gumerengem luir amedi,


76.Sineranging dok sewalak muni anganggiat,
yaya gubat tinarik,
taulana agelar,
kikis larung atunah,
suket dening ancak saji,
tumper ing papan,
angde res giri-giri.


77. Anjerah luduhing wastra lan karang sirah,
kalasa payung runting,
apagar bandega,
sirara kueh agelar,
suket dening basa gundi,
lan manis kapat,
tajem aringi-ringi.


78. Jumujug sira heneng tengahing setra,
ri ser ning kayu putih,
pinarek i sisia,
sira Rangda angucap,


banyak pohon-pohonnya,
besar-besar serta rapat.


Pohon asam, kepuh, bage dan kutat,
ancak, bunut dan beringin,
mayat bergelimpangan,
busuk serta terus mengeluarkan nanah,
ditiup angin, busuk baunya,
gua pada pohon kepuh,
bergaung menakutkan.


Dibarengi oleh bunyi burung hantu yang mengagetkan,
bagaikan gendang dipukul,

26 tulang-tulang berserakan,
kuburan dan usungan mayat bertumpuk-tumpuk,
penuh dengan ancak saji *)
sisa-sia papan yang dibakar,
menyebabkan ngeri dan takut.


Berserakan kain-kain yang usang dan bantal,
tikar, payung yang robek-robek,
berpagar bandega,
sampah banyak berserakan,
rapat dengan pohon basa, gundi,
dan manis kapat,
tajam dan runcing-runcing.


Dia menuju langsung ke tengah tengah pekuburan,
di bawah kayu putih,
di hadap oleh murid-muridnya,
si Rangda berkata,

  • ) Semacam pagar daripada bambu yang ujungnya runcing untuk memagari kuburan.


26 [ 26 ]duh nini angadeg kalih,
Larung Weksirsa,
hamet kunapa lari,


79. Amangun huti saha widi widana,
katur ing hyang berawi,
tumuli anembah sira,
sang inujaran,
sigra madeg analisir,
hamat kunapa,
sederan amilih-milih,


80. Katon sawa uryaning wawa binuang,
jalu rupa apekik,
irika tiningkaha,
samadi saksama,
ri parok ning sastra kalih,
mustining tiga,
weh bayu sabda urip ,


81. Kapungun-pungun atangi ikang sawa,
katon ratri anangis,
kadbutaning setra,
kumeter tekang angga,
anawe ring yayah bibi,
wawa lumumpat,
sinikep akaroni,


82. Winawa mereka kahananira Rangda,


hai anakku berdirilah berdua,
Larung dan Weksirsa,
ambil mayat dengan cepat.


Membuat upacara korban dan saji-sajian,
untuk dihaturkan kepada Betari Durga,
lalu menyembahlah mereka,
yang disuruh,
segera berdiri dan berjalan pelan-pelan,
mengambil mayat,
berkeliling memilih-milihi.


Terlihat mayat bekas baru dibuang,
mayat laki-laki tampan rupanya,
di sanalah dilaksanakannya,
sikap bersemadi, dengan segera,
berdasar penyatuan aksara suci yang dua.
panunggalan yang tiga .
(yaitu) memberikan tenaga, suara dan roh.


Setelah dipanggil-panggil mayat (yang telah hidup) itupun bangunlah,
(karena) terlihat gelap maka menangislah dia,
serta karena seramnya keadaan pekuburan,
gemetarlah tubuhnya,
memanggil-manggil ayah dan ibu,
baru melompat,
ditangkaplah dia oleh dua orang.


Dibawanya ke tempat si Rangda,


27 [ 27 ]kang sawa akrak anangis,
amuncul sarira,
kapetek ing butala,
ujara angasih-asih,
aminta jiwa,
waken manira singgih.


83. Daran umantuk nini sawatak sisia,
kinkinen punang huti,
sadara anembah,
sama adan lumampah,
saksana sira wus prapti,
haneng pagrahan,
kinon ingolah tumuli.


84. Sama weruh ri raciking darma caruban,
sotaning tameng gati,
sampun abiagata,
biatita sumanggraha,
widi widananing huti,
sapaniskara,
purna ring saji-saji.


85. Kuneng sira Rangda wus angrangsuk payas,
abasma cuda hati,
alenga suwenita,
paru tiningkah bapang,
agagelang limpa sawit,
usus apanjang,
tutud maka anting-anting.


86. Kerurakara lungha mara ing


mayat (yang telah hidup kembali) itu menangis dengan kerasnya,
menghempas-hempaskan dirinya,
ditekan ke tanah,
suaranya mohon belas kasihan,
mohon supaya dihidupi,
Lepaskanlah hamba.


Baiklah kita pulang, murid-muridku semua,
persiapkanlah upacara korban,
dengan hormatnya mereka menyembah,
baiklah kita berangkat bersama-sama,
segara mereka telah sampai,
di rumahnya,
lalu disuruh memasaknya.


mereka semua mahir dalam ramuan masak-memasak,
sebab semuanya pandai-pandai,
sudah semua datang,
segala masakan sudah selesai,
beserta segala saji-sajian,
segala sesuatunya,
sempurna pula saji-sajiannya.


Adapun si Rangda telah berhias,
dengan urna dibuat daripada hati,
berminyakan darah,
paru-paru dipakai sebagai bapang,
bergelung limpa, berselempang,
usus yang panjang,
jantung dipakai sebagai anting-anting.


Dengan rupa yang menakutkan


28 [ 28 ]kahyangan,
maka pengulu huti,
tinuntuning sisia,
wus perapta ring kahyangan,
Ginelaran ikang saji,
sampun atingkah,
mastungkara betari.


87. Singgih pukulun Batari Sang Hyang ning Eyang,
kinatwanganing bumi,
murtining aksara,
nindia ring sarwa hana,
wasitua ring sarwa dadi,
murtining tiga,
Hyang Durga Gangga Gori


88. Sueca tumurun hanglanglangi buana,
amertani kasiasih,
dawag tinghalana,
ni walu haneng Jirah.
umarak ring jeng Batari,
angaturana,
nara mangsa hasaji.


89. Tapwan pegat pengastawan nira Rangda,
angikik saka wuri,
kagiat sira Rangda,
nghing kataheng swacita.
Batari Hyang Bagawati,
katon angincang,
Kalika ametoni.


(dia) pergi ke kahyangan (pura)
sebagai pemuka upacara korban,
dituntun oleh murid-muridnya,
setelah sampai di kahyangan (bangunan suci),
maka dipersiapkanlah saji-sajiannya,
(sekarang) mulailah melakukan,
pemujaan kepada betari.


Ya yang mulia Betari Yang Maha Agung,
yang dipuja oleh dunia,
sebagai perwujudan aksara suci,
paling utama di antara segala yang ada,
yang berkuasa atas segala makhluk,
perwujudan dari yang tiga,
yaitu Dewi Durga, Gangga dan Gori.


Dengan sukacita turun menyaksikan dunia,
menghidupkan (membahagiakan) yang sengsara,
mohon disaksikan,
hamba janda dari Jirah,
yang menghadap paduka Betari,
menghaturkan,
sasajen dengan daging manusia.


Belum selesai ucap-ucap si Rangda,
tertawa terbahak-bahak dari belakang,
terkejutlah si Rangda,
tetapi terasa dalam hatinya,
Betari Hyang Bagewati,
terlihat mengelilingi,
Kalika kemudian datang.


29 [ 29 ]90. Kumeter separianta nikang parihyangan,
jumeleg duma aputih,
aputih apujeng-pujengan,
samaputaken ing tawang,
gumebyar-gebyar tang apui,
mandeg saksana,
les umijil Batari.


91. Katara warna mangang siung agasa ,
roma mekel amiwir,
lendahing nuraja,
winakul bobondolan,
mire sukunira kalih,
wastra sinjang,
sinurat sigar mangsi,


92. Mawelu socanira luir surya kembar,
tan pegat metu apui,
ri paduning netra,
umukrak sira atakuan,
ih walu ringJirah iki,
paran sinadia,
pepek sisia ngiring.


93. Singgih prapta kedah aneda jiwita,
sueca anugrahani,
tumpurring nagara,
atemah pembayeman,
lingira anugrahi,
haywa ring tengah,
pinggiring desa henti.


Bergetar seantero wilayah bangunan suci itu,
muncullah membubung tinggi asap putih,
putih serta berputar-putar,
menyelubungi awan,
berkobar-kobarlah apinya,
kemudian terhenti seketika,
tiba-tiba keluarlah Betari.


Menakutkan wamanya dengan mulutnya ternganga serta taringnya bergesekan,
rambutnya ikal terurai,
susunya yang besar tergantung,
tak ubahnya seperti bakul,
miring kedua kakinya,
kain serta kain dalamnya,
dihiasai dengan motif sigar mangsi.


Terbelalak matanya bagaikan surya kembar,
tak putus-putusnya keluar api,
dari antara kedua matanya,
dengan suara keras dia bertanya,
hai janda dari Jirah ini,
apa kehendakmu,
sekalian muridmu mengikuti.


Adapun (maksud)/kedatangan
(hamba) yalah mohon ijin untuk mencabut nyawa,
sudilah (Betari) mengizinkan,
timbulnya wabah di negara,
supaya menjadi (seperti) pekuburan,
sabda beliau mengizinkan,
jangan masuk ke tengah,
habiskanlah di desa-desa bagian pinggir.


30 [ 30 ]Gaksana sira muksa miserah ing tawang,
sira Rangda awengis,
katahang swacita.
ri tan sidaning manah, angadeg mamurat-marit,
amisan-misan.
sisia sama tinari,


95 . Tulusaken sih ta haywa iman-iman,
yasani sira bibi,
kesaktianing ulah,
dagdi ikang nagara,
maran atemahan asti,
tekeng ratunia,
pususen perih patiani,


96. Mangkin garjita punang sawatak sisia,
tumuli amit,
agelis lungha nyatur desa,
sama asalin bawa,
purwa si Larung metoni,
aningkab wastra,
tumonga asemadi,


97. Asalah gelung anglimba aken hasta,
netra sangkaning apui,
amesat anggan tawang,
rep dungkul sing kongkulan,
angidul lakunia Lendi,
angirab roma,
umure tekang pipi.


Seketika beliau lenyap menunggal di angkasa,
si Rangda marah karena kecewa,
terasa dalam hatinya,
bahwasanya maksudnya tak terpenuhi,
berdiri serta berteriak-teriak,
(dia) ingin membunuh,
semua muridnya diberitahu.


Teruskanlah rasa baktimu jangan setengah-setengah,
belalah bibimu ini,
(dengan) perbuatan menurut kesaktian (masing-masing),
bakarlah negara,
supaya menjadi abu,
sampai rajanya,
remas-remas sampai mati.


Bertambah-tambah senangnya sekalian muridnya,
lalu minta permisi,
segera pergi ke keempat arah,
masing-masing berganti rupa,
si Larung pergi ke Timur,
mengangkat kainnya,
menengadah bersemedi.


Menguraikan rambut serta menari,
dari matanya keluar api,
membubung ke angkasa,
tunduk ketakutan segala sesuatu yang terlewati di atasnya,
ke Selatan adalah jalannya si Lendi,
menguraikan rambut,
terurai sampai di pipi.


31 [ 31 ]98. Mulirak gambira du tejaning netra,
amincang amerigijik,
aningset basahan,
kaputeran ping tiga,
selahnia angresi hati,
ateken madia,
medunia temah apui.


99. Wara Sirsa nguluan asalin bawa,
selahnia anjerihi,
muliar ikang netra,
tumindak akanjaran,
romania arniwir-miwir,
jihwania malad,
mulisad tekeng siti,


100. Garjita ngalor lakunika si Lenda,
roma umiring siti,
numungsang ikang muka,
alaku laku dada,
kumedal kang suku kalih,
aduduan-duduan,
lakunia pada angeresi,


101. Sira Rangda maka panitih ing sira Guyang kinanti,
atemahan aswa,
jihwanika umaled,
anitir swatania bisir,
sigra tinunggang,
umesat cita garni.


102. Murub dilahing apui yaya perelaya,
asinang tekang burni,


Berkobar-kobar seperti kegirangan
cahaya merah tua matanya,
berkeliling berjingkat,
mengangkat kainnya,
berputar-putar tiga kali,
tingkah lakunya menakutkan,
bertolak pinggang,
lidahnya berubap jadi api.


Wara Siran ke Barat berganti rupa,
tingkah lakunya menakutkan,
berdenyar-denyar matanya,
melangkah menari-nari,
rambutnya terurai,
Lidahnya terjulur,
terjuntai sampai di tanah.


Dengan senangnya pergi ke Utara si Lenda,
rambutnya menyapu tanah,
kepalanya mengarah ke bawah,
berjalan dengan dadanya,
menggerak-gerakkan kedua kakinya,
secara silih berganti,
tingkah lakunya sama-sama menakutkan.


Si Rangda berada di tengah,
si Guyang diajiknya,
berwujud kuda,
lidahnya terjulur,
sering berbunyi dengan ramai,
segara ditunggangi,
lari cepat secepat pikiran.


Berkobar nyala apinya seperti dunia akan kiamat,
panas seperti digoreng rasanya bumi,


32 [ 32 ]angalor angetan,
angidul anguluana,
surnirat-sirat apui,
len aputeran,
yaya andaru weresti.

ke utara ke timur,
ke selatan ke barat,
terpencar-pencar apinya,
ada lagi berputar-putar,
bagai hujan kembang api.

103. Uminduhur limpad haneng lamad-lamad,
rnangkin kagiri-giri,
sasering akasa,
sisiane burni cara,
aneka warna anjerihi,
nusuping desa,
silania ngusak-asik.

Membubung terus nampai tembus ke awan,
makin ketakutan,
sewilayah di bawah langit,
seisi burni yang bergerak,
segala macam yang menakutkan,
masuk ke desa-desa,
kelakuannya mengusak-asik.

104. Hanan Sida Malung katarogra rupa,
metta ngagus musisil
medania lkamecap,
ngakup-up kumatak,
mederan umahe medi,
asing tumingal,
kagiat atemah pati.

Keadaannya Sida Matting denga rupa
amat menakutkan,
galak serta memencongkan mulutnya,
keringatnya membasahi tubuh,
capluk-capluk giginya berdetak,
berkeliling sengaja menyihir,
siapa yang melihat,
terkejut sertajadi mati (tiba-tiba).


105. Waneh karuag agung anguger angunggah,
deretania rnatu apui,
luir surya kalangan,
milenging rnatar,
asing daknia kapati,
sinerang ing meregan,
dapur harep abanting.

Yang lain lagi kerb au besar serta tinggi,
matanya keluar api,
bagai surya dengan lingkaran
pelanginya.
mundar-mandir di halaman,
setiap yang dilihatnya akan mati,
seperti harimau,
galak hendak membanting.


106. Wonten malih kerura atemahan be luang,
selayar helamia kalih,
mesat angpsana,


Ada lagi yang buas menjadi anjing tanah,
mengembangkan kedua sayapnya,
terbang dengan cepatnya ke udara,

33 [ 33 ]kocapa sing kongkulan,
lara weteng anglu girih,
gumigil warang,
tan kena ring usadi,


107. Atarawuhan kang wong tulung tinulungan,
kiwalian sigra prapti,
amawa dipayat,
lumaku sarwi amantra,
waya peregusa ademit,
riharepania,
mututung nicip-nicip.


108. Kagiat kawus malayu atinggal,
di paone hana wong istri,
amipis osada,
hana ngerong siwa duara,
murca anglendah ing siti,
kumejet-kejet,
waneh kedadak mati.


109. Kares-res winong wong salawang-lawang,
pependemana titip,
tan eka sarana,
waneh ring marga-marga,
sama kinenan piranti,
kawahan suka,
sawataking bicari.


110. Tara sona kresna lemuh


konon segala yang terlewati di atasnya,
sakit perut serta muntah-muntah,
sakit gemetar,
tak dapat diobati.


Berdatangan orang-orang yang menolong serta memerlukan pertolongan,
dukunpun segera datang,
membawa lampu,
berjalan sambil mengucapkan mantra,
ada kera kecil,
di mukanya,
memoncongkan bibir merta mencicip-cicip.


Terkejut kalah lalu lari meninggalkan,
di dapurnya ada orang wanita,
melumat obat,
ada menyihir ubun-ubun,
semaput terkapar di tanah,
berkejat-kejat,
yang lain tiba-tiba mati.


Ngeri orang-orang setiap rumah,
benda-benda sihir yang ditanam banyak,
bermacam-macam jenis benda-benda sihir itu,
lain lagi yang di jalan-jalan,
semua dikenai sihir,
diresapi rasa girang,
sekalian para tukang sihir.


Anjing besar hitam serta gemuk


34 [ 34 ]umangang,
jihwa malad angresi,
anawaleng awan,
analisir aputeran,
won ten walian sareng kalih,
tekang angundang,
semu ras giri-girin.

ternganga,
lidahnya menjulur menakutkan,
membencanai di jalan,
cepat berputar-putar,
ada dukun dua orang,
mendatangi yang memanggil
merasa ngeri ketakutan.


111 . Kiwalian tumakuan ndi kuwun ta bapa,
toh lumaku rumihin,
tutut inajaran,
wiatara sangang tampak,
kiwalian saya muriring,
uluning awak,
gigir te kadi naris.

Si dukun bertanya di mana rumahmu pak,
bapak berjalan di muka ,
menurutilah yang disuruh,
kira-kira setelah berjalan sembilan
langkah,
si dukun semakin berdiri bulu
tengkuknya,
bagian atas badannya,
punggungnya terasa seperti
diiris-iris.

112. Kiwalian mangke ya angucap amerih siluman,
tan katon witning margi,
wera dening madia,
wawu tumeraping sela,
katon sona gung alengis,
netrania abang,
kiwalian merih kikincing.


Si dukun sekarang berkata menyembunyikan takutnya,
tak terlihat arahnya jalan,
(karena) mabuk disebabkan
(minum) minuman keras,
baru berjalan di batu,
terlihat anjing besar (bulunya
mengkilat) ibarat berminyak,
matanya merah,
si dukun segera memegang pinggang bagian belakang (orang yang
diajak).

113. Apudetan osian silih pekul madia,
tumiba kuseng siti,
kadgania abuncang,
kiwalian kiatetehan,
atangi-tangi tan polih,
akidat-kidat,

Berputar kacau karena saling
memegang pinggang (temannya),
(lalu) jatuh terduduk di tanah,
kerisnya terlempar,
si dukun tertindih,
berusaha bangun tak dapat,
terkejat-kejat,

35 [ 35 ]umetu kapacirit.

(sampai) mengeluarkan tahi.

114. Prapteng sona anungkap karwa dinilat pejah,
tan pangudili,
akandah ing marga,
muah ikang wang ing umah,
kakenan piranti,
buh busung barah,
cekehan angrigis.

Anjing itu datang meloncat keduanya dijilat sehingga mati,
tak dapat berbuat apa-apa,
terkapar di jalan,
dan orang-orang di rumah,
terkena sihir,
bengkak, busung serta panas,
batuk kering serta mengurus.

115. Semeg borok rumpuh sawanya angrangrang,
tan ana wang urnijil,
angepep ing umah,
linud ing nirahara,
tan pengan tekaning wisti,
yaya kinuca,
atusan punang mati.


Tubuh membengkak, borok, lumpuh, semaput rnerajalela,
tak ada orang keluar,
(melainkan) tinggal diam di
rumah,
lagi pula tidak makan,
tak putus-putusnya penyakit
datang,
seperti diremas-remas,
ratusan yang mati.


116. Amatak mantra nederan hana ring tengah,
tan lan nika Sigandi,
rehnia salah wastra,
angliga teken madia,
anulak baga ;lngukik,
angambung tangan,
nuding akweh angising.

Mengucapkan mentera berkeliling,
yang ada di tengah,
tidak lain yalah Sigandi,
oleh karena dia tak berkain,
telanjang bulat serta bertolak
pinggang,
memasukkan jarinya ke kemaluanserta berteriak,
(kemudian) membahui tangannya,
(terus) menuding {sehingga) banyak yang mencret.

117. Durbala kang wang erem amunas bara,
tan ketang kuehing mati,
tan keneng osada,


Sengsara orang-orang, suram
serta sangat kepanasan,
tak terhitung banyaknya yang
mati,
tak dapat diobati,

36 [ 36 ] tanda salawang-lawang, tan papagataneng margi., angusung sawa, luir wong pejah ka jurit.


118. Pirang dina kunang pamerat nikang baya, malah ebek ing margi, kunapa atunah, wuk nanak narewata, seregala akueh ambukti, wareg-waregan, anedet daging daging


119. Umung gumuruh panggagoleking gagak, sliweran luir dadali, amanggih lalaruan, anucuk-nucuk limpa, asiwa arebat bukti, asukan-sukan, wera anicip getih.


120. Akueh sawa abeh sawane atasak, durganda meng asamit, tinubing anila, sumar akuyeyengan, sinaranging laler atitip, uler ngelar, kagila kumaritip.


121. Kares-res perebawan nikang desa-desa,


tanda pada setiap rumah, tak putus-putusnya di jalan, (orang) mengusung mayat, bagai orang mati berperang.


Entah (sudah) berapa lama beratnya bahaya itu, malah telah penuh di jalan, mayat bertumpuk-tumpuk, busuk, nanah tak putus-putusnya, serigala banyak memakannya, sekenyang-kenyangnya, merobek daging-dagingnya.


Ramai gemuruh bunyi burung gagak, beterbangan bagai burung layang-layang, melihat laron, mematuk-matuk limpa, bercanda memperebutkan makanan, bersuka-sukaan, mabuk karena (kebanyakan) minum darah.


Banyak mayat yang menggembung kebusukan, berbau tak enak (yaitu) busuk serta amis, ditiup angin, tersebar ke mana-mana, disertai lalat bertumpuk-tumpuk, ulat memenuhinya, menjijikkan karena terus bergerak-gerak.


Sangat mengerikan keadaan desa semua,


37 [ 37 ]muah rikalaning wengi,
angalor angetan,
pangalupaning seregala,
sinaranging buta-buti,
hasasaraman,
hembeh kagiri-giri.


122. Pirang desaneng tepi atemah tegal,
wangnia pada amerih urip,
larut hanalasar,
umungsi mitra kadang,
atuntunan anak rabi,
saha gagawan,
sakuehing rana-reni.


123. Hana meteng uwus geneping wulanan,
angrasateng meh umijil,
tan wenang ineretan,
mungup-mungup kepak,
angrempang sandining margi,
kumejat-kejat,
luir amekasi urip,


124. Cipih jalunia atulung perih awak,
supta makta caraki,
mulingang tumingal,
yana serih-merih tulunga,
pilih wargana kapanggih,
suwe tan ama,


lebih-lebih lagi di waktu malam,
ke Utara dan ke Barat,
lolong serigala,
disertai oleh makhluk-makhluk jahat,
menari-nari bersuka ria,
bertambah-tambah menakutkan.


Entah berapa banyaknya desa di daerah perbatasan telah berubah menjadi tegal,
penghuninya pada menyelamatkan hidupnya,
mengungsi ke sana ke mari,
menuju sahabat ataupun keluarga,
menuntun (mengajak) anak dan istri,
serta barang-barang bawaan,
segala harta-miliknya.


Ada yang hamil telah cukup bulan (umur),
sakit-sakit terasa akan lahir,
tak dapat ditunda,
kepala bayinya telah tersembul keluar,
(tiba-tiba) jatuh terduduk di pertemuan jalan,
berkejat-kejat,
bagai akan melepas nyawa.


Repot suaminya menolong sendirian,
lupa membawa "anget-angetan” (bahan boreh),
menoleh melihat kanan-kiri,
ingin minta tolong,
kiranya keluarganya ditemui,
lama tak ada,


38 [ 38 ]dadi awetu tangis.


125. Sewaneh hana anuntun wang jalu wereda,
pati sundul gunigil,
wiwil denia angucap,
idu pasarawean,
hendi desa kang inunggsi,
putunia angucap,
menang hayma amukmik.


126. Akueh wang lumintang alantaran sawa,
kemul-kemul anangis,
lair siyoking hampuhan,
sambatnia amelas sharsa,
lahu tan sihing wii,
sigraha daridra,
samangke akueh mati.


127. Sangsaya lumra malah tekung nagara,
kadadak akueh mati,
kuneng ikang duta,
sampum prapta hanang nagara,
ndan seri narendra,
kadang sira tinangkil.


128. Arja wastra pik akampuh turanggana,
apinggel ira nguni,

akeris adikara,
alandaan kukusian,
hajejawi mirah adi,


maka keluarlah tangisnya."

Ada yang lain menuntun orang laki-laki tua,
terantuk sana-sini serta menggigil,
rewel dia berkata,
air wdahnya meleleh,
di mana tempat desa yang dituju,
cucunya berkata,
diam jangan cerewet."


Banyak orang lewat mengusung mayat,
berkudung serta menangis,
bagaikan bunyi ombak,
ucap-ucapannya mengibakan hati,
umat sangat tak dikasihi Tuhan,
menyakiti hamba yang miskin,
sekarang banyak yang mati."


Malah bertambah terus sampai ke kota,
banyak mati mendadak,
adapun tentang utusannya,
sudah sampai di kota,
adapun sang raja,
kebetulan sedang dihadap."


Kainnya bagus berprada serta
”kampuh” dengan motif bunga,
bergelang baginda dengan gelang
yang dulu-dulunya,
memakai keris yang bagus,
tangkai kerisnya ”kukusian”
berhiaskan permata mirah yang baik,


39 [ 39 ]dalima sarang,
kumeredap angulapi.


129. Asri sumpang ira sumanasa petak, jinebadan merik minging,
manggep polahira, tatan pangangge dastar,
balut ning deria amanis, luir sanghyang Darma,
kinatuanging bumi.


130. Apatih Kanuruhan muwang Arya Dyaksa,
Demung Tumenggung tan kari, makadi sang dwija,
tinampuha ning ujar,
singgih sang mahayati,
rasa-rasana,
lampahing duta nguni,


131. Pira kunang lawas ipun maring Jirah, singgih paduka aji, wetning dohing awan, durgana peringga jurang, mawi ika sepi ring margi,
ararian-rarian, marmania narantani.


132. Sira rakrian patih asawur sembah,


diselang-selingi mirah delima,
berkilauan menyilaukan.


Bunga di atas telinganya indah yaitu cempaka putih, berboreh yang sangat harum,
serasi keadaannya, tidak memakai destar,
pandangan matanya pantas dan manis, ibarat perwujudan betara Darma,
dipuja di dunia.


Patih Kanuruhan dan Arya Dyaksa, Demung dan Tumenggung tak ketinggalan, lebih-lebih lagi sang pendeta, yang diberi (diajak) berkata, ya yang terhormat pendeta agung,
rasa-rasanya, kepergian utusannya telah lama.


Entah telah berapa lama mereka di Jirah, ya yang terhormat paduka raja,
oleh karena jauhnya perjalanan,
sukar (penuh) semak belukar dan jurang, mungkin sepi dalam perjalanan,
(serta) berhenti-berhenti (melepaskan lelah), sehingga oleh karenanya lama.


Sang rakrian patih berkata sambil menyembah,


40 [ 40 ]tarka patik bera singgih,

manawa kegeringan,

pambelabaring baya,

akueh wadwa paduka aji,

mungsi nagara,

sawetning akueh mati.


133. Atuntunan anak rabi sagagawan,

apega seri bupati,

menggah sira akocap,

angranga punang werta,

kancit punang duta prapti,

marak sadara,

telangkup hatur bakti,


134. Singgih pukulun sang seri paduka nata,

hampunana mangkaki,

wiguna nirguna,

kinen lungha anduta,

mangke prapta kari urip,

wadua presama,

pejah tatan panggurit.


135. Duli basmi buta sesaning pejah,

pasamburating margi,

tinuting api,

sangsaya akueh pejah,

karuraning sabda amlingi,


menurut hemat hamba sang raja,

mungkin kesakitan,

karena tertimpa bahaya,

banyak rakyat paduka raja,

mengungsi ke kota,

serta oleh karena banyak yang mati.


Menuntun anak istri serta dengan barang-barang bawaan,

terhenyak hati sang raja,

(kemudian) dengan agak marah baginda berkata,

{ya aku) mendengar berita,

tiba-tiba utusannya datang,

mendekat sambil menundukan kepala,

mencakupkan tangan seraya menghaturkan bakti.


Ya yang mulia seri paduka raja,

hampunilah hamba ini,

yang bodoh serta tak berguna,

diperintahkan pergi jadi utusan,

kini datang masih hidup,

prajurit semua,

mati dengan tak sempat mengadakan perlawanan.


Terbakar hangus jadi abu, sisa dari yang mati,

berjalan (lari) cerai-berai,

dikejar oleh api,

itu sebabnya bertambah banyak yang mati,

teriakan kemarahan membisingkan telinga, [ 41 ]gora gurnita,

kumeter kang peretiwi,


136. Sampun sama tinata denikang duta,

ndan seri narepati,

rumasang cita,

akehing wadwa pejah,

paran temahing nagari,

dadi angucap,

bapa sang mahayati,


137. Katon manda bagia ritan sihaning hyang,

umanah murka derowi,

lumeburang jagat,

lungha angala-hala,

paran luwunging nagari,

apan batara,

nugraheng murka derowi,


138. Ndia ngenaki cita manggih wibawa,

yan tan sida sekapti,

amerih Kertaning rat,

nirua tang kawibawan.

luwung hanang wana giri,

asidan-sidan,

amangunaken kerti.


139. Pilih sida amanggih sudaning


"keras serta ribut-menakutkan,

bergetar (terasa) bumi ini.


Telah diceritakan semuanya oleh utusan itu,

adapun seri paduka raja,

berpikir-pikir dalam hati,

(karena) banyaknya prajurit yang mati,

betapa jadinya negeri nanti,

akhirnya berkata,

bapa sang pendeta agung.


Nyata kurang bahagia bila tidak dikasihani Tuhan,

oleh karena irinya orang-orang jahat,

menghancurkan negara,

pergi (membuat) kekacauan,

mana mungkin negara akan baik,

sebab (apalagi) betara,

memberkati orang-orang jahat dan pendengki,


Mustahil pikiran akan senang

dan mendapatkan kewibawaan,

bila tak tercapai yang diharapkan,

(yaitu) untuk mendapatkan ketentraman negara,

tak ada gunanya kewibawaan,

lebih baik tinggal di hutan,

bertapa,

melakukan semadi.


Kiranya berhasil mendapatkan [ 42 ]manah,

angling sira sang yati,

madura wacana,

singgih paramesuara,

tan simpang ling nikang aji,

sasuka duhka,

keramaning wang dumadi.


140. Apan pangdanira sanghyang jagat karta,

mandareng keding aji,

luputing duskerta,

pangligau Sang Hyang Sakra,

katekan sira durniti,

ndatan saswata,

mulus sihing Widi.


141. Abecik wangumen punang parayascita,

duluran puja wali,

makadi pahoman,

amanca bali kerasa,

turunaning Sang Hyang Widi,

saupakara,

sawidananing uti,

142. Maran sidaning gati hana

sih Sang Hyang, nugraha seri bupati,


kesucian hati,

berkata beliau sang pendeta,

manis suaranya,

ya yang mulia penguasa tertinggi (raja),

tidak salah kata-kata yang mulia raja,

susah dan senang,

adalah suratan nasib orang yang lahir ke dunia.


Sebab hal ini memang diadakan oleh pencipta dunia,

apalagi sebagai paduka raja,

(mana mungkin) luput dari hal-hal yang tak baik,

sebagai contoh, Sang Hyang Sakra,

juga tertimpa kesusahan,

tidak senang terus,

(tidak) selalu dikasihi Tuhan.


Lebih baik diadakan upacara penyucian,

disertai dengan pemujaan,

terutama api pemujaan,

serta upacara korban panca wali kerasa,

memohon turun Sang Hyang Widi,

(dengan) segala kelengkapan saji-sajian,

(atau) bagaimana semestinya

aturan upacara korban.


Mudah-mudahan segera turun

belas kasihan Tuhan,

menganugerahi yang mulia raja, [ 43 ]asung wara merta.

maka swastaning sarat.

mangguh sira seri bupati.

adan alingkah.

secining pura mijil.


143. Aterawuhan kang wong ramia abiagata.

mangunang pali-pali.

saha tatabuhan .

biatita sumanggraha,

purna takeng saji-saji,

ndan seri narendra,

mopewasatatangi,


144. Ndia hana durgana de sang subala wirya,

pangastulaning bumi,

ndan sang para dwija,

sampun sira amuja,

kukusing dupa merik ninging,

kriang ning genta,

angungkung anerang ali.


145. Seruta semerti wus hanuting patanganan,

Sang Hyang Siwa inisti,

ring anta hredaya,

tinuting pranaya,

marnener sautpeti atiti,


yaitu memberkahi dcngan kehidupan

yang baik (bahagia),

demi ketentraman seluruh negara.

maka setujulah baginda raja,

lalu bersiap-siap.

seisi istana dikeluarkan .


Berduyun-duyun orang-orang ramai berdatangan.

membuat segala perlengkapan saji-sajian,

disertai dengan bunyi-bunyian.

pendek kata jamuan ,

lengkap dengan saji-sajian,

adapun seri paduka raja,

berpuasa yaitu tak tidur-tidur.


Mana mungkin ada kerja yang berat

berat bagi seorang penguasa,

sebagai yang dipuja di dunia,

adapun para pendeta.

beliau telah memuja.

asap dupanya harus semerbak,

bunyi dari gentanya,

menarik hati ibarat bunyi lebah.


Ucapan mantra Weda dan Semerti

telah sesuai dengan mudra,

Sang Hyang Siwa yang dipuja,

dalam lubuk hati sanubari,

menurut gerak nafas,

(serta) tepat dengan utpati dan stiti. [ 44 ]jag haneng kunda,

sira Hyang Siwamurti.


146. Baswara sira telenging padmasana,

sinanggah dening apui,

sawacana ta sira,

duh bapa sang amuja,

mangke nimitaning wiadi,

para akena,

ri sang misesa bumi.


147. Muntab kerodenika walu haneng Jirah,

aputra sawiji,

kasumbung ing warna,

tan hana wong anamah,

ika mulania runtik,

nghing hana sira,

perihen pintaning urip


148. Tan len sira mpu yogiswara Baradah,

wonten ing Lemah Tulis,

kulawangsa Buda,

sakala sakia singha,

wus kertayasing kecapi,

ring Buda loka,

wijil ira inguni.


149. Yadian setan sira Sang Hyang Tripurusa,

wiakti tan mikarani,

mangka sumbunging hyang,

sira sang winarahan,


sekonyong-konyong telah ada tempat api pemujaan,

Beliau perwujudan Hyang Siwa.


Berkilauan beliau di tengah-tengah padmasana,

disangga oleh api,

bersabdalah beliau,

oh bapa yang memuja,

adapun yang menyebabkan sakit sekarang,

yang menimpa,

sang penguasa bumi.


Meledak marahnya janda di Jirah,

mempunyai anak seorang,

yang dibanggakan kecantikannya,

tak ada orang mengawini.

itulah merupakan pangkal kemarahannya,

tetapi ada seseorang,

yang patut dimintai tolong


Tak lain yalah beliau pendeta agung Mpu Baradah,

yang berdiam di Lemah Tulis,

tergolong pendeta Buda,

perwujudan Hakya Singha, (Buda)

telah mahir dalam ilmu bebatinan,

di Buda loka,

lahirnya beliau dahulu.


Walaupun disatukan beliau Sang Hyang Trimurti

sungguh tak mempan (terhadap si Rangda),

demikian keterangan Sang Hyang Siwa,

yang diberitahu, [ 45 ]uwus amuja hyang Widi,

telas perelina,

matur ri jang bupati,


150. Tinata kabeh ulih iraahoma,

suka seri narapati,

dadi apotusan,

mantri agagancangan,

maraha ring Lemah Tulis,

milet turangga,

akuah punang wong angiring.


151. Asepi tan hana wong liwating awan,

kebo sapi lumindih,

tan kombareng marga,

kuwu akeh atalang,

kubuan-kubuan nika sepi,

sok ayam wana,

anganggiat muni nitir.


152. Parapta ring tegal akeh punang pagagan,

palakunia abecik,

panurutnia panjang,

tiningkah wayang-wayang,

kumetak tinubing angin,

oreg tang kupak,

petung angipik-ipik.


153. Sumengka haneng gunung hana we asita,

rengatnia ngede kumicir,

ngembeng analaga,

ranjingania tut lwah,


berhenti memuja Tuhan,

setelah (Tuhan) tak nampak lagi,

maka berkatalah beliau kepada sang raja.


Diceritakan semuanya oleh beliau

hasil daripada pemujaan,

senanglah hati sang raja,

akhirnya dikirmlah utusan,

seorang mentri, untuk secepatnya,

pergi ke Lemah Tulis,

menunggang kuda,

banyak orang yang mengiringkan.


Sepi tak ada orang yang lewat di jalan,

banyak kerbau dan sapi,

tak diperhatikan di jalan-jalan,

desa banyak yang kosong,

kebun-kebun sepi,

tetapi ayam hutan,

mengagetkan bunyinya berulang-ulang,


Sampai di tegal banyak (terlihat) padi-ladang,

keadaannya baik,

deretannya panjang,

menuruti peri keadaan wayang,

gemertak ditiup angin,

goyang serta mengelompok,

bambu berderet-deret.


Mendaki gunung, ada air yang jernih,

mengalir dari celah yang besar,

berkumpul menelaga,

masuknya (mengalir) menuruti sungai, [ 46 ]panekasnia ne pasisi,

raneb patiania,

kecubung urang-aring.


154. Perumpung lan kamusu ajajar-jajar,

winileting wit sawit,

lumut alab-alab,

ganggang lan selutdara,

kumambang amiwir-miwir,

kueh sarwa mekar

berahmania angringring


155. Sandingnia tusan benar yaya sinipat,

kuweh hayumia ri tepi,

mukania candana,

tangguli muang campaka,

tanjung surastri kamuning,

asahan sekar,

sumar gandania marmerik.


156. Pira kunang desa pringga kinahasan,

prapta ring Lemah Tulis,

kahadang sang dwija,

wus sira amuja,

suteja agung alengis,

aguguntingan,

sipatakung alikit.


157. Acereng asekar kinalpika apasang,

atabikang rarawis,

airang gimbal,

janggut inganing dada,

tuhu wijiling awiati,


berakhirnya (muaranya) di tepi pantai,

lebat pohon peneduhnya,

kecubung dan urang-aring.


Gelagah dan bias (sejenis keladi) berjajar-jajar,

berbelit yang satu dengan lainnya,

lumut hijau-hijau,

ganggang dan kiambang,

kembang terurai (memenuhi permukaan air),

banyak berjenis-jenis bunga,

kumbangnya berdening-dening


Di sebelahnya pancuran yang lurus seperti disipat,

banyak kayu-kayuan di tepinya,

terutama cendana,

tengguli dan cempaka,

tanjung, surastri dan kembang kuning,

penuh (banyak) bunganya,

semerbak baunya sangat harum.


Entah berapa banyaknya desa

dan jurang dilalui,

sampailah di Lemah Tulis.

kebetulan sang pendeta,

selesai beliau memuja,

wajahnya cerah agung nampaknya serta rapi,

bercukur,

berkuris menarik hati.


Berwibawa dengan berbunga kalpika sepasang,

lebat kumisnya,

hitam serta panjang,

janggut sampai di dada,

sungguh pantas lahir dari ketiadaan, [ 47 ]selah swabawa.

hatur hyang Jinamurti.


158. Ring yawi petani kasongan balibar,

irika sira linggih,

ri madianing setra,

tiningkah pengajaran,

pepek sisianira anangkil,

asia karana,

angaca ganti-ganti.


159. Kascarya tuas ku bapa akueh adiksa,

pan lagi wilis-wilis,

sida mati indria.

weruhing tatua diatmika,

baya yasanika nguni,

satia ring berata,

mangke pala pinanggih.


160. Bagia sira sang anuwuhaken wangsa,

suputra ngaraniki,

hana sawur sembah,

singgih sang panikelan,

taha wacana maharsi,

amati indria,

pisaningu kapanggih.


161. Wonten punika malih sampun werda,

garanika angemasi,

halama ta sira,


tingkah lakunya berwibawa,

sepadan sebagai perwujudaan Hyang Jina.


Di luar maupun balainya diteduhi pohon balibar,

di sanalah beliau duduk,

di tengah pekuburan,

dalam suasana pengajaran,

sekalian muridnya menghadap,

berdiskusi (berembug),

mengemukakan keinginannya (pendapatnya) berganti-ganti.


Heran hatiku bapa, akan banyaknya orang berdiksa,

sebab masih muda-muda,

mampu membunuh (mengendalikan) indria,

mengetahui inti ajaran kebatinan,

barangkali jasanya dahulu,

teguh melaksanakan pantangan,

sekarang hasilnya didapat.


Bahagia orang yang menurunkan keluarga itu,

putra utama namanya ini,

ada yang unjuk berkata,

ya yang berkuasa (tuanku),

hamba kira perkataan pendeta agung itu,

membunuh indria,

tak mungkin sama sekali akan dapat dicapai.


Ada lagi yang mudah tua itu,

istrinya meninggal,

lama beliau, [ 48 ]angret saktining semara,

hana kaptinira malih,

sampun pacang,

setri nika anglosani,


162. Marmania ngelampu atilar sima,

kagereking semara bahni,

tan wenang ineretan,

kinutang kari wala,

sawane umatur aria,

singgih alarang,

weruha ning tatua bodi.


163. Akueh silumaning marmania adiksa,

tumiru-turwa putih,

tan weruh ing sarira,

reketaning tri guna,

pemangseling pati urip,

luir manuk baka,

andura punang semerti.


164. Tuhu ling ta ulihnia sira arah,

pangawesaning derowi,

cengga sisia-sisian,

amerih pangupa jiwa,

ling ira sang mahayati,

duh salah tarka,

siramanta miweruhi.


165. Ewuh yan tan weruh ri nang

hyang bajrangkara,

paduning Isa murti


menahan nafsu asmara,

ada yang diinginkannya lagi,

sudah bertunangan,

yang wanita kemudian meninggalkan.


Sebabnya memutuskan untuk meninggalkan desa,

kobaran api asmara,

tak mampu ditahannya,

apalagi masih muda,

yang lain segera berkata,

memang jarang,

yang mengetahui inti pelajaran kebatinan.


Banyak alasan seseorang merubah

jalan hidup yaitu berdiksa,

meniru-niru (berpura-pura suci),

tidak tahu kesejatian diri,

penunggalang teri guna,

kelepasan rokh (atma),

sebagai burung bangau,

(perilakunya) jauh dari aturan semerti.


Benar seperti kata-katamu,

berhasil dia sekarang,

dikuasai oleh nafsu loba,

durhaka dalam perguruan,

(bila hanya) untuk keperluan mencari nafkah,

(demikian) kata sang pendeta agung,

itu bukan salah angka,

bapa tahu akan hal itu.


Repot kalau tidak tahu akan

inti ajaran kebudhaan,

penunggalan dari perbadanan Isa, [ 49 ]hilanging aksara,

raketing sunia sunia,

menganing lina alangit,

larangan ira,

sang jitaksare nguni.


166. Marmaning akueh gelaraning amuja,

anusamarana hyang Widi,

tiaksakan samertinia,

pamisanieng sarira,

patangania kaweruhi,

mangun batara,

nggenira masuk mijil.


167. Hana matur tumungkul angupaksarna,

duh singgih sang maharsi,

wekasing durgama,

jatining tutur suksema,


akueh suryaning kepatin,

marmaning mingmang,

dara sang amilangi.


168. Wonten anuksema hana rikang sad krosa,

hanan putihing hati,

hoyane useran,

hendi paraning yogia,

sumawur sira sang yati,

presama yogia,

maka buataning aji.


169. Anghing durung sedeng lumaku angentas,


"kelepasan" daripada aksara suci,

bersatu dengan 'kosongan",

terbukanya "ketiadaan"

larangan dari beliau,

yang mahir dalam aksara suci dahulu kala.


Sebabnya banyak cara memuja,


berbakti kepada Tuhan,

ketahuilah ajaran Semerti,

penunggalannya dalam diri,

sikap-sikap tangan patut diketahui,

memanifestasikan betara,

tempatnya keluar - masuk.


Ada lagi yang berkata sambil tunduk mohon ampun,

yang mulia pendeta agung,

memang amat sukar,

inti kebenaran daripada ajaran kebatinan,

banyak keterangan tentang ajaran kelepasan,

yang menyebabkan kekeliruan,

orang menghitungnya.


Ada tersembunyi yaitu ada dalam

penyatuan rasa yang enam,

ada dalam kesucian hati,

tempatnya di pusat,

yang mana patut dijalani,

menjawab beliau sang pendeta,

sama-sama patut,

sebab semua merupakan ajaran sastra yang utama.


Tetapi belum pantas mengupacarai mayat,


50 [ 50 ]apan tan weruhing musti,

tunggalang tri kona,

kelawan triaksara,

ongkara padunikang herih,

Surya Sasangka,

sunianing hening.


170. Karananing akueh sarira ning amuja,

ireng yan kari wilis,

suda yan pandita,

kelu ring pranayama,

muwah ing utpeti setiti,


tekeng prelina,

duduan-duduan purih.


171. Woten sisia sedara sawur sembah,

tuhu sadaya maharsi,

mung teteping mantra,

patanganan amurang,

pangaweruh tapuan sejati,


marmania murung,

lakunikang kepatian,


172. Sawaneh paceh umatur saha sembah,

tan weruh ing yukti,

amuji ring sawa,

kimutaneng batara,

sumawur sira sang yati,

tuhu kendahan.

si ramantangapi,


172. Wirdan sang wiku umangun pangawan-awan,


sebab belum tahu isinya,

penunggalan daripada trikona,

dengan Triaksara,

"Ongkara" dengan "Herih",

Surya dengan bulan,

inti kebenaran daripada niskala.


Sebabnya banyak bentuk cara memuja,

hitam bila masih muda,

putih bila pendita,

setelah keriput, dengan pranayama,

dan dengan pengetahuan akan

utpeti setiti,

serta prelina,

(demikianlah) cara pelaksanaannya berbeda-beda.


Ada murid menjawab dengan hormatnya,

benar kata-kata pendeta agung,

walaupun mantranya tepat,

mudra-mudranya salah,

berarti pengetahuannya tidak sungguh-sungguh,

yang menyebabkan kesalahan,

jalan kematiannya.


Yang lain tersenyum berkata sambil menyembah,

tidak tahu akan yang sebenarnya,

(cara) mengupacarai mayat,

apalagi terhadap batara,

menjawab beliau sang pendeta,

betul-betul heran,

bapamu mendengarnya.

Tak ada gunanya sang pendeta membuat saji-sajian,


51 [ 51 ]palanika winalik,

kesarik ing hyang,

apan tan weruh ing sutra,

ganal aliting hyang aji,

sarmaning yatna,

kalaning anenulis.


174. Yang ring kajang yatna ri

sang hyang ongkara,


pati uripnia kaweruhi,


tinerap dasaksara,

purwakan nikang awak,


dadinia tan sasar-sisir,

tibaning jnyana,

daksinania pinatih.


175. Apan maka perebawaning waya diatmika,


sanguaning pati urip,

pageguaning sarat,

raksaka sarwa sila,

sama kotarnaning Widi,

katatuanira,

loma prati loma wit.


176. Yan tan weruh amibagani

sang hyang sastra,

nirwang rasa kapatin,


paceh pinacehan,

ramia guyua-guyuan,

angitang ling nikang aji,

buatning kabudan,

kancit hana wong prapti,


"hasilnya akan terbalik,

disakiti oleh dewa,

sebab tidak tahu akan hubungan,

(antara) besar dan kecilnya sastra,

itulah sebabnya perlu waspada,

pada waktu menulis.


Jika dalam hubungan dengan pembungkus rnayat, ingatlah
kepada ongkara,

hidup-matinya hendaknya diketahui,

disusuni dengan dasaksara,

yang merupakan asal-mula daripada diri manusia,

maka tak akan salah,

jatuhnya (tujuan) pikiran,

daksina-nya ditepati.


Sebab sebagai kewibawaan daripada yang nyata dan yang tak
nyata,

bekal hidup - mati,

untuk pegangan seluruh dunia,

menjaga segala tingkah laku,

sama dengan keutamaan Tuhan,

ajarannya,

loma prati loma sebagai pangkal.


Apabila tidak tahu membagi sastra-sastra suci,

tak ada gunanya isi daripada ajaran tentang kematian itu,

akan menjadi bahan tertawaan,

ramai dipakai lelucon,

menghitung ajaran sastra,

tentang ajaran kebudaan,

sekonyong-konyong ada orang datang.


52 [ 52 ]177. Sigra tumama pernah sang dwija wara,

kascarian tuas sang mantri,

tumona ring warna,

abang sengsengning netra,

suketing janggut rawis,

acereng tumingal,

rengunira amipis,


178. Madapa tumungkul angadepeng lemah,

kuneng sang mahayati,

sigra sira atakuan,

hendi sangkenta dewa,

kasepera haneng asrami,

warah saduga,

ri abimatang gati.


179. Sawur sembah sang mantri angapaksana,

semu res wetaning ling,


singgih muni iswara,

andika seri narendra,

marekeng Daha nagari,


pindaning gata,

mene ring benjing-benjing.


180. Kagiat sang menindra rasa raseng cita,

paran siganaki,


kula he pininang,

wekasana cap paran,


denira narepati,

keda mareka,

paran gatraning nini.


"Segera masuk mendekat sang pendeta agung,

heran hati sang mentri,

melihat rupanya,

merah cahaya matanya,

lebat janggut dan kumisnya,

tajam pandangan matanya,

alis beliau halus-rapi.


Dengan khidmat menunduk menghadap ke tanah,

adapun sang pendeta agung,

segera beliau bertanya,

dari mana asalmu anakku,

ke mari mampir di asrama,

katakan dengan sebenarnya,

mengenai maksud kedatanganmu.


Menjawablah dengan hormat mentri seraya minta ampun

nampaknya takut-takut keluar bicaranya,

ya yang terhormat pendeta agung,

atas perintah seri paduka raja,

(yang mulia pendeta) diminta menghadap di daha,

mohon secepatnya,

besok pagi-pagi.


Kaget sang pendeta agung serta berpikir-pikir dalam hati,

Bagaimana {barangkali) keadaannya,

makanya diriku dipanggil,

bagaimana kira-kira perhitungannya,

tujuan sang raja,

menyuruh datang ke sana,

bagaimana kabarnya anakku.


53 [ 53 ]181. Singgih manawa durbalaning nagara,

apan sang maha muni,

katon ing pahoman,

esadaning nagara,

pamunahing sarwa wiadi,

ni Rangdeng Jirah,

amrih tumpuring bumi.


182 Beranta citanira marnaning amungpang,

aputra setri sawiji,

kasambung ing warna,

amunah sakamatan,

apatra Ratna Manggali,

tan ana nomah,

hemanya tan pelaki.


183. Wus karasa denira sang yatiwara,

sawur ira sang mantri,

tumuli angucap,

ada beniang sisia,

hanjang marakeng nereputi,

sira pekarya ha,

ngke awaran teki.


184. Siniang ira sang aran Mpu Bahula,

anom warna apakik,

sadara awot sakar,

anglung angga madapa,

gesang ning lati amanis,

sapolah ira,

raspati angrimangi.

54

Barangkali berkenaan dengan rusaknya negara,

sebab sang pendeta agung,

terlihat dalam api pemujaan,

(laksana) obat bagi negara,

yang melenyapkan segala penderitaan,

Ni Rangda di Jirah,

yang menginginkan hancurnya negara.


Bingung pikirannya makanya dia membabi-buta,

berputri seorang,

terkenal kecantikannya,

mengalahkan segala yang terlihat baik,

bernama Ratna Manggali,

tak ada yang mengawini,

sayangnya tak bersuami.


Telah terpikir oleh sang pendeta mulia,

keterangan sang mentri,

lalu (beliau) berkata,

oh ini ada murid,

besok menghadap raja,

adapun anakku (hendaknya kerjakanlah),

tinggal dulu di sini.


Lalu dipanggilnya yang bernama Mpu Bahula,

muda, rupanya tampan,

segera memberi penghormatan,

membungkuk badan dengan lembut,

senyum bibirya manis,

segala perilakunya,

pantas serta menyenangkan hati. [ 54 ]185. Bapa ring anjang lunga maring nagara,

marek ing jeng nerapati,

ning duta nira,

bapa maka sahaya,

mertaning punang nagari,

mara ing Jirah,

sira Rangda parani.


186. Wonten putra nira setri kebeking raras,

sira Ratna Manggali,

perih kawenangnia,

apan suwa jatu kerama,

brahmana lawan brahmani,

ndia calanika,

rara laba kepanggih.


187. Melih satri hayu kerta punang nagara,

yas wus sidaning gati,

si ramanta tuan,

lunga hapisasanjan,

anglawadi sira kelih,

samangka bapa,

putusing indra warih.


188. Sang nata pintenen saupa karania,

lagi sira miweruhi,

putus ikang naya,

si ramanta tuan,

tan warekang seri bupati,

kengatakna,

pawekas-wekas mami,


Anakku besok pergi ke kota (istana),

menghadap kepada sang raja,

bersama-sama utusannya,

anakku sebagai sahaya,

hidupkanlah (selamatkanlah) negara,

datang di Jirah,

dia si Rangda datangi.


Ada putrinya, sangat cantiknya,

yaitu si Ratna Manggali,

usahakanlah supaya dapat,

sebab memang itu jodohmu,

berahmana dan brahmani,

apa salahnya,

kedua keuntungan akan didapatkan.


Bapak istri cantik serta negara pun selamat,

bila telah berhasil usaha itu,

bapamu ini,

pergi berkunjung ke sana,

menjenguk kalian berdua,

demikian anakku,

daya-upaya dilaksanakan.


Sang raja dimintai segala perlengkapannya,

lagi beliau memberi tahu,

mengenai ketetapan daripada daya-upaya,

bapamu ini, anakku,

tak ikut menghadap sang raja,

ingatkanlah,

pesan-pesankku.


55 [ 55 ]189. Prenata sawur sembah sang winacanan,

nuhun aejnya sang yati,


sotaning susrusa,

marmania ingeman,

nitiasa hanut gati,

setiti wus inugrahan,

wuhe adyana susandi.


190. Anungkalang kadga alandean kuban,

da kinenan manik warih,

kumeredep angedap,

arja sumpang salaga,

jinebadan merik ninging,

anggatgat raga,

kagiwang manahing estri.


191. Tan len linocita durbalanikang rat,

nora heneng lagi-lagi,

krian patih anambah,

sakecap tan siwah,

sewarna jnyana merepati,

ketaheng cita,

yan tan sih sang mahayati.


192. Pilih mangke diwasaning param brahma,

lagi eka jaladi,



Dengan hormat menyahut yang dikatai (diberitahu),

hamba junjung perintah sang pendeta,

oleh karena amat bakti,

makanya disayangi,

sela1u menuruti jalan (yang ditunjukkan).

karena ketetapan hatinya, maka telah dianugerahi,

pikiran yang maha mukjijat.


Memakai keris dengan tangkai kuban,

serta dipasangi manik banyu,

bercahaya berkilau-kilauan,

(terlihat) bagus dengan sumpang bunga cempaka,

dengan boreh yang harum semerbak,

membangkitkan nafsu asmara,

(tergugah) nafsu birahi para wanita.


Tak lain yang dipikirkan hanyalah kehancuran negara,

tidak pernah ada (terjadi) pada waktu yang sudah-sudah,

rakrian patih menyembah,

sepatah katapun tak ada salah,

seperti yang tuanku katakan,

menurut hemat hamba,

bila tidak belas kasihan sang pendeta agung.


Barangkali sekarang saatnya pembakaran dunia,

kembali menjadi lautan,

56 [ 56 ]sima catur juga,

apan panitahing hyang,

baya iki pamekasing.

sangara kalpa,

tuhu ling ira patih.


193. Manda bagia tumuwuh hana ring loka,

baya karma hinguni,

tak wenang lineaan,

amanggih wiadi baya,

yan tan sih ira sang yati,

saunga merta,

umuripana bumi.


194. Taplian uwus pasilih-silih anujar,

kencit perapta sang muni,

tumana ring rajya,

menggap angamar lampah,

sang nata mendak ing liring,

sarwiya anapa,

sampun akaruana linggih.


195. Kascaria sang nata yan angucapang tuas,

Citra Ratanelehi,

gatra bang gumiwang,

nyunyur lindining netra,

gesang ning lati amanis,

pandita wala,

setaning tameng gati.


" lenyapnya peredaran catur yuga,

sebab memang takdir Tuhan,

ini merupakan asal dari pada bahaya,

masa sangara (kiamat),

benar perkataan patih itu.


Kurang bahagia hidup di dunia,

kiranya akibat perbuatan yang dahulu,

tak dapat dilepaskan,

makanya menemui kesengsaraan,

bila tak balas kasihan beliau sang pendeta,

memberikan hidup,

menghidupkan (menyelamatkan) bumi.


Belum selesai tanya-jawab itu,

tiba-tiba datang sang pendeta,

masuk di istana,

lantas caranya berjalan,

sang raja menyongsong dengan penglihatan,

lalu baginda bertanya,

keduanya telah duduk.


Terheran-heran sang raja serta berkata dalam hati,

laksana dititisi dewa Citra Rata,

warnanya merah berkilauan,

sangat indah (jeli) matanya,

bibimya merekah manis,

pendeta muda,

oleh karena mahir dalam laksana.


57 [ 57 ]196. Singgih pukulun sang seri paduka nata,

yaki ra brahmana aji,

kinen mereka,

de sang seri dwijeswara,

hasda andika aji,

sing sakewasa,

lakuning wiku hemis,


197. Tulusaken sih ta sang seri yatiwara,

suaca hanugrahani,

ratu hina kaya,

katakan wiadi baya,

luir kegunturaning langit,

sang inujaran,

ngaros nalanira angapi,


198. Bekasan sira maturang seri narendra,

tan len ra berahmana aji,


kinen maring Jirah,

amasang indrajala,

amerih sira Ratna Manggali,


anglila-lila,

amunahakan runtik.


199. Nghing sang nata santoseng wiku wiguna,

luir angaduskan jurit,

jaya parajaya,


apan tan kaniscayan,

rebating sihing hyang widi,

ndan seri narendra,

tan aperasa malih.


" Ya yang terhormat seri paduka raja,

hamba ini pendeta tuanku,

hambar disuruh kemari,

oleh beliau pendeta agung,

mohon perintah sang raja,

menurut kemampuan,

(hamba) sebagai pendeta nista.


Teruskanlah belas kasihan tuanku pendeta yang mulia,

sudilah menganugerahi,

raja hina seperti hamba,

yang tertimpa kesengsaraan,

laksana tertimpa langit,

yang diajak bicara,

(seperti agak) ketakutan hatinya mendengarnya.


Lalu berkata beliau kepada sang raja,

tak lain beliau sang pendeta tuanku raja,

disuruh pergi ke Jirah,

memasang daya-upaya,

berusaha untuk mendapat dia si Ratna Manggali,

(serta diajak) bersenang-senang,

untuk menghilangkan kemarahannya.


Tetapi, tuanku raja, maklumilah hamba ini pendeta nista,

ibarat berperang,

(mungkin) senang (atau mungkin pula) kalah,

sebab tak dapat dipastikan,

merebut kasih Tuhan,

adapun sang raja,

tak dapat berpikir lagi.


58 [ 58 ]200. Wus passet punang niti ginepita,

tan koninga ring honjing,

adandan panorah,

hebek tekeng bale bang,

waneh adenden ing margi,

bala wahana,

pasung ira nerepati,


201. Sampun sira amit mangka sigra lumampah,

raspati mungguing waji,

pinayungan ketas,

gagawan haneng harsa,

gumarebeg kang wong angiring,

mungkurang kuda,

kueh desa kapa iring,


202. Kascaria sira hana ring marga-marga,

uryaning wang kuah mati,

daging kasarakat,

sesanikang seregala,

hamangsa kawahan bukti,

hamang durganda,

tinubing bayuangasir.


203. Presama kang wang atukuptukup nasa,

ndan sira sang iniring,

tas kawareng canah,

suda luir sepatika,

pageha ring berata bodi,

tananang canah,

campur atemah suci,


" Telah maklum akan makna yang dibicarakan,

tak diceritakan pada pagi harinya,

telah dipersiapkan mas kawinnya,

penuh sampai di balai penghadapan,

berjejal-jejal sampai di jalan,

prajurit-prajurit (rakyat) serta kendaraan,

semuanya anugrah sang raja.


Beliau sudah berpamitan, sekarang segera berangkat,

baik kelihatannya menunggangi kuda,

berpayung ketas,

barang-barang bawaaannya di depan,

gemuruh orang-orang yang mengiring,

di belakang kuda,

banyak dosa yang dilewati.


Terheran-heran mereka dalam perjalanan,

(karena) banyaknya sisa-sisa mayat,

daging berserakan,

sisa yang dimakan serigala,

(karena) kebanjiran makanan,

berbau sangat busuk,

Ditiup angin berembus.


Semua orang menutup-nutup hidung,

adapun beliau yang diiring,

tak terganggu dengan kekotoran,

suci laksana permata putih,

teguh akan pantangan budi,

bersih dan kotor,

bercampur menjadi suci.


59 [ 59 ]204 . Tan mari angrak-lakuning wahana,

meremaga yayang tulis,


lintang sakarika,

meh manjing henang wana,

wawa hana katon radin,

lurah-lurah,

nia sedeng paraning kawi.


205. Heniang danu ri sukunikang acala,

akueh sekar nedeng sari,

rinabaseng kumbang,

erang anasep sarka,

raranjing-ranjingania laris,

tekang pasawahan,

wania suda hening,


206. Wonten recek ika areneb pakismia sarasa,

kueh angaring,

miwir-niwir lar,

sewaneh anarasah,

nesep ing lumut rapi,

sihana sisikan,

ajule hanut kapti,


207. Waneh hana raja wuryaning parhyangan,

gumuk-gumuknia kari,

asanding talaga,

tepi-tepinia lumra,

sarwa kusuma sah sari,


ketaka kembang,

kumbang angamung sari,


" Selalu cepat jalannya kereta,


beriring teratur mengalahkan rapinya (deretan) tulisan,

setelah lewat dari sana,

maka memasuki hutan,

barulah terlihat bersih,

lurah-lurah,

nya pantas didatangi oleh pengarang.


Ada danau di kaki gunung,


banyak bunga sedang kembang,

diisap oleh kumbang,

ramai bunyinya mengisap madu,

masuk-masuknya cepat,

sampai di pesawahan,

aimya bersih serta hening.


Ada gemerciknya lebat pakianya serta burung belibis,

banyak lagi pula jinak,

mengembang-ngembangkan sayap,

yang lain lagi mencari makan,

menyudu lumut sedemikian rapinya,

ada lagi menyisiki bulunya,

senang menuruti kehendak hatinya.


Lain lagi, ada bekas bangunan suci yang indah,

masih gundukan-gundukan tanahnya,

berdampingan dengan telaga,

di tepi-tepinya banyak,

beraneka warna bunga yang sedang kembang,

pudak (juga) kembang,

kumbang menciumi bunganya,


60 [ 60 ]208. Akueh yan Winama kalangening awan,

dina latri lumaris,

katuju bang-bang wetan,

mandeg ta sira ring wetis,

sang aneng pura,

kadi anamun wingit.


209. Sering pudak binatur awuwukiran,

binajra lupa akiris,

pinarak ing sisia,

kancit hana wong perapti,

teja sulaksana manis,

sarsi ya nadapa,

manggap amangun ragi,


210. Sira Rangda suwagata ndi

sangkan ta tuan,

siapa namanta singgih,

napa prayojana,

kalih kawongan ika,

kasapar ing desa sepi,

warah sun dewa,

malar weruha ring tamui.


211. Singgih bibi tuhu antuk ira atakean

rangwakena nangkeki,

kula wangsa Buda,

anama Mpu Bawula,

sisianira sang mpu yogi,


" Banyak bila diceritakan keindahan
dalam perjalanan,

siang malam berjalan,

sedang fajar menyingsing,

berhentilah mereka di halaman tengah,

yang ada di dalam rumah,

(nampak) seperti tengah melipur-lipur kesedihannya.


Di bawah pudak diberi berbatur
yang berukir,

dilapisi dengan bajra lepa yang halus,

dihadap oleh murid-muridnya,

tiba-tiba ada orang datang,

(seakan-akan) bercahaya, bertingkah

laku sopan serta manis,

seraya dia menunduk,

pantas sehingga membangkitkan rasa asmara.


Si Rangda menyambut (serta menanya) dari mana asalmu,

siapa namamu,

apa maksud kedatangan(mu),

serta apa kekeluargaanmu,

(kok sampai) singgah di desa yang sepi,

beritahulah saya anakku,

supaya saya maklum kepada anda
sebagai tamu.


Ya bibi tepat cara bibi bertanya,

dengarlah sekarang (berikut) ini,

hamba adalah wangsa (keluarga
beragama) Buda,

nama hamba mpu Bawula,

murid beliau sang pendeta,

61 [ 61 ]awara Baradaḥ,

predeseng Lemah Tulis.


212. Kendahan sira Rangda mulating warna,

madura wetuning ngeling,

uduh dewa cening,

Brahrnana Buda,

sama wangsa Ian ra bibi,

paran swakarya,

pinda-pindaning gati.


213. Singgih ranak ra bibi angrenga warta,

amanggeh reka bibi,

aputra satunggal,

kasumbung yan ring warna,

tulusa sih ta ra bibi,

amupu hana,

hina kase1as asih.


214. Apan hinguni hana berata,

basama ndatan kearasing setri,

yan tan sama wangsa,

suguna pati brata,

na narmaning rambang kupti,

amarah desa,

tan pantuk dyah Brahmani.


215. Nitis kala hatur mamnuk tadaharsa,

bramiteng tawang amerih,

pajenging sasangka,

ngke prenahnia trumbabuwang,

panedenging panca dasi,

marmaning prapta,

sumewa rieng bibi,


" agung (pendeta kepala) yaitu Mpu Baradah,

yang tinggal di Lemah Tulis.


Tercengang sang Rangda melihat

wajah (orang yang datang),

manis keluar kata-katanya,

oh ratu pangeran,

Brahrmana Buda,

sama keturunan dengan ibu,

apakah yang ananda perlukan,

tumben datang ke mari.


Ananda putra ibu mendengar berita,

diceritakan soal ibu,

mempunyai anak seorang,

terkenal tentang rupanya,

teruskanlah belas kasihan ibu,

memungut saya,

(saya) hina dan miskin,


Karena di masa lampau ada janji,

berjanji tidak beristri,

kalau tidak sama keturunan,

berguna dan setia,

itu yang menyebabkan sadar,

menyelusuri desa-desa,

tidak ketemu Brahmani.


Setiap hari seperti burung elang(?),

memerlukan (mencari) kebaikan bulan,

keliling di udara,

di sana tempat keluarnya cahaya,

kebetulan bulan pumama,

itu sebabnya (saya) datang,

bertemu dengan ibu.


62 [ 62 ]216. Aseng semita sarjawa alon angucap,

duh masku bapa laki,

taha tan mangkana,

kadi ling nikang werta,

tuhu putringku sawiji,

muda wirupa,

tan sedeng perih ta laki.


217. Singgih bibi keda aneda sanmata,

apun tan hana malih,

kertining haradaya,

maka atma jiwita,

rowanganing sapati urip,

sasukha-dukha,

putrinta misesaning.


218. Asemu garjita si Rangda angucap,

duh mangka kapo kaki,

hana sanmatanta,

ring wong mada wirupa,

paran ujare ra bibi,

ya aswa karma,

panitahing hyang widhi.


219. Nghing hana panemayang kwa risira,

haywa umantuk malih,

panegaraneng Jirah,

kemiten ibunira werda,

tan hananing laki,

tanana seraya,

palar hana keringi,


220. Tan len bapa wasitwa ngke

hana ring Jirah,

sedang maka pandiri,


Dengan gembira sang Rangda berkata pelan-pelan,

oh, kesayanganku ananda,

(saya) tidak mengerti (yang) demikian,

seperti berita tersebut,

benar anakku seorang,

buruk rupanya,

tidak patut kamu cari (lamar).


Ya, ibu saya mengharapkan belas kasihan ibu,

karena tidak ada lagi,

yang mantap di hati,

laksana jiwa kehidupan,

sehidup-semati,

suka-duka,

putri ibu (yang) menguasai.


Dengan senang si Rangda berkata,

ya, begitulah ananda,

ada keinginan ananda,

kepada orang (yang) buruk rupanya,

sulit ibu mengatakan,

karena jodohmu,

kehendak Sanghyang Widhi Wasa.


Tetapi ada permintaan saya kepadamu,

jangan lagi pulang,

di desa Jirah,

memelihara ibumu yang sudah tua,

tidak ada 1aki-lakinya (suami),

tidak ada yang mengganti,

agar ada bersama-sama (dengan ibu).


Tidak lain ananda yang berkuasa

di sini di desa Jirah,

tepat sendirian,


63 [ 63 ]sira manta tuan,

wetning wus wiboga,

pemandyangan sarwa rukai,

seprakarania,

sira nga ambukti.


221. Dasa-dasi sama sasinikang pura,

makadi sira bibi,

kuneng arinira,

suwaca malarana,

sawetnia muda acungking,

sang winascanan,

henti sukaning hati.


222. Yaya katuturaning ratna kaniaka,

saking sesaning Rawi,

hatur taru ragas,

ketibaning hudan,

sumekar tekaning hati,

dadi angucap,

sarjawa harum manis.


223. Liwar sih ta bibi ring wang hina seraya,

paran tawuraning sih,

kagunaning hutang,

tan kenang pinremana,

yan tan jiwa raganeki,

maka penunda,

pangalpikaneng bakti.


224. Singgih bapa sampun kadadawan ujar,

kadi ujarku i nguni,

nghing santa wiya,


" yang menjadi ibumu,

karena sudah tidak perlu menikmati kesukaan,

perhiasan emas-emasan,

serta yang semacamnya,

anaknda yang menguasainya.


Pelayan semuanya (yang) ada di rumah ini,

seperti ibu,

tetapi adikmu,

(agar) mau memeliharanya,

karena ia jelek dan bandel,

yang diajak bicara,

sangat senang.


Seperti diceritai anak-istri,

ayu berketurunan baik,

keluar dari sinar matahari,

seperti pohon yang meranggas,

ditimpa hujan,

senang hatinya,

lalu dia berkata,

dengan halus manis.


Sangat kasih ibu terhadap orang

yang tidak memiliki teman,

apa yang (saya) pakai membayarnya,

karena kebesaran berhutang,

tak bisa dihitung,

jika tidak jiwa raga saya ini,

sebagai gantinya,

bukti berbakti (kepada ibu).


Ya, anak janganlah (itu) dibicarakan panjang,

seperti yang ibu katakan dahulu,

tetapi maafkan,


64 [ 64 ]dewa wetning kadi naranta,

sirebu kari amilih,

suba dewasa,

separanta papanggih.


225. Wus payu panomah sampun katanggama,

wus kalumbrahang desi,

yan sang serining puro,

sida pinacang-pacang,

Bawula pinaka suami,

pangucaping wang,

sedeng sira siliasih.


226. Yan wereten sira kalih tanana kurang,

ndan sira Rangda mangkeki,

mara heng suwa atmaja,

asemu-semu karsa,

apan katujua ring hati,

mantuanira,

rinaseng semara ratih.


227. Kapanggih sira hana ring talu kuluan,

sopacara aresik,

kinusang talaga,

kuweh punang sarwa sekar,

rinubunging puspa alit,

ndan sira sang diah.

tumurun awot sari,


228. Sira Rangda anambut astaning anak,

duh masku sang luwir ratih,


" karena kelihatannya pelan-pelan,

ibu masih memilih,

hari yang baik,

pasti terketemukan.


" Setelah upacara lamaran diterima,

sudah diumurnkan secara umum,

bahwa putri penyemarak rumah itu,

sudah selesai dipertunangkan,

Baghawan Baula akan menjadi suaminya,

dikatakan orang (banyak),

mereka Saling kasih-mengasihi.


" Kalau keduanya ditimbang-timbang

keduanya sama (tak ada yang kurang),

adapun sang Rangda sekarang,

mengunjungi putrinya,

kelihatannya bahagia,

karena berkenan di hati,

(dengan) menantunya,

rasa-rasanya (sebagai) Dewa Asmara.


" Ketemu dia di tempat tidur di Barat,

hiasannya baik,

dilingkari telaga,

beraneka warna kembang,

diisap oleh lebah-lebah,

adapun dia sang ayu.

turun menyembah.


" Sang Rangda mengambil tangan anak (nya),

Oh kesayanganku (yang rupanya) seperti bulan,


65 [ 65 ]angadega tuan,

resaing madia anglunggang,

anerang lungguhing sikari,

ha karwan-karwan,

sira sama alinggih,


229. Sarwiya ngucap-ngucap tinuting wacana,

amunah madu gendis,

dub atma jiwita,

sanghyang hyanging kusuma,

nitia madangi kapti,

hendi antuka,

aputrika ya nini.


230. Baya sihaning hyang anugraha,

wija wijiling sita rasmin,

asih ta tulusa,

sotoning pati brata,

yasani mangke ra bibi,

hayanta tuan,

ganjarakne tamuwi.


231. Tur wayah hira anongpang risang,

sedeng apulang rasmi,

sampun warang darya,

idepen ibu tuan,

walesan ingsun ring asih,

pageh akena,

yasanta satiyang bibi.


232. Panggil anuwuh akan wangsa kabudan,

heman rumrum ta nini,


bangun anakku,

pinggang ramping,

bergoyang lemah-lembut (seperti) pohon gadung,

berduaan,

keduanya sama-sama duduk.


Lalu mengurut-urut sambil berkata

anaknda mengalahkan kemanisan gula,

oh putri juwitaku,

dewa dari bunga (segala jenis bunga),

setiap hari menyenangkan hati,

di mana terdapat,

anak seperti kamu.


Barangkali mau Tuhan menganugerahkan,

anak yang lahir dari cahaya bulan,

kasihmu agar diteruskan,

karena kamu pati brata (setia),

ibu doakan sekarang,

kecantikanmu,

sebagai ganjaran bagi tamu.


Serta umurmu sedang masa memikatnya,

sudah waktunya berkeluarga,

janganlah bersedih hati,

turutilah nasihat (kehendak) ibumu,

sebagai balas kasih ibu,

tetapkanlah,

kesetiaanmu dengan ibu.


Apalagi keturunan dari Buda,

kasihan (dengan) kecantikanmu,


66 [ 66 ]luwir kusuma sepang,

tan kamaning brahmara,

sang dyah angasha manis,

akusang pangkuan,

sambatnia amelas asih.


233. Sampun sira nini kudu soka cita,

pan wong kula jati,

aran Mpu Bawula,

sisia sang yogiswara,

peredesaning Lemah Tulis,

ndan sira sang ayah,

pengawetning pinidi.


234. Tan dadi denira angret panah ning waspa,

sumirat heneng pipi,

kataheng swacita,

sotaning somawita,

tan malih adrewe budi,

wusinabayan,

sang sinom haneng wuri.


seperti bunga setangkai,

belum diisap oleh lebah,

sang ayu gelisah nanging manis,

tiduran di pangkuan (ibunya),

kata-katanya menyedihkan hati.


Janganlah kamu bersedih hati,

karena (dia) keturunan orang baik,

bernama Mpu Bawula,

murid sang pendeta agung,

bertempat tinggal di Lemah Tulis,

beliau sang ayah,

hidup sendiri (tanpa ibunya).


Tidak dapat dia menahan air matanya,

meleleh sampai ke pipi,

disebabkan karena perasaannya,

karena dia adalah seorang suci,

tidak lagi memiliki perasaan lain,

sudah selesai,

pupuh sinom berikutnya.


Pupuh Sinom


235. Kunang sira Mpu Bawula,

nitia sumawaning bibi,

sinarya anyolong panon,

katon sang ratnaning puri,

tuhun ndatan pasiring,

sor languning pasir gunung,

amunah gula drawa,

katuaning hayu sabumi,

keduk rumrum,

gatraning semara dayita.


Tetapi beliau Mpu Bawula,

setiap hari datang pada sang Rangda,

sambil melirikkan mata,

dilihat oleh sang putri (Ratna Manggali),

memang tidak ada tandingannya,

kalah keindahan laut dan gunung,

mengalahkan kemanisan madu,

disembah oleh orang-orang cantik di dunia,

sangat termasyur,

kecantikan sang Ratna Manggali.


67 [ 67 ]236. Pirang dina haneng Jirah,

tan kena ring tadah guling,

anghel dera angret turida,

linina-lila atlali.

mangu-mangu alinggih,

anom gambar kaduk rumrum,

wageding pera bangkara,

lalakon anyang aredin,

anut gunung,

tan sari atika-tikan.


237. Winanguang rasmining gambar,

asyana ngenani bati,

winanguang mireng swacita,

seraras sira sang kesti,

yaya maksa ingaksi,

anukama ring sekalangun,

awawang nawang tingal,

tan sah gumantunging liring,

anamunkung,

aturu sireng mandapa.


238. Atis uraptang samirana,

amuat gandaning sari merik,

amungu-mungu balisah,

yaya sumanding,

pemeratning astra sari,

dadi sira wetu kidung,

sararasing heredaya,

wijiling suswara manis,

anerang juruh,

siptania semara turida.


239. Wiakti tan kenang anidra.

anawang-nawang angarih,

diah nayakaning kalangen,


Entah berapa lama berada di Jirah

tidak pernah tidur,

sulit ia menahan nafsu,

kian dihibur makin bingung,

termenung di tempat duduk,

melihat gambar (yang) amat bagus (cantik),

amat pandai pembuat gambar,

seperti orang berjalan, dengan jelas,

berjalan di gunung,

lalu membuat karangan.


Kalau dilihat kebaikan gambarnya,

makin kena di hati,

dirasakan di dalam hati,

perbuatannya itu,

akan hilang pada waktu dilihat,

bersembunyi keseluruhan yang menarik,

terasa di dalam hati,

setiap saat terasa dapat dilihat,

memalingkan hawa nafsu,

tidurlah kalian di tempat tidur.


Teduh jika datang angin,

membawa bau bunga yang harum,

bangunlah beliau karena gelisah,

barangkali bersanding.

dengan sang istri.

akhirnya muncullah kidung,

yang disenanginya,

muncul suaranya manis (merdu),

mengalahkan gula,

sebagai ciri dalam keadaan berahi.


Benar tidak pernah dapat tidur,

(karena) dilanda asmara,

sang putri mempunyai daya tarik,


68 [ 68 ]murtining hyang semara patni,

lawan kakanta rari,

anghel kesariking akung,

meh puara pejah,

kuneng sang laksemining puri,

sama luluh,

pangawasaning turida.


240. Anggapgap anganggit sekar,

sarwi sira anamun wingit,

alunggahing salu kuluan,

tumungkul amilih-milih,

menggep angubda wingit,

halus kapareking luh;

roma wera milet sedia,

anda-andania ngerimangi,

ambeh ayu,

angirang reka kaneka.


241. Rikalanikang purnama,

arsa sira amajang sasi,

anglila saktining semara,

akueh ra wong ira ngiring,

hana ing matar alinggih,

kasengan puspa turi,

pedapa sahen sekar,

katranganing panjang sasih,

saha cucur,

medran hana rikang tawang.


242. Sangsaya amangun rimang,

sumar gandaning sari,

merik inabeting samirana,

luir jarumaning akingking,

lengleng sang kadi ratih,


penjelmaan Dewi Ratih,

lagi pula sebagai kakanda,

banyak memperoleh kesengsaraan karena cinta,

mungkin menyebabkan mati,

tetapi sang putri,

juga (pikirannya) hancur luluh,

dikuasai cinta.


Lalu dia merangkai bunga,

sambil menyembunyikan kesedihan,

naik ke balai di Barat,

merunduk sambil memegang-megang bibir,

untuk menyembunyikan hati susah,

matanya bengkak (karena) menangis,

rambutnya terurai sampai ke pinggang,

tingkah lakunya mengibakan,

sungguh cantik,

mengalahkan area emas.


Pada waktu bulan pumama,

berkenaan dia nonton bulan,

menghibur hati dirundung cinta,

banyak bawahannya ikut,

ada (yang) di lantai balai duduk,

dilingkari bunga kembang kertas,

memakai bunga,

disinari sinar bulan,

ada juga burung layang-layang,

beterbangan di udara.


Lagi pula membuat kesenangan,

tersebar bau bunga (yang) harum,

diterbangkan angin,

seperti mata-mata yang dirundung cinta,

bingung ia (yang rupanya) seperti bulan,


69 [ 69 ]pameratning segara angde lesu,

meh awon Sanghyang Wulan,

yaya nukama ring sasih,

udan kawuwus,

prapta ring nuba diwasa.


243. Ramia kang wong abingata,

amunguneng pali-pali,

suwa pitaning pawarangan,

biatita uwus armaji,

mangke sira sang kalih

sampun prenida ingadu,

anawung semara astra,

risuruping dina latri,

luir amungu,

munggah maring pagulingan.


244. Kunang sira sang winarang,

hanang ing salu amegat sib,

sepakaranin angraras,

ngut kata gandania mar merik,

sira mpu amarani,

sampun akarua hanang kasur,

sang diah mingserangesah,

angisek-isek anangis,

sigra nambut,

antuk sang kadi Wicitra Rata.


245. Sapanen dewa kawula,

wawu datang mara riki,

angatpada jeng ta tuan,

amerih henda kerusnin,

sampun dahata wedi,

lah laba hana pukulun,

angel ingsun abrata,

anganti sihira rari,


karena dikuasai cinta menyebabkan lesu,

hingga lurus di atas kepala sang bulan,

seperti (dia) sembunyi di bulan akhirnya,

sampai pada hari (dewasa) baik.


Ramai orang-orbng yang banyak itu,

membuat peralatan,

untuk upacara pernikahan,

tidak diceritakan akhirnya selesai,

sekarang ( diceritrakan) penganten,

sudah berhadap-hadapan,

memadu panah asmara,

waktu malam pun tiba,

seperti memperingatkan,

naik ke tempat tidur.


Tersebutlah kedua mempelai,

berada di tempat tidur berkencan,

dengan perhiasannya,

baunya sangat harum,

beliau sang pendeta datang,

sesudah berdua di atas kasur,

sang ayu bergeser,

menangis terisak-isak,

segera diambil,

oleh sang Bawula.


Oh kakanda,

baru kemari,

bertemu dengan adinda,

berkeinginan bertemu,

janganlah adinda takut,

ya hadiah diberikan oleh kakanda,

banyak kakanda menahan diri (berberata),

menunggu pemberian adinda,


70 [ 70 ]sarwiya angukut,

pamacuh ira anerang gula,


246. Kadi ngarih peretimu,

duh Sanghyang madu pasir,

lah ta gulinga pangeran,

sang dyah aname bibi,

mati ingsun mangke bibi,

kunang sira sang abagus,

tan sah mijet nuroja,

semara astra kadi tinangi,

ngegetan,

angerentang tan dadi noretan.


247. Sang diah bareng hewa anyakar,

anepak sarwi anangis,

tan surud anehak dada,

mesem sira sang apekik,

tan mari ngesih-asih,

anuru-nuru angipuk,

hasta tandaling tengah,

angukih paduning tapih,

sayan lesu,

panulak ira ring tilam,


248. Duh mirah atma jiwita,

pahenak dera aguling,

siroroning karasikan,

maka sanguaning pati,

sanwata masku rari,

sang diah tan besur angramus,

malah rujit kabaranan,

aringetira aneresti,


lalu dipeluk,

merayunya dengan sangat manis.


Seperti merayu arca,

aduh adinda dewa laut madu (kesayanganku),

marilah adinda tidur,

sang ayu menyebut-nyebut ibu,

matilah saya sekarang ibu,

tetapi sang bagus (lelakinya),

mengelus-elus susu (sang ayu),

setiap hari asmaranya seperti dibangkitkan,

maka bergejolaklah,

keluar tak dapat ditahan.


Sang ayu mencakar-cakar sekuatnya,

menyepak serta menangis,

lalu menepuk dada (laki-lakinya),

kenyir (tertawa kecil) sang bagus,

lalu dia merayu,

menciumi,

tangannya memeluk pinggang (sang ayu),

mengambil pinggir tapih (kain dalam)

makin lesu,

tidak memeluk lagi (sang bagus) di kasur.


Aduh adinda jiwa atmaku,

baikkanlah tidurmu,

kakanda akan meniduri,

sebagai bakal mati,

mebekali adinda,

dia sang ayu tak bosan-bosan mencakari,

malahan luka-luka kecil,

keringatnya keluar,


71 [ 71 ]ndatan surud,

amerih anuculi sinjang.


249. Anerang sira mangkia amungkas,

anduak sarwi anitih,

anekekaken punang karsa,

wus kana ring astra sari,

wamanira amanesi,

sarira lupa mar lesu,

pan wawu rinabasa,

suwanita deras umili,

sigra nambut,

anggapgap winacung pangkuan.


250. Angusaping luh ning netra,

tan muri amituturin,

yaya pangerangrenging kumbang,

darpa anucuking sari,

duh sang diah masku rari,

daweg pelawa pukulun,

sampun kudu alara,

sinarwi angaras aris,

saya luru,

sang diah tumungkul angsah.


251. Tan mari sira winawang,

katon wedanane menesi,

yaya ulan kerahinan,

balut ning deria manis,

wiakti ahembeh rawit,

lume luwir madapa luru,

kasenuan dening pandan,

ndan sampun pinula pali,

saha kunkum,

sotaning sampun kakenan,


tidak berhenti,

lalu membuka kain (sang ayu).


Dengan segera beliau membuka (kain),

dibuka serta ditindih,

dipeluk dalam kebahagiaan,

setelah bersanggama,

rupanya pucat,

badannya lemah dan lesu,

karena baru bersanggama,

air mata menetes keluar,

segera diambil,

dipeluk dalam pangkuan.


Dihapuskan air matanya,

lalu diberi nasihat,

seperti suara kumbang,

pada waktu mengisap sari,

aduh adinda kesayanganku,

cepatkanlah kamu sadar,

janganlah lantas bersedih,

lalu dicium-ciumnya,

makin layu,

serta sang ayu merunduk sedih.


Tidak berhenti-hentinya dia bersedih,

kelihatan wajahnya lesu (pucat),

seperti bulan kesiangan,

kelopak matanya kelihatan manis,

benar-benar menambah cantik,

lemah lembut seperti daun muda yang layu,

disinari oleh sinar lampu,

lagi pula sudah selesai diupacarai,

dengan air suci,

itu sebabnya sudah bisa ditiduri.


72 [ 72 ]252. Malih munggahing paturuan,

kunang sira rang apekik,

anuwaki saktining semara,

tan surud ambibit tapih,

sang diah dahatawedi,

anulak rarasing sapuna,

ri paserajayang rimang,

malih pining ruengaing gati,

sayan lesu,

sang diah luir tan pagetana.


253. Malih tiba ang dawuh Sapta,

kalelepan nidra kalih.

kawesaning semara astra,

aserang uninikang paksi,

maka cihmaning kenying,

sineranging mata kukuyuk,

ndan sira sang winarang,

kepungun-pungun utangi,

sama-sama lesu,

wetning ataker turida,


254. Winwaswas tang payodara,

sang diah ketadahan runtik,

mingsara maleni panan,

tan sah angrengwani alis,

angembeng luh ing aksi,

sang kakang sigra anambut,

sayambu saha angaras,

duh pupuji sang diah ari,

daran masku,

munggah maring pakasutan.


255. Langsa sampun tinakepan,

sang diah amengsah anangis,

sinarya anehak jaja,


Lagi (beliau) ke tempat tidur,

tetapi dia sang bagus (lakinya),

manuruti hawa nafsu,

tak henti-hentinya meraba-raba tapih (kain dalam wanita),

sang ayu sangat takut,

menolak ajakan bersanggama,

pada waktu suaminya berkehendak meniduri,

ketika mereka berdua di tempat tidur,

makin lesu,

sang ayu seperti tak bertenaga.


Sesudah sampai dauh pitu,

nyenyak tidurnya berdua,

dikuasai oleh hawa nafsu,

ramai suara burung,

sebagai ciri bersenang-senang,

diikuti ayam berkokok,

tersebutlah penganten,

termangu-mangu bangun,

sama-sama lesu,

karena mengikuti hawa nafsu.


Dilihat akan susu (istrinya),

sang ayu dalam keadaan sedih,

bergeser (dia) duduk,

serta memandang ke lain arah,

berlinang-linang air matanya,

suaminya segera menyambut,

merayu serta mencium,

aduh kesayanganku sang ayu (adinda),

kesayanganku,

naiklah ke tempat tidur.


Kelambu sudah ditutup,

sang putri gelisah menangis,

lalu (dia) menepuk dada (suaminya),

73 [ 73 ]sang kakang angarih-arih,

mas ingsun sang luir ratih,

sampun wedi pukulun,

sang diah angrasi cita,

miati maduning samir,

ndan sang kakang,

weruha rimulani duka.


256. Langsane sampun inalapan,

dosania marasi hati,

duh dewa sang serining sinom,

paran dadalaning wingit,

warahen ingsun yayi,

paran si luputing sun,

menang sang winedanan,

malih rinowang sekapti,

sayan tutut,

esep risaktining semara.


257. Awiatara sangang dinan,

denira nantani kapti,

sampun anunggal suwa jiwa,

saseluanira inarih,

tan samaning arabi,

setata dera amu-amu,

kunang sang kina nerman,

nitiasa anut gati,

setiti budya ruruh,

setaning supati barata.


258. Dina ratri karasikan,

ahentian-hentian kerasmin,

anawung semara turida,

akecak ganda siliasih,

tan hana limangan sih,

saya ngelung asulur lulut,

tan sah atika-tikan,

satiru pucang pinalih,


lakinya merayu-rayu,

adindaku (yang) seperti bulan,

janganlah (adindaku) takut,

sang putri merasa takut-takut,

melihat sambungan kelambu,

serta lakinya,

tahu asal-usulnya bersedih.


Kelambu sudah dibuka,

dosanya menakutkan hati,

duh, adinda sang sarinya bunga,

apa yang menyebabkan bersedih,

katakanlah kepadaku,

apa kesalahan kakanda,

diam yang ditanyai,

lagi (ia) ditiduri,

makin menurut,

ditundukkan oleh kesaktian asmara.


Kira-kira ada sembilan hari,

mengikuti hawa nafsu,

sudah menjadi satu (sejiwa),

setiap saat bercumbu-cumbuan,

tak ada menyamai (mereka) berkeluarga,

selalu (sang ayu) dipuji-puiji,

adapun orang yang disayang,

selalu menurut,

terus hatinya berbakti,

karena (dia) berpati berata.


Setiap malam (mereka) bertemu,

bersenang-senang,

mempertemukan nafsu birahi,

saling gelut dan berkasih-kasihan,

tak ada yang kekurangan kasih.

makin bertambah perasaan kasih,

(keduanya) berkencan,

setiap saat berkencan,

74 [ 74 ]sama lulut,

tan pendah sekar apasang,

259. Tan supta ring dewa puja,

nitim yoga semadi,

denira meng kerasikan,

tana nguwah dina ratri,

kunang sira sang kalih,

nitia marekang sang ibu,

tan mari ngalila-lila,

minaki citaning bibi,

sedang tiru,

polah ira somawita


260. Nian sira Rangda kendahan,

henti sukanikang hati,

luir manggih manik kestuba,

wijiling jaladi,

tuhun ndatan pasiring,

sukaning handama mantu,

kerid pameratning duka,

silaning wong ambicari,

sawa lebur,

supurna atemah hilang.


261. Pira kunang ikang kala,

angamong suecaning kapti,

mangke sira Mpu Bawula,

atutur semayang nguni,

tumuli anunulis,

katuring sang mahabiksu,

sampun kawaspada,

sapolah aneng rerepi,

saha dulur,

saupakaraning punika.


sating mencintai,

tidak ubahnya seperti bunga sepasang.


Tak lupa menyembah Tuhan,

o;etiap saat bersemedi,

pada waktu mereka bercintacintaan,

tidak menbiarkan di waktu malam,

tetapi mereka keduanya,

setiap saat bersujud pada ibu,

{demikian pula) ketika bersenangsenang,

mempersenang hati ibu (nya),

patut dtcontoh,

tingkah laku mereka berkeluarga.


Demikianlah ibunya tercenang,

benar-bimar sempuma kebahagiaannya,

seperti menemukan manik kestuba,

muncul dari laut,

betul-betul tidak ada tandingannya,

senang memiliki mantu,

hilang yang menyebabkan hati sedih,

tingkah laku orang penyihir,

semua hilang,

menyebabkan hilang semua.


Entah berapa hari lamanya,

mengikuti kesenangan hati,

tersebutlah sekarang Mpu Bawula,

teringat akan janji dahulu,

lalu menulis (surat),

disampaikan kepada biksu agung,

sudah diperiksa(nya),

soal ini surat itu,

disertai,

upacara pemberian.

75 [ 75 ]262. Tan koning lampahing duta,
prapti maring Lemah Tulis,
wus katuring mahadwija,
kendahan sira sang yati,
linukar ikang tulis,
neher winacanang kayun,
basania wus kasida,
linawening punia luwih,
dadia wuwuh,
harasnira sang pandita.

263. Henjing sira adan lunga,
anglawad sira sang kalih,
kuneng wawu bangbang,
sigra anyujur lumaris,
tan kasanggraheng waji,
tan hana sisia andulu,
prapta ring desa-desa,
nisteja punang nagari.
tis-tis samun,
tan pendah hanang siluman.

264. Akeh kunapa pinasar,
kesarakat hanang margi,
atunah-tunah wak nanah,
len hana ring sampir-sampir,
angempang ganda samit,
waneh sawa sedang luduh,
seregala darpa mangsa,
sineraning gagak amisik,
anggagaluk,
umuwang suarania urahan.

265. Wonten sandingikang awan,
wong wadon akusa nangis,

76

Tidak diceritakan perjalanan
utusan,
(sudah) sampai di desa Lemah Tulis,
sudah diserahkan (surat itu pada)
pendeta agung,
termenung beliau sang pendeta,
dibuka surat itu,
lalu dibaca dalam hati,
isi surat itu sudah dimengerti,
disertai dengan pemberian baik,
bertambah-tambah,
kesenangan sang pendeta.

Pagi-pagi beliau akan pergi,
mengunjungi mereka berdua,
pada waktu fajar menyingsing,
segera lalu berjalan,
tidak mengendarai kuda,
tidak ada siswa (muridnya) ikut,
sesampainya di desa-desa,
tidak berwibawa desa tersebut,
sangat sepi,
tidak bedanya seperti dalam bayangan.

Banyak mayat-mayat bergelimpangan,
berhamburan di jalan-jalan,
bertebaran busuk keluar nanah,
ada juga di pinggir-pinggir (Jalan),
berbau busuk,
yanglainnya(ada)mayat sedang
hancur, membusuk,
anjing galak memakannya,
disertai oleh burung gagak,
berbunyi,
ramai suaranya ribut.

Ada yang di samping (pinggir) jalan,
wanita tersipu-sipu menangis, [ 76 ]sambat sambatnia melas arsa
jalunia tan mari nulik,
lalu tan sihing widi,
asung lara sedeng sapum,
ndi luwunge tinilar,
tanana ngenaking hati,
len antu,
maka panudaning lara.


266. Kanggek sira sang yatinindra,
angrenga suaraning tangis,
katon wong wadon akusa,
lastaria sira marani,
liwar kawelas asih,
sang dwija mar mara nuwus,
ih mapa kaprenah ta,
marmaning kudu anangis,
sigra matur,
singgih sang seri suniwara.


267. Jalu manira punika pejah,
sedeng silih asih,
tulus asih sang pangempuan,
asung wara amerta urip,
sarwi isek anangis,
tan pegat pamah nikang luh,
sang maha dwija angucap,
kukub nia mangke lukari,
wus dinudut,
katon waman nikang sawa.


268. Kengis ring wajane ridanta,
liepning netra ngenanin,
adan sira sang dwija wara,
lumekas hande ha sudi,
ngeranasika semadi,
parekning aduwaya pinuh,


" ocehannya menyayat hati,
suaminya selalu melotot (matanya),
sangat tidak dikasihi Tuhan,
memberi kesengsaran di kala kawin,
ke mana bepergian kakanda,
tidak ada mengenakkan hati,
hanya meninggal,
sebagai akhir kesengsaraan.


" Kasihan beliau sang pendeta,
mendengar suara tangis,
terlihat seorang wanita tersedusedu,
lalu beliau mendatangi,
(karena) sangat belas kasihan,
sang pendeta berkata,
oh apa yang menyebabkan kamu,
sehingga akhimya menangis,
segera menyembah,
oh yang terhormat pendeta agung.


" Suami hamba itu mati,
sedang berkasih-kasihan,
lanjutkanlah belas kasihan pendeta,
memberikan jiwa kehidupan,
serta terisak menangis,
tak putus-putusnya air mata
yang perempuan,
sang pendeta agung berkata,
selubungnya sekarang diangkat,
setelah dibuka,
terlihat wajah mayat tersebut.


" Kelihatan giginya seperti gading,
cahaya mata menyorot,
tetapi beliau pendeta agung,
lalu mengheningkan cipta,
memusatkan pikiran,
setelah beliau menyatukan pikiran,


77 [ 77 ]ridalemaning luang,
wibuh atemah katrini,
metu bayu,
sajiwa kewasa molah.


269. Sampun atangi kang sawa, metu sabda matur aris,
singgih sang seri dwijawara,
anugraha asung urip,
paran tawuraning sih,
yang lena sarira ayuh,
nitia anuhun pada,
sampunan dadawan kaki,
apan durung,
tekaning meretiu wasana.


270. Rabinika sawur sembah,
henti sukanikang hati,
paran tawuraning hutang,
agung sakasa pretiwi,
mangke menira ngimg,
selaku saluan sang Biksu,
sang maha dwija angucap,
lakin ta kantinen mulih,
sarwiya nyujur,
lampahira sang pandita.


271. Pirang desa kaliwatan,
suket peringga jurang rupit, kuweh ikanang waturidang,
wonten desa agung kapanggih,
malih hana wong istri,
anangis sarwi akukubun,
akidupuh asambat,
malih katiksenaning Rawi,
sigra rawuh,
sang dwija mareki riya.


di dalam suasana sunyi,
membesar menjadi tiga,
keluar tenaga,
menghidupkan menjadi bergerak.


Sesudah bangun mayat itu,
keluarlah suara lalu menyembah,
paduka sang pendeta agung,
(yang) menganugrahkan hidup,
apa yang (hamba) pergunakan membalas baik budi (paduka),
jika tidak badan dan jiwa hamba,
selalu (hamba) menyembah paduka,
janganlah dipersoalkan lagi,
karena belum waktunya,
datang saat meninggalnya.


Istrinya mengucapkan sembah,
luar biasa senangnya,
apa yang hamba pakai membayarnya,
besar memenuhi langit dan bumi,
sekarang hamba menurut,
bagaimanapun kehendak paduka,
sang pendeta agung berkata,
suamimu ajaklah pulang,
lalu beliau melanjutkan,
perjalanan beliau sang pendeta.


Entah berapa desa (yang) dilewati,
semak lebat jurang (dan jalan) sempit,
banyak batu yang tajam-tajam,
ada desa agung (yang) dijumpai,
lagi ada orang perempuan,
menangis serta berkerudung,
bersimpuh komat-kamit,
lagi pula dipanasi matahari,
segera datang,
sang pendeta mendekatinya.

78 [ 78 ]272. Pinekul ikang sang dwija,
ature aroruan tangis,
akusa heng padanira,
tulusa suweca nugrahani,
maran sida aurip,
jalu manira pukulun,
kinenira anglukar,
sumar durganda asamit,
sampun luduh,
katon tan pandah kinela.


273. Abeh tan kena winangwang,
sumahur sang mahayati,
tan wenang umurip muweh,
apan semayaning pati,
rabinia akrak menangis,
duh papa jiwitan ingsun,
dudu temen nira dewa,
ling ira sang mahayati,
haywa sungsut,
lakinta wus molih marga.


274. Rabinia tuhu winuda,
apti weruh perenah ning laki,
anembah amelas arsa,
harsa sira sang mahayati,
rep sira asemadi,
katon suwarga bera umurub ,
kalpa tarunia anjorah,
perasada akueh padma manik,
mangke dulu,
tiaksa aken denta umulat.


Dipegang beliau sang pendeta,
sembahnya disertai tangis,
bersimpuh di kaki sang pendeta,
teruskanlah belas kasihan (paduka).
supaya bisa hidup,
suami hamba tuanku,
disuruh membuka selubung (mayatnya),
tersebar bau busuk,
sudah busuk,
kelihatan tiada bedanya dengan direbus,


Bengkak tidak dapat dikenal,
berkatalah sang pendeta,
tidak bisa hidup lagi,
karena sudah janjinya mati,
istrinya menjerit menangis,
duh kakanda jiwaku,
sampai hati kakanda,
berkatalah beliau sang pendeta agung,
janganlah sedih,
suamimu telah mendapat jalan (baik).


Istrinya benar-benar bodoh,
ingin tahu tempat suaminya,
menyembah menjatuhkan hati,
maulah sang pendeta,
segera beliau bersemadi,
terlihat sorga bercahaya,
kayu kalpa sedang berbunga,
candi banyak (serta) bunga tunjung,
sekarang lihat,
perhatikanlah baik-baik olehmu.


79 [ 79 ]275.Milang-mileng denia mulat,
tan pasang matra kapanggih,
singgih sang seri mahadwija,
ndi nggon nira sang lalis,
angling sang mahayati,
haywa tumingaling luhur,
ngguan nira sang utama,
mingsor lihati patiting,
katon meru,
atepika sasingitan.


276. Rinengganing sarwa sekar,
risanmukanika radin,
tiningkah-tingkah telaga,
wenia suda hening,
kumuda sehen seri,
rakta nila sudah sindu,
rinabasang brahmara,
rabinia arsa ningali,
dadi lipur,
jalunia amanggih suarga.


277. Pira kunang sinungjiWa,
denira sang mahayati,
sama rnantukang aswadesa,
meh wonten sangang wengi,
denira adoh lumaku,
wetning durganing awan,
ararian sira alinggih,
sering taru,
watning katiksenaning arka,


278. Tinonira na pangangsuan.
sigra sira mamarani,


Ke sana ke mari dilihatnya,
tidak terlihat sedikitpun olehnya,
Ya paduka sang pendeta agung,
di mana letaknya orang yang
meninggal,
berkatalah sang pendeta agung,
janganlah kamu melihat ke atas,
tempat beliau orang yang utama,
di bawalah lihat dengan cermat,
kelihatan maru,
atapnya (sangat) baik.

Dihiasi dengan beraneka-warna
bunga,
di mukanya meru itu,
di isi telaga.
airya suci bersih Oemih),
tunjung(nya) sarat berbunga,
(warnanya) merah biru dan putih.
diisap oleh kumbang,
istrinya senang melihatnya,
akhimya senang,
(karena) suaminya mendapat
sorga.

Entah berapa banyaknya dikaruniai
jiwa,
oleh beliau sang pendeta agung,
semua pulang ke desanya masing-masing,
barangkali ada sembilan malam.
oleh beliau jauhnya berjalan,
karena rusaknya jalan,
berhentilah beliau (serta) duduk,
di bawah pohon,
akibat panasnya matahari.

Dilihat beliau tempat mandi,
segera beliau mendekati,

80 [ 80 ]sinaria nucul,
angadu asta musti,
tinuting sasmerti,
amutar gangga tumungkul,
sineranging patanganan,
riwus sira asuci,
nendal kampuh,
aningset punang basahan.

279. Sampun sira wus anginang,
andawut payung lumaris,
katon tang pancaka wiyar,
kueh kayu agung atitib,
bage lan kamalagi,
rangra kalawan taru unut,
meh parek lakunira,
kumedap hana wong istri,
hayu-hayu,
mederan ri tengahing setra.


280. Ngungsi anur pamanggahan,
akidupu nunggar weni,
angigel amungkas wastra,
sukunia nginggang sasilih,
wawu mayat amusti,
tumingkahing sang maha biksu,
kagiat maleni polah,
sang dwija mangke inungsi,
sigra matur,
hendi paran sang pandita,

281. Mandeg sira sang sinantuan,
sumawur duh nini kalih,
manira lunga haneng Jirah,


lalu membuka pakaian,
mencakupkan tangan,
diikuti mentra,
memutar sir (beliau) merunduk,
disertai mengusap-usap,
setelah beliau mandi,
memakai kampuh,
serta melilitkan kain.

Sesudah beliau selesai makan sirih,
mengambil payung serta berjalan,
kelihatan kuburan luas,
banyak kayu besar tumbuh rapat,
pohon bage serta pohon anam,
rangdu serta pohon bunut,
setelah kiranya makin dekat perjalanan beliau,
tahu-tahu lewat seseorang perempuan,
cantik sekali,
berkeliling di tengah tanah kuburan.


Menuju tempat pembakaran mayat,
bersimpuh menguraikan rambut,
menari menaikkan kain,
kakinya nengkleng (dinaikkan) satu,
baru akan mencakupkan tangan,
terlihat sang pendeta agung,
cepat berobah tingkah,
sang pendeta sekarang dicari,
segera menyembah,
hendak ke mana (ratu) sang pendeta.

Berhenti (berjalan) sang pendeta,
berkatalah (beliau), hai anakku berdua,
aku menuju ke (desa) Jirah,


81 [ 81 ]asasanjan hanut kapti,
sang diah arsa wot sari,
sinarya amekul suku,
selahnia amelas arsa,
angisek-isek anangis,
kagereking luh,
marabas anut kapeya.


282. Singgih sang seri muniswara,
wara,
daweg tumulusa asih,
ring wong muda hina seraya,
anamtami tuas apingging,
sulah sad tatayi,
rehing kaluputan laku,
dening suwa karma,
yan tan sih sang mahayati,
maran papa,
patakaning awak,


283. Keda minta linukat,
apan sang seri mahayati,
murtining parama Siwa,
amunah sakuehing weci,
ndan sang seri mahayati,
madura wetuning wuwus,
kamekaranang setra,
siapa swaparanta nini,
kaduk rumrus,
warna pasancayeng rimang.


284. Sang diah kalih sama anembah,
selahe amangun ragi,
Weksirsa Mesa Wadana,
weruha sang Maha yati,


hendak jalan-jalan,
sang putri mau menyembah,
seraya memeluk kaki (pendeta),
perbuatannya menimbulkan belas kasihan,
terisak-isak menangis,
deras keluar (air matanya),
sampai meleleh di pipinya.


Ya paduka sang pendeta agung,
teruskanlah berkah (paduka).
dengan orang (yang) hina miskin (dan) tanpa teman,
menuruti pikiran jahat,
melakukan sad tatayi,
karena salah jalan perbuatan (hamba),
oleh perbuatan sendiri,
kalau tidak berbelas kasihan sang pendeta agung,
akhirnya papa,
(karena) kebusukan diri sendiri.


Lalu (ia) minta supaya disucikan,
karena sang pendeta agung,
penjelasan dewa Siwa,
menghilangkan segala noda,
tetapi sang pendeta agung,
manis keluar perkataannya,
kebetulan ketemu di kuburan,
siapa gerangan namamu,
sangat cantik,
rupamu sangat menarik hati.


Sang putri keduanya menyembah,
tingkah lakunya menyenangkan,
Weksirsa, Mesa Wedana,
tahulah sang pendeta agung,


82 [ 82 ]daweg tulusa asih,
mertaning wang kawelas hyun,
sahur sang pandita,
nirdon pamitanta nini,
dahat keweh,
amerih pembaliking duka.

285. Apan ulah ta candala,
angguguwani sad tetayi,
puran ujarku ri sira.
tan yogia wang kadi kami,
anyisianing bicari,
brahmantian kajaring tutur,
ulah ta wus anasar,
tan kena ring mantra sidi,
sewu tahun,
watesnia tan keneng supat.

286. Maka kentipaning kawah,
yan entas lagi durnadi,
anusuping paran-paran,
atenah sarwa kumitip,
sang diah marma angapi,
wamania mawarna luru,
yaya madapa layuan,
keriding waca nang muni,
mangu-mangu,
aturu ring ulah nasar.

287. Baya tanana sih nira,
kerangan anuli amit,
manggut sang dwija wara,
kuneng sang hana ring puri,
sira Rangda angapi,
warta sang pandita rawuh,


lanjutkan asih paduka.
hidupkan orang yang sengsara,
berkatalah sang pendeta,
percuma permintaanmu,
sangat sulit,
mencapai kebalikan duka.

Karena perbuatanmu jelek,
mengikuti sad tetayi,
bagaimana ku katakan padamu,
tidak patut orang seperti saya,
menjadikan murid (seseorang) penyihir,
dikenai bahaya dikatakan dalam
sastra,
perbuatanmu sudah salah,
tidak bisa diubah dengan mantra
sakti,
seribu tahun,
batasnya tidak bisa disucikan.

Menjadi dasar kawah,
lalu lahir kembali,
menyelusup ke mana-mana,
menjadi macam binatang,
sang putri pada waktu mendengar,
rupanya menjadi lesu,
seperti daun Jayu,
tertarik perkataan sang pendeta,
termangu-mangu,
teringat akan tingkah laku (yang)
salah.

Barangkali tidak ada berkahku,
malu serta permisi,
mengangguk sang pendeta agung,
tetapi orang ada di puri,
sang Rangda mendengar,
berita sang pendeta datang,

83 [ 83 ]wus aningkah dunungan,
setaning katekan tamui,
gereh gumuruh,
hana sabdaning akasa.

288. Yatna-yatna nini Rangda,
kumemit ikanang urip,
mangke Kala Mertiu datang,
manggang lapa amerih bukti,
Ndan si Rangda mangkeki,
tan weruh pangataging Mertiu
kalalah dening suka,
kurang sira sang mahayati,
sigra rawuh,
tumanduk hana ring pura,

289. Sira Rangda aswagata,
tija bagia sang maharsi,
yaya taru kapanasan,
Jirah katibaning riris,
datang sang mahayati,
sumawur sang wawu rawuh,
meneng haywa dadewa,
akaruan sira alinggih,
akueh rawuh,
sepakaraning panyapa.

290. Suka sang seri dwijawara,
kendahan dening penemui,
sarjawa dening angusap,
duh singgih yayi sang padmi,
ndi sang serining puri,
sira ta tan weruhing mantu,
liwar sihira dewa,
amupuani wang kasiasih,
budia rumh,
setaning angega brata.

84

setelah mengatur tempat tidur,
karena kedatangan tamu,
guruh gemuruh,
ada sabda dari langit.

Siap-siaplah kamu Rangda,
memelihara jiwamu,
sekarang Kala Mertiu ( dewa Kematian) datang,
ternganga karena ingin makan,
tetapi sang Rangda sekarang,
tidak tahu dicari Mertiu,
dikalahkan oleh kesenangan,
tersebutlah beliau sang pendeta
agung,
segera datang,
datang berada di puri.

Sang Rangda lalu menyambut,
berbahagialah ratu sang resi agung,
seperti kayu kekeringan,
Jirah dituruni hujan,
datang (ratu) sang pendeta agung,
berkatalah sang baru datang,
janganlah banyak ceritera,
berdua mereka duduk,
banyak orang datang,
dengan tatacara penyambutan.

Senang sang seri pendeta agung,
tercengang dengan persediaan tamu,
halus caranya bicara,
aduh adinda yang berbudi baik,
di mana yang menjadi inti puri,
orang yang tidak tahu menantu,
betul-betul baik budi dewa,
memungut orang yang miskin,
bijaksana berpikir,
karena (kamu) memegang berata. [ 84 ]291. Luir prabanikang sasangka,
awartaning sarwa urip,
yan ring ambek mautana,
suci luir jeroning udadi,
ndan sira Rangda angling,
singgih ranak sang mabiksu,
kalih sampun winarang,
geneping sapali-pali,
wong anawang
kotamaning sang brahmana.

292. Pitangkui sang mahadwija, Bawula ngereh iriki,
maka pageguaning pura,
rowanganing sepati urip,
apan tanana laki,
presida mimasan juru,
hatur mineng telaga,
taning wong angumit,
den tumulus,
suecaning wong hina seraya,

293 . Sumawur sang yatiwara,
ramani ya hyanta rari,
sanmataneng nir aseraya,
paran tawuraning silt,
yan tan sewa iriki,
maka walaning sang ayu,
asreran suka-duka,
kedia atur paring uluh gading,
wiyala nungga,
paras-paron pasarpana,


Sebagai sinar sang bulan,
memberi hidup setiap kehidupan,
kalau pada pikiran yang baik,
suci seperti di dalam lautan,
lalu sang Rangda berkata,
ya anak tuanku pendeta agung,
keduanya sudah dikawinkan,
lengkap dengan upacaranya.
orang kawin,
(sesuai) dengan keutamaan sang
brahmana.

Permintaan saya (kepada) sang
pendeta agung,
Bawula (biarkan) berdiam di sini'
sebagai penguasa rumah ini,
diajak mati hidup (sehidup-semati),
karena tidak ada lelakinya,
sebagai penguasa ( di sini),
seumpama ikan di dalam telaga,
tidak ada orang memelihara,
supaya lanjut,
belas kasihan (terhadap) orang yang
kekurangan teman

Berkata sang pendeta agung,
sangat baik kata-kata adinda,
membahagiakan aku yang tidak
punya teman,
apa (yang dipergunakan) membalas
budi,
kalau tidak diijinkan di sini,
sebagai suami sang ayu,
bersama-sama suka-duka,
diumpamakan sebagai buluh gading,
ular menunggu,
saling tolong terus-menerus,

85 [ 85 ]294. Namia danira wiwaksan,
sama anut suacaning kapti, marah sukaning awarang,
dadi akena nuruhi,
sanghyanging madu pasir,
sira sang diah kaget rawuh,
menggep anganer lampah,
anembahing sira kalih,
sampun lungguh,
raspati sira ketigan.

295 . Kascarian sira sang dwija,
tumen warnaning sang putri,
yaya pituruning sanghyang,
ingusap-usap inarih,
ninung wacana asnis,
hayu temen anak ingsun,
atut dira akarma,
telih siramanta nini,
wiku talun,
nirartaka welas arma.

296. Ndan sang mahayatiwara,
asung sasaran sasisih,
aisambut astaning anak,
tinuting wacana manis,
tarima iki nini,
sang diah anangan wot santun, sira Rangda angucap,
tedanen punika nini,
satsat simung,
sira adnyana kemitan.

297. Prapta nira Mpu Bawula,
madapa saha wot sari,
merene kaki lungguha,
sareng siramanta riki,

86

Baik seraya berbicara,
sama-sama baik melaksanakan kesenangan,
mengatakan kesenangan perkawinan,
lalu disuruh memanggil,
orang yang membagi gula pasir,
beliau sang putri segera datang,
baik caranya mengatur perjalananan,
menyembah beliau berdua,
sudah duduk,
baik duduk mereka bertiga.

Tercengang sang pendeta,
melihat wajah sang putri,
sebagai keturunan dewa,
dielus-elus dituturi,
diberikan kata-kata manis,
cantik sekali anakku,
cocok kamu kawin,
lihatlah ayah anakku,
pendeta di hutan,
miskin serta sering sakit hati.

Lalu beliau sang pendeta agung,
memberikan sebuah cincin,
diambil tangan menantu(nya),
disertai kata-kata manis,
terimalah ini anak(ku),
sang putri menerima pemberian
(itu),
sang Rangda berkata,
mintalah ini anak(ku),
sebagai pelindung,
yang melindungi jiwa (mu).

Datanglah dia sang Mpu Bawula,
merunduk serta menyembah,
kemari bersama anakku duduk,
bersama ayah di sini, [ 86 ]tumuli sira atangi,
tan asaru munggahing batur,
micara parang kapat,
sirayi nira sinanding,
tuhu atut,
tan pandah sakar apasang.

298. Henti sukan nira Rangda,
tumingaling sira kalih,
winanguang pananding ira,
atut sanghyang semara ratih,
tuhu tan hana malih,
sukan nira manantu,
kaya pahaning cita,
mangaduning Sanghyang Widhi,
tandua mawuh,
tadah asri sopacara.

299. Sampun sama ginelaran,
rawina wijiling jawi,
tumuli sira anadah,
akaruan-karuan pasagi,
enak denira ambukti,
sukaning awarang mantu,
pirang dina kasukan,
tan kurang muang tadah bukti,
sarwa penuh, sawamaan nikang berana.

300. Awiya tara made candra,
lawas ira nang mayati,
umungguh hana ring Jirah,
kewarna hana ring ratri,


lalu (Mpu Bawula) bangun,
tidak cepat-cepat dia naik ke
lantai,
berbicara mereka berempat,
istrinya disandingi,
sangat cocok,
tidak ubahnya sebagai bunga sepasang.

Sangat berbahagia sang Rangda,
melihat mereka berdua,
diperhatikan persandingannya,
sesuai dengan sang semara, rembulan,
benar-benar tidak ada lagi,
berbahagia memiliki menantu,
seolah-olah muncul kegembiraannya,
dipertemukan oleh Sanghyang Widhi,
lalu datang,
suguhan (yang) baik beserta segala
sesuatunya.

Semuanya sudah diatur,
minum-minuman dari Jawa,
lalu beliau santap,
bersama-sama berempat,
enak oleh mereka makan,
berbahagia mereka berbesan serta
bermenantu,
entah berapa lamanya bersuka-sukaan,
tidak kekurangan makanan dan
minuman,
serba cukup,
segala harta dan kekayaan lainnya.

Kira-kira ada lima belas hari
lamanya beliau sang pendeta,
berada di desa Jirah,
pada suatu malam hari,

87 [ 87 ]si Rangda semu wingit,

atuturing ulah dudu,

mangke apti linukat,

tan lan sira sang mayati,

maka guru,

amunah saluiring camah.


301. Pinara nira sang dwija,

tan sinungan wong angiring,

munggah maring pakuleman,

tanasera aningkab samir,

stangi sang mayati,

duh warangku kapo rawuh,

marangke alinggiha,

ndan nira Rangda alinggih,

sarwi matur,

sadara ngupaksama.


302. Duh singgih mang mahadwija,

tulusaken ta mangkeki,

suecaning awawarangan,

haneda putusing haji,

maran dida keili.

saletahing pangan kinun,

muang patekaning awak,

maka sangu aning pati,

maran luput,

kawawang neraka leka.


303. Mangke sun asarah jiwita,

sadera sang mayati,

palaren hana ring sewah,

malih atemah brahmani,

tulus asih sang mayati,


sang Rangda berwajah sakit,

ingat (dengan) tingkah laku salah,

sekarang berkeinginan disucikan,

tidak lain (oleh) beliau sang biksu agung,

sebagai guru,

menghilangkan segala dosa,


Didatangilah beliau sang biksu agung,

tidak diijinkan orang mengikutinya,

datang di tempat penginapan,

tidak lama beliau membuka kelambu,

bangunlah sang biksu agung,

oh besanku yang datang,

marilah anda duduk,

akhirnya beliau duduk,

serta menyembah,

sambil meminta maaf.


Oh ratu sang biksu agung,

teruskanlah pada waktu sekarang,

berkahilah hamba,

hamba memohon keputusan sastra,

supaya bisa hanyut,

semua dosa makanan dan minuman (hamba),

serta dosa-dosa jasmaniah,

sebagai bekal untuk mati,

supaya luput,

dari segala dosa di dunia.


Sekarang hamba menyarankan jiwa,

sekehendak sang biksu agung,

kiranya ada di kemudian hari,

lagi menjadi brahmani,

teruskanlah berkah (paduka) sang biksu agung, [ 88 ]manira aptia surud,

apan luputing sila,

angrudah sasaneng nguni,

laku neluh,

amati-mati tan salah.


304. Apan sang seri yogiswara,

sekala Hyang jinamurti,

amunah saluiring camah,

siwaning amerih subudi,

kuneng sira sang yati,

mesem mawacana harum,

mangke kapo kahyunta,

amerih panudaning sisip,

apan agung,

dandaning sulah dusta.


305. Amatia wong nira dosa,

saluwiraning sad tetayi,

ewuh yan amari suda,

kimuta wang kadi kami,

Sanghyang Hari Candani,

tan sida sajroning ukur,

hana ling nikang sastra,

tueknia hana ring weci,

sewu satus,

tahun nika tinama.


306. Dahat mara sira Rangda,

matu tirtaning aksi,

sesegan denira angucap,

polahe angasih-asih,

tulus aken mangkeki,

yan tan asih sang biksu,


saya berkehendak melakukan
penyucian,

karena salah jalan,

menghapus perbuatan yang dulu,

melakukan perbuatan ilmu hitam,

membunuh (orang) yang tak berdosa.


Karena sang seri kepala yogi,

nyata beraliran Buda,

melenyapkan segala dosa,

guru (orang) yang mencari kebaikan
budi,

maka beliau sang pendeta,

ketawa kecil (serta) berkata (dengan) manis,

begitu kehendak adinda,

berkehendak melenyapkan dosa,

karena besar,

kesalahan orang melaksanakan kejahatan.


Membunuh orang yang tidak berdosa.

segala yang melaksanakan dosa,

sulit akan melakukan penyucian,

apalagi seperti kakanda,

Ida Sanghyang Ari Candani,

tidak bisa di luar batas,

ada dikatakan dalam sastra,

selamanya berada di kawah,

seribu seratus,

tahun lamanya kena hukuman.


Terlalu takut sang Rangda,

keluar air matanya,

terbata-bata dia berkata,

tingkah lakunya mengibakan hati,

lanjutkanlah sekarang,

kalau tidak belas kasihan sang
biksu,

89 [ 89 ]karaming marorawa,

maka antiping go weci,

meh satuwuk,

maka isinikang kawah.


307. Sumawur sang yatiwara,

paran sih ujaran muni,

kedeh denira aminta,

riputusing sanghyang aji,

mah iki sastra aji,

terikona maka pamasuh,

sarageding sarira,

asuci laksana sari,

sida lebur,

saletuhaning pinangan.


308. Ni Rangda malih angucap,

niskarana sastra aji,

mung lebur letuhing pangan,

pintang kui ring sang mayati,

parek ning pati urip,

nir aksara tan patuduh,

sang dwija ngucap alon,

yan lena kahyunta rari,

pilih metu,

sadeh nika winulatan.


309. Pitowi sarwa berana,

wonten niya ring Lemah Tulis,

tan lan sirayi misesa,

apan ketamaning aji,

kinutang warah jati,

tan wenang sira sang wiku,

wineh akening murka,


tenggelam di kawah (di neraka),

menjadi kerak kawah,

barangkali terus-menerus,

menjadi isi kawah tersebut.


Berkatalah sang kepala pendeta,

apa yang kakanda ucapkan (terhadap) adinda,

karena adinda dengan sangat meminta,

yang sudah ditetapkan oleh sastra,

nah beginilah dikatakan dalam
sastra,

terikona sebagai alat pembersih,

dosa-dosa di badan,

suci dilaksanakan setiap hari,

bisa hancur (hilang),

segala dosa yang melekat.


Sang Rangda lagi berkata,

tidak ada manfaatnya belajar sastra,

yang bisa melenyapkan dosa,

yang hamba minta pada sang pendeta agung,

pertemuan mati dengan hidup,

tak tersurat dan tidak diwajibkan,

sang pendeta berkata lemah lembut,

yang lainnyalah dipikirkan adik,

pasti muncul,

sejauh-jauhnya dipandang (dibayang-
kan).


Biarpun segala harta benda,

yang ada di Lemah Tulis,

tidak lain (hanyalah) adinda yang
kuasa,

karena keutamaan sastra,

mengikuti nasihat pasti,

tidak patut beliau sang biksu,

memberikan kepada penjahat, [ 90 ]brahmantia lingnikang aji,

neh saturut,

kawaweng neraka loka.


310. Sanginujaran angucap,

meletik tang berahma ring hati,

katereng muka muang panon,

mapa ling sang mahayati,

wontening Lemah Tulis,

ni Rangda misesa iku,

mene hana ring Jirah,

paran kakurange malih,

sarwa penuh,

suwaman nikang berana.


311. Nging manda bagia ni Rangda,

tan kenaning sastra luwih,

marmaning putri sanunggal,

maka walenikang aji,

padena tan kapanggih,

nirwa pangalpikang guru,

sumawur sang pandita,

hila-hila ling ning aji,

yan sang wiku,

aweh ring wang nica dusta.


tercela dikatakan oleh sastra,

malahan ikut,

terbenam di tempat neraka.


Lalu sang Rangda berkata,

timbul kesedihan di hati,

terbukti di wajah dan di mata,

bagaimanapun yang dikatakan oleh
sang pendeta agung,

apapun yang ada di Lemah Tulis,

agar sang Rangda menguasainya,

yang ada di sini di Jirah,

apa yang kekurangan lagi,

semua banyak,

segala harta benda.


Tetapi kurang bahagia sang Rangda,

tidak tahu sastra utama,

itu sebabnya anakku seorang,

untuk penukar sastra tersebut,

kalau (juga) tidak diketemukan,

tidak berhasil permohonan saya
pada guru,

berkatalah sang pendeta,

bahaya dikatakan dalam sastra,

kalau sang pendeta,

memberikan kepada orang dosa
dan dusta.


Pupuh Durma


312. Nging yan tan sida pejah,

uripmu mangke winalik,

winawang tambra germuka,

linaraning yama pati,

ni Rangda anasuri,

toh tulus aken hidepmu,

sampayu semaya ing setra,


Kalau tidak bisa mati,

jiwamu akan kembali,

dibawa (ke kawah) tambra gemuka,

disengsarakan (oleh) Yama pati,

sang Rangda menyahut,

teruskanlah berkah pendeta,

berjanji berperang di tanah kuburan, [ 91 ]paduning cengil tur lumaku

polahe anggawe dursita.


313. Sampun prapteng sama akaruan-karuanan,

ndan sira Rangda nuding,

metu katungkania,

nulirak takang soca,

sumirat dilahing apui,

jihwa umalad,

siyung agasa alungid.


314. Pengung tang hirang malwa
tutuk umanggang,

sumelap ikanang apui,

angerob-angarab,

tonton nangka Bradah,

ndan hanya taru waringin,

gineseng ira,

basmi atemah sati,


315. Tumungkul dinelengikang nahi
tala,

bubur ikang pritiri,

melek awurahan,

yaya walukewasa,

dineleng tikang jaladi,

kadi nanyunan,

ocak awanti-wanti.


316. Walih dineleng ira tikang
acala,

guntur sahudan sanggi,

kenasnia sasaran,

gumerebeg, ketaurag,

rubuh kayunia saling tindih,

sama roangnia,

kumeter hyang pretiwi,


akan berperang lalu berjalan

melakukan pekerjaan yang menyengsarakan.


Setelah sampai di kuburan berdua,

lalu sang Rangda menuding,

keluar marahnya,

melotot matanya,

menyorot keluar api,

lidahnya menjulur keluar,

taringnya bergesekan runcing.


Besar hidungnya serta mulut
menganga,

bersinar keluar api,

menjilat-jilat (berkobar-kobar),

dilihat sekarang Mpu Bradah,

ada pohon beringin,

dibakarnya,

terbakar menjadi abu.


(lalu beliau) merunduk melihat
tanah,

hancur tanah tersebut,

beterbangan,

seperti hujan abu,

(lalu) melihat laut,

seolah-olah diputar,

bergoyang-goyang.


Lagi dilihatnya sesuatu gunung,

runtuh (menjadi) hujan batu,

kijang-kijang kesengsaraan,

lari berhamburan,

kayu-kayunya jatuh saling tindih,

dengan sesamanya,

gemetar ibu pertiwi (bumi). [ 92 ]317. Mangke mapa hidepau he kong Baradah,

tuhu sura tan ajerih,

meneng sang mahadwija,

mangkeki si Baradah,

gesengku atemah asti,

tandwa dinilah,

wiakti tan mikarani.

318. Pining rusnan ping tiga widu
kewula,

sumahur sang mayati,

teka akan sadyanta,

mene widu kewala,

toh mangke tiaksa liati,

si Mpu Baradah,

amangun masta urip,


319. Yoga rnastu mangke rinegep ira,

wetuning cintia suci,

pretisteng sarira,

ritengahing nirbawa,

tinuting utpeti setiti,

muah supuma,

rnadeg kading prelagi.


320. Tonton mangke dente tiaksa he
kong Rangda,

adiya hana kaweruh ta malih,

si Rangda kerangen,

luwir maling kawenangan,

mangke uripmu winalik,

lila kang rnanah,

muah sira asernadi.


Sekarang apa kehendakmu he
Baradah,

betul berani tidak takut,

diam sang pendeta agung,

sekarang, ini Baradah,

bakarlah aku supaya menjadi abu,

lalu dibakar,

benar-benar tidak terbakar.


Dua kali tiga kali sang biksu dibakar ( tetapi tidak terbakar ),

berkatalah sang pendeta agung,

lanjutkanlah kehendakmu itu,

sekarang sang biksu (membalas)
membakar,

nah sekarang saksikanlah (dengan)
seksama,

sang Mpu Baradah,

mencabut jiwa dengan (alat) air
Judah.


Segera beliau beryoga,

muncul sintia suci,

berada di dalam hati,

di dalam dunia baka (sunia),

disertai utpeti atiti,

serta selamat,

hidup kembali seperti semula.


Lihatlah sekarang dengan seksama
he kamu Rangda,

apa kepandaianmu lagi,

sang Rangda malu,

seperti pencuri ketahuan,

sekarang jiwamu musnah,

pasrahkan jiwamu,

lagi beliau pendeta bersemedi. [ 93 ]321. Sanghyang Siwa geni mangke
rinegop ira,

pahaning kundananing,

mawan bayu bajra,

metu ikang pawaka,

ri paduning netra kalih,

tunggaling gerana,

sira Rangda dinagdi.


322. Pejah tan pasara awu temahania,


utpetinira malih urip,


sira Rangda anembah,

sarwiya angucap,

tulus akan sih sang yati,


amisan-misan,

irang kari surip.


323. Awelas sang dwija rohing kari awarang,

asung sanguaning pati,

murtining Siwa atma,

muah sira prelina,

pejah ni Rangda sang yati,

mantuking wesma,

kunang ring henjang henjing,


324. Wus sira amuja alinggihing natar,

kasenganing gaminjaring,

sira Mpu Bawula,

parang sira ajinira,

pawongan sama pepekin,

ndan sang dwija,


Sanghyang Siwageni sekarang dipakai oleh beliau,

disemayamkan di tempat api,

dibawakan oleh angin kencang,

keluar api tersebut,

pada pertemuan mata keduanya,

bersatu di hidung,

sang Rangda terbakar.


Mati tanpa mayat (sang Rangda)

menjadi abu akhirnya,

dihidupkannya kembali (abu) tersebut,

sang Rangda menyembah,

serta berkata,

teruskanlah belas kasihan sang biksu,

teruskan bunuh,

malu masih hidup.


Kasihan sang biksu karena masih besan,

dibuatkan tempat mayatnya,

penjelmaan Siwa atma,

serta beliau prelina,

(sesudah) sang Rangda mati, sang pendeta,

pulang ke rumah,

adapun besok paginya.


Setelah beliau memuja (lalu) duduk di halaman,

dinaungi (oleh) pohon ganinjaring,

beliau Mpu Bawula,

menghadap bersama-sama istrinda,

diiringi oleh pelayan,

lalu sang biksu,


94 [ 94 ]angucaping sang putri,


325. Duh masku nini hyang hyanging kusuma,

siramantani,

weruhi ibunta pinejah,

pakon nira sang nata,

wet nira alaku weci,

angrug nagara,

lawa ambek ta nini.


326. Sama tinata denira sang pandita,

sapolahing ratri,

kuneng sira sang diah,

murca hing pelinggihan,

geger sawongira anangis,

akuseng lemah,

gumuruh siyeking tangis.


327. Sang dwija gipih anambut saha mantra,

dasa bayu winuni,

muah pangraksa jiwa,

tang galenggang genalar,

tan pawang mantra anglilir,

epuh sang dwija,

asemu-semu tangis.


328. Lengleng cita sang kadi Wicitra Rata,

wetning lara marwati,

tumon rayinira,

tinangisan sinundang,


berkata kepada sang putri (Ratna Manggali).

Oh anakku kesayanganku dewi diantara bunga-bunga,

ketahuilah ibumu,

ibumu sudah dibunuh,

disuruh oleh sang Prabu,

karena dia berbuat jahat,

merusak negara,

pasrahkanlah pikiranmu ananda.


Semua dijelaskan oleh sang Pendeta,

segala kejadian di malam hari,

tersebutlah beliau sang putri,

bersedih di tempat duduk,

nangis semua orang-orangnya,

merintih di atas tanah,

ramai campuran tangis (tersebut).


Sang biksu segera menyambut serta mendoa,

dasa bayu diucapkan,

serta penjaga jiwa,

mantra galenggeng dipergunakan,

tidak terlihat (sang putri) sadar,

susah sang biksu,

seperti orang menangis.


Sibuk pikirannya sang Mpu Bawula,

karena ditekan (oleh) kesedihan,

dilihat istri beliau,

menangis (sambil) mengucapkan sesuatu, [ 95 ]sesambat ira ngasihhasih,

duh atma jiwa,

anglilir sira yayi.


329. Yaning sira kudu anglampus pejah,

pareng lan ingsun yayi,

suarga yamania,

pengeran rowangang kuwa,

anemu sepati urip,

ndan sira sang diah,

matra-matra anglilir.


330. Luh ning aksi marabasa haneng kapaya,

sambat-sambatnia angresi,

paran polahing ngwang,

angur pisan paratra,

sapadi kari urip.

amanggih lara,

sakasa sapretiwi.


331. Dudutan ingsun bibi satiba paran,

nirdon suka kapanggih,

palaranang sowah,

kapanggih akarasnan,

didina sampun kayeki,

sira sang dwija,

ngares nalanira angapi.


332. Tan mari anglipur watuning wacana,

palawa ambek ta nini,

apan ibun sira,

sampun manggih suarga,

pawah sira wanta nini,


berkata-kata dengan sangat sedih,

oh jiwa atma,

segeralah sadar adinda.


Kalau kamu akhirnya meninggal,

bersama-sama dengan kakandamu,

memuja tempat sorga Betara Yama,

kamu disertai kakanda,

menemui sehidup-semati,

akhirnya beliau sang putri,

berdikit-dikit sadar.


Air matanya mengalir di pipinya,

kata-katanya menyedihkan,

apa yang saya kerjakan sekarang,

lebih baik mati,

daripada masih hidup,

menemui kesengsaraan,

selangit (dan) sedunia.


Ambil (ajak)lah saya ibu di manapun berada,

tidak ada gunanya mencari suka,

barangkali kehidupan saya,

menemui kesenangan hati,

supaya jangan seperti ini,

beliau sang biksu,

kasihan perasaannya mendengarkan.


Akhirnya (beliau) menghibur dengan kata-kata,

senangkanlah pikiran anak(ku),

karena ibumu,

sudah mendapat sorga,

pemberin ayahanda pada ibunda,


96 [ 96 ]rasa-rasana,

lipur-lipur ring hati.


333. Pagehen ambeking setri supati berata,

tolih lakinta nini,

pa wawu saaras,

heman yan tan putusa,

yasanta astitiyeng laki,

sira Bawula,

sumauri sang ari.


334. Iringan yayi wacana sang pengempuan,

apan liwating asih,

sualen pangeran,

risuda haneng rnanah,

maka cihna sisia bakti,

ndan sira sang diah,

kesel rasaning hati.


335. Marrna sang dwija kari semang-semang,

tumingali sang putri,

ketabeng suwa cita,

rilampusaning ulah,

marma wineng wong kinanti,

winarah-warah,

sandikan nikang aji,


336. Apan tuhu kawengan nira utama,

mangke wus purna jati,

luwir jaroning samudra,


pikir-pikirkanlah,

senang-senangkalnalh di hati.


Teguhlah perbuatan istri baik pati brata (setia),

lihatlah suamimu anakanda,

karena baru menjadi mempelai,

sayang kalau tidak dilanjutkan,

pengabdianmu berb~ti kepada suami,

Mpu Bawula,

berkata kepada sang istri.


Ikutilah adinda perkataan sang pendeta,

karena amat belas kasihan,

gantilah perasaan sedih,

dengan perasaan yang suci,

sebagai ciri murid berbakti,

tetapi sang Ratna Manggali,

(tetap) sedih di dalam hati,


Itu sebabnya sang biksu tetap sedih,

melihat sang putri,

terlintas dalam hati,

membunuh diri,

itu sebabnya beliau diawasi.

dinasehati,

apa yang dikatakan dalam sastra.


Karena beliau benar-benar keturunan orang utama,

sekarang sudah hilang kesedihan itu

seperti di dalam laut,


97 [ 97 ]keriding tutur suksama,

sinangareng sastra kalih,

parak ning dwaya,

malilang tan paniring,


337. Sampun swapurna mangke ring
Jirah,

ndan si Ratna Manggali,

wus sira diniksan,

kunang sewatak sisia,

garjita pada angiring,

sama diniksan,

menggep agelung kiping,


338. Anging ndatan sinungan warahing sastra,

mung jiwania tinulis,

sawinten samania,

rinajah tri aksara,

pemunahing wong aneresti,

sinungan parab,

sepananing kapatan.


339. Henti sukaning wong sasungkuning Jirah,

makadi wonging puri,

nitiasa kasukan,

amangun mapawasa,

suka sang seri mahayati,

tumoning sisia,

hanut karamaning aji,


340. Pirang dina kunang sira
hanang Jirah,

kawarna sari bupati,


dihilangkan (oleh) nasehat baik,

dilenyapkan (oleh) dua aksara suci,

pertemuan antara dwaya,

sebabnya suci tidak ada tandingannya.


Sudah aman sekarang di Jirah,

tersebut Ratna Manggali,

sudah ia disucikan,

demikian pula seluruh pengikut,

suka semuanya mengikuti,

sama-sama disucikan,

mempergunakan konde kiping,


Tetapi tidak diberikan mantra-mantra,

tetapi lidahnya ditulis (dirajah),

(demikian pula) semua teman-temannya,

dirajah tri aksara,

untuk melawan (menghancurkan)

orang-orang penyihir,

diberi nama,

yang dibawa sampai meninggal.


Sangat berbahagia orang-orang
seluruh desa Jirah,

terutama orang-orang puri,

setiap hari bersuka-sukaan,

melaksanakan puasa,

senanglah sang biksu agung,

melihat siswa (beliau),

sesuai dengan apa yang dikatakan
dalam sastra.


Entah berapa hari (beliau) berada
di Jirah,

diceritakanlah sang raja, [ 98 ]henti sukanira,

angrenga punang warta,

yan sira nang mahayati,

wentening Jirah,

sampun sida ninggati.


341. Sigra metus umundang sang mahadwija,

kecapa sampun prapti,

merekeng sang nata,

pepek punang aneba,

Demung Tumenggung ha patih,

muang Arya Dyaksa,

Kanuruhan manguri.


342. Juru Tumbar Paca tanda Pengalasan,

sesek sang pura mantri,

makadi sang dwija,

sama tata-tata,

kumeran panganggoning mantri,

luih sang nata,

yaya prabu ing tulis,


343. Arja wastra pik mirir pupusing pisang,

akampuh pinalangi,

sinareting pereda,

asumpang mandalika,

alandean wersaspati,

pinatut sanga,

bek dening manik warih.


344. Tan lon sang wawu prapta paraning ujar,

duh bapa sang mayati,

murti sakya singa,

tumuruning buana,


sangat berbahagia,

mendengarkan berita,

tentang beliau sang pendeta agung,

keadaannya di Jirah,

sudah berhasil pekerjaan beliau.


Segera diputuskan diundang (dipanggil) sang biksu agung itu,

tersebutlah sudah datang,

menghadap sang raja,

sudah lengkap tatacara menghadap,

Demung, Tumenggung, Pepatih,

serta Arya Dyaksa,

Kanuruhan, Manguri.


Juru Tumbar Paca tanda dan Pangalasan,

penuh dengan para menteri,

terutama para biksu,

semua baik tata caranya,

bercahaya pakaian (para) mentri,

apalagi sang raja,

sebagai ratu dalam cerita-cerita,


Pakaiannya berperenda halus seperti daun pisang muda,

berkampuh pelangi,

ditulisi dengan perada,

berbunga mandalika,

memakai keris,

baik perhiasannya,

penuh dengan manik air.


Tidak lain orang yang baru datang

dimulai pembicaraannya (oleh raja),

oh, paduka sang pendeta agung,

penjelmaan sang Budha (Sakya
Singa).

turun ke bumi,


99 [ 99 ]awelasing wong kasiasih,

jatining surya,

tan samaha muli,


345. Sawatning sihaneng ratu hinartaka,

nitiasa handa sih,

mangke inugrahan,

riswastaning nagara,

paran tawura ning sih,

tan papremana,

sihira sang mahayati.


346. Dina ratri maka atma kesti ring cita,

mangke sang mahayati,

maka peniklan,

akaren suka-duka,

rewanganing sepati urip,

ingke angora,

haneng Daha negara.


347. Sawur paksi sira sakuehing pandita,

tinuting ring para mantri,

sama ngupak sama,

weruh yan pinaritranan,

anuhua ajnya seri bupati,

marah sukenia,

sumawur sang mayati.


348. Singgih pukulun sang seri paduka nata,

wonten kayandika aji,

sidoning sakarya,

sirna ikanang murka,


memberkahi orang yang menderita,

benar-benar seperti matahari,

tidak pilih-pilih menyinari.


Karena (tuanku pendeta) memberkahi ratu yang miskin,

yang senantiasa mengharapkan belas kasihan,

sekarang sudah diberkahi,

kesentausaan negara,

apa yang dipakai membalas terhadap berkah tersebut,

tidak terhitung,

berkah sang pendeta agung.


Siang malam sang pendeta diharapkan harapkan,

sekarang sang pendeta agung,

sebagai pemilik nagara ini,

bersama-sama (merasakan) suka-duka,

bersama-sama sehidup semati,

di sini sang pendeta,

di negara Daha.


Sebagai suara burung (setuju)para pandita,

diikuti oleh para mentri,

semua menyembah,

karena tahu mendapat pertolongan,

melaksanakan perintah sang raja,

dari hari yang senang,

berkatalah sang pendita agung.


Daulat tuanku raja,

adanya kehendak tuanku raja,

berhasillah usahanya,

hilanglah segala yang jahat,


100 [ 100 ]wetning pretapa bupati,

matang nian sida,

dera brahmana aji.


349. Pan tan hana mada kotaman sang nata,

pira digjayeng ari,

luir sanghyang Amitaba,

susandi wicaksana,

weruh hana ring indra warih,

raja wibawa,

penuhing sarwa manik.


350. Singgih bapa tulus akan macarita,

marmaning sideng gati,


sira Rangda pejah,

anengeh tan pengapa,

sumawur sang mahayati,

kasoran cidra,

durung titisang aji.


351. Sampun tinata sakeraman nikang lampah,

suka seri narapati,

ramia siakerana,

sotaning paripurna,

duh bapa sang mahayati,

preyoga akena,

sedeng-sedenging gati.


352. Apan nguni katekaning wiyadi baya,

wetning wang akwah mati,


paryangana camah,


karena doa sang raja,

sehingga berhasillah,

(pekerjaan yang dilakukan)

oleh pendeta tuanku ini.


Karena tidak ada menandingi keutamaan sang raja,

sudah banyak mengalahkan musuh

seperti sanghyang Amitaba,

sangat baik (serta) bijaksana,

tahu akan tipu muslihat,

termasyur baik,

penuh dengan manik-manik
(kaya-raya).


Ya tuanku pendeta teruskanlah berceritera,

apa sebabnya tugasnya bisa rampung,

sang Rangda (sampai) meninggal,

kesaktiannya tidak seperti semula,

berkatalah sang pendeta agung,

kalah kena tipu,

karena belum tahu isi sastra (ilmu).


Sesudah seluruh persoalan tersebut dijelaskan,

senanglah sang raja,

ramai pembicaraannya,

serta berpesta,

oh paduka sang pendeta agung,

patut dipercepat,

melaksanakan pemujaan.


Karena dahulu dikenai persoalan bahaya,

sehingga orang-orang banyak meninggal,

bangunan-bangunan suci leteh (ternoda),


101 [ 101 ]kehananing kunapa,

aserang gagak aranti,

anara mangsa,

sinangsanganing candi.


353. Kalih lama tan bonten inupacara,


maran tanana malih,

tulahing nagara,

sumawur sang mahadwija,

tuhu adnyana nrepati,

sapangastulan,

prayascita sedidik.


354. Ring desa-desa gunung-gunung winarah,

wangunan puja wali,


turunaning dewa,

acangkrameng samudra,

maran herestining nagari,

sira sang nata,

anuhu sarwiya alinggih.


355. Ken apatih maka tampuhing ujar,

anembah tumulia amit,

adan apangarah,

angetang prayascita,

kuneng sira seri bupati,

mantuking puri,

bubar punang anangkil.


356. Sampun watra sahananing pangastulan,

pinuja de sang yati,

sama Siwa Buda,

palining prayascita,


berisi mayat,

diserang (oleh) burung gagak,

makan mayat,

digantungkan di candi.


Lagi pula lama tidak ada upacara persembahyangan,

supaya tidak ada lagi,

kerusakan negara,

berkatalah sang pendeta agung,

benarlah pikiran sang raja,

seluruh bangunan suci,

patut disucikan kembali.


Di desa-desa di gunung-gunung diberitahu,

diadakan puja wali (upacara persembahyangan),

turunkanlah semua dewa (arca),

bersihkan di laut,

supaya selamat negara,

sang prabu (raja),

ikut beliau duduk serta mengiakan.


Sang patih sebagai penerima perintah raja,

menyembah lalu permisi,

melaksanakan pengumuman,

membuat upacara pembersihan (penyucian),

kembalilah beliau sang raja,

pulang ke istana,

bubar acara menghadap tersebut.


Sudah suci semua seluruh bangunan suci,

dipuja oleh sang pendeta,

demikian pula Siwa (dan Buda),

diupacarai saji-sajian penyucian,


102 [ 102 ]rikeswastaning nagari,

muah batara,

suecaning seri bupati,


357. Pari purna parabaning swanagara,

waluya kadi nguni,

apan seri narendra,

titik amangku praja,

maka patiruaning bumi,

sapolah ira,

kuneng hana ringhenjing.


358. Kawarna saha setri saisining pura,

adandan sama mijil,

haneng wijil pisan,

wonten maha ringungang,

ramia inukir angrawit,

pacareng natar,

tinular botan Jawi.


359. Sama nonton nunggaling panggungan,

makadi rabi aji,

sama angangge payas,

hebek tan palinggaran,

yaya pasangcayang sari,

sama sulasemia,

mukya paduka sari.


360. Awastra caleri cinurneng mas derawa,

apinggel apus juwit,

makendit mas,

asuweng layang petak,

seri nata atap awilis,

lati surat,


membuat kesentausaan negara,

serta para dewa,

memberkahi sang raja.


Makmur (kelihatan) cahaya negara tersebut,

kembali seperti dahulu,

karena sang raja,

pandai memerintahkan negara,

sebagai contoh rakyat,

seluruh tingkah laku beliau,

(sekarang) diceritakan pada waktu besok paginya.


Diseriterakan para wanita seisi istana,

berdandan semuanya keluar,

yaitu berada di halaman pertama,

ada juga di balai peninjauan,

indah diukir serta mempesonakan,

hiasan-hiasan di halaman,

meniru cara-cara di Jawa.


Semua (banyak orang-orang) nonton di balai peninjauan,

terutama istri-istri sang raja,

semua berhias,

penuh tidak ada renggangnya,

sebagai himpunan bunga,

semua cantik-cantik,

paling muka sang pramesuari.


Berpakaian sutra bertepikan emas perada,

bercincin mutiara,

berlakung emas,

bersubang daun lontar putih,

dahinya baik rata,

bibirnya bercahaya,


103 [ 103 ]paperangan angrancapi.


361. Akueh paricarika ngiring ha raras-raras,

maru anaking mantri,

warnaneng cindaga,

anjerah gandania sumar,

kananing sarkara maresti,

ringringing kumbang,

pamahning madu pasir.


362. Malih wonten sang diah anaking kaaryan,

warna seroja wati,

munggaling telaga,

asarah gula derawa,

saha wera arya sari,

sama kendahan,

tumoning wong jero puri.


363. Sawaneh sang diah wijiling kapatihan,

warna sawang jangga merik,

sinuksemeng selaga,

sinirameng er gula,

presama sira mapeki,

apipit muka,

luir pasamuaning sasih


364. Aterawuhan wang dulur-duluring,

awan gumerebeg anak rabi,

sama mangun payas,


104


menyenangkan hati.


Banyak dayang-dayang cantik menyertai,

beserta anak menteri,

warnanya (putih seperti) bunga pudak,

tersebar baunya harum,

ditaburi hujan madu,

kumbang menyanyi,

sebagai suara laut madu.


Lagi ada sang putri anak bangsawan,

wajahnya ayu (sebagai) bunga tunjung putih,

tumbuh di telaga,

berisi air madu,

semua heran para istri,

semuanya indah,

kelihatannya orang-orang penghuni istana.


Lagi pula ada putri dari sang patih,

rupanya seperti bunga gadung harum,

harumnya berhampiran dengan bunga melati,

(seperti) disirami dengan bunga air gula,

semuanya sama-sama mekar,

rupanya cantik,

sebagai pertemuan sang bulan.


Banyak orang-orang beriring-iringan

berbondong-bondong dengan anak-istri,

semua memakai perhiasan, [ 104 ]sewanah agegawan,

uryaning wang pinggir-pinggir,

jugul lakian,

rupania angremehi.


365. Dinuluring gunung-gunung pora-pora,

wang nia sira mabekil,

denden denia payas,

apayung arulendang,

inguraping wedak minging,

sengkangnia amelar,

atuntunan lumaris.


366. Waneh adulur anuhun sopa-cara,

sama aken putih,

kumeron aseseran,

aseri aselan-selan,

condoling kanta sekundi,

sarwi anambang,

suarania kaduk bair.


367. Tinuting kakung peresama agegawan,

cendek lan ubar-abir,

tameng tomok konta,

rupania abikal-bikal,

luir mertia kalakan bukti,

atewah okokan,

taneka agung alit.


368. Wara pemajania anunggang wahana,

tumuruneng nagari,


lainnya ada membawa barang-barang bawaan,

orang-orang yang dari pedesaan,

laki istri bodoh-bodoh,

wajahnya menjijikkan.


Diikuti oleh orang-orang pegunungan,

orangnya kotor-kotor,

tindak baik perhiasannya,

berpayung dan berselendang,

diisi pupur harum,

subangnya daun lontar,

berpegangan tangan berjalan.


Ada yang menjunjung saji-sajian,

semua berpakaian putih,

permata cincin,

bercahaya berganti-gantian,

kepala serta lehernya seperti

jun (periuk alat mengambi air),

semua bernyanyi,

suaranya semua sumbang.


Diikuti laki-laki (sambil) membawa senjata,

keris dan ubar-abir,

tameng, tombak, konta (lembing),

rupanya sarat-sarat,

seperti kewalahan keberatan isi,

semua gembira,

tak terkecuali besar-kecil.


Yang memimpin mengendarai kereta,

turun di luar puri,


105 [ 105 ]alungsur basahan,

apatra Bango Samparan,

romania angawir-awir,

akulang dastar,

karah kanta amawit,


369. Maring arsa angetang lakuning bala,

sumereng akueh angiring,

payas amberana,

asri kampek pidada,

tumandang angangge mantri,

apayung nyalah,

sarwiya ngagem cemeti.


370. Umung gumurihing urya angusung dewa,

adenden mareng margi,

tunggul maring arsa,

lalontek payung panjang,

kiwasi angalik-alik,

amutar dipa,

anabeh warga sari,


371. Pantes denia anangan amutar bajra,

meleng-meleng kairing,

inupuping duma,

marabas metu selesma,

kagerek laku haneng uri,

gerebeging lampah,

luir bubur hyang pertiwi.


372. Tabu-tabehan nika akanda-kanda,

gong bubar murawa beri,


memperbaiki kain,

bernama Bango Samparan,

rambutnya terurai,

berkalung destar,

bahunya berisi badong baik.


Di muka pelan-pelan jalannya para prajurit,

sangat banyak yang mengikuti,

perhiasannya bagus,

(juga) diikuti oleh kampek pidada,

lenggangnya berpakaian mantri,

berpayung menyala,

serta memegang cemeti.


Gemuruh suaranya orang-orang

yang mengusung dewa,

berjejal-jejal di jalan,

tunggul di muka,

umbul-umbul (dan) payung panjang,

pemangku suara gendingnya nyaring,

memutar dupa (lampu),

menyanyikan gending wargasari.


Serasi benar beliau memutar genta,

miring kanan-kiri melihat kesamping,

dikenai asap dupa,

mengalir keluar ingusnya,

didorong dari belakang,

gemuruh jalannya (orang-orang),

seperti rubuhnya tanah.


Bunyi gamelan bersahut-sahutan,

gong, kendang-kendang,kemong dan [ 106 ]bendenia tinepak,

pereret asawuran,

kumereteg suaraning bedil,

surak asimban,

tetabuhan gumirih.


373. Silih tundung lakunia hana ring awan,

ariweg sajalu setri,

sakwehing okokan,

angotkot kumaluntang,

yaya mantuk hanang warih,

sineranging kungkang,

gumuruh amelingi,


374. Sampun prapteng samudra asukan-sukan,

hebek hanang pasisi,

munggahing panggungan,

saranta kuyengyengan,

arebat silih linggenia,

wonten kasegan,

tan pantuk denia alinggih.


375. Amurat-marit kiwari katuturan,

sesegan wetu tangis,

uningnia amungpang,

paaku Hyang Manik Gangcang

akundah tan polih linggih,

kunang sang dwija,

sampun amujeng widhi.


376. Ndan kiwari kari aseron angakak,

romania mureng pipi,


beri (dipukul),

bendenya dipukul,

sompret bersahut-sahutan,

gemetar suara bedil,

sorak sorai,

(disertai) suara gamelan gemuruh.


Saling dorong mereka di jalanan,

bercampur laki-laki wanita,

karena banyaknya orang,

saling mendahului,

berebut tempat saling mendahului,

yang ikut terlambat,

ribut menggerutu.


Sesudah sampai di pantai semua bersuka-sukaan,

penuh di pesisir,

ada yang naik di panggung,

berputar pelan-pelan,

berebut tempat saling mendahului,

ada yang terhambat,

tidak dapat tempat.


Menjerit-jerit sang pemangku berkata-kata,

tersedu-sedu keluar tangis,

kata-katanya tidak karuan,

aku Sanghyang Manik Gancang,

bersimpuh tidak dapat tempat,

tersebut sang pendeta,

telah mendoa kepada Sanghyang Widhi (Tuhan),


Tetapi sang pemangku masih suara

tidak karuan (serta) terbahak-bahak,

rambutnya berhamburan di pipi, [ 107 ]anjaluk pendetan,

wonten wadon tumandang,

kantania angembir-embir
angamet peras,

ring guwan nira sang yati.


377. Sigra tedun sang tapi makrak
kabangan,

sama kanta sekundi,

sahasa angerebat,

apudetaning natar,

sinuku sira sang tapi,

madianing kanta,

pepelan hieneng giring,


378. Males anekek kroda nehak
kanta.

mangoha nangis singil,

gurungnia lalewan,

akueh pada mialang,

geger sawonging pasisi,

sampun piniak,

sang mawiroda kalih,


379. Malahawan lakunira Sanghyang
Surya,

adandan sama mulih,

wus prapteng kahyangan,

inuyu tinarpana,

tetabuhania gumirih,

gereng angguntang,

sineranging gending curing.


380. Wiyaktara denia tigang dina
kasukan,


mengambil saji-sajian pendet (tari-an),

ada seorang wanita menari-nari,

lehernya geleng-geleng,

memegang sesajen peras,

di tempat sang pendeta.


Segera turun sang pertapa menjerit

mukanya merah,

sama leher (beliau seperti) leher
kendi,

serta dengan keras merebut,

bergelut di lantai,

disiku beliau sang pertapa,

pada bagian tengah leher,

berlipat sampai ke punggung


Membalas marah memegang leher,

yang dibalas menangis meringis,

tangisnya mendengus,

banyak yang melerai,

geger semua orang yang di pantai,

sudah terlarai,

kedua orang yang bertengkar
tersebut.


Sampai pada waktu tengah hari,

berkemas-kemas akan semua pulang,

setelah sampai di tempat suci
(pura),

dipersembahi pemujaan,

tetabuhan suaranya gemuruh,

(tetabuhan) garong (dan) aguntang,

disertai dengan gamelan semar
pagulingan,


Kira-kira ada tiga hari bersenang-senang, [ 108 ]sadusun-dusun tani,

sangsaya supraba,

sebsebing swanegara,

tanana ngeran durgati,

kuneng ring henjang,

totoyan seri bupati.


381. Ndia kariyewah denira sang
peragiwaka,

prapta sesining wukir,

sesining ulusan,

sawonteria ring umah,

sama wateng negari,

marah sukania,

cihnaning wadua bakti.


382. Siwa Budha presama sinungan
boga,

katekeng para mantri,

kelu kabuyutan,

presama dinadaran,

tekeng dusun-dusun tani,

saka punpunan,

praya pajegeng puri.


383. Perenamia angenaki citaning
para,

nora kowaran rusit,

suka ramia-ramian,

sotaning kebobongan,

tan kurang tadah bukti,

asarah-sarah,

derewina witan Jawi.


384. Ndan sang nata wawu mijiling pahoman,

mentas sira sasalin,

sekaramaning nata,

awastra sumaguna,


sampai ke desa-desa petani,

tak ada sengsara,

termasyur di lingkungan negara,

tidak ada yang merasa sulit,

tersebut besok paginya,

odalan sang raja.


Mana mungkin ada kesulitan bagi
raja sebesar itu,

datanglah seisi gunung,

seisi laut,

seluruh isi rumah,

semua diserahkan ke puri,

menyampaikan kesenangan mereka,

sebagai bukti rakyat berbakti.


(Pendeta) Siwa Budha sama-sama
disuguhi makanan,

sampai pada para menteri,

serta para orang tua,

semua sama-sama diberi makan,

sampai petani dari desa-desa,

seluruh wilayah,

akhirnya diberi makan di istana.


Selalu (beliau) menyenangkan rakrakyat,

tidak ada yang jahat,

suka beramai-ramai,

karana kelebihan makmur,

tidak kurang makanan,

tak putus-putusnya,

minuman asal dari Jawa.


Tersebutlah sang raja baru keluar
ke pemujaan,

baginda telah berganti pakaian,

seperti cara-cara keraton,

berpakaian sumaguna, [ 109 ]sinerating candu angrawit,

apinggel kana,

bek denira ratna adi.


385. Asumpang sihergula apasang,

akeris ira nguni,


baswara kumeredep,

menggap sapolah ira,

raspati catraning bumi,

praba perekasa,

tuhu wijiling luih,


386. Ndatan lan kinanti sang seri Brahmaraja,

kari pinali-pali,

karasaning sang nata,

wus sira atetoyan,

mijil sira seri bupati,

ring wijil pisan,

pinepak kang anangkil.


387. Ndan sang nata maturang seri Brahmaraja,

singgih sang mahayati,

handa carita,

anenggeh ring Usana,

seloka kalinganing aji,

pora kerujan nira,

Dwepayana winuni.


388. Marman niking hana Astadasa Parwa,

siapa sira mora kerti,

warah duga-duga,

adianing carita,

sumahur sang mahayati,

saupapatia,

sadnya seri narapati.


cahayanya gemerlapan,

bergelang kana,

penuh dengan mata permata utama.


Berbunga sihergula sepasang,

memakai keris (seperti yang sudah-sudah),

cahayanya gemerlapan,

pantas gerak-gerik baginda,

sangat pantas sebagai peneduh dunia,

badannya perkasa,

benar-benar keturunan orang baik.


Tidak lain yang ditunggu (yalah)

beliau sang Brahmana agung,

kini baginda diupacarai,

tatacara seorang raja,

sesudah baginda selesai diupacarai,

keluarlah baginda sang raja,

di halaman pertama dari istana,

penuh sesak orang menghadap.


Lalu sang raja berkata kepada
beliau sang pendeta agung,

maafkan hamba pendeta agung,

mohon ceritera,

yang termuat dalam Usana,

syair-syair dalam sastra (buku),

yang diciptakan beliau,

Bhagawan Biasa yang termasyur.


Apa sebabnya ada Astadasa Parwa,

siapa yang membuatnya,

beritahulah hamba asal-usulnya,

bagaimana ceritanya,

berkatalah sang pendeta agung,

sambil menyembah,

ya tuanku raja.


110 [ 110 ]389. Tan waneh tuhwa paramesuara,

akon sang Asta Seni,

miket amidarta,

hana ngke Astadasa,

apan jitak-sare nguni,

sang para dwija,

pandiri tuhwa aji.


390. Aseng semita sang nata anadu kara,

bapa sang mahayati,

asih ta tulusa,

miketang Astadasa,

maran atemah kakawin,

maka paniruan,

dening sanagari.


391. Maran hana tinama maka pustaka,

dera putusang yati,

nan matang wiguna,

sandika seri nrepati,

tan dadi piwal,

anging agung sampuri.


392. Apan ulihing wiku alpa wiguna,

rumacanang kakawin,

paleh calanika,

sawetu aning gita,

kancit sira kriana patih,

perapta wot sekar,

sadnya seri nrepati.


393. Sama putus rinungun paboga-boga,

sapa hyun paduka aji,


Tak lain beliaulah leluhur paduka,

menyuruh sang pendeta (Astaseni),

membuat cerita (tersebut),

yang termuat dalam Astadasa,

oleh karena orang-orang pandai
jaman dulu,

(yaitu) sang para pendeta,

pandai sekali dalam ilmu.


Supaya ada dipergunakan sebagai
pustaka,

Tersenyum sang raja serta mencakupkan tangan,

tuanku sang pendeta agung,

teruskanlah perlindungannya,

membuat Astadasa (Parwa),

agar menjadi kekawin,

supaya dijadikan contoh,

oleh seluruh negeri.


apa yang sang pendeta katakan,

hamba mengikuti,

apa yang raja katakan,

hamba tak menolak,

tetapi hamba mohon dimaafkan.


Karena hamba sebagai seorang
pendeta tidak tahu,

merancangkan kekawin,

tentu dicela,

sesudah ada dalam nyanyian,

tiba-tiba datanglah sang patih
menghadap,

serta menyembah,

terhadap sang raja.


Sudah selesai berikan makan-minum,

bagaimana kehendak paduka raja, [ 111 ]wetning sampun awan,

bala wus sayoga,

abecik mangke dandani,

mungpung sang nata,

kari katangkilin jawi.


394. Manggut sira seri bupati saha semita,

sira kriana patih,

amit metu atitingkah,

akon anembang pangarah,

sigra anabeh anitir,

karungwang wiat,

bala peresama prapti.


395. Adenden haneng marga saha sanjata,

pasar sela atitip,

akweh mantrin nira,

sura sarang peperangan,

orem ketekeng margi-margi,

bingaring astra,

anerang anaru mirir.


396. Lakuning bala kadi genturing luah,

ariweg pipit-pipit,


sekanda-sekanda,

jujuluk seha tengeran,


hegar kadia angrenga jurit.


sampun atata,

selahira angresing hati.


397. Ki Jayasuwara muang Sidura Wacana,

matureng sira patih,


karena sudah tengah hari,

rakyat sudah siapa sedia,

lebih baik sekarang siap-siap,

kebetulan paduka raja,

sedang dihadap di penghadapan.


Mengangguk sang raja serta berwajah gembira,

beliau sang mahapatih,

permisi keluar (dan) mengatur,

menyuruh memukul kentongan,

segera dipukul (suaranya) nyaring,

memenuhi udara,

rakyat semua datang.


Beriring-iringan di jalan serta membawa senjata,

dari pasar berjejal,

banyak menteri beliau,

berani dalam peperangan,

berjejal-jejal sampai di jalan,

cahaya senjata,

mengalahkan cahaya bulan.


Jalan prajurit seperti air sungai banjir,

berdesak-desakan di tempat-tempat sempit,

berkelompok-kelompok,

sikapnya membawa tombak (disertai) tunggul,

gembira seperti mendengarkan pertempuran,

sudah siap sedia,

tingkah lakunya menakutkan.


Ki Jayasuwara serta Sidura Wacana,

berkata kepada pepatih,


112 [ 112 ]mapa punang berata,

winangun de sang nata,

mene yan kataken jurit,

Ki Jayasuwara,

kalih tumpuring jurit.


398. Semu mesem sira kriana patih angucap,

dudu kataken jurit,

apan patetoyan,

mene yan satru datang,

tan len sira senapati,


hana ngujiwat,

mututung angidemi.


399. Sawaneh hana atawing-tawing muka,

pasilih bibisikin,

tan weruha ring irang,

uninia amerih ayuda,

tan lingen risang prajurit,

api purusa,

ri hajeng Sri Bupati.


400. Inguni duking mara wentening Jirah,

sanggemnia matoh pati,

tekaning puhara,

tan tonana ring awan,

sok keda ambubutuhi,

sewania angucap,

gadag nia haneng cacantik.


401. Mangke tinari mantri sakandakanda,


apakah kesetiaan,

diharapkan oleh sang raja,

yang kiranya kedatangan musuh,

Ki Jayasuwara,

akan bertempur dalam peperangan.


Berwajah manis sang patih berkata,

tidak kedatangan musuh,

tetapi karena odalan,

tidaklah musuh datang,

tidak lain dari senapati (kepala
prajurit),

ada yang menggerakkan alis,

seperti bersiul mengkedip-kedipkan
mata.


Lainnya ada yang menutup muka,

saling berbisik-bisik,

tak tahu malu,

mengatakan berani dalam pertempuran,

itu bukan kata-kata seorang prajurit,

pura-pura berani,

di hadapan sang raja.


Dahulu pada waktu berperang
di Jirah,

sanggup mempertaruhkan jiwa,

sudah sampai di sana,

tidak terke temukan di jalan,

tetapi mereka mengadu,

yang lainnya berkata,

marahnya hanya berada (di) kerongkongan.


Sekarang ditanyai para menteri sekelompok-sekelompok,

113 [ 113 ]juluknia pinanding,

tunggul wus pinasang,

bedil akanda-akanda,

tabeh-tabehan umumni,

lakuning bala,

sumahab luir jaladi.


402. Umung wijah asurak asangguhan,

pating pelucuting bedil,

gong bubar asimban,

yaya karungguing wiat,

gerebeging bala lumindih,

kadi giwang,

pakatoning bumi.


403. Asinang kadbuta aleping sanjata,

tan pendah gunung sari,

maderaning pura,

tandange kawigaran,

sawang angaduanken jurit,

pembah ning bala,

balembeng tan paganti.


404. Awiatara muni gatita ping sapta,

manda tejaning Rawi,

kuneng Sri Narendra,

manjingeng jero kedatan,

lebar sakwehing anangkil,

angungsi wesma,

sama anamtami kapti,


405. Pirang warsa laminira seri narendra,

manggih kadipatin,

wareging wibawa,


gamelan bersuara,

tunggul telah dipasang,

bedil bersahut-sahutan,

gamelan bersuara,

jalannya prajurit,

bergulungan seperti ombak laut.


Ramai mereka bersorak sorai,

peluru senapang mendesing,

gong kendang bersuara gemuruh,

bergema suaranya di langit,

deru prajurit mengamuk,

seperti bergetar,

kelihatannya bumi tersebut.


Mengherankan cahaya senjata itu,

tidak ubahnya seperti gunung bunga,

mengitari kerajaan,

gerak-gerik (prajurit) bergembira,

perumpamaannya tentang prajurit,

jalannya prajurit,

(seperti) hujan lebat tak henti-hentinya.


Kira-kira kentongan berbunyi tujuh kali,

sudah sore (tak terik lagi cahaya Surya),

lalu sang raja,

masuk ke dalam keraton,

bubar semua yang menghadap,

menuju rumah (masing-masing),

semua menyenangkan diri.


Entah berapa tahun lamanya sang raja,

menjadi raja,

puas dengan kemasyuran,


114 [ 114 ]angisti kapanditan,

amari kaparageng setri,

amepu wasa,

amangun siwa ratri.


406. Ndan len kinantinira sang para dwija,

tatwa gama rinuci,

tekeng Astadasa,

tumuting Asta Kanda,

tan supta ring dina ratri,

pinakadinia,

sukamaning tutur jati.


407. Mangke purwanira sang maha pandita,

pasancayaning kawi,

haneng raja Daha,

pandiri seri narendra,

sawiakti ndatan pasiring,

hana ring raja,

penuh berata semadi.


408. Sampun sama sira akiria wilapa

mangke jeng seri bupati,

sira Mpu Baradah,

tumuwuh aken Boma,

peresama tan hana pingging,

sira Mpu Kanwa,

Wiwaha kinardi.


409. Wenten malih sira Mpu Monaguna,

umiketang kakawin,

suma nasantaka,


(baginda) berkeinginan (menjadi) pendeta,

berhenti berhubungan dengan
wanita,

berpuasa,

melaksanakan siwa ratri.


Tidak lain yang diikuti (yalah jejak) para pendeta,

membicarakan filsafat agama,

serta Astadasa Parwa,

mengikuti Asta Kanda,

tidak dilupakan siang malam,

erutama dibicarakannya,

isi daripada ajaran utama.


Sekarang mulailah pendeta agung,

membuat karangan,

di kerajaan Daha,

selama pemerintahan raja,

benar-benar tidak ada tandingannya,

yang ada di kerajaan,

sempurna dalam melaksanakan pantangan dan semadi.


Sudah semua beliau mempersembahkan karangan,

kepada baginda raja,

beliau Mpu Baradah,

membuat (mengarang) kekawin Boma,

semuanya tidak ada bodoh,

beliau Mpu Kanwa,

Wiwaha dikarang.


Ada lagi beliau Mpu Monaguna,

mengarang kekawin,

Smarandahana,


115 [ 115 ]Mpu Tanakung amarja,

Lubdaka maka pakirim,

hana ta sira,

maka mukyaning kawi.


410. Sira Mpu Yogiswara Raga Kusuma,

Ramayana kinardi,

sama lumbrahing rat,

ketama sang pandita,

sasungkuning panca buti,

sira inucap,

sejagat memuji-muji.


411. Kunanga sang nata Basukya
amangku peraja,

prebawa tekeng langit,

adnyana nirmala,

lilu katekan jara,

suksma amering Hyang Widi,

sira anak ira,

peresida gumantiani.


412. Subageng sarat seri Haji
Jayabaya,

maka catraning bumi,

kadi sira bapa,

tan hilang yan takona,

madageng Daha nagari,

ramia subiksa,

pandiri seri bupati,


413. Kuneng sang ari seri Jayasaba,

madegana ring Keling,

sama wirya nira,

kotamaning sang nata,

katuwanging ratu sebumi,

wira digjaya,


Mpu Tanakung mengarang,

Lubdaka yang dikarang,

mereka itu,

merupakan pengarang-pengarang terkemuka.


Beliau Mpu Yogiswara Raga Kusuma,

Ramayana dikarang,

semua termasyur di kerajaan,

keutamaan sang pendeta,

terkenal di mana-mana,

beliau dibicarakan,

seluruh dunia memuji-muji.


Sepanjang sang raja Basukya mememerintah,

kemasyuran sampai di langit,

pikirannya suci bersih,

terlalu tua dan meninggal,

kembali kepada Hyang Widhi,

lalu putra baginda,

menggantikannya.


Termasyur di dunia Sri Raja Jayabaya,

menjadi pelindung kerajaan,

seperti keutamaan ayahanda,

tak kurang kalau dibicarakan,

menjadi raja di kerajaan Daha,

aman sentausa,

sepanjang beliau menjadi raja.


Diceritakan adinda baginda sang
Jayasaba,

menjadi raja di Keling (Kalingga),

sama-sama masyur baginda,

keutamaan sang raja,

dihormati oleh raja sedunia,

berani (serta terus) menang, [ 116 ]kumerab tekang ari.


414. Alanggeng penuh teksang raja wibawa,

nitia namtani kapti,

lunga acangkrama,

amarna sakalangwan,

angitang res nikang sasih,

sotaning anuwam,

darpa amilih-milih.


415. Samangkana onganing tatwa carita,

santa wiya kena singgih,

de sang jitaksara,

wetning cengga wimuda,

tumiwa sang labdeng gurit,

tan weruh ingirang,

ginuyu-guyuweng dadi.


416. Marma hgalampus sueca seri nata kania,

sang maka lingga mani,

haneng semara rajya,

suguna pati,

nitiasa yoga semadi,

yaning kaperajayan,

murtining Seraswati.


417. Tuhu putraning ratu subala wirya,

utama ndatan pingging,

nitia punian,

muah jana nuraga,

yadnya peresama kadadi,


takut semua musuh.


Kekayaan cukup dengan harta,

setiap saat menyenangkan diri,

pergi bercengkrama,

melihat yang menyenangkan,

memperhatikan kebaikan tentang bulan,

berhubung masih muda,

tengah memilih-milih istri.


Demikian berakhirlah ceritera ini,

mohon dimaafkan terhadap saya,

oleh beliau para ahli sastra,

karena berani (tetapi) bodoh,

menyamai para ahli membuat karangan,

tidak tahu malu,

menjadi tertawaan.


Berhubungan penuh berkah beliau sang raja,

sebagai orang tua,

yang menjadi raja di kerajaan Semara,

sangat berguna (serta) pati brata,

setiap saat beryoga semadi,

tentang kepandaian (beliau),

penjelmaan sang Saraswati.


Benar-benar (beliau) putra raja

yang amat banyak prajuritnya,

keutamaannya tak terlukiskan,

setiap waktu memberikan hadiah,

serta dicintai rakyatnya,

upacara korban semua telah dilaksanakan,


117 [ 117 ]subageng sarat,

peresama muji-muji.


418. Singgih manira putra gora peretoda,

wawu sisianing aji,

pernah loring pasar,

maka sawen huningan,

wara woni kawelas asih,


kasahan patra,

kawesakaning mesi,


419. Tunggal pitu sanga lima gubugania,

ndan paseweh malih,

marmangku pusang,

bosena tetanenan,

wetning ri pinggiring margi,


pasaban-saban,

weresaba masa wajin.


420. Singgih hampunana manira nirwanang gita,

santa wiya kena singgih,


de sang tameng gita,

wet ning cengga wiguna,

turnirwa sang labdeng gurit,


didinia hana,

panalimuran wingit.


termasyur di dunia,

semua memuji-muji.


Ya saya (adalah) bernama Gora Pretoda,

baru belajar sastra,

rumah di utara pasar,

sebagai ciri (yang) beritahukan,

pohon boni (yang) menimbulkar belas kasihan,

kehilangan daun,

berisi tiang tersebut.


Satu tujuh sembilan lima (1795) banyaknya,

tidak lebih lagi,

sebabnya saya bingung,

karena tidak ada peninggalan,

apalagi bertempat tinggal di pinggir jalan,

tempat jalan-jalan,

banteng kebo serta kuda.


Ya,.maatkanlah saya (karena) mengarang nyanyian,

mohon dimaafkan oleh para yang terhormat,

yang biasa mengarang nyanyian,

karena saya bodoh ( tetapi) berani,

meniru beliau yang berhasil membuat karangan,

supaya ada luburan,

penghibur hati yang susah.