Cebur nuju daging

Geguritan Bagus Diarsa

Saking Wikisource

33644Geguritan Bagus Diarsa — prev1980I Nyoman Manda

[ 1 ]PPS/BI/16/79

Milik Dep. P dan K
tidak diperdagangkan

GEGURITAN
BAGUS DIARSA
Alih Aksara dan Alih Bahasa
Oleh
I Nyoman Manda

MILIK KEPUSTAKAAN DIREKTORAT TRADISI DITJEN NBSF DEPBUDPAR


PERPUSTAKAAN DT. TRADISI DITJEN NBSF DEPBUDPAR NO. INV : 1739 PEROLEHAN : TGL : 4-5-09 SANDI PUSTAKA



DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDYAAN
PROYEK PENERBITAN BUKU BACAAN SASTRA
INDONESIA DAN DAERAH

Jakarta 1980 [ 2 ]Diterbitkan oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah

Hak pengarang dilindungi undang-undang


PERPUSTAKAAN

DIT. SEJARAH & NILAI TRADISIONAL [ 3 ]

KATA PENGANTAR

Bahagialah kita, bangsa Indonesia, bahwa hampir di setiap daerah di seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya­ karya sastra lama, yang pada hakikatnya adalah cagar budaya na­sional kita. Kesemuanya itu merupakan tuangan pengalaman jiwa bangsa yang dapat dijadikan sumber penelitian bagi pembinaan dan pengembangan kebudayaan dan ilmu di segala bidang.

Karya sastra lama akan dapat memberikan khazanah ilmu pengetahuan yang beraneka macam ragamnya. Penggalian karya sastra lama yang tersebar di daerah-daerah ini, akan menghasilkan ciri-ciri khas kebudayaan daerah, yang meliputi pula pandangan hidup serta landasan falsafah yang mulia dan tinggi nilainya. Modal semacam itu, yang tersimpan dalam karya-karya sastra daerah, akhirnya akan dapat juga menunjang kekayaan sastra In­donesia pada umumnya.

Pemeliharaan, pembinaan, dan penggalian sastra daerah jelas akan besar sekali bantuannya dalam usaha kita untuk membina kebudayaan nasional pada umumnya, dan pengarahan pendidikan pada khususnya.

Saling pengertian antar daerah, yang sangat besar artinya bagi pemeliharaan kerukunan hidup antar suku dan agama, akan dapat tercipta pula, bila sastra-sastra daerah yang termuat dalam karya­-karya sastra lama itu, diterjemahkan atau diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Dalam taraf pembangunan bangsa dewasa ini manusia-manusia Indonesia sungguh memerlukan sekali warisan rohaniah yang terkandung dalam sastra-sastra daerah itu. Kita yakin bahwa segala sesuatunya yang dapat tergali dari dalamnya tidak hanya akan berguna bagi daerah yang bersangkutan saja, melainkan juga akan dapat bermanfaat bagi seluruh bangsa In­donesia, bahkan lebih dari itu, ia akan dapat menjelma menjadi sumbangan yang khas sifatnya bagi pengembangan sastra dunia. [ 4 ]Sejalan dan seirama dengan pertimbangan tersebut di atas, kami
sajikan pada kesempatan ini suatu karya sastra daerah Bali, yang
berasal dari Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar,
dengan harapan semoga dapat menjadi pengisi dan pelengkap
dalam usaha menciptakan minat baca dan apresiasi masyarakat
kita terhadap karya sastra, yang masih dirasa sangat terbatas.

Jakarta, 1980

Proyek Penerbitan Buku Sastra

Indonesia dan Daerah

[ 5 ]

TERJEMAHAN

1. Si Tanah mencoba membuat tembang walaupun keadaan
diri bodoh, sekarang pura-pura pandai, seolah-olah tahu
akan lagu, terlalu berani membuat tembang, dengan meminjam nama tembang, dipinjam dari kidung Istri Tanjung, sekedar dikira bisa, hanya berdasarkan keberanian.

2. Adalah kisah cerita lama, cerita pergantian, sekarang dimuat dalam geguritan, adalah sekarang diceritakan, seorang penjudi berwatak jujur, Bagus Diarsa namanya, dari
kecil sampai tua, tidak berhenti dalam judian, mengisi kesenangan.

3. Mempunyai seorang anak lelaki, terlalu menurut, polos
dan taat, tidak banyak tingkah, banyak orang pada tertarik, I Wiracita namanya, umurnya baru satu tahun, sangat sujud bakti pada leluhur, membuat senang orang tuanya.

4. Istrinya sangat setia, betul-betul darma, tunduk pada suaminya, selalu cocok dalam pendapat, Ni Sudadnyana namanya, suaminya juga darma, teliti/hati-hati pada istrinya, karenanya rukun dalam keluarga, tidak pernah bercekcokan.

5. Sekarang diceritakan I Bagus Diarsa, selama ia berjudi,
tidak pernah ia menang, para penjudi banyak yang mendayakan, karena ia orang kaya, supaya habis digadaikan,
Bagus Diarsa tidak khawatir, setiap hari kena daya upaya,
karena ia seorang yang sangat bodoh.

6. Sawah ladang serta seisi rumah dihabiskan, dijual dan digadaikan, sekarang tiba-tiba jadi miskin, para penjudi pada setuju, bersepakat membuat upaya, ada yang mendayakan cara mengikat senjata ayamnya, ada yang membawakan senjata patah, ada yang menolong ayamnya dengan racun, ada yang memberikan ayam yang sudah yakin tidak menang.

7. I Bagus Diarsa tidak khawatir, selamanya gembira, buah

5

[ 6 ]Karya yang akan dinikmati di akhirat diutamakan, tetapi dirinya jadi miskin, juga dirinya tidak punya apa-apa, apa yang tidak punya, Ni Sudadnyana dikatakan, tidak mempunyai perasaan marah, tetap berpegang pada darma.

8. Sekarang dirinya sudah terlalu miskin, baru akan berusaha, berusaha sedikit-sedikit, bekerja mencari upah menunun, sesuai dengan pekerjaan wanita, sekedar dapat sesuap nasi, sekedar nasi dan sayur, supaya bisa makan.

9. Kemudian sekarang diceritakan, ada judian di desanya, diadakan setelah upacara adat (dewa yadnya), atas kehendak Anak Agung, ayam dengan taruhan besar, konon I Bagus Diarsa, di rumahnya tidur, karena tidak punya uang, tidur bagaikan orang mati.

10. Ni Sudadnyana tahu akan keadaan suaminya, datang pelan-pelan berkata alus membangunkan, bangunlah kakandaku, mengapa kakanda tidur, judian amat ramai di pasar, mengapa kakanda cemberut, kalau tidak punya uang, kenapa tidak bilang kepadaku.

11. Mungkin ada lima puluh atau seratus, lebih-lebih lagi dua ratus atau empat ratus, saya dapat berusaha, kain dan selimut saya akan gadaikan dahulu, apa yang harus dikasihani, asal kakanda bisa mengisi maksud, bersenang-senang hati, I Bagus Diarsa berkata.

12. Kenapa kau demikian, yang laki berkata, apa benar saya harus mencuri, merampok segala macam, mengikuti nafsu yang jelek, kalau sudah ada di rumah, saya tidak masalah lagi, Ni Sudadnyana berkata, ya sekarang saya berangkat.

13. Mencari uang menggadaikan selimut, suaminya berkata, pesanku padamu, caramu supaya benar, jangan berbohong, istrinya lalu berangkat, membawa sehelai selimut, dapat digadaikan delapan ratus, kemudian I Bagus Diarsa mandi.

14. Setelah habis mandi lalu bersisir, mengolah rambutnya, memakai selempot loreng kotor, dengan memakai ikat ping-

6 [ 7 ]gang, lalu ke luar, uangnya sudah dibawa, memakai keris
dengan tangkai kayu sakti, menuju di bawah wantilan,
karena sedikit membawa uang, bertaruh sambil berdiri.

15. Sekalipun tidak dapat menang, uangnya hampir habis,
tujuh ratus sudah habis, uangnya sisa lagi seratus, ke ping­gir sambil membuang muka, karena sudah menjelang sore,
berbelanja membeli nasi, pedagang segera menghidangkan,
kemudian mulailah ia makan.

16. Baru mengambil makanan, tiba-tiba ada orang datang, orang
peminta-minta, berjalan dengan memakai tongkat, dengan
membawa sesuatu, orang tua yang sudah bungkuk, kedua
kakinya luka, lendir lukanya bertetesan, baunya busuk
dan amis.

17. Ulat lukanya kelihatan bergerak-gerak, lalat berkeliaran,
seperti labah-labah beterbangan, pelis matanya banyak,
matanya kotor dan suram, sambil jongkok lalu berkata,
tuanku yang mulia, saya mohon sisa makanan sedekah, perut saya sangat lapar.

18. Bagus Diarsa berkata dengan halus, mari, naiklah! kita makan bersama-sama, orang tua itu berkata dengan halus, tidak saya tidak mau, saya ingin sisa-sisanya, Bagus Diar­sa menjawab, hai, kek mari naiklah, bersama-sama dengan saya makan.

19. Memang saya seharusnya acuh tidak acuh, tidak tahu ting­kat kasta, dan tidak tahu mengenai asal, usul kakek, seka­lipun
kakek seorang yang jelek, tua bungkuk dan luka­-luka, saya merasa malu, memberikan kakek sisa-sisa nasi, akhirnya ia ditarik, dipaksa diajak makan bersama.

20. Maafkanlah tuanku yang mulia, saya seorang yang jelek,
Bagus Diarsa menjawab, kek duduklah di sana, akhirnya
makan bersama, pedagang nasi membuang muka, mem­buang mata sambil menutup hidung, mereka enak makan berdua, tidak kekurangan nasi dengan lauk pauknya.

21. Akhirnya setelah habis makan, lalu makan sirih, orang


7

[ 8 ]tua itu berkata, tuanku! saya mohon sesuatu, kini sudah hampir malam, batuk saya kumat lagi, saya tidak bisa pulang, saya mohon penginapan, besok saya baru permisi pulang.

22. Bagus Diarsa lalu mengajak ke rumahnya, sesampai di ru­mahnya, ketika orang pada menyalakan lampu, Bagus Diar­sa berkata, sekarang dinda menerima tamu, silakan ber­siap-siap memasak, istrinya segera menakar beras, ke dapur lalu memasak, Bagus Diarsa berbincang-bincang de­ngan si kakek.

23. Ceritanya tidak menentu, ke sana ke mari, kadang-kadang mengenai hal-hal hidupnya, kadang-kadang hal mati, si kakek berkata, tuanku saya sangat lucu, besar permintaan saya, kadung tuanku berbelas kasihan, saya akan memin­ta putra tuanku, saya akan ajak pulang besok.

24. Besok lusa bila ia sudah besar, saya menghaturkan, serta menyerahkan kepada tuanku, supaya ada yang menjaga, rumah saya di gunung, bila saya tidak di rumah, saya se­ring pergi melancong, ke utara ke pinggir sungai, mencari jamur untuk sayuran.

25. Rumah saya letaknya di puncak gunung, dinginnya sam­pai ke tulang, rasanya, di tempat matahari terbit, di tem­pat matahari terbenam, rumah saya hanya satu, mema­kai lambang pohon jarak, letaknya di ketinggian mengha­dap ke barat, saya memelihara kambing dalam kandang, tujuh ekor dengan anaknya.

26. Saya memelihara ayam aduan, yang belum pernah diadu, dengan rupa serba istimewa, sa kedas sandeh jambul, ma­-ta linglang godeg sangkur, tegil lingker koping barak, yang satu lagi rupanya, klau barak suku dara sandeh dan teli­nganya merah.

27. Kakinya putih seperti manik air, yang satu lagi, biing se­lem telinganya kuning, kakinya rerajah, susuknya kuning seperti tatur, jambul barong-godeg maja, Bagus Diarsa ber-

8 [ 9 ]kata, lalu itu kakek tinggalkan, kau tidak ada yang menja­ga, di rumah.

28. Apa tidak mungkin ada orang mencuri ke sana, mencuri atau merampok, kan bisa semuanya habis, orang tua itu berkata, ya soal itu saya sudah tahu, jika ada pencuri datang, mengambil binatang peliharaan saya, tangan mere­ka akan bengkak dan matanya rusak.

29. Jarinya bengkak semua, I Bagus Diarsa, tertawa kemudian berkata, apakah dinda sudah selesai, itu ada seekor ayam, potonglah kemudian kau panggang, kemudian istrinya se­gera memotong, orang tua itu lalu berkata, tuanku ambil­lah saya.

30. Bulu ayam itu yang tadi, ambilkan tiga helai, bawakan sa­-
ya ke mari, kemudian I Bagus Diarsa, dengan polos mem­bawakan bulu, orang tua tadi lalu berkata, silakan letak­kan di atas, selitkan di atap sanggar, di sanggar kemulan menghadap ke selatan.

31. Besok lusa kalau tuanku berkeinginan, bertemu dengan saya, ikutilah ke mana perginya, akhirnya sampailah ke rumah saya, Bagus Diarsa menjawab, kemudian ke sanggar menyelitkan bulu ayam, diselitkan dengan kuat supaya tidak hilang.

32. Sekarang diceritakan sudah selesai memasak dihidangkan, I Bagus Diarsa berkata, kek! kemudian marilah kita makan, si kakek berkata halus, tuanku marilah kita sama­-sama, kemudian makanlah mereka bersama, istrinya siap meladeni, dengan menyiapkan sirih, kemudian I Bagus Diarsa berkata.

33. Tamu kita ada yang dimintanya, ini anakmu, si kakek mau meminta, andaikata besok lusa, kalau dia sudah besar sela­gi masih hidup, si kakek akan mengembalikan kembali, Ni Sudadnyana menjawab, pokoknya saya menurut, tidak banyak pikir lagi.

34. Ya andaikan kita menitipkan, di sana, supaya ia belajar,

9 [ 10 ]tentang kebenaran kepada si kakek, supaya mengerti de- ngan sehat, sekedar tahu arah barat atau timur, Ni Sudad­- nyana berkata, saya tidak berbeda dengan maksud kakan­- da, pikiran kakanda dengan pikiran saya, kita sama-sama berbelas kasihan kepada anak kita.

35. Sama-sama kita mencari jalan yang benar, hai anakku, turu-­ tilah maksud si kakek, iringkan si kakek pulang, Ki Wira­- cita menyembah, ya! saya tidak menolak, kemudian setelah habis makan, lalu makan sirih, kemudian menyiapkan tem­- pat tidur.

36. I Bagus Diarsa berkata halus, kakek paling di atas, sudah malam mari kita tidur, hai! Wiracita anakku, kau di sini tidur, kau menjaga si kakek, kemudian I Bagus Diarsa ti­- dur, bersama Ni Sudadnyana, si kakek lalu berkata.

37. Nanti kira-kira jam 4 menjelang pagi, mari kita berangkat, kau bersama-sama kekek, mungpung di jalan masih sejuk, karena perjalanan kita hendak melampaui gunung, supaya jangan di jalan kepanasan terlalu keras, kemudian tidur­- lah mereka, kira-kira sudah ada jam empat menjelang pagi, dengan sinar bulan pagi.

38. Lalu si kakek bangun membangunkan I Wiracita, hai Wira­- cita, marilah kita berangkat sekarang, lalu I Wiracita ba­- ngun ke menuju utara, ke lantai, kemudian jongkok menghadap menyembah kepada bapak dan ibu, kemudian memerikan berangkat, bersama-sama berjalan ke arah uta- ra.

39. Di jalanan sepi hanya ada tetesan embun, sudah mele- wa­ti beberapa desa, perjalanannya menuju ke arah timur, sawah ladang terlampaui, tegal pedesaan terlampaui, menu­- ju ke Werajenggala, menjelang pagi burung pun berkicau, burung tadah asih menyedihkan hati, burung keker mem- berikan hari telah pagi.

40. Burung tuu-tuu bersuara sayup-sayup di kejauhan, dengan burung kete-kete, burung cereluk berkicau, kemudian jalan

10 [ 11 ]telah mulai mendaki gunung, gunung Kelasa namanya, jalannya sukar didaki, si kakek berjalan cepat, berjalan tanpa ada halangan, mendaki tebing yang curam.

41. I Wiracita berjalan di belakang, ia berkata dalam hatinya, orang tua bagaimana ini? seperti tidak mempunyai luka di kaki, jalannya tidak terhalang sedikit pun, saya kenapa payah, lelah dengan nafas terengah-engah mendaki tebing, tiba-tiba sampai di puncak gunung.

42. Diceritakan tanah di atas gunung terbentang luas, semuanya sepi, matahari kelihatan baru terbit, dihalang-halangi oleh mendung, memandang nun jauh di sana, seperti ada dalam impian, matahari sudah terbit seluruhnya, bersinar berkilau-kilauan, terang benderang menyinari dunia.

43. Kemudian mereka mengaso duduk di atas batu, di bawah pohon jambu, si kakek lalu berkata, kakek ini bukan manusia biasa, kakek adalah Sanghyang Guru Dewa, berupa manu­sia bungkuk, kemudian bersalin rupa, menjadi Betara Siwa.

44. I Wiracita membungkuk tiga kali, menghaturkan sembah, pada kaki Betara Siwa, kepada Betara Siwa, tidak tahu bahwa orang tua itu dewa, karena persis seperti manusia, lalu bersabda Sanghyang Siwa, karenanya aku berupa manu­- sia, turun ke dunia.

45. Ingin mengetahui tingkah laku, orang tuamu sekarang, memang sudah sempurna, nah sekarang kau pulanglah, ke sorga dengan aku, berjalan terbang sekarang, I Wiracita menurut, tidak bisa berbahasa kepada Betara, adalan ambara madia.

46. Betara Siwa berkata, berapa tanganku, kau lihat sekarang, Wiracita mengikuti petunjuk, tiba-tiba kelihatan bunga tunjung, pulanglah ini sekarang, I Wiracita menurut, lalu meminta bunga tunjung itu, tiba-tiba bersalin rupa.

47. Kemudian berangkatlah mereka melalui angkasa, I Wiracita di belakang, bersatu dengan bunga, kadang-kadang

11

[ 12 ]kelihatan kadang-kadang tidak, adalah diceritakan seka­rang, kelihatan di Purwa Sumuuh, sebuah sorga milik Be­tara Siwa, sinarnya berkilauan.

48. Sang Sapta Resi sama mengucapkan mentranya, menjem­put Betara Siwa, Betara dan Bidadari, sang Sapta Resi ribut
bermentra, sangka sinranging garantun, sudah sampai di
halaman luar, di sana duduklah Betara Siwa, di atas pad­ma manik suteja, dihadap oleh para bidadari.

49. Sang Sapta Resi ribut mengucapkan mentranya, sama-sama
menghaturkan sembah, sama-sama menghaturkan air pembasuh/pembersih, tangan dan kaki, disertai de­ngan
bau dupa harum, memang begitulah tata caranya, kisah di kedewataan, I Wiracita tercengang, karena baru­ baru di sana.

50. Kemudian bersabdalah Batara Guru/Siwa, hai para resi semua,
bersihkanlah orang ini, supaya tidak mengotori, kedudukannya
supaya sama dengan para bidadara, sang Sapta Resi menurut, Sembari dibawa ke sungai, di sungai Suranadi dibersihkan.

51. Setelah dibersihkan lalu diajak pulang, sudah diupacarai,
tata cara sudah cukup, dengan meminum tirta amerta,
ditasbih oleh para bikku, sekarang sudah persis bidada­ra, bersalin
rupa menjadi orang tampan, sudah menjadi satu, dengan sang bidadara.

52. Sekarang diceritakanlah I Bagus Diarsa, dengan Ni Sudad­nyana, karena ditinggalkan anaknya, tidak ada perubahan perasaan, memang teguh memegang darma, sama seperti ke mari kita, di rumah tertawa riang, kalau ada peker­jaan dikerjakan, namun rasa setia kepada anak itu tetap ada.

53. I Wiracita sekarang diceritakan, selama dia di sorga, sela­lu
gembira, setiap hari pergi bersenang-senang, bahagia makan dan minum, menonton keindahan sorga semua, diceritakan ada sebuah sorga di hulu, sorga putih di ti-


12 [ 13 ]mur, merunya bertumpang sembilan.

54. Atapnya perak putih yang halus, pintunya juga dibuat
dengan perak, diwarnai dengan warna serba putih, itulah
tempat Sanghyang Iswara, itulah kahyangan Sanghyang
Iswara, seorang dewa yang gemar bersemadi/bertapa, ada
lagi di hulu, di selatan sorga mirah, merunya bertingkat
sembilan.

55. Atap pintunya dengan mirah, sinarnya berkilauan, ini
tempat persemayaman Betara Brahma, inilah kahyangan
Betara Brahma, seorang dewa yang tetap bersabar hati,
pemberani di dalam perang, ada lagi di hulu, sorga ku­ning di barat, merunya bertingkat sembilan.

56. Atap pintunya adalah mas, sinarnya berkilauan, ini tem­pat persemayaman Betara Budha, inilah puranya sang Ma­hadewa, seorang dewa yang gemar bersemadi (yasa dangu), di sini tempat serba ada, ada lagi di hulu, sorga hitam di utara, merunya bertingkat sembilan.

57. Bagian dari salah satu pintunya dibuat dari besi yang halus,
di Wisnu Buwana, itu adalah kahyangan Betara Ari/Wisnu,
seorang dewa yang tetap mementingkan kebaikan/ketentram­
an, pemberani dalam pikiran/hati, dan sujud bakti pada
atasannya, ada lagi di hulu, sorga biru di timur laut, meru­nya dibuat dari perunggu yang berkelanan.

58. Tingkatnya sebelas atapnya dibuat dari perunggu, bagian
dari pintunya, dibuat dari perunggu yang mengkilat, ku­rus akilam ayu, itu adalah kahyangan Betara Sambu, se­orang dewa yang senang bekerja, yang bertugas untuk me­lepaskan leluhur/pitara, ada lagi dilihat sorga, di tengga­ra sorgagangsa.

59. Merunya tingkat sembilan dan besar, berkilau-kilauan,
ada yang dilapisi cermin, itulah kayangan Sanghyang In­dra, purinya Sang Sacipati, seorang dewa yang selalu ada dalam keadaan kanak-kanak, selalu ada dalam keadaan

13

[ 14 ]suci terus menerus, itulah sebagai bunga ke Indraan, ada

lagi dilihat sorga.

60. Di barat daya sorga Riti itu, merunya tingkat sembilan,
atapnya juga dibuat dengan riti, warnanya kuning, bau­nya sangat harum, cendana, garu dan sajen burat, kasturi dan air wangi, di tempat itu tempat persemayaman beta­ra Rudra.

61. Seorang dewa yang tetap bersabar dalam hati, bertang­gung jawab dengan perbuatan, seorang dewa yang setia terhadap perkataannya, ada lagi di hulu, di barat laut tem­patnya, sorga gangsa bertingkat sembilan, atapnya dibuat dari perunggu, dihiasi dengan bunga-bungaan, sangat in­dah dilihatnya.

62. Yang tempatnya di welasatia, itulah kahyangan Sangka­ra, seorang dewa yang setia, lagi yang di erapada itu, se­buah sorga yang besar, yang tidak ada persamaannya, de­ngan sorga yang lain, tempatnya di tengah-tengah, meru­nya tingkat sebelas, penuh dengan bunga-bunga ratna.

63. Atapnya dibuat dari vawaratna sumuuh, puncaknya me­makai winten, ringringnya caleomandewi, rupanya seper­ti dewangga halus kelihatan berkilauan sangat indah, di­hiasi dengan bunga-bungaan, ditata berderet-deret, di an­taranya ada bunga sridanta, lalu dikerumuni oleh kum­bang.

64. Bidadari dan bidadara di sana semua berhias, sama-sama
mengharap berkasihan, ramai menabuh dan bertembang,
sama-sama memperlihatkan kepintaran, dengan segala ke­pintarannya, itulah persemayaman Betara Siwa, itulah kahyangan Betara Siwa, seorang dewa bertugas sebagai pendeta.

65. Sakti karena tapanya tembus, tahu pasti mengenai keada­an moksa, ada sorga lagi dilihat, tempatnya di tenggara,
merunya tingkat sebelas dan besar, sangat indah karena
bahannya mirah semua, siang malam berkilauan, gapura-


14 [ 15 ]nya dibuat dari manik berkilauan, salah satu bagian pintu­nya berkilau-kilauan.

66. Itulah kahyangan Hyang Saraswati, seorang dewa yang arif dan bijaksana, seorang dewa yang tahu semua ilmu, bisa mengarang tembang, ada lagi di hulu, sorga kambang di timur laut, merunya sangat besar, atapnya dengan na­wa ratna, bagian pintunya dibuat dari emas.

67. Puncaknya dari manik yang indah, dikeliling, aring-ring cakomandui, cara-cara alangu, ada juga berkilauan penuh, itu kahyangan Betara Uma, seorang dewa yang sudah arif dan bijaksana, setiap hari menyenangkan hati, teguh meme­gang darma.

68. Setiap yang dimakan merasa puas, ada lagi sorga, letak­nya di barat daya, merunya dibuat dari lancung, ramai orang-orang pria makan dan wanita, bersenang-senang makan dan minum, ada juga yang bertembang, ramai sekali sambil bergurau, seorang dewa yang taat pada semadi.

69. Itulah kahyangan Sang Asurna dewi, karena semuanya, membuat kesenangan, pintar karena semuanya, memainkan wayang, mena­buh dan menyanyi, setiap orang yang pandai dalam peker­jaannya, juga tempat orang yang selalu berbuat darma, ada lagi sorga, di barat daya dari tengah-tengah (madia).

70. Merunya dibuat dari emas bertingkat sebelas, bagian pintunya, dibuat dari emas, winten manik yang bersusun, itu namanya sorga Biasa, itulah kahyangan Wesrawana, seorang dewa yang senang berdana, serta dana emas dan manik sepenuhnya, ada lagi dilihat sorga, di timur laut letak­nya dari utama.

71. Atap merunya dari bunga-bungaan, gapuranya dibuat dari bunga-bungaan juga, salah satu bagian pintunya juga dengan bunga, baunya sangat harum, berkilauan puncaknya itu, ciri khasnya ada warna kuning menyala, nama di Ganda tempat ini, inilah kahyangan Betara Smara, se­orang dewa yang sangat setia.

15

[ 16 ]72. Mendoa upacara kalau air suci, apasaji sifat, lenga, burat dan wangi (nama sesajen), diisi buah-buahan dan sirih, pisang kembang serba harum, merupakan penawar, yang menyebabkan sehat, ada lagi dilihat sorga letaknya di atas sekali,

73. Merunya dibuat dari emas, gapuranya kuning, diselingi mutiara, mutiara yang berkilau dan baik, barat daya terdapat kuning, tidak berjiwa bisa lari, di sana ada bermacam-macam yang aneh-aneh, nama tempat ini di Maniratna, ini adalah tempat persemayaman, Betara Paramesuara.

74. Karena Sang Brambalo itu, ada lagi sorga yang lain, letaknya berdampingan, merunya besar dan indah, salah satu bagian pintunya dibuat dari sesuatu yang indah, bangunannya serba indah, ada lagi bangunan indah di hulu, itulah persemayaman, Betara Sadasiwa.

75. Karena orang yang berbuat baik itu, sangat kasihan kepada setiap yang berjiwa, ada lagi sorga yang sangat indah, merunya sangat besar, bertingkat sebelas, atapnya dibuat dari ratna semua, dan juga dibuat dari emas kuning dan manik bersusun, salah satu bagian pintunya dibuat dari manik, dihiasi dengan serba emas.

76. Sangat indah banyak kayu-kayunya berderet-deret, maha suci, ini namanya pohon beringin/kalpataru, dihiasi dengan emas kuning, sangat berkilauan dan baunya sangat harum, berbuah merah serba indah, bunga wedurya sangat indah, juga mirah inten dan manik maya, nama tempat ini di Gambira padang.

77. Inilah kahyangan Batari Kala, yang menguasai jagat, sampai ke lautan itulah Sang Jalanangla, kalau darma ia sangat dipercaya, ada lagi sorga yang lain, di bawahnya meru Tridatu, atapnya timah dan tembaga, salah satu pintunya dari tembaga.

78. Sorga pada adalah tempat Ralnyangan Sang Pulung, ka-


16 [ 17 ]rena yang tiga, menjadi tiga wama, selalu berbuat baik, darma sekali, ada lagi sorga yang lain, merunya sangat be- ­sar, atapnya dibuat dari randon seni, halamannya berting- ­kat-tingkat.

79. Puncaknya dibuat dari manik yang indah, sinarnya ber­- kilauan, terang benderang siang dan malam, itu namanya di Windu peret, tempat persemayaman Betara Guru, se­- orang dewa yang tembus tapanya, pusat segala ajaran itu, memuja untuk kesucian, ada lagi sorga yang lain.

80. Di bawahnya tempat persemayaman Betara Brahma, me­- runya tingkat lima, atapnya dibuat dari perunggu ber- ki­lauan, keadaannya sangat ramai, ini namanya di Trepti- ­pada, inilah kahyangan Sang Nala Krepa, hasil dari orang yang menjalankan kependetaan, hatinya baik dan bersih, banyak lagi hal lain kalau kita bicarakan mengenai keada- ­an sorga.

81. Sekarang diceritakanlah I Wiracita, kira-kira ada sebulan, lamanya di sorga, dengan kawannya bersenang-senang, ber­- pergian dengan kawannya bersama-sama, bersama bida- ­dara, inilah jejaka dan ganteng-ganteng, cukup pandai da- ­lam bergaya, karena umumya muda.

82. Malam-malam bepergian, ke gunung Kelasa, bersenang­- senang, menikmati terang bulan purnama, sambil meme- tik bunga-bungaan, di antaranya ada bunga gadung, bau­- nya sangat harum, karena keharuman itu, bidadari semua­- nya senang, menikmati bulan purnama.

83. Semua pada bergembira, nafsunya pun ke luar, tidak bisa
ditahan, tidak bisa menahan kesaktian asmara, orang itu
memetik gadung, karena kesenangan hatinya, jadi bercin- ­ta kasih, bertemu asmara, karena memang harus begitu.

84. Habis bertemu asmara lalu turun, menyucikan diri di su­- ngai, namanya sungai Suranadi, kemudian mereka kem­- bali, para jejaka pria wanita, begitulah keadaannya, ti­- dak terkatakan lagi olehku, Ki Wiracita sekarang, mene-


17

[ 18 ]mui suatu kebahagiaan.

85. Sekarang diceritakanlah I Bagus Diarsa, ketika masyara­kat desanya, baru selesai mengadakan upacara dewa yad­nya, kemudian mendirikan wantilan, memang kehendak Anak Agung, uran ayam dengan taruhan puluhan ribu, ko­non I Bagus Diarsa, diharuskan mengadu ayam. dengan taruhan 30 ribu.

86. I Bagus Diarsa sudah tidak punya apa-apa, merasa ia de­ngan diri diupayakan, karena miskin sudah tidak punya apa-apa, lalu teringatlah ia kepada si kakek tua yang kaki­nya luka, kemudian berkata kepada istrinya, aku besok pagi, akan pergi ke rumah si kakek tua, mencari ayam un­tuk uran, baik-baiklah kau di rumah.

87. Tidak terkatakan malam berlalu hari telah menjelang pagi, I Bagus Diarsa, bersiap-siap akan pergi, ke sanggar lalu mengambil, bulu ayam tiga helai, sampai di jalan raya, dilepas ketiganya, semuanya terbang menuju arah timur laut, I Bagus Diarsa mengikuti dari belakang.

88. Makin jauh perjalanannya, sawah ladang terlampaui, seka­rang arahnya tetap ke timur, dijumpailah hutan besar, ja­lannya turun naik tebing, tebing yang curam, semakin ja­uh perjalanannya, dunia dilihat semakin aneh, seperti ti­dak ditempati manusia.

89. Gunung tujuh buah telah dilampaui, dijumpainya seka­rang ladang yang luas, jarak antara timur dan barat sangat luas, sama juga dengan jarak utara selatan, tidak ada kayu-kayuan, hanya rumput dengan lalang melulu, tidak ada kelihatan gunung, hanya tanah dan langit, luasnya sejauh pandangan.

90. Banyak para atma dijumpai, atma yang berdosa, kepanas­an merasakan ketakutan, di ladang itu berkumpul, semua menjilat embun, yang ada di ujung alang-alang, ada atma bayi dijumpai, berjalan bersama-sama pada membawa, membawa tempurung semua.


18 [ 19 ]91. Ada atma lagi dijumpai, di bawah pohon madori, mena­ngis sambil bersungut-sungut, diriku kurus kering, mata cekung kaki besar-besar, kata-katanya mengumpat-umpat,
oh Tuhanku kenapa saya begini, lama saya menderita, ke­lima indraku menderita.

92. Kuingat kepada hal-hal yang lalu, waktu di Mayapada,
ada kepunyaanku sedikit, anak cucuku yang mewarisi,
ia semua tidak menghiraukan, iseng untuk mengerjakan
sesuatu, memberikan sesendok bubur, karena hal-hal lain
yang dipikirkan, mengisi kesenangan pikiran.

93. Ada atma dilihat baru datang, dari Mayapada, jalan ber­sama laki istri, baru habis diupacarakan (dibukur), barang
bawaannya banyak sekali, jajan, untek, guling itik, atma
yang menderita tadi keluar kata-katanya halus, saya min­ta sedekah, perut saya terlalu lapar.

94. Yang dimintai tidak menjawab. Berjalan cepat-cepat, yang
meminta sangat marah, merampok lalu merebut, akhir­nya berkelahi ribut, memukul dengan daging, makanan dipakai memukul, yang kena menjerit, menangis memin­ta tolong.

95. Ribut sekali ada yang saling kejar, yang dibawanya ber­jatuhan, yang jatuh itu direbut, diambil lalu dimakan, kerongkongannya tersumbat, I Bagus Diarsa, kasihan me­lihat di sana, lalu teringat akan diri, air matanya bercu­curan.

96. Ada atma yang bergantung dilihat, di ranting pohon ke­puh, di bawahnya berisi api, itu atma orang berdosa, mem­fitnah mengadu domba, ada lagi atma yang dilihat, dike­jar babi dan anjing, digigit menjerit-jerit, luka-luka lalu menangis kesakitan.

97. Itu atma tidak tahu nasehat, tingkah laku jadi manusia,
tidak menghiraukan pelajaran darma, selalu bertingkah
kurang baik, senang mencacat orang, ada lagi dilihat at­ma, dipatuk burung besar, darahnya memancur, lukanya


19

[ 20 ]banyak sekali.

98. Itu atma manusia keras kepala, orang yang gaithis, supa­ya bahagia sendiri, ada atma yang lain lagi datang, ribut
sekali jalannya, sama-sama mengeluarkan kemarahan, be­ginilah buah karyanya dijumpai, banyak dilihat atma yang
lain, direbus dalam jambangan neraka.

99. Apinya besar airnya mendidih, semua yana bala, semua
senang menusuk-nusuki, dengan buluh runcing, menjerit mereka karena kesakitan, itu atma orang dursila, rasa aku
dalam pikirannya, kalau menginginkan kepunyaan orang,
diambilnya tanpa permisi.

100. I Bagus Diarsa hatinya senang bercampur sedih, melihat
atma berdosa, sambil ia berjalan, tidak ada yang mengha­lang-halangi, gembira karena ada Betara Siwa, di hulu yang diikuti, pemberi­ sinar berkilauan, bala yana dipa­pasnya, sama-sama tidak mengucapkan sepatah kata.

101. Perjalanannya semakin menjauh, arahnya ke tenggara, tiba­
tiba menjumpai bambu, seluas ceritanya dahulu, itu sehektar hidupnya subur, adalah bambu, tempat penggotong mayat orang mati, di sini lagi hidup subur, ada lagi yang dilihatnya yaitu pandan.

102. Sehektar ladang dengan subur, itu ceritanya, itu tumbuh­
tumbuhan orang mati, lumpur berbau dijumpai, dalam dan baunya hamis, itu ceritanya, kumpulan kotoran-kotoran pe­rut, kotoran-kotoran orang mati.

103. Banyak atma di sana tenggelam, lebih seribuan, melon­jak-lonjak tidak bisa dicabut, alang-alang muda yang se­perti taji banyak juga, terdapat di sana-sini, itu ceritanya,
itu adalah kumpulan, rambut orang yang mati.

104. Ada atma datang dari barat, menjerit keras-keras, diikat
dengan rantai besi yang besar, itu Buta Galungan, memu­-
kul-mukuli, itu katanya atma orang, tidak membayar kaul,
menjumpai kesengsaraan panca indra, siang malam men­jerit-jerit


20 [ 21 ]105. Kalau berbohong besar dosanya, kepanasan direbus, da­lam jambangan bersuara kecil, sepuluh tahun hukuman­nya, kalau bersalah kepada pendeta, seperti air mengalir, yang bersalah juga dapat sengsara, karena sang pendeta seperti dewa.

106. Atma tanpa cucu bergantung pada bambu besar, bergela­yutan diembus angin, seperti daun kayu kering, menangis
sayup-sayup di atas, ada lagi dilihat atma, duduk di atas
rumput kering, kurus kering badannya, setiap persendian
merah dan besar.

107. Itu atma orang menolak pemberian, ada lagi atma, ber­dua suami istri, ada memikul ada menjunjung, menjin­jing, menggendong memikul, berat membawa kekayaan, orang kaya yang kikir namanya itu, mempergunakan ke­punyaan sendiri tidak rela, apalagi berdana punia.

108. I Bagus Diarsa berjalan-jalan pelan, tiba-tiba kelihatan,
kahyangan Betara Gori, candi putih kelihatan, kayu teja
kayunya, rumah perak namanya, I Bagus Diarsa merasa
payah, ingin di sana berhenti, tiba-tiba dilihat dua orang
manusia.

109. Berhadap-hadapan berdiri, dilihat di bawah pohon, ber­bicara berdua, itulah Hyang Penyarikan, berdua berbica­ra, dengan Begawan Mrecukunda, Bagus Diarsa berteduh, berteduh di bawah pohon teja, Hyang Penyarikan berka­ta.

110. Atmanya siapa duduk di sana, berkilauan sinarnya, kira­-kira itu atma orang baik, I Bagus Diarsa menyembah, oh Tuhanku, hamba ini bukan atma, hamba manusia masih hidup, karena titah Sanghyang Siwa Hyang Penyarikan berkata.

111. Benar! sekarang aku baru teringat, dengan
seluk-beluk­mu, karena sudah tercantum dalam surat, silakan di
sana berteduh, Bagus Diarsa mengiakan, tiba-tiba datang
atma, bersamaan kira-kira lima ratus, tetapi semuanya at-


21

[ 22 ]ma berdosa, selalu berprilaku dusila.

112. Kata-katanya sombong saling sambung, sama-sama atma,
siapa ada seperti aku, pemberani dan kebal, waktu meram­pok di Putung, kubunuh lalu terlentang, ada lagi atma ber­kata, aku waktu memperkosa, wanita mengajak anak.

113. Anaknya menangis minta pulang, lalu aku banting, mati
dia karena patah lehernya, ada lagi menjawab, aku waktu
memukul sang pendeta dengan tongkat bambu, salahnya
ia memberikan nasehat, toh juga saya sekarang tidak apa­
apa, oleh Bala Betara Yama.

114. Akan saya lawan berpukulan, bermain silat, ada lagi men­jawab, sang Jogor Manik kita tangkap, kita potong dan kita olah, ada yang lain lagi berkata, betara Yama juga tangkap, mari kita panggang, pakai berpesta dengan ni­ra.

115. Begitulah suara atma riuh rendah, tertawa sambil berbi­cara, ada yang bersorak, berjalan tidak karuan, pakaian­nya setan orang jagoan, menuju Hyang Panyarikan, kata­-katanya kasar lagi tidak karuan, Hai! kau Bagawan Penya­rikan, antarkan aku ke sorga.

116. Kalau tidak mau akan pikir-pikir dalam saya bunuh, sang Panyerikan, ber­hati, dalam hatinya berkata, tidak ada
satu pun, atma yang perbuatannya baik, semua perbuat­annya kasar, sudah jadi atma juga bohong, mengaku diri­nya harus sorga.

117. Hyang Penyarikan berkata, kamu atma semua, aku berta­nya yang benar, sudahkah kamu semua, melakukan per­buatan baik, melakukan dewa yadnya dan buta yadnya, juga melakukan pitra yadnya atau upacara ngeroras, ber­dana punia kepada dunia, berguru untuk ketentraman de­sa.

118. Para atma menjawab, bersamaan semua, jawabannya sa­ma
seperti berjanji sebelumnya, ya saya sudah, mamitra yadnya
upacara ngerorasin, dewa yadnya buta yadnya,


22 [ 23 ]berdana punia saya sudah, mendahulukan ketentraman
desa, berguru kepada sang Brahmana.

119. Bagawan Penyarikan berkata, kenapa kau sekarang, mem­bohongi aku sekarang, aku memang sudah tahu, dengan tingkah perbuatanmu, satu pun tidak ada yang sorga, se­mua berbuat onar, kamu bohong mengaku sorga, dari ma­sih hidup sampai jadi atma.

120 . Ini suratmu sudah ketemu, aku bacakan sekarang, dengar­kanlah sekarang, dulu kamu ini memperkosa, kentara la­lu ditangkap, tidak ada yang memintakan maaf, diperla­kukan di bawah pohon kepuh, apakah tidak begitu halmu, sang atma lalu berkata.

121. Benar demikian Tuhanku, saya pernah salah, sudi kira­
nya Tuhanku memberi maaf, Hyang Penyarikan berkata,
ini kamu lagi aku jumpai, suratmu dengarkan, ceritanya
kamu dahulu, membunuh orang tidak berdosa, lalu kamu
menghilang.

122. Apakah tidak begitu perilakumu dahulu, sang atma ber­kata, oh Tuhanku, memang benar, Hyang Penyarikan ber­kata, ini suratmu ketemu lagi, katanya kau kita ble me­gic mempergunakan ilmu hitam, apa tidak begitu perihal­mu, jangan kamu lagi berbohong.

123. Sang atma menyembah membenarkan, benar Tuhanku,
sekarang Tuhanku, hamba hanya minta ampun, Hyang Pe­nyarikan berkata, kadong kamu sudah bersalah, setiap
hukuman harus diterima,

124. Par atma semua menangis, khawatir akan dirinya, merasa­kan diri akan kesakitan, menyembah-nyembah sambil ber­kata, oh Tuhanku saya tidak mau, sekarang saya tidak berbuat lagi seperti itu, kalau saya nanti, melaksanakan perbuatan onar terserahlah Tuhanku.

125. Hyang Penyarikan sekarang berkata, supaya kau tahu, li­hatlah itu dari sini asap besar menjulang tinggi, apinya besar menjilat-jilat, tempat merebus para atma, setiap yang


23

[ 24 ]jatuh ke sana pasti masak, tunggulah sebentar lagi, di sana

akan tempatmu nanti.

126. Banyak para atma pada menjerit, menangis bergelimpang­an, wahai ayah wahai ibu, menyembah lalu berkata, oh,
Tuhanku maafkanlah saya, supaya sedikit sengsara, supa­ya
sekitar dua tahun, Hyang Penyarikan berkata, kalau ada penggantinya.

127. Kanista madya motama tersebut, sederhana dalam nera­ka, para atma semua berkata, Tuhanku permintaan saya, jalankanlah
belas kasihan Tuhanku, saya tidak membawa uang, belakangan saya membayar, supaya lipat ganda tiga kali, saya mempersembahkan pengganti dengan uang.

128. Hyang Penyarikan berkata, tidak begitu maksudnya, karena berbakti kepada Tuhan, tidak boleh dirubah-rubah,
sudah ada jangka waktunya, nasib sudah tertulis di kepala,
baik buruk sudah termuat, tidak bisa disesalkan lagi, su­dah merupakan hasil perbuatan.

129. Para atma pada membungkuk, mengeluk akan diri, air ma­tanya deras keluar, semua pada menyembah, saya minta
sedekah, perut saya terlalu lapar, selagi kerongkongan sa­ya kering, lama saya tidak makan.

130. Hyang Begawan berbelas kasihan, lalu mencarikan kepa­da kakaknya dewa Uh Manik, setiap yang dicarinya ada
di sana, air, nira ada di sana, daging, jajan yang baik-baik,
semua atma sudah dapat bagian, habis makan dan minum,
tiba-tiba Yama Bala datang.

131. Banyaknya ada seratus, ada membawa gada, ada memba­wa tombak besi, lu, gora, serta angkus, sapu besi dan tu­lup, para atma takut dan lari terpisah-pisah, mereka lari tunggang-langgang, terpaksa jatuh ke neraka, setiap yang menentang kena gada.

132. Begawan Mrecukunda berkata, kakek Penyarikan, apa do­sa para atma ini, disiksa semua, berapa lama mereka di­siksa, ia berkata dengan halus, Hyang Penyarikan lalu men-


24 [ 25 ]jawab, karena perbuatannya jelek, sampai ke mari terus
dibawa dan di sini tempat memetik hasilnya.

133. Setiap perbuatannya jelek, apa yang harus kita katakan,
itu para atma yang sengsara, jangka waktunya seribu ta­- hun, bertempat dalam kawah ini, memikul kesengsaraan
dunia, kalau menjadi manusia ia orang banci, tidak wani­- ta dan tidak lelaki, pokoknya ia menjadi seorang sengsa­ra.

134. Dia seharusnya menjadi orang berkasta sudra, kalau per- ­buatan yang baik, kastanya akan meningkat lagi, ia akan
menjadi kasta Wesia, kalau baik perbuatan kasta Wesia- ­nya itu, meningkat menjadi kasta kesatria, kalau perbuat- ­an jelek, tetap berada dalam sengsara, untuk menikma- ­ti buah karyanya.

135 .Lihatlah itu yang berteduh, di bawah pohon curiga, dire- ­but badannya oleh banyak keris, darahnya deras keluar,
tempat menyiksa atma yang lain, bila ia berjalan, di atas
batu ugal-agil, di sana juga tempat tersiksa, seperti gadung
ditempuh angin.

136. Begitulah kata Hyang Penyarikan, Begawan Mercukunda,
terlalu kasihan dalam hati, kemudian sama-sama pulang,
sekarang diceritakanlah I Bagus Diarsa, lalu berjalan ke
arah timur, kira-kira ada setengah jam, lagi berjumpa de­- ngan atma, berkumpul memenuhi ladang.

137. Kemudian Betara Narada tiba-tiba datang, dari Mayapa­- da, dari bepergian menyelidiki, tidak dapat beliau ngadu,
mengadakan perang besar, karena beliau sangat senang,
menonton perang besar-besaran, lalu pulang ke angkasa,
sampailah beliau di neraka.

138. Dijumpai para atma yang banyak, lalu beliau bertanya,
atma bagaimana kau di sini, berkumpul banyak sekali,
semua atma pada menyembah, tuanku sanghyang Narada,
antarkanlah saya, sekarang naik ke sorga, menghadap ke­
pada Ida Betara.


25

[ 26 ]139. Begawan Narada berkata, memang kau senang, minta ke

sorga sekarang, sudahkah kau tahu? berbuat dalam men­cari kebaikan, berdana punia atau beryadnya, para atma semua menjawab, hal itu sudah saya kerjakan, melaksana­kan darma dan beryadnya.

140. Begawan Narada berkata, apakah engkau sudah menge­tahui ilmu, menterjemahkan dan bertembang, semua para atma menjawab, ya sudah saya sudah bisa, bertembang gede dan bertembang tengahan, Hyang Narada berkata, ya sekarang cobalah.

141. Sekarang sama-sama bertembang, ada yang lain bertem­bang macapat, ada yang bertembang gede, Hyang Narada berkata, ada lagi yang aku tanyakan, apakah kau bisa ber­nyanyi sambil menari, para atma semua menjawab, ya saya bisa, ya cobalah sekarang.

142. Para atma semua melakukan bersamaan, menari sambil bernyanyi, sambil berjingkrak-jingkrak, ribut menabuh, untuk diri sendiri, Hyang Narada bersenda gurau, beliau lagi berkata, ada lagi yang aku tanyakan, apakah kau per­wira semua, pemberani dalam perang.

143. Karena itulah kau akan menemui kebaikan, baik ke sor­ga, tempatnya Betara Wisnu akan dicari, para atma semua menyembah, saya pemberani lagi kebal, tetapi berani da­lam perang, Hyang Narada berkata, ya cobalah sekarang, bertempur bersama atma.

144. Lalu bersorak-sorai bertempur-tempuran, saling memukul, di tegalan bercampur aduk, saling kejar, sangat ribut sekali, Hyang Penyarikan terkejut, segera mendatangi, ber­temu dengan Bagawan Narada.

145. Begawan Penyarikan berkata, usil sekali engkau, para at­ma kau adu di sini, Hyang Narada berkata, mereka semua mengaku kebal, pemberani dalam perang, pengakuannya baik semua, semua minta sorga, itu makanya saya meng­adu.


26 [ 27 ]146. Hyang Penyarikan bersenda gurau, walaupun demikian jarang para atma yang jujur, para atma lagi berkumpul, payah nafasnya terengah-engah, Hyang Penyarikan memberikan semua bubur, minta sedekah, sama-sama satu sendok, sekarang diceritakan kisah I Bagus Diarsa

147. Diceritakan perjalanannya, megikuti bulu ayam, kelihat­annya menuju ke atas timur, kahyangan Betara Guru, ka­nan luar yang sangat indah, pembangunannya semua ser­ba mas, I Bagus Diarsa akhirnya, berhenti di halaman luar, bulu, ayam itu masuk kahyangan.

148. Betara Guru teringat, I Bagus Diarsa, datang di halaman luar menunggu, lalu bersabda, Wiracita lihatlah, jemput­lah ayahmu, ajaklah ayahmu ke mari, Wiracita menjawab, lalu keluarlah ia.

149. Sekarang dijumpailah ayahnya, di bawah pohon beringin, duduk menghadap ke timur, datanglah I Wiracita, menyem­bah bersenda gurau, ayah marilah pergi ke dalam kahyang­an, atas sabda Betara Guru, Bagus Diarsa berkata, siapa engkau ini.

150. I Wiracita menjawab bergurau, apa memang ayah lupa? anak ayah tidak diketahui, lalu I Bagus Diarsa, akhirnya meraba-raba, memang ayahmu lupa, tiba-tiba kau sudah besar ayah jumpai, si kakek itu di mana, I Wiracita menja­wab.

151. Ya beliau sekarang menjadi Betara Guru, inilah kahyang­annya, saya minta mari kita sama-sama ke sana, Bagus Diar­sa bangun, lalu memperbaiki pakaian, lalu berjalan dengan penuh tata tertib, bidadari banyak yang keluar mengintai dari jendela, menonton I Bagus Diarsa.

152. Saling cubit berkata berbisik-bisik, itu mertuamu, datang ke mari kamu, lalu mereka bersenda gurau, lalu dijawab dengan senyum, kakak juga bermertua, kepada I Bagus Diarsa, lekaslah sapa dulu, yang lain berkata lagi.

153. Lebih baik itu yang baru datang, umurnya lebih tua lagi


27

[ 28 ]sedikit, kalau rupanya juga sama gantengnya, pantaslah

itu orang kesatria, hanya sayang mereka itu miskin, ada yang lain lagi berkata, kenapa begitu kau berkata, saya ti­dak seperti kau, senang kepada yang lebih muda.

154. Mereka tertawa sepontan, I Bagus Diarsa, tercenang kehe­ran-heranan, melihat serba indah, mirah, intan, manik yang indah, perhiasan ranjang lebih baik lagi, merunya besar, tingkat sebelas serba emas, periginya memakai intan dan mirah.

155. Sesampainya I Bagus Diarsa, di hadapan Sanghyang Guru, jongkok lalu menyembah, Betara lalu bersabda, datang juga kau Bagus, apa perlumu kau datang, Bagus Diarsa menyembah, lalu berkata alon, saya datang ke mari, untuk memohon sesuatu,

156. Karena hamba sekarang sangat miskin, dikenai uran, diha­ruskan dengan taruhan yang banyak, oleh I Gusti Agung, lalu hamba tidak mengadu ayam akan dihukum, Betara lalu bersabda alus, tidak usah hal itu disusahkan, di sini sudah ada ayam.

157. Saya berikan kamu ayam seekor, itulah kau adu, yang menyebabkan kau nanti beruntung, berbahagia dan menjadi raja, menggantikan I Gusti Agung, karena dia adalah musuh­mu, karenanya kau miskin, dia yang mendayakan engkau, seorang raja yang merupakan kerugian rakyatnya.

158. Besok lusa bila kau sudah menjadi raja, gantilah tingkah lakumu, jangan mempergunakan daya upaya, berjudi kau harus berhenti, hal itu mengakibatkan terbangkalai, beker­jalah dengan tekun, jadi diselingi dengan pekerjaan, semua kesenangan panca indra, jangan terlalu dituruti.

159. Ilmu itulah yang kau pelajari sedalam-dalamnya, camkan dalam hati, olah dalam pikiran, karena itu merupakan ting­kat, yang kuat, karenanya disegani menjadi raja, karena satria adalah merupakan pelita hati, supaya jangan bekerja tak menentu, dalam menjalankan kebenaran, haruslah mema-


28 [ 29 ]kai undang-undang dengan hyang sastra.

160. Tingkah laku rakyatmu perhatikan dahulu, jangan kacau balau, tata lakunya periksa, jangan cepat dipercaya, tim­bang dahulu, supaya jangan kadong biasa, kata-katanya dahulu perhatikan, sesuaikan dengan tingkah lakunya. Itulah ditimbang supaya jelas.

161. Kalau dihadap oleh rakyat di sana mencari data, di saat rakyat ingin meninggalkan, olahlah semua hal di sana, pen­dapat rakyat ini semua, jelaskanlah jangan tidak karuan, yang salah dengan yang benar itulah pertimbangan dalam hari, besok lusa pasti jelas hasilnya.

162. BelajarJah berkata halus jangan terlalu kasar, di hadapan rakyatmu, berhati-hatilah dan pikir dlulu dalam hati, bu­kan karena kain dan bahu, menyebabkan rakyatmu segan, kebenaran dalam kata-kata itulah penyebab rakyatmu tun­duk, kalau merasa diri dikalahkan, dengan kebenaran da­lam pikir.

163. Rakyatmu jangan diberi lucu, akhirnya menyebabkan ti­dak berwibawa, peganglah apa yang disebut sama beda, kerling mata supaya benar, kata supaya jelas alus, jangan tidak karuan, sikap supaya benar, berhati-hati dalam ber­pikir, supaya kau tidak gegabah.

164. Kalau ada perbekel mengemukakan pendapat, jangan acuh tidak acuh, supaya baik dan jelas caranya menerima, me­minta pendapat atau persatu, jangan sampai salah terima, simpanlah dalam hati, mimiknya dan kerling mata perha­tikan, biar atau tiada mengapa itu sampai tidak jelas.

165. Kesenangan hatimu bagi-bagikan di sana, kepada pende­rita rakyatmu, jangan sok senang sendiri, setiap yang me­nyebabkan marah, itu pikir dulu, rakyatmu upamakan se­perti sapi, gembalanya Anak Agung (raja) kalau baik ca­ranya memelihara, ia kan gemuk dan tanduknya panjang.

166. Runcing dan tajam siapa berani, dengan menyodori sua­tu yang disenangi, kalau ia kurus kering, di mana pun ada


29

[ 30 ]rumput, ke sana ia pergi, salah caranya diambil orang, apa

yang dipakai meminta kembali, kelihatan sudah kebodoh­an gembala, pasti ditertawai orang.

167. Jangan terlalu menuruti kesenangan, jangan pula terlalu menahan, jangan terlalu tidak menyenangi supaya jangan sampai disoroti, oleh orang banyak, menyebabkan sampai diketahui jiwamu, kalau kamu punya musuh, itu harus pakai politik, jakan ia ikan di sungai.

168. Karena diri terlalu bodoh, segera memakan alat pemikat­nya, tidak tahu itu berisi pancing, akhirnya bisa dipang­gang, ingatkanlah itu baik-baik, jangan lupa kepada sas­tra, para pendeta harus dijunjung, ajak mempersoalkan negara, supaya masyarakat menjadi sentosa.

169. Karena hanya tiga itulah menjadi pemuka, kalau dalam sastra, yang tiga itu adalamong kara, itulah yang menjadi pemuka, sebagai parama siwa, dalam suatu negara adalah raja, sebagai sada siwa adalah siwa, di gunung adalah Brah­ma, karena dialah sebagai siwa.

170. Yang tidak itu yang diberikan terpisah-pisah, karena yang tiga itu menjadi tiga kesatuan yang kuat, sekala maupun niskala, baik keduanya, Bagus Diarsa setuju, menyembah berkata, semua petunjuk Betara semua sabda Hyang Guru, sudah meresap dalam hatinya.

171. Hyang Guru berkata halus, silakan dulu kmu sucikan diri­ mu, supaya lepas dari mala, I Bagus Diarsa melaksanakan­nya, lalu ia mandi, pada pancuran yang banyaknya 7 ma­cam, sapta tirta sudamala, menyebabkan dirinya sempur­na.

172. Sesudah diberikan alat pembersihan, dan sudah cukup tata caranya, betara bersabda lagi, setelah kau di sana, pe­riksa ayam itu tiga ekor, pilihlah sesuka hatimu, itu tem­patnya di bawah meru berjejer di atas dataran, Bagus Diar­sa menyembah.

173. Lalu pergilah ia melihat ayam di sana, bimbang dalam ha-


30 [ 31 ]tinya, ketiganya bagus, dilihat dari bawah ke atas dari atas ke bawah, lalu berkatalah Betara Guru, nanti setelah hari petang barulah kau tentukan, tentukan pilihanmu dari bunyi, waktu itulah kau akan dapat menentukan, yang akan diambil.

174. I Bagus Diarsa berkata dengan menyembah, saya menuru­ti perintah, konon hari sudah malam, lalu I Bagus Diar­sa tidur di bawah meru, kira-kira hari telah menjelang pagi, salah satu berkokok, suaranya seperti manusia, mengata­kan musuhnya.

175. Yang berkokok adalah ayam sangkur, menyatakan musuh­nya Gusti Agung akan aku lawan, beliau akan mati, Bagus Diarsa berkata, inilah yang patut kuminta, diceritakan matahari sudah terbit, sinar matahari sudah berkilauan, menyinari dunia.

176. Para betara sudah bangun dan menyucikandiri, kemudi­an memuja, bau dupa sangat harum, setelah beryoga lalu turun, duduk di atas padma ratna lalu halus berkata bagai­mana Bagus Diarsa, mana ayam yang kau pilih.

177. Bagus Diarsa berkata sembah, se sangkut itulah, kau ku­minta sekarang, ya ambilah seekor, baik-baiklah kau ngadu ini bawa senjatanya, kamu taruhi dengan bunga-bu­nga, itu bunga ratna yang merah, dan putih yang kau pe­tik.

178. Yang merah mirah bunganya, serba istimewa, yang putih intan bunganya, lalu I Bagus Diarsa memetik, banyaknya satu bungkus, Bagus Diarsa menyembah, Tuhanku lagi saya memohon, saya meminta bekal, apa ada bekal saya pu­lang?

179. Sanghyang Guru mengangguk, I Bagus Diarsa, turun lalu menyucikan diri, akhirnya habis mandi, sehabis diperciki tirta, sudah diperciki itu lalu betara sudah pantas berte­mu dengan kebahagiaan/kebaikan, sempurna dan panjang umur, tidak akan kena cacat apa pun.

31

[ 32 ]180. Sehabis diperciki tirta kemudian I Bagus Diarsa turun,

betara bersabda, silakan kamu pulang sekarang, diam kau jalan ke arah timur, I Bagus Diarsa menurut, permi­silah ia dengan menyembah, I Wiracita juga, sembah kepa­da ayahnya, lalu berangkatlah I Bagus Diarsa.

181. Lewat pintu jalannya ke arah barat, jalannya melalui ang­kasa, seperti ada dalam mimpi, Bagus Diarsa menurun, se­perti cantaka nglayung, terbang di angkasa, seperti atma terbang yang akan pulang ke sorga, karena ciri-ciri orang baik.

182. I Bagus Diarsa tidak sudah perjalanan terus, mulai sudah dilihat banyak gunung, berselimut mendung, makin menu­run akhirnya menuju, puncak gunung Kelasa, sampai di puncak gunung, arah mata angin sudah jelas dilihat, ciri­-ciri sudah kelihatan.

183. I Bagus Diarsa terus menerus berjalan dengan cepat, tiba­ tiba ketemu tempat orang menanam padi ladang, banyak para gembala sapi memanggang ubi dan jagung, ada lagi yang memanggang belalang, ada pula yang bermain-main.

184. Orang menjaga padi ada yang bertembang, sangat ramai sekali di sana, ada yang meniup seruling, ada yang memu­kul kentongan, ada yang mengetam padi, laki istri berde­ret-deret, ada memikul ada yang menjunjung, membawa kelongkang muda, ada pula yang lain memukuli enau.

185. I Bagus Diarsa berjalan cepat, lewat dari tempat orang menanam sawah ladang sudah padi dilampaui, sekarang dice­ritakan segera sampai ia, di kota akhirnya, sesudah sore sampailah ia di rumahnya, istrinya sangat repot, membawa­ kan pencuci tangan, itulah tata cara orang baru datang,

186. I Bagus Diarsa tergesa-gesa mengambil tempat ayam sece­patnya memberi alas tempat ayamnya, sejak itu ayam itu diambil dari kisa, lalu dimasukkan ke dalam tempat ayam aduannya, lalu ditaruh di atas di sanggar, di atas bataran sanggar kemulan, lainnya, terlalu diutamakan ayamnya


32 [ 33 ]oleh I Bagus Diarsa,

181. Lalu ia berkata halus, adikku Sudadnyana, berikanlah saya sajen burat wangi, upacarai ayam yang tadi, asep menyan majegau, Ni Sudadnyana segera membuat sesajen, meng­goreng untuk sajen tadal sukla, konon sajennya sudah sele­sai.

188. I Bagus Diarsa lalu mandi, berpakaian serba putih, dengan memakai selempod, putih dengan bersisir rapi, bersajen sudah selesai, asep dupa menjulang tinggi, pantas seper­ti pemangku, menyembah-nyembah di sanggar, bersujud penuh kepercayaan.

189. Selesai bersajen lalu keluar, duduk di teras, berdua suami istri, Bagus Diarsa berkata, anakmu saya jumpai, lupa-lupa ingat saya melihat, tiba-tiba sudah besar dan ganteng, ber­salin rupa berwibawa, air mukanya berwibawa,

190. Ni Sudadnyana lalu berkata, di mana tempatnya? anak tuanku itu, berkata Bagus Diarsa, berbisik kepada istri­nya, cukup sudah ia menyeritai isteri bersenda gurau, ak­hirnya ia berkata.

191. Itu apa tuanku? yang ada dalam bungkusan, Bagus Diar­sa menjawab, itu anugrah Sanghyang Guru, uang taruhan dibukanya, akhirnya segera dibukanya, dilihat mirah dan intan serba indah, sinarnya berkilauan, pantas untuk bu­sana seorang raja.

192. Ni Sudadnyana lalu berkata, tuanku makanlah dulu, hari sudah hampir sore, Bagus Diarsa berkata, silakan sedia­kan dulu, isterinya lalu segera, ke dapur menghidangkan, setelah selesai menghidangkan lalu Bagus Diarsa makan.

193. Setelah selesai makan, lalu memakan sirih, ayamnya se­tiap hari ditengok, terus menerus siang malam, dengan sa­jen buratwangi dan dupa harum, diaturkan di sanggar ke­mulan, konon ada sudah 9 hari, tiba-tiba datang petugas desa supaya mengadu ayam besoknya.

194. Itu atas kehendak Gusti Agung, taruhannya sebanyak-


33

[ 34 ]banyaknya, menyenangkan pikiran I Bagus Diarsa, Gus­ti Agung adalah orang kaya, yang berkuasa memungut pajak, dalam negara yang dikuasainya, sekarang diceritakan I Gusti Agung, sudah pergi ke tempat judian, para penjudi sudah berkumpul semua.

195. Sekarang datanglah I Bagus Diarsa, membawa ayamnya, membawa seekor ayam, ayamnya melonjak-lonjak, ayam­nya takut, setiap ditaruh ayamnya bersuara ketakutan, para penjudi bersenda gurau, ada lagi tertawa sambil berkata.

196. Di mana dapat ayam ketakutan? bayang-bayang ditaku­ti, ada lagi menyambung berkata, berkata bersenda gurau, terlalu memperlihatkan kelemahan, menyeliki judian, se­bagai panglima Anak Agung, terlalu tidak sesuai dengan ang­gota desa, ayam takut diantarkan.

197. Bagus Diarsa menjawab bergurau, dengan kemalu-maluan, sekarang saya berkaul, setiap yang digalaki oleh ayam saya, saya akan bersedia ngadu, dengan taruhan sebanyaknya, asal uran saya jadi, biarpun manusia yang digalaki, saya bersedia akan ngadu.

198. Lalu bersabda I Gusti Agung, I Bagus Diarsa, patut dike­nai denda dua kali, pertama karena terlambat datang, ha­rus denda 700, konon termuat dalam awig-awig yang ke­dua denda karena membawa ayam takut, juga dibawa kejudian, juga harus denda 800.

199. Supaya sekarang juga membayar, kalau lewat satu pasang pertaruhan ayam, harus membayar lipat ganda 5000, la­lu I Bagus Diarsa membayar denda sebanyak 1500, seka­lian penjudi tertawa, ayam takut ditambah dengan kena denda, kepintaran yang tidak bisa dipergunakan, begini­lah sudah, tidak punya apa-apa apa yang harus dikata.

200. Ada yang berani, memaksa mengambil ayamnya, ayam­nya I Bagus Diarsa, dipaksa ayamnya supaya mau galak, ayamnya bersuara ketakutan, lalu berkatalah I Gusti Agung,


34 [ 35 ]bawalah ke mari ayamnya, akhirnya diaturkan, lalu beliau digalaki oleh ayam I Bagus Diarsa, dan ditarung oleh ayam I Bagus Diarsa.

201. Lalu I Gusti Agung terkejut, mengambil ayam itu, lalu beliau berkata, saya yang digalaki oleh ayammu, Bagus Diarsa berkata sembah, tuanku saya kadang salah bicara, setiap yang digalakinya, saya bersedia melawankan, de­ngan bertaruh mirah sebungkus.

202. Lagi berkata I Gusti Agung, aku digalaki, apa jadi dilawan­kan, I Bagus Diarsa berkata, saya bersedia tuanku, berta­ruh sebungkus mirah, berkata lagi Gusti Agung, mana ta­ruhan ayammu, supaya saya tahu.

203. Bungkusan terbuka diaturkan, dilihat intan dan mirah, semua serba indah, tertarik hatinya I Gusti Agung, ber­ kata dengan bergurau, bagaimana saya harus melawan, di­kira saya orang gila, manusia melawan ayam, karena ti­dak sepantasnya.

204. Ambillah ayamku yang rupanya ijo sangkur, itu pakai me­lawan, ayam bertaruh 10.000, Bagus Diarsa berkata, saya telah mau tuanku, karena ayam saya tidak mau galak, ber­kata I Gusti Agung, ya paksakan saja, paksa saja supaya mau galak.

205. Pramanca semua berkata, turutilah titah sang raja, kalau tidak mau saya akan perlakukan, akan saya naikkan ke perahu, akan saya tukarkan dengan apinu, Bagus Diarsa berkata, saya tidak berani tuanku, saya minta ampun, saya akan menuruti titah sang raja.

206. Gusti Agung turun bergurau, senang dalam hatinya, meli­hat mirah dan intan yang baik, harapan besar akan me­nang, putranya Sulaksana berkata, ayah saya minta mirah delapan butir, serta intan sembilan butir, akan saya pa­kai busana landean.

207. Putranya lagi satu yaitu I Gusti Nyoman Samirana ber­kata saya juga begitu, saya minta salut garantin, I Gusti


35

[ 36 ]Agung bergurau, dengan halus lalu berkata, silakan senja­tai ayammu, Bagus Diarsa menurut, konon sudah selesai,

I Gusti Agung akan melepasnya.

208. Ke dalam lapangan judian dengan sikap berwibawa, de­ngan sinis lalu berkata, bahasa kau sekarang Diarsa, po­koknya kamu kalah saya andaikan seperti ikan goreng da­lam piring, karena kau terlalu bodoh, ramai orang tertawa, Gusti Sulaksana berkata, relakanlah hatimu untuk bersa­tia, mungpung bara api masih besar.

209. I Bagus Diarsa diam sambil membungkuk, ke lapangan hendak melepas ayamnya, dengan perasaan khawatir dan gemetar, ayam sama-sama dilepas, ayam I Bagus Diarsa takut dikejarnya, berkeliling di tengah lapangan, sorak-sorai sepontan, I Gusti Agung bersorak, jongkok sam­bil memegang patok bambu.

210. Di hadapan I Gusti Agung, ayamnya I Bagus Diarsa balik kembali, ditarungnya ayam Anak Agung lalu matilah ayam Anak Agung, kemudian I Gusti Agung ditarungnya, lalu kenalah lambungnya, lalu beliau pingsan, pramanca semuanya, semua menolongnya.

211. Sementara ribut dalam judian, sama-sama terkejut, Bagus Diarsa ke pinggir, mirahnya diambil, ayamnya terbang di angkasa, mengikuti I Bagus Diarsa dari belakang, sesam­painya ia di rumah lalu bersalin pakaian, lalu memotong kayu untuk pati tombak.

212. Diceritakan orang-orang yang ada di bawah wantilan tem­pat judian, semuanya ribut, menolong I Gusti Agung, per­tolongan ringan banyak datang, bahkan alat penolong tenaganya I Gusti Agung sudah diberi, ada yang meno­long dari telinganya, tenaganya semakin lemah, lalu me­ninggalah I Gusti Agung, banyak orang pada menangis.

213. I Gusti Sulaksana dengan sebuah senjata, juga I Gusti Nyo­man, Samirana, dengan sebatang keris, kentongan sudah dipukul, rakyat semuanya datang, rakyat yang diumpama-


36 [ 37 ]kan sebagai elang banyak yang berkeliaran, berjalan de­ngan sorak-sorai, menuju rumahnya I Bagus Diarsa, sudah dikelilingi rumahnya.

214. I Gusti Sulaksana dari barat, I Gusti Nyoman Samirana dari timur, ramai bersorak-sorai memanggil-manggil, ke­luarlah Bagus Diarsa, sekarang perlihatkan keberanianmu, rakyat semua berjalan, repot dan ribut, menaiki tembok bersorak disertai senapan sambung menyambung.

215. I Bagus Diarsa menyucikan dirinya, akan mengadakan pu­putan, berpakaian serba putih, ayamnya berkokok, sege­ra ayamnya menyatakan sesuatu, jangan engkau khawatir, jauh kemungkinan kau akan menemui kesusahan, lihat­lah aku sekarang, saya akan bersalin rupa.

216. Segera ayam bersalin rupa, menjadi seekor garuda, Bagus Diarsa mengendarai, terbang ke angkasa, angin keluar se­perti topan, semua anggota desa lari tunggang-langgang, berlari saling tabrak, heran metihat garuda, burung apakah namanya itu?

217. Bagus Diarsa kelihatan di angkasa, rupanya seperti Betara, setiap yang disambar semua lari, lari saling pegang, saling dorong, saling injak, banyak luka-luka karena tombak, ada yang digendong ada yang dituntun, setiap jalan penuh sesak, larinya tidak lagi toleh-toleh.

218. Semua kayu telah rebah, karena angin topan, rumah ru­sak diterbangkan angin, banyak orang jatuh bergelimpang­an, mayat di sana-sini bergelimpangan, mati karena senja­ta kawan, kalau orang takut itu diumpamakan seperti anak ayam melihat burung elang, takut sambil mencari tempat bersembunyi.

219. Banyak manusia yang dimakan oleh sang garuda, mena­ngis sambil menjerit-jerit, ada yang mengaduh kesakitan, Gusti Sulaksana lari kencang, juga I Gusti Nyoman lari, terpaksa mereka menyerah, duduk sambil menyembah, saya minta hidup.

37

[ 38 ]220. Bagus Diarsa berbelas kasihan, mau memberi hidup, rak­yat semua pada menjerit, minta hidup menyerah, sambil jongkok berkumpul, sesudah semua diberikan, I Bagus Diarsa turunlah,

semua rakyat menghadap, untuk meng­adakan perjanjian.

221. Pendeta siwa buda datang, jumlahnya ada empat puluhan,
semua anak buahnya mengikuti, semua memakai pakai­an adat, selalu bersabda halus, wahai! Gusti Bagus Diarsa, janganlah kemarahan
itu dibiarkan berlarut-larut, saya menyerahkan diri, saya bersedia menjunjung tuan.

222. Sekehendak pikiran tuanku saya menurut, tidak menen­tang,
sedikit pun juga, Bagus Diarsa bergurau, akhirnya
berkata halus, jangan pendeta khawatir, jauh kemungkin­an saya akan bermusuhan, kepada pendeta, pendeta ada­lah junjungan saya.

223. Para pendeta menjawab bersamaan, jawabannya sama,
saya menurut kehendak tuanku, Bagus Diarsa berkata,
ya, para pendeta, lalu membuat suatu perjanjian, para
pendeta berkata, ya saya menurut saja, konon perjanjian sudah selesai.

224. Segera setelah selesai membuat perjanjian, semua rakyat­nya,
baik kaum kesatria maupun kaum brahmana, serta sanak saudaranya, datang juga semuanya. Bersamaan da­tang semua, semua menyerahkan diri, berkumpul sambil menyembah kepada Diarsa.

225. Yang disembah lalu berkata saudara-saudaraku semua,
jangan kau membiarkan, mayatnya I Gusti Agung, kerja­kan supaya selesai tata cara, rakyatnya menurut, memba­wa ke kuburan dengan segera, membuatkan tempat mem­bakar, lalu dibakarnya.

226. Tidak terkatakan hari sudah malam, besok paginya, Ba­gus
Diarsa dihadap, sanak saudaranya datang, mendata­ngi I Bagus Diarsa, juga para pendeta, Gusti Sulaksana ju­ga datang, dengan Gusti Samirana, hatinya khawatir dan gemetar.


38 [ 39 ]227. Dibayangkan berapa mayat yang sudah meninggal, kare­nanya hatinya khawatir, lalu duduk di paling sudut, me­nuli tanah dahulu jadi raja sekarang jadi rakyat, setiap me­nit melirik, melihat I Gusti Agung Bagus Diarsa, kalau iadibicarakan, terlalu pandai dan banyak upaya.

228. Teringat kepada perbuatannya yang lalu, terlalu jelek, ki­kir dan senang mendayakan rakyat, dan mempunyai pera­saan aku,maksudnya mempelajari kewibawaan, tanpa mem­pelajari darma sastra, bertindak terlalu bebas, siapa yang berani pada dirinya, diadukan kepada ayahnya.

229. Dikira akan menjadi raja selamanya, seperti sekarang su­dah jadinya, berpikir berdasarkan daya upaya, sekarang bertemu sudah kesusahan, pantas tidak memakai ukuran, diikat oleh nafsu, menyebabkan diri ketakutan, karena si ayah terlalu berbuat adarma, makanya jarang orang bi­sa sorga.

230. Konon tingkah laku I Bagus Diarsa, dalam pertemuan res­mi, bersikap ramah tamah, berkata diselingi dengan ber­gurau, tidak ada yang merasa tidak puas, memang seorang yang bijaksana, setiap perkataan yang ke luar menyenang­kan dalam perdamaian sepantasnyalah menjadi seorang raja.

231. I Bagus Diarsa setelah menjadi raja lalu berganti nama, sekarang bernama Gusti Agung Nitigulati, karena taat da­lam perkataan, tidak bersifat acuh tidak acuh, karena sela­lu berbuat baik akhirnya bertemu juga dengan kebaik­an, memang disertai pertolongan Tuhan, makanya meng­alami kebahagiaan yang tiada taranya.

232. Para pendeta berkata bersamaan, maafkan saya, sekarang akan menyebabkan sesuatu kepada tuanku, dari dahulukala, saya belum pernah mendengar, seperti tuankukeadaannya, seorang raja yang pemberani menundukkan musuh, memakai kendaraan garuda, dalam cerita pun be­lum pemah saya dengar.

233. Bukannya saya sombong, memuji, menuruti kehendak tuanku, sepatutnyalah tuanku, menggantikan I Gusti Agung,


39

[ 40 ]selagi menurut pendapat saya seperti keliru almarhum, kata-katanya gegabah, tidak berhati-hati kepada rakyat.

234. Selalu mengisi dan menuruti hatinya, semua kata atau ucapannya, seperti Anak Agung Sulaksana, dan Anak Agung Samirana, sering berkata dengan marah, tidak tahu tata tertib, pangkal yang menjadi ujung, merusak undang-un­dang negara, selalu berbuat yang bukan-bukan.

235. UU sudah lama tidak dihiraukan, seolah-olah saya, tidak diberkahi oleh Tuhan, apa itu tidak menyebabkan keka­cauan, Berkata Gusti Agung, tidak begitu, ini hanya anu­grah Tuhan,

236. Lama I Gusti Agung dihadap, sesudah sore lalu mereka pulang, pertemuan bubar, I Gusti Agung ke dalam puri, diceritakan Ni Sudadnyana, I Gusti istri namanya, berba­hagia menjadi istri raja, pintar meladeni rakyat, sanak sau­dara semua.

237. Setelah ia menjadi raja , kira-kira lagi sepuluh harinya, tiba-tiba sang Narada datang diiring oleh I Wiracita, lalu berjumpa dengan I Gusti Agung, ketika ada dalam perte­muan, I Wiracita mengikut, sudah sampai, di dalam per­temuan, semua orang heran.

238. Heran kepada orang sorga datang, berupa gandarwa, ba­dannya ramping menarik hati, I Gusti Agung segera, meng­haturkan air pembasuh kaki, kepada Sanghyang Narada, juga para pendeta ikut repot, salam penghormatannya de­ngan ucapan weda.

239. Sanghyang Narada lalu berkata, karenaku datang sekarang, mengantar anakmu ini, saking perintah Hyang Guru, teru­tama saya dan anakmu, adalah untuk menemuimu seka­rang, karena kau sudah menjadi raja, saya mengharapkan suatu kewibawaan, di dalam memerintah negara.

240. Anakmu yang akan menggantikan, yang menyebabkan kesenangan dunia, menyebabkan ketentraman, sudah me­ rupakan titah sang Hyang Guru memberi tahu anakmu itu,


40 [ 41 ]sudah sepntasnya memerintah negara, jangan merasa kha­watir lagi, bagaimana ia tidak bisa memerintah, apalagi ia seorang yang biasa di sorga.

241. Kamu bersiap-siap untuk menuju arah kebaikan, akreopa­ desa, untuk kembali ke sorga, kalau sudah pada waktu­nya, kalau menjadi seorang raja, kalau sudah bisa aman sentosa, bersujudlah kepada gurunya, mengurangi perbuat­an yang kurang baik, pada akhirnya akan mencapai kebaik­an.

242. Bagus Diarsa menjawab, wahai Sanghyang Narada, me­mang benar perkataanmu, pikiranku menuruti, memang saya sudah waktunya, namun permintaan saya, beritahu­kan kepada rakyatku, anakku yang akan menggantikan.

243. Yang mendengarkan semua menjawab, saya menurut ke­hendak tuanku, karena memang sudah sebenarnya, tuan­ku harapan saya, para pendeta berkata menyembah kepa­da Hyang Narada, maafkanlah saya, memang saya bodoh tidak tahu apa-apa, sekarang mau minta anugrahmu

244. Nalar patularana pukulun, purihta penyempuran, sang sinembah berkata, lalana tanak ingsun, yukti dahat ling­ta meri, maharja jagat irane anare paun tananang keyuh, sang liningan arsa nembah, bara oadang raseng cita,

245. Setiap yang melihat merasa heran, karena tumben sekali, menjemput orang yang baru datang, yang lebih mengheran­ kan, yang menjadi tanya dalam hatinya, karena I Wiraci­ta sekarang menggantikan, seperti antara wisnu, yang me­nyebabkan kebaikan.

246. Tidak terkatakan olehku, di dalam ia menjalan tugas raja, berbibawa dan menyenangkan pemberian banyak yang da­tang, mas dan harta yang utama lainnya, tidak lagi cadra wahana, keadaan makanan seperti daging memenuhi, ka­rena ia adalah raja utama, tidak perlu kita tanyakan lagi.

247. Kyai Agung (Bagus Diarsa) kembali memenuhi panggilan Tuhan, bersama-sama dengan istrinya, sesuai dengan pe-

41

[ 42 ]rintah Hyang Narada, sepatutnya mereka bertempat disorga, nayamut mengeng, tan winuwus, seharusnya tidak mengalami takdir kembali, raspati awesa iku, sedah di­beri nama Bagawan Mretalocika.

248. Istrinya juga sudah diberi nama Betara Nayopasuci, I Wira­cita sudah menjabat raja, nenggih nama kredinira, di jun­jung oleh semua raja, prabu Wijayakesuma, yang selalu membuat kesentosaan jagat.

249. Para pendeta berkumpul, sudah dianugrahi, kata-kata yang menyenangkan, sesudah selesai, lalu mereka kembali ke rahmatulah, menuju sorga, Hyang Narada sudah juga kem­bali, terbang melalui angkasa, cerita masih dilanjutkan sedikit lagi.

250. Sepanjang ia menjadi raja, Sri Jaya Kesuma, dunia jadi tentram, tidak kesukaran yang menghalangi, yang adharma menjadi darma, orang para arif bijaksana, bergembira me­ngadu kepintaran, kanida madya motama, selalu meng­adakan pelaksanaan pemujaan.

251. Setiap yang diberi murah, tidak kekurangan suatu apa, baik berupa makanan, adil makmur negaranya, tidak per­lu yang kukatakan lagi, mengenai diri sang raja, sampai di sini karangan ini, karena pemikiran terlalu dangkal, lebih dangkal dari lubang yang terdangkal.

252 Selesai ditulis karangan tembang ini, di Badia Sarkara, dikatakan waktu menulis, pada waktu uku krulut, sasih­nya sasih karo, rah tujuh, tenggek tiga, sekalannyane di gunung. Pahlawan sarpa purusa, tahunnya 1837 C (1915M).


42 [ 43 ]

GEGURITAN BAGUS DIARSA




Fakultas Sastra Universitas Udayana

Denpasar

1979

[ 44 ]

ALIH AKSARA GEGURITAN I BAGUS DIARSA

1. I Tanah iseng mangawe kidung, awak lintang belog, jani maambek ririh, paksane weruh ring pupuh, cumangkah mangawi kidung, tunasang ica tembange, silihang ring Is­tri Tanjung, kalamakan katon bisa, wantah juari buin po­ngah.

2. Ada tuturan carita ilu, satua pagantian, jani unggahang di gurit, ada jani kawuwus, babotoh maambek rurus, Bagus Diarsa arane, uling cenik mengelilus, tuara surud ring pala­lian, manuukin legan manah.

3. Mangelah pianak muani aukud, lintang tutubadah, degeng kalih ngidep munyi, tuara kakean laku, liu anak pada lu­lut, I Wiracita arane, matuuh bau sataun, lintang bakti ring kawitan, manglenganin meme bapa.

4. Nene istri patibrata anulus, nulus kadarman e, ajrih ring sang gurulaki, satata manut kayun, Ni Sudadnyana aran ipun, nene muani masih darma, palapan teken ne luh, sang­kan suka makurenan, tuara taen majengihan.

5. Bagus Diarsa jani kawuwus, sing jalan magocek, buka tua­ra taen sapih, babotoh liu mincul, bane sugih ngelah liu, apanga onya masanda, Bagus Diarsa tuara kengguh, sai gawe kalengitan, sangkan masanggah di empelan.

6. Carik abian isin umah nyamus, maadol masanda, tong dusin jani ngulesin, babotoh pada cumpu, ngigumang ma­daya biluk, len pacadi babulangan, mangabaang taji elung, nulung siap baan tuba, ada melolongin siap.

7. I Bagus Diarsa tuara kengguh, satata kalegan, kaniskala katchin, anging awake rutrut, karo di awak ngalentuk, tani ngelah paran sira, Ni Sudadnyana kawuwus, tuara ngelah sekel manah, pageh mangisi kadarman.

8. Jani bane liwat-liwat etuh, sara maancuhan, keneng-ke­neng ngutik-utik, mananggap upah nunun, sageginan anak luh, masih polih asambekan, ngatepukin nasi jukut, maka-


45

[ 45 ]dayang panak somah, apang payu makinyukan.

9. Kasuen-suen jani kawuwus, tetajen di desa, lelakon maa­ci-aci, wawiden Anak Agung, uran metoh liu-liu, Bagus Diarsa kocapa, di jumah medem malingkuh, bane tuara ngelah gelar, mekabun memati awak.

10. Nyai Sudadnyana wruhing semu, teka patelaan, mamu­nyi alus nanginin, matangi Gusti Bagus, manguda merem mekabun, tetajen rame di pasar, manguda I Gusti sungsut, yadin biana wenten gelar, boya ngandika ring titiang.

11. Nawi wenten angan seket satus, lewih satak samas, polih titiang ngutik-utik, kamben kalawan kampuh, titiang gade­yanga dumun, data ko sayangang titiang, sok I Gusti apang lanus, liang anak pakayunan, Bagus Diarsa angucap.

12. Nguda keto baan nyai lamun, ne kakung angucap, patut ko ira mamaling, mamegal numpang laku, ngulurin idepe dudu, lamun suba ada jumah, tuara ko ira mangitung, Ni Sudadnyana angucap, inggih mangkin titiang lunga.

13. Ngalih jinah nyandayang kampuh, ne kakung angucap, sok pabesen ira nyai, lampahe apang patut, eda bobab eda jumbuh, ne eluh raris luas, mangaba gagaden kampuh, ma­aban masanda domas, Bagus Diarsa masiram.

14. Usane masiram nabdab rambut, ngolah jejambulan, masa­put ban bonggrek dekil, manyabuk lantas pesu, jinahe sam­pun kakadut, keris danganane dapdap, mangojog batan ta­tarub, dening kidik makta gelar, majujuk metoh mangu­jang.

15. Gangan apisan tong taen ngukup, pipise das onya, pitung atus suba bresih, enu megantulan satus, ka sisi klingas­-klingus, dening suba paek sanja , mablanja manumbas se­kul, dagange encong nandingang, lantas mara madaaran.

16. Bau mara mangesop ping telu, saget ada teka, gagendong mangidih-idih, matungked pati tuyug, mangundit karoso ibus, anak bungkut suba tua, batis makadadua berung, mecat banyehe manyatcat, bone banges malekag.


46 [ 46 ]17. Ulednyane liu pakelejuh, buyung masliuran, buka nyawa­ne ngababin, pelis matane liu, maceh-ceh marabu-rabu, manyongkok raris mangucap, gustin titiang dewa ratu, ti­tiang manunas lungsura, basang titiange bes layah.

18. Bagus Diarsa mamunyi alus, mai ke menekan, bareng ma­daar kaki, i tua lingnia alus, titiang mindah dewa ratu, ti­tiang manunas lungsuran, Bagus Diarsa masaut, nah kaki mai menekan, bareng ken tiang madaar.

19. Apan titiang kaki saja tandruh, tani nawang wangsa, tan­ druh ring sor pangaluih, lagut kakine gud-gud, tua bung­kut buin berung, kemad saja baan titiang, mambaang kaki manglungsur, tumuli raris kajemak, kapredi kajak mene­kan.

20. Tabe titiang gusti dewa ratu, titiang jadma jele, Bagus Diar­sa nyautin, manegak kaki ditu, tumuli bareng manyekul,dagange mangadesemang, ngalen mata mecik cunguh, kalih enak madaaran, daar ulam tuara kirang.

21. Tumuli usan dane manyekul, madaaran sedah, i tua amuus aris, gusti titiang maatur, ne mangkin sampun das dalu, dekah titiange mangentah, boya dados titiang mantuk, ti­tiang nunas madunungan, titiang mapamit ne benjang.

22. Bagus Diarsa raris ngajak mantuk, suba teked jumah, ma­san anak ngenyit sundih, Bagus Diarsa amuus, ne jani nyaimatamiu, kema dabdabang manyakan, ne eluh encong manguwup, ka paon raris manyakan, Bagus Diarsa mene­man.

23. Satua tani kangin tani kauh, maideh-idehan, saget idup saget mati, anake odah muwus, gusti titiang lintang lucu, agung pinunas titiange, buat ican gustine nulus, anak gus­ti tunas titiang, ajak titiang mantuk benjang.

24. Pungkur lamun dane sampun duur, titiang mangantukang, kalih ngaturang ring gusti, apang wenten manunggu, kubun titiange di gunung, kala titiang nenten jumah, titiang jat luas manganggur, ka sisi tukade kaja, ngalih ong pacang ja-


47

[ 47 ]nganan.

25. Umah titiange di pucak gunung, dangine manulang, sig Surya Candrane mijil, sig tongose sumurup, kubun titiang tuwah abungkul, makekayon kayu jarak, mulu kangin mage­gumuk, genah badan kambing titiang, papitu tekening pi­anak.

26. Titiang ngurung ayam tuah tatelu, kari bajang-bajang, ule­sipun becik-becik, sa kedas sandeh jambul, mata linglang godeg sangkur, tegil lingker koping barak, ne sikian ules ipun, klau barak suku dara, sandeh koping ipun barak.

27. Suku putih kadi manik banyu, ne malih sikian, biing selem kuping kuning, rerajah mungguing suku, suksuk kuning kadi tatur, jambul barong godeg maya, Bagus Diarsa amuus, to kalahin kaki luas, dening suung di jumah.

28. Tong duga ke anak kema ngrusuh, mamaling mangrandah, tidong ke makejang bresih, anake odah muwus, inggih ti­tiang sampun tau, sampun jangin titiang tumbal, lamun wenten maling rauh, manyemak ubuhan titiang, ipun seng­ kok mata kijap.

29. Jarijin ipun kiting cakir piuh, I Bagus Diarsa, kedek tu­muli angeling aris, nyai suba ke puput, to ada siap aukud, kema gorok laut panggang, ne istri mangorok gupuh, i tua raris angucap, gusti ambilang jua titiang.

30. Bulun siape nika ne bau, ambil tigang lembir, baktaang titiang mariki, I Bagus Diarsa laut, tubadah mangaba bulu, anake odah angucap, rarisang gusti baduur, seletang di raab sanggah, kamulane mulu kaja.

31. Mani puan lamun gusti kayun, kapanggih ring titiang, nika bulune tuturin, lebang ring marga agung, tututin sapari­nipun, rauh ka kubun titiange, I Bagus Diarsa mesaut, nga­ba ka sanggah nyeletang, nekepang apang da ilang.

32. Ne mangkin daare sampun puput, I Bagus angucap, dong mai kaki masagi, i tua lingnia muwus, margi sareng gusti bagus, tumuli raris madaar, ne eluh ngayahin gupuh, suba


48 [ 48 ]manyadangang sedah, Bagus Diarsa angucap.

33. Ada pangidih dane tamiu, ne panak nyaine, i kaki nagih mangidih, diri-durian lamun, yen suba kelih nu idup, i kaki buin nguliang, Ni Sudadnyana masaut, titiang teka mangi­ringang, biana da panjang rerasan.

34. Idep ira mangingsanang ditu, apanga melajah, kapatutan ring i kaki, apang menga ring tutur, nawang teken kangin kauh, Ni Sudadnyana angucap, bina punapi ja kayun, gus­tine ring manah titiang, pada tresna mapianak.

35. Pada ngalih pajalane patut, cai pianaka bapa, iringang ka­yun i kaki, iring i kaki mantuk, Ki Wiracita maatur, ing­gih sandikan bapa, tumuli usan manyekul, kalih madaaran sedah, tikeh galenge kebatang.

36. Bagus Diarsa mamunyi alus, kaki kadulun, maatatan sam­pun wengi, ne cai Wiratanu, ne dini cai maturu, tongosin anake odah, Bagus Diarsa maturu, sareng nyai Sudadnyana, anake odah angucap.

37. Nyaan angan dauh pitu, lautang majalan, cai bareng ajak kaki, di jalan mungpung dayuh, apan doh selat gunung, di jalan panese liwat, tumuli kalih maturu, suba ada bu das lemah, galang bulan ngalemahang.

38. Anake odah bangun manundun, cai Wiracita, jalanke ma­jalan jani, I Wiracita bangun, ngojog ka natahe tuun, ma­nyongkok maarep kaja, manyumbah ring bapa ibu, tumu­li raris majalan, marerod bareng ngakanang.

39. Di margine suung tistis sampun, suba liwat desa, pajalane beneh kangin, carik abian kapungkur, tegal padasan kalang­kung, nyujur ka Werajenggala, galang kangin kedis muug, tadah asih amlas arsa, kekere ngatag raina.

40. Tuu-tuune sawat karungu, lawan kete-kete, carukcuk mu­nyi anguci, raris munggah ka gunung, gunung Kelasa adan ipun, maggane likad menekan, anake odah nyaructut, tuara santulan majalan, ngamenekin rejeng pilah.


49

[ 49 ]41. I Wiracita mamargi pungkur, munyine di cita, anak odah

ken-ken jani, mairib tuara berung, pajalane tuara santul, awake nguda sih gepe, tuyuh angkihan ngangsur, ngame­nekin batu pilah, sagetan rauh di pucak.

42. Linggah asah gununge di duur, makejang mangungang, sur­yane bau nadarin masaput-saput limut, sawat pangenahe ditu, rasa buka di pangipian, suryane sampun umetu, ngancorong tejane abra, dumilah nyuluhin jagat.

43. Mareren negak di duur batu, di batan nyambune, anake odah mamunyi, ne apang cai tahu, kaki dong manusa tuu, kaki Sanghiang Guru Dewa, mapinda jalma bungkut, tu­muli masalin warna, trinayana caturbuja.

44. I Wiracita nikel ping telu, mendek angaksama, ring pada betara asih, ring ina guna kulug, tan weruh sor pengeluhur, apan manusa jatine, ling ira Sanghyang amuwus, karan ingsun apinda janma, temuduning madia pada loka.

45. Arep awaspadakena laku, ring ramamu mangke, wiakti pua ya purna radin, lah mangke kita mantuk, maring suar­ga lawan ingsun, adalan ambara mangke, Ki Wiracita wot­santun, tan bisa patik betara, adalan ambaramadia.

46. Ling ira betara iki dulu, tanganku aparan, katona de mu mangkeki, I Wiracita andulu, saksana katon tunjung, lah ini gamela mangke, I Wiracita wotsantun, aneda punang pangkaja, biakta asalin sarira.

47 . Neher lumampah angetan andarung, adalan ambara, Ki Wiracitaneng uri, muksa amor ring santun, ilang katon tan kadulu, ada samuhurta mangke, katon ring purwa sumu­nuh, kang suarga ring Siwa pada, tejane abra dumilah.

48. Sang sapta resi adulur-dulur, amapag betara, widiadara-widiadari, sapta resi gumuruh sangka sinranging garan­tung, sampun prapta ring bancingah, alungguh hyang Dewa Guru, ring padma mani suteja, pinareking widiadara.

49. Sang sapta resi aweda umung, pada ngastungkara, anga-


50 [ 50 ]turakena wajik, tangan kalawan suku, gandaning dupa mrik arum, apan mangkana tingkahe, ring kadewatan winuwus, Ki Wiracita kawengan, apaning tembe umulat.

50. Tumuli angucap Sanghyang Guru, watek resi kabeh, lah diusen reke wong iki, didine mari letuh, wenangan sape­lungguh, kalawaning widiadara, Sang sapta Resi anuun, tumuli ginawa ring luah, Suranadi diniusen.

51. Binresihan wus ingajak mantuk, wus jinaya-jaya, parik­rama wus trepti, mahamreta ininum, dinaseman dera sang wiku, jati widiadara mangke, asalin rupa abagus, nitia sada aguneman, kalawan sang widiadara.

52. Bagus Diarsa jani kawuwus, muah Ni Sudadnyana, baan panake ngalain, tuara mangelah sungsut, tui darma pageh kukuh, masih buka ibi puan, jumah pakedek pakenyung, ada gawe magarapan, anging tresnane kaliwat.

53. Ki Wiracita mangke winuwus, wentenikang suarga, suka tan pebalik rusit, sai ngalang-lang kalangun, suka amangan angimun, anonton tang suarga kabeh, anak ta suarga ka­dulu, suarga putih aneng purwa, merunia atumpang sanga.

54. Atepnia salaka putih alus, laleyan salaka, maulap-ulap sar­wa putih. Iswara pada iku, Kahyangan Iswara iku, ulian sang tapa brata, ana ta malik kadulu, ring daksina suarga mirah, merunia atumpang sanga.

55. Atep laleyania mirah luung, tejania dumilah, Brahma lo­ka araneki, Kahyangan Hyang Brahma iku, ulian sang le­geng kayun, purusa ring smaralaga, ana ta malih kadulu, suraga kuning ring pascima, merunia atumpang sanga.

56. Atap laleyania mas tatur, tejanin dumilah, ring Budalokaraneki, puran Mahadewa iku, ulian sang yasa dangu, apa­nia sarwa druene, ana ta milah kadulu, suarga ireng ring utara, merunia atumpang sanga.

57. Tambak laleyania wesi alus, ring Wisnubawana, kahyang­an Batara Ari, ulian sang akarya ayu, sura sareng ring ayun, bakti merhakening tuan, ana ta malih kadulu, suarga biru


51

[ 51 ]ring ersania, meru perunggu dumilah.

58. Tumpang sanga atapnia perunggu, tambak laleyane, perunggu anyar sinangling, kiris akilam ayu, Kahyangan Bata­ra Sambu, ulianing sang akarya, amilepasing lelehur, ana malih katon suarga, ring ganeya suarga gangsa.

59. Meru tumpang sanga gung aluhur, kiris kilamaya, lawasa makapacremin, ring Indra pada iku, purin Sacipati iku, ulianira sang rare, suci jejaka tan letuh, pinaka kambanging kendran, wenten malih katon suarga.

60. Ring niriti suarga riti iku, meru tumpang sanga, samatep­nia dening riti, kuning sama lan tatur, gandanika mrebuk arum candana guru lan burat, kasturi kumkuman arum, ring Rudra pada arene, Kahyangan Betara Rudra.

61. Ulian nira sang legeng tanu, sura ring laksana, satieng ujar tan piruani, ana malih kadulu, ring bayabia prenahipun, surga gangsa tumpang sanga, atepnia gangsa aluhur, agan­jaran sarwa kembang, tinatalep katinglan.

62. Ring Wilasatia paneggahipun, Kahyangan Sangkara, ulian sang satia laki, muah ucepada iku, kang suarga punag alu­hur, tan sama ring suarga kabeh, aneng madia prenahipun, merunia tumpang sawelas, ebek dening nawaratna.

63. Atepnia nawaratna sumunuh, winten ring pucake, ringri­gania cakomandewi, ulese dewangga alus, katon dumi­lah bra murub, anganjaran sarwa kembang, tinata binuku­-buku, anjrah tang sekar sridanta, ruru rinebasing kumbang.

64. Widiadara-widiadari iku, anampa paiasan, pada ngayat asenggani, ramianggamel angidung, pada mintonaken pangweruh, lawan kapradnyanan nira, ring Siwapadaranipun, Kahyangan Betara Siwa, ulian wetek pandita.

65. Sakti nolih tapa brata paguh, tatas ring kamoksan, ana suarga katon malih, lor wetan prenahipun, meru tumpang solas agung, abra sinang banging mirah, raina wengi umu­rub, gopura manik kumenyar, tambak laleyania dumilah.


52 [ 52 ]66. Kahyangan Hyang Saraswati iku, ulian sang pradnyan, brata widia wruhing aji, bisa angripta kidung, wenten kang malih kadulu, suarga lambung kidul wetan, merunia agung aluhur, atepnia anawa ratna, tambak laleyania emas.

67. Pucaknia manik abra murub, kniter-kiniteran, aring-ring cakomandui, cara-cara alangu, ana masning asri penuh, Kahyangan Betara Uma, ulian sang sampun putus, sai nga­- we liang manah, pageh mangisi kadarman.

68. Asing dari mawelas iun, ana suarga muah, kidul kulon prena­ heki, merunia dening lancung, ramia kang wong istri ka­-kung, wijah anginum amangan, ana ta angidung-ngidung, ramia pada gegonjakan, ulihan sang tapa brata.

69. Kahyangan Aswinodewi iku, ulihan sang sarwa, astakosa­-la awredi, awayang muang anapuk, araket muang amindu, saluiring wang wruhing karya, kang angguguanin kasadu, ana malih punang suarga, lor kulon sangkaying madia.

70. Meru mas tumpang sawelas luhur, tambak laleyane, pari­-gimas winten manik, suarga Biataranipun, Kahyangan Wesrewanu, ulihan sang dana patra, muang dana mas manik penuh, wenten malih katon suarga, kidul wetan saking uta­-ra.

71. Meru atapnia sarwa santun, gepurania kembang, tambak laleyania sari, ring-ring jangga mrik arum, abra pucak-pucak pitu, tengerabia kuning kumelab, ring ganda aran ipun, Kahyangan Betara Smara, ulian sang satia biasa.

72. Amuja banten kala we ayu, apasaji sipat, lenga burat la­- wan wangi, pahesan wohlan suruh, pisang kembang sarwa arum, anaraswati anawar, mati ara ring we ayu, ana katon suarga muah, ring luhur keananika .

73. Meru mas gepurania tatur, pinatiking ratna, mutiara we­ duryangrawit, kiti-kitira tatur, tan papremana alayu, binu­- kubuku sarwendah, ring maniratnaran ipun, anenggeh pa­ lungguh ira, Betara Paramesiwa.

74. Ulian sang brambolo iku, ana suarga muah, aparek nggo-

53 [ 53 ]ne sumanding, merunia abra murub, tambak laleyanira gu­munuh, wewangunan sarwa dumilah, abra dumilah kadu­lu, ika ta kaananira, Hyang Betara Sadasiwa.

75. Ulianing sang melandangiku, sih ring sarwa pramana, mu­ah ana suarga lewih, merunia gung aluhur, tumpang sawe­la langu, atepnia sarwa ratna, parigi manik mas tatur, ma­nik tambak laleyania, inuparengga dening mas.

76. Asri ajajar tang kayu-kayu, mahapawitraha, kalpataru ara­neki, arondon ing mas tatur, sinanggeling ganda mrik arum, awahwah tang sarwa mule, kembang wadurya bra murub, mirah winten manik maya, aran ring Gambirapadang.

77. Kahyangan Betara Kala iku, ulianing jagat, amedal melan­ten malih, sang Jalanangda iku, yan darma dibia ginugu, malih ana suarga muah, ring sornia meru tridatu, atep­nia timah tembaga, tambak laleyania tembaga.

78. Suarga pada kahyangan Sang Pulung, ulian Sang Tiga, datu acukit adulit acoer ulah ayu, ambeke darma asadu, ana ka­ton suarga muah, merunia agung aluhur, sarwa rondon atepnia, natarania welah arata.

79. Apucak manik abra murub, dumilah tejane, apadang raina wengi, ring windu pepet iku, stenana Batara Guru, ulian sang sida tapa, tiaga prabajita iku, amuja sukla pawitra, ana malih katon suarga.

80. Ring surikang Brahma pada iku, meru tumpang lima, gang­ga atepnia sinangling, ramia cemiang gumuruh, Treptipada aran ipun, Kahyangan Sang Nalakrepa, palan sang panca­krameku, ambek rahayu nirmala, akueh ucapen kang suar­ga.

81. Ki Wiracita mangke kawuwus, wiatara sawarsa, lamini aneng surga megil, brayan namtam kalangun, lania kekantenane adulur, widiadara dara gana, anom-anom bagus-bagus, lagu­ ne ngagayaman, apan wau babegeran.

82. Nitia lunga macengkrameng dalu, ring gunung Kelasa, suka denta majang sasih, amupu sarwa santun, arsa arumpukan


54 [ 54 ]gadung, mrebuk ganda awiletan, gandaning jebad mrik arum, widiadari ramia suka, macengkrameng majang wu­lan.

83. Amuhara pada legeng kayun, kasmaran idepe, tan dadia dening ngret kapti, saktining smara nusup, yaya wong awu­ru gadung, sawetning kapadan karsa, payu anakaken ka­yun, salulut saungguan-ungguan, pan purih iki mangka­na.

84. Wusing salulut kalih tumurun, adius mareng luah, anama luah suranadi, kawasa malih awantun, jejaka rara listu­ayu, mangkana kamotamane, datan ucapen den ingsun, Ki Wiracita ngamong arsa, sida manggih suka sada.

85. Bagus Diarsa jani kawuwus, sedek wang desane, bau suud maci-aci, manyujukang tetarub, tui wawiden Anak Agung, uran mateh palaksayan, Bagus Diarsa kawuwus, kawidi mangadu uran, apang matoh tigang laksa.

86. Bagus Diarsa baane kerud, mangrasa kadosan, baane tiwas ngalisting, inget teken anake berung, mamunyi teken ne luh, ira mani palimunan pacang ring anake berung, nga­lih siap uran, nyai jumah apang melah.

87. Tan kocap wengi das lemah sampun, I Bagus Diarsa, ma­kiken jani inamargi, ka sanggah lantas nyemut, bulun siape tatelu, teked di margane gede, lebangin makatatelu, nye­ler ya ngajakanginang, Bagus Diarsa nuutang.

88. Sayan joh pajalane ndarung, liwat carik abian, masih nu mambeneh kangin, alas wayah katepuk, tuun jurang me­nek pangkung, tebing terbis pringga rejeng, sayan joh lam­pahe ndarung, pragumine sayan tawah, mirib tuara sabeng janma.

89. Suba liwat gununge papitu, manggih tegal linggah, sawat kauh sawat kangin, kaja kelod ngalintung, tuara ada pati kayu, padang tekening ambengan, tuara da mangenah gu­nung, sok langit tekening tanah, linggahnyane apeliatan.

90. Atmane liu ditu katepuk, soroh watek papa, kapanesan


55

[ 55 ]nandang sakit, di tegale matambun, makejang nyilapin da­muh, ne di muncuk ambengane, len atma rare katepuk,

pangrenjeng pada manampa, kaubulu makejang.

91. Len atma ada buin katepuk, batan madurine, masesam­batan mangeling, awake payah tuh, mata cekok batis abuh, munyine pati dulame, nguda kene dewa ratu, sue titiang kasakitan, manandang panca sangsara.

92. Inget titiang teken ne malu, duking mrecapada, ada ko ngelah akikit, santana ya manemu, buka tuara ya ibuk, gumerisin magewenang, mangenjuhin bubuh asidu, tung­kul kalalen pangrasa, manuukin legan manah.

93. Ada atma ngenah bau rauh, saking mrecapada, marerod luh muani, bau suud kakubur, gagawene sarwa liu, jaja un­tek guling bebek, pesu munyinnyane alus, titiang manu­nas lungsuran, basang titiange bes layah.

94. Ne kaidihin tuara masaut, majalan ngenggalang, ne mangi­dih lintang brangti, mambegal lantas mangrebut, payu ma­dukan amuug, manigtig baan timbungan, unteke anggon manimpug, nene kena mangurarap, mangeling nagih tu­lungan.

95. Mabiayuan ada seleng kepug, gegawene buyar, ne labuh ento prebutin, mangesop nyaup-nyaup, lenlenan celekat­-celekut, dane I Bagus Diarsa, kangen mangatonang ditu, dadi inget teken awak, yeh matane patembuas.

96. Ada atma to ngenah magantung, di carang kepuhe, batan­nyane misi api, to atma janma dudu, misuna mangadu-adu, ada buin ngenah atma, kepung celeng muah asu, kagut­-gut makuyayangan, matatu ngeling mangekak.

97. Ento atma tani nawang tutur, tingkah dadi janma, tan pa­ngetang ling ning aji, satata mungpang laku, pada-pada teken pasu, ada malih katon atma, pinacoking paksi agung, muncar getihe sumirat,tatune dekdek nguranjang.

98. Ento atma manusane punggung, mangulahang awak, apang suka padidian, ada atma len rauh, pagrudug pada maawug,


56 [ 56 ]ngambekang kabrahmantiane, kene palania katepuk, ma­lih katah katon atma, malb-lab mungguing jambangan.

99. Mangruduk maluab kedas kedus, watek yama bala, pada girang manujahin, baan suligi buluh, pajrit pada mangaduh, ento atmaning dursila, ambeknia kapada aku, maprih teken gelah anak, kirang taros lewih kroda.

100. Bagus Diarsa kangene muput, ngenot sarwa papa, sambil majalan narinding, tuara mangelah santul, kendel bane ada turut, nugrahan Batara Siwa, tejane muncar di nulu, cikra balene mamapas, pada nyamping tan mikara.

101. Sayan joh pajalane ndarung, mangajakanginang, sagetan katepuk, tiing, ategal samah atub, pakecapannyane ilu, ti tiing kadaden wadah, pepagan anake lampus, dini dadi idup samah, ana malih ngenah pandan.

102. Ategal maseen ngenah atub, yen pakocapannya, ento entikan anak mati, dini dadi ya idup, endut blegada katepuk, dalem bangese malekag, pakocapannyane malu, kadaden berekan basang, banyeh anake ne pejah.

103. Liu atmane ditu kalebu, lebih panyiuan, pakasol tong dadi angkid, lalang tajine liu, tajep lanying rurus-rurus, pacu­rangah bilang dangka, katuturannyane malu, ento reko ka­dadennya, ebok anake ne pejah.

104. Ada atma teka uli kauh, manyrit mangarab, maante gede ban besi, buta galungan iku, manigtig ngagel mamukul, ento reke atman anak, tan manaur sosot ipun, nepukin panca sangsara, lemeng lemah merigumandang.

105. Lamun linyok ageng papanipun, makebus malblab, di jambangan slengak-slengik, linyok ring sarwa pasu, dasa taun papanipun, yan linyok ring ida gede, kadi paembahing banyu, keto tepuk nerakane, pan ida maraga dewa.

106. Atina tan pacucu ya magantung, di tiing petunge, mang­layang ampahang angin, mirib don kayu etuh, mangeling sawat di duur, ada buin ngenah atma, negak di padange


57

[ 57 ]etuh, payah arig kare tulang, bilang buku beseh barah.

107. Atman anak nulak dana iku, wenten malih atma, pakalih- an luh muani, ada manegen manyuun, manyangkil ngan- dong manikul, sarat ngaba kasugihan, sugih demit aran ipun, nganggo gelah tani logas, kalingke madania punia.

108. Bagus Diarsa mangrantun-rantun, sagetan mangenah, Kah- yangan Betara Gori, candi putih mangunggul, kayu teja kayunipun, grahe salaka arane, Bagus Diarsa ngrasa tuyuh, idepe ditu mararyan, saget ngenah anak dadua.

109. Marep arepam ya majujuk, di batan kayune, mangraos sareng kakalih, Hyang Panyarikan iku, pakalihan amuus, to Begawan Mrecukunda, Bagus Diarsa maayub, mamben lawan kayu teja, Hyang Panyarikan angucap.

110. Atma paran sira negak ditu, ngantorong tejane, mirib sira atma lewih, Bagus Diarsa inatur, saha sembah dewa ratu, titiang boya ada atma, titiang atma kari idup, nugrahan Betara Siwa, Hyang Panyarikan angucap.

111. Beneh saja inget jani aku, ken kandan ibane, apan suba mungguing tulis, lautang ditu mayub, Bagus Diarsa wot- santun, saget ada teka atma, mabred ada limang atus, anging soroh watek papa, ngenggih dursila kutila.

112. Munyine brekapak saleng sambung, paturunya atma, nyen ada buka kai, dira wanen tur teguh, duke mamegal di pu- tung, katumbak laut manyempang, ada lert atma masaut, kai dugane mangiwat, anak luh mangajak panak.

113. Panaknyane ngeling nagih mantuk, laut kapantigang, ta- gel baongnyane mati, ada buin masaut, kai dugane mange- pluk, ida gede baan rendang, dosan ida mapitutur, tuara ja kai kenapa, ken jani sang cikrabala.

114. Bakal lawan matigtig maamuk, maceleng-celengan, ada buin manyautin, sang Jogormanik ejuk, bakal tampah ebat patung, len ada mamunyi bangras, Betara Yamane ejuk, jalan guling gucecetang, cinadeg timpalang tuak.

58 [ 58 ]115. Keto munyi atmane gumuruh, kedek maurahan, ada masu- rak manengkik, majalan pagerubuk, singsete jolit mailut, mangejog Hyang Panyarikan, munyi agal tan paunduk, ne Begawan Panyarikan, ateheng gelah ka suargan.

116. Lamun tuara nyak den amuk, sira Panyarikan, ngeling- elingan ring ati, pangandikane ring kayun, tuara da angan aukud, atma rahayu lampahe, makejang mandia-diu, suba atma masih bobab, mangaku awake suarga.

117. Hyang Panyarikan amuwus, kita atma kabeh, nira mata- kon den jati, suba ke pada kamu, makinkin mangulah ayu, ndewayadnya butayadnya, pitrayadnya mamukur, mada- na punia ring jagat, maguru karto padesa.

118. Para atmane pada masaur, mabriyuk makejang, patuh bu- ka samayain, inggih-inggih titiang sampun, mamitrayadnya mamukur, ndewayadnya butayadnya, dana punia titiang sampun, maulah kretopadesa, maguru sang Brahmana.

119. Bagawan Panyarikan amuwus, nguda kamu mangke, ma- mabubutan aku mangke, aku suba tuah tahu, teken lampah ulah kamu, adiri tong ada suarga, make jang mandia-diu, kamu bobab ngaku surga, uli idup kayang atma.

120. Ne pipil ibane katepuk, ne kai mamaca, kita padingehang jani, ne kita ngiwat malu, katara laut kaejuk, tuara ada mangguguang, kailangan batan kepuh, tuara ke keto kan- dannya, sang atma raris angucap.

121. Inggih-inggih wiakti dewaratu, titiang naen iwang, ica i dewa ngampuri, Hyang Panyarikan muwus, ne kita buin katepuk, pipil kitane dingehang, kita kocapan ne malu, mamati wong tan padosa, laut kitā ilangang.

122. Tuara keto kandan bane malu, kang atma angucap, duh ratu titiang wiakti, Hyang Panyarikan muwus, ne pipil iba- ne tepuk, kocap iba bisa ngleak, maneranjana maneluh, tuara keto kandan iba, da iba jani matilas.

123. Sang atma umatur singgih pukulun, wiakti ipun dewa, mang-

59 [ 59 ]kin dewa pukulun, titiang wantah nunas supat, Hyang Panya­rikan amuwus, kudiang awak kadung salah, sing teka masih taanang.

124. Atmane ngeling pasleguk, jejeh san atine, ngrasa awak jani sakit, nyumbah-nyumbah maatur, titiang mindah dewa ratu, mangkin titiang kapok pisan, lamun titiang malih pungkur, ngambekang laksana corah, sara ja kayun i dewa.

125. Hyang Panyarikan mangke amuwus, apang iba nawang, to iwas in uli dini, anduse inggel malepuk, apinnyane gede murub, tongos atmane malblab, sing macebur teka gebuh, nden nyanan malu antiang, kema bakal tiban iba.

126. Akeh atmane pada mangulun, mangeling maguyang, aduh bapa aduh embi, manyumbah raris maatur, kasiba ja titiang ratu, apang gigisan naraka, batek angan kalih taun, Hyang Panyarikan angucap, lamun ada panebasan.

127. Kanistamadia motama mungguh, sadrana naraka, kang at­ma maatur sami, pinunas titiange ratu, durusang swecane ratu, titiang nenten makta jinah, pungkuran titiang mana­ur, apang manikel ping dasa, titiang ngaturang penebas.

128. Hyang Panyarikan amuwus, sing keto kramane, dening ngi­ring Sanghyang Widi, sing adi uah-uwuh, ada suba jangkan ipun, sirahe suba masurat, jele melah suba mungguh, tong dadi buin pedihang, pagawene suba ngaba.

129. Atma paratma pada manguntuk, kangen teken awak, yeh matane deres mijil, sami pada umatur, titiang manunas manglungsur, basang titiange bas layah, kalih baong titia­nge tuh, bedak layah kapanesan, sue titiang tan paneda.

130. Hyang Bagawan kapiwelas kayun, raris mangaliang, ring kakan dwa luh manik, sing alih ada ditu, yeh tuak suba di­tu, be jaja sarwa melah, sami kacacaran sampun, suud mangi­nem mangamah, saget cikrabala teka.

131. Katah pagrubug ada satus, ada ngaba gada, ada ngaba su­jen wesi, lugora miwah angkus, sampat wesi lawan tulup, atma jrih pablesat, malaib ya pati puug, kablet macebur


60 [ 60 ]ka kawah, sing memangkel kena gada.

132. Begawan Mrucukunda amuwus, kaki Penyarikan, paran we­dining atma iki, kinela pada iku, ring wekas sangsaran ipun, alewes pangucape, Hyang Penyarikan amuwus, solah suabania gesang, tan ilang denia gawa.

133. Asing sakawisayania dangu, kang den sambat mangke, iku atmane wang lewik, uwusnia siu taun, kinela ring kawah iku, dadi kakeliking jagat, yan ring manusa wus wukuk, ndatan wadon nda tan lanang, gring anggalih muang kama­lan.

134. Wenang andadi wong sudra iku, yan ayu lampahe, ing je­mah malih andadi, wesia muah yen ayu, laksananing wesia iku, jemah ndadi satria, yen ala pagawan ipun, masih kale­bu ring kawah, munggah kalungsurania.

135. Punika tingalin kang ngayub, ring sor curigane, rencem awaknia den ing kris, rabnia deres umetu, papaning ban­dua sawu, wane iku kang angambah, watu galagil kalung­sur, papaning manahe ginjal, kadi padapa kanginan.

136. Nahan ring Penyarikan iku, sira Mrecukunda, kliwat we­dasing ati, anuun pada mantuk, Bagus Diarsa kawuwus, ngraris mamargi nganginang, watara atengah dauh, ma­lih ngatepukin atma, matambun ngebekin tegal.

137. Betara Narada saget rauh, saking mrecapada, uli manglang­-lang matilik, tan polih ida ngadu, mangadayang yuda agung, apan ida seneng pisan, manonton yudane agung, raris man­tuk mangambara, rauh ring naraka loka.

138 . Kapanggih atma paratma liu, ngandika pataken, atma ken­-ken kita dini, ajak liu matambun, kang atma pada umatur, pukulun Sanghyang Narada, atehang ke titiang ratu, mangkin munggah ka suarga, parek ring ida Betara.

139. Bagawan Narada sira muwus, iba ada suka, nagih ka suar­gan jani, suba ka iba tau, ngadu darma ngulah ayu, ma­dana punia mayadnya, kang atma kabeh masaur, titiang sampun lumaksana, mangadu darma mayadnya.


61

[ 61 ]140. Bagawan Narada sira muwus, suba pada iba, nawang sas­tra wruhing aji, mabasan muah makidung, kang atma sami

sumaur, inggih titiang sampun bisa, makekawin muah makidung, Hyang Narada angucap, nah jani indayang.

141. Nep jani pada makidung, len ada mangengkal, mawirama makekawin, Hyang Narada amuwus, ada buin takonang aku, bisa iba masasraman, kang atma sami umatur, midep dewa ratu titiang, nah ke jani indayang.

142. Kang atma kabeh pada mabriuk, ngigel masasraman, pa­dingkling pada padingkrik, ngambelang awak muug, Hyang Narada semu guyu, tumuli malih angucap, ada buin ta­konang aku, iba wanen ke makejang, dira pageh di panyu­dan.

143. Ento awanan pada nungkap ayu, menek ka suargan, Wis­nu Buanane ungsi, kang atma kabeh matur, titiang wanen malih teguh, dira pageh ring payudan, Hyang Narada amu­wus, nah ke jani indayang, masiat paturu atma.

144. Tumuli masurak surak muug, masiat-siatan, seleng gebug seleng gitik, di tegale maaduk, seleng kepug seleng tutug, rame muur makoyoan, Hyang Panyarikan tengkejut, eng­gal manyajag nyisuang, panggih Bagawan Narada.

145. Bagawan Panyarikan amuwus, iseng san idewa, atmane gocek ne dini, Hyang Narada amuwus, ipun sami ngaku te­guh, dirawanen ring payudan, pangakun ipune ayu, sami managih ka suargan, duaning titiang mangadokang.

146. Hyang Panyarikan asemu guyu, wantah sapunika, arang atmane ne jati, atmane buin matambuh, tuyuh angkihe ngangsur, sami manunas carikan, Hyang Penyarikan sung bubuh, asidu sadiri soang, Bagus Diarsa kocapan.

147. Ngalajur pajalane asru, nutug bulun siap, katon murub beneh kangin, jeron Batara Guru, bencingah agung aluhur, wewangunan sarwa mas, Bagus Diarsa mangrantun, mararyan di jaba pisan, bulune ngraris kajroan.

148. Eling Ida Hyang Batara Guru, I Bagus Diarsa, rauh di jaba


62 [ 62 ]manganti, raris ngandika alus, Wiracita kema pesu, papa­gin nanang ibane, ajak ya mai manglaut, I Wiracita manyum­bah, tumuli raris ka jaba.

149. Dane Bagus Diarsa katepuk, batan baingine, manegak maa­rep kangin, I Wiracita rauh, manyumbah asemu guyu, bapa margi ka purian, pangandikan Sanghyang Guru, Bagus Diar­sa angucap, ne cai nyenja ipan.

150. I Wiracita asaur guyu, lali wiakti bapa, panake mangkin tandruhin, Bagus Diarsa laut, manglaut mangusud-usud, paling pasaja i bapa, saget suba kelih bagus, anake dijaa, I Wiracita angucap.

151. Inggih puniki dados Hyang Guru, puniki purine, nunas ke bareng mangraris, Bagus Diarsa bangun, lantas membe­nahang saput, sada nalepdep majalan, widiadari liu pesu, manabing bilang jendela, mabalih Bagus Diarsa.

152. Saleng tundik mawangsit to ditu, to matuan nyaine, te­ka mai ngalih nyai, raris pada gumuyu, manimbal kenyem masaut, embok masih mamatua, tekening dane i bagus, kema enggalang ke sapa, ada len malih angucap.

153. Adanira to ne bau rauh, wayahan susap, yen rupa tuah masih pekik, pantes tuah Anaka Agung, kuciwa baane ru­trut, ada len malih angucap, nguda keto baan nutur, tidong buka i nyaine, demen teken nene bajang.

154. Kedek mabriak mangkep bungut, i Bagus Diarsa, bengong gaoka tan sipi, manganot sarwa luung, mirah winten ma­nik murub, lewih panganggo baleno, merune agung aluhur, tumpang solas sarwa mas, maperegi winten mirah.

155. Rauh ring pahiun Hyang Guru, nyongkok raris nyumbah, Betara ngandika aris, teka ko iba bagus, apa gawen bane rauh, Bagus Diarsa manyumbah, nepes tumuli maatur, ti­tiang parek ring Batara, misadia nunas lungsuran.

156. Antuk titiange mangkin ngalentuk, kakeninin uran, wawiden metoh aketi, antuk I Gusti Agung yan titiang nen-


63

[ 63 ]ten mangadu, kaborong kapaobatang, Betara ngandika alus, data ke kewehang iba, dini suba ada siap.

157. Kai maang iba siap aukud, ento gocek iba, awanan ibane melih, suka wirya tur agung, ngantinin I Gusti Agung, apan ento musuh iba, kranan ibane rutrut, ento ngupayang iba, Gusti mangabletang panjak.

158. Durian yen iba suba agung, salinin bikase, da nganggon daya piranti, mamotoh iba suud, to mekada kasalimur, sagatin-gatin gawene, dadi katungkul ban tuyuh, ragawisaya makejang, da mangraketang di manah.

159. Sanghyang sastra gulik punduh-punduh, resepang di manah, susupang teked di ati, apan to tungked kukuh, krana pageh dadi agung, sastra panyuluh idepe, apang eda pati puug, manyalanang kapatutan, uger-ugerin ban sastra.

160. Tingkah panjake dabdabang malu, da maang gambura, laksananya periksain, da iju-iju ngugu, galih-galihan to malu, apang da kadunga ewer, munyinnyane malu panut, atepang ken laku lampah, ento inger apang pedas.

161. yen katangkil ditu ngalih unduk, di tebeng panjake, da teka encong mudalin, wangsa-wangsanen ditu, panjake maatur-atur, trangang da nyalumurang, ne salah teken ne patut, to gulik inger di manah,mani puan donga karwan.

162. Mamunyi purukin da sigug, maperemin panjak, pipitang teked ke ati, tidong ban kamben saput, makada panjake lulut, kapatutan pangraose, mangda panjake anut, yan marasa kaungkulan, ban kapatutan pangrasa.

163. Panjake da mambaang lucu, campah puaranya, sama beda ya gisi, linte apang patut, munyi seken apanga alus, tate te ujar ajer, siakarana apang patut, apang yatna jeroning manah, apang da banya kacluag.

164. Yen ada prebekel matur-atur, eda ngaramangang, apang seken ban manampi, tatasang ukud-ukud, da mambaang salah surup, simpen ingetang di manah, mata bibih cidra ditu, yen ada lawan tong ada, ya manguda tuara karoan.

64 [ 64 ]165. Tanding-tanding kalegane ditu, ken sakit panjake, da ngulahang demen ati, asing makrana sungsut, ento pikpik da mangulur, panjake sampi samanya, pangangonnya Anak Agung, yan patut baan ngangonang, ya mokoh tanduke renggah.

166. Lanying tajep nyen bani ngejuk, ngeras ya anake, yennya payah etuh aking, sing jalan padang etuh, kema lakunya manyunut, salah tindakan kataban, apa sih anggon manebus, ngenah beloge ngangonang, kakedekin baan pisaga.

167. Awake daropan belog utun, manyaplok barene, tuara tawang misi pancing, tulus payu matambus, to ingetang apang kukuh, da engsap teken sastra, Ida Gede sai pundut, ajak mangraosang sastra, mangde purnamaning jagat.

168. Kagawisayane da ngulur, ada mangeretang, da tuara mandemenin, apang ada kapilug, katenger ban anak liu, bakat dadi undukinya, lamun benya ngelah musuh, ento anggonya upaya, dadiang abe di tukad.

169. Apan tetlu dadi pangulu, yan umungguing sastra, Sanghyang Ongkara kapuji, ento dadi pangulu, Pramasiwang gan ipun, yan ring negara sang nata, sada Siwa anggan ipun, yan ring gunung sang Brahmana, apan to rumaga Siwa.

170. To da maang belas ne tatelu, dadi tri purusa, sekala niskala becik, Bagus Dirasa nuun, manyumbah-nyumbah maatur, sandikan lda Betara, sapawecana Hyang Guru, sampun sumusuping manah, tutug ring duadasa guna.

171. Hyang Guru malih ngandika alus, kema malu iba, matelah telah raradin, apang masisig ambuh, Bagus Diarsa wotsan tun, tumuli raris masiram, di pancorane papitu, sapta tirta suda mala, purna klesaning awak.

172. Sampun kaicanin pasusuguh, geneping sadrasa, Betara ngandika, aris, kema ke iba ditu, awas ya siape tatelu, juang sing demenin iba, to tongos di beten meru, maderek di batarane, Bagus Diarsa manyumbah.

173. Lantas mangiwasin siap ditu, emeng di atine, maka tatiga

65 [ 65 ]demenin, awasang menek tuun, ngandika Betara Guru, nyanan di petenge cidra, jalannyane makeruyuk, ditu karoan ban iba, ne pacang demenin iba.

174. Bagus Diarsa manyumbah matur, sandikan betara, tan kocape sampun wengi, Bagus Diarsa laut, masare di beten meru, wiatara sampun das lemah, siape lantas makruyuk, mamunyi cara jalema, mangorahang lelawanan.

175. Ne sangkur jani makruyuk, nyambat lelawanan, Gusti Agung lawan kai, mati dane nyapitus, Bagus Diarsa gumuyu, ne ko nyandang pamitang, tan kocap rahina sampun, suryane abu, dumilah, manyuluhin kang buana.

176. Batara atangi sampun adius, lumekas amuja, gandaning dupa mrik minging, cendana lawan guru, wusirayoga tumurun, alungguhang padma ratna, raris mangandika alus, kenken to Bagus Diarsa, engken siape kajuang.

177. Bagus Diarsa matur pakulun, sa sangkur punika, pamitang titiang ne mangkin, nah juang to aukud, apang melah iba ngadu, ne aba tajinnyane, tohin baan sarwa santun, to bu ngan ratnane barak, miwah putih alap iba.

178. Nene barak mirah sekar ipun, sarwa mautama, masekar winten ne putih, raris kaimpuk-impuk, atakilan katah ipun, Bagus Diarsa manyumbah, malih ratu titiang matur, titiang mapinunas tirta, wenten sangun titiang budal.

179. Manggut Ida Sanghyang Dewa Guru, I Bagus Diarsa, tumurun raris masuci, wuse masiram laut, katirtain suba puput, Betara ajayajaya, sida saja manggih ayu, dirgayusa paripurna, tan kataman upadrawa.

180. Wuse matirta raris tumurun, Betara ngandika, kema iba jani mulih, ne ambah beneh kauh, Bagus Diarsa anuun, mapamit raris manyumbah, I Wiracita wotsantun, manyumbah teken i bapa, Bagus Diarsa majalan.

181. Liwat lawangan mambeneh kauh, ngambara lampahe, tan pendah kadi mangipi, Bagus Diarsa tumurun, tan pendah cantaka nglayung, pakebere mangambara, waluya atma

66 [ 66 ]makebur, ne padang mulih ka suargan, apan cirin anak melah.

182. I Bagus Diarsa tan pakenyuh, andarung lampahe, katon gunung-gunung sami, masapu-saput limut, ngendepang raris manuju, pucak gunung Kelasane, andarung tekening pucuk, katon arah-arah desa, kekayonan suba tinggar.

183. Bagus Diarsa mangraris tedun, andarung lampahe, saget pagagan kapanggih, wang gununge katepuk, liu pada kumpul-kumpul, kancan soroh pangangone, nambus kasela muah jagung, len ada manunu balang, len ada macecandayan.

184. Anake nunggu gaga makudung, rame di rawune, ada manyuling manyungklik, ada manabuh kulkul, ana nganyi padi rawu, luh muani maderek-derek, ada manegen manyuun, mangaba dadah kalongkang, ada len noktokin jaka.

185. Bagus Diarsa pajalane ndarung, liwat ring pagagan, carik abian wus kauri, gelis crita sampun rauh, di negarangelaut, lingsir suba teked jumah, ne eluh kalintang gupuh, mangabayang wajik tangan, keto cirin bau teka.

186. I Bagus Diarsa dane gupuh, manyemak guungan, iju mangancak-ancakin, siape lantas seluk, uli di kisane pesu, augang ka guungane, pejang di sanggah di duur, di bataran kamulane, lintang baan ngutamayang.

187. Tumuli raris angucap alus, nyai Sudadnyana, kema ngae burat wangi, bantenin siape bau, asep menyan majegau, Ni Sudadnyana nyaregseg, mangawe bebanten gupuh, ngoreng pacang tadah sukla, tan kocap bantene pragat.

188. I Bagus Diarsa lantas manjus, maseh sarwa anyar, mangreges masaput putih, jejambulan bebek sangkur, maban ten sampun puput, asep mijil maimpugan, pantes tuah mirib pamangku, manyumbah-nyumbah di sanggah, suabawane kajatmikan.

189. Suude mabanten lantas pesu, negak di bataran, pakalihan luh muani, Bagus Diarsa amuwus, panak nyaine katepuk,

67 [ 67 ]engsap paling ira ngantenang, saget suba kelih bagus, asali- an rupa birawa, suabawane kajatmikan.

190. Ni Sudadnyana raris muwus, dija si genahnya, ipune anak I Gusti, Bagus Diarsa muwus, mabisik ring nene eluh, pu-put sampun kapradata, nene eluh asemu guyu, linge kapra-nantika, tumuli raris angucap.

191. Punika punapi Gusti bagus, ne di takilane, Bagus Diarsa nyaurin, paicang Sanghyang Guru, pacang toh siape bau, tumuli raris kagah-gah, katon mirah winten murub, ngan-corong tejane abra, pantes tuah panganggon raja.

192. Ni Sudadnyana raris muwus, Gusti maajengan, suryane teduh wus lingsir, Bagus Diarsa muwus, kema ke dabda-bang malu, ne luh raris nyaregseg, ka paon masoda iju, pu-put ngamesuang daar, Bagus Diarsa majengan.

193. Tumuli usan dane manyekul, madaaran sedah, ayame sai uningin, tan pegat nangken dalu, burat wangi dupa arum, kaunggahang di sanggahe, ada suba sia dalu, sagetan teka arahan, apang mangadu ka desa.

194. Pangandikan dane Gusti Agung, tohnyane wawiden, ma­ngenakin kayun Gusti, ento Gustine wibuh, ngodakang sakembang taun, ring negara surakrama, jani kocap Gusti Agung, sampun ka jaba maklecan, para babotohe atep.

195. I Bagus Diarsa jani rauh, manadtad guungan, mangaba siap abesik, siape lunjak-lunjuk, jerih bulunnyane anggun, sing jalan ejeng ngarekkek, para babotohe gumuyu, kedeke mambatarebah, ada len kedek angucap.

196. Dija kabakatang siap anggun, lawat takutina, ada len buin nambungin, mamunyi asemu guyu, bas ngenahang tani mam-puh, kene mbocokin tetajen, ameng-ameng Anak Agung, bastan manut ken krama, siap jerih kaatehang.

197. Bagus Diarsa masaur guyu, sebet ulet merang, mangkin tiang masesangi, sing nyak galakin ipun, titiang durus pa-cang ngadu, mangetohin mangde katah, juang sok urane pa­yu, yadin jatma galakina, titiang teka manglawanang.


68 [ 68 ]198. Raris mangandika Gusti Agung, I Bagus Diarsa, wenang ya dosa ping kalih, dosannyane sep tedun, wenang dosa pitungatus, kocap di awig-awige, buin ban siapnyane ang- gun, masih yogia katengahang, kocap wenang dosa domas.

199. Apang jani jua manaur, yen lebih aleban, nikel dadi telung tali, I Bagus Diarsa naur, dosa pitungbangsit satus, kedeke sada mabriag, siap jerih dosa payu, ririhe di beten angkah, kene dadi tan pataka.

200. Len pacadi ada teka nyeluk, siap I Diarsane, mangeleg tur mangentetin, keak-keak mangauk, ngandika I Gusti Agung, deh mai aba siape, tumli raris kaatur, dadi galak macok tangan, tur mangitik mangrudutang.

201. Dadi kagiat dane Gusti Agung, manyambut siape, tumu-li ngandika aris, kala galakin ipun, Bagus Diarsa maatur, titiang ratu sauh pajar, asing nyak galakin, ipun, titiang wan-tah maglawanang, matoh mirah atakilan.

202. Malih ngandika I Gusti Agung, kola galakina, payuke la­wanang jani, I Bagus Diarsa matur, titiang ngiring dewa- ratu, metoh mirah atakilan, ngandika I Gusti Agung, eng­ken bakal to ibane, apang kola tatas nawang.

203. Takilane magangah kaatur, katon winten mirah, paseleh-seh becik-becik, meled I Gusti Agung, asemu guyu, umuus, kudiang kola to manglawan, kadenanga kola buduh, manu-sa manglawan siap, mapan tuara perah anak.

204. Deh seluk siape ijo sangkur, to anggon manglawan, siap metoh dasa keti, Bagus Diarsa matur, titiang jerih dewa ra-tu, mapan tan wenten nyak galak, ngandika I Gusti Agung nah te pasakitang lawan, kelegin bisan busanang.

205. Pramancane sami masaut, iring pakayunan, yen tong nyak ya pacang irid, penekang ka perau, urupang baan apiun, Bagus Diarsa ature, titiang mindah dewa ratu, titiang nu-nas pangampura, titiang ngiring pakayunan.

206. Gusti Agung tan pegat gumuyu, kendel san atine, nyingak mirah witen becik, manyager pacang camput, Gusti Sulak-


69

[ 69 ]sana matur, Gusti Agung titiang nunas, ngiring mirahe aku-tus, miwah wintene asia, pacang busana landeyan.

207. Gusti Nyoman Sumirana matur, titiang sapunika, manu­nas selut garantim, Gusti Agung gumuyu, tumuli alon amu-wus, nah ke tajinin siape, Bagus Diarsa anuun, tan kocap puput mabulang, I Gusti Agung makembar.

208. Ka tengah tangkise abra murub, mesem tur angucap, baya iba Diarsa jani, timbungan mungguing jembung, bubuh embon samanipun, mabriag rame kedeke, Gusti Sulaksana muwus, dong macebur ke satiane, mungpung baane nu ba-rak.

209. I Bagus Diarsa mendep nguntuk, ka tengah makembar, ula-te jejeh mangilgil, manglebang siap sampun, siape jerih kaburu, mailehan ring kalangan, suryake mambatarubuh, I Gusti Agung manyurak, mamengkeng ngagem sesatang.

210. Di pahiunane I Gusti Agung, mabalik siape, manarung ngru-ket mangitik, matine ijo sangkur, I Gusti Agung kajuluk, keni telek ring lambunge, tumuli tiba kaantu, paramanca-ne rantaban, manulung ada manyundang.

211. Katungkul kabioyongan muug, pada kamemegan, Bagus Diarsa ka sisi, mirahe saup kadut, siape nambung nggegana, manutug uli di pungkur, teked jumah masalinan, lantas nugel patin tumbak.

212. Kocap anake batan tetarub, pada makolongan, Gusti Agung karempegin, panyampi akeh rauh, pambabayon tetep bayu, ada mangengkahin karna, premanane sayan surud, Gusti Agung sampun lebar, elinge kadi ampuhan.

213. Gusti Sulaksana ngembus duung, miwah Gusti Nyoman, Samirana ngunus keris, sampun mangebug kulkul, panja­ke teka patlebus, sikepe katah mangambiar, pajalane pageerubug, ngojog umah I Diarsa, sampun ngatepang kiteran.

214. Gusti Sulaksana uli kauh, dane Gusti Nyoman Samirana uli kangin, rame pada pakauk, Bagus Diarsa dong pesu, jani nahang kadirane, panjake jani pagrubug, mangregah


70 [ 70 ]tembok masurak, lan mambedil gumaredag.

215. Bagus Diarsa masisig ambuh, pacang mapuputan, pangang-gene sarwa putih, siape makekruyuk, tumuli raris mawuwus, da jejeh atin caine, joh cai pacang pakewuh, ne te iwasin nira, ira jani mangawakang.

216. Saksana asalin rupa ipun, marupa Garuda, Bagus Diarsa negakin, makebur manggerudug, angin-angin kadi kerug, sing papas sikepe sag, kalilih paseleng tuuk, angob mange-not Garuda, yen apa ja to adannya.

217. Bagus Diarsa ngenah di duur, mawarna Betara, sing kapa-rag pada malaib, mausung-usungan grubug, saleng jejek sa-leng tuuk , liu matatu ban tumbak, ruang magandeng ma­tuntun, kelet bilang rurung, marga, tuara da menolih la-ad.

218. Kayu-kayu kakayonan rubuh, ban angnung elar, umah engkab palengketik, liu pada pajengku, bangke sing jalan pajinkrung, mati baan tumbak roang, upami jatmane ta-kut, petik mangenot kaleyang, jehjeh takut masangidan.

219. Jatmane liu kauluhuluh, baan sang Garuda, pajerit pada mangeling, ada nduuh mangulun, Gusti Sulaksana bulus, malaib I Gusti Nyoman, kablet dane lantas nungkul, ma­nyengku manyumbah-nyumbah, titiang manunas uripang.

220. Bagus Diarsa kapiwelas kayun, suka manguripang, panja-ke pada pajerit, nunas unp manungkul, pajongkok makum­pul-kumpul, sampun sami kanugrahan, I Bagus Diarsa te­dun, titib kaparek ban panjak, pada nunas kajanjinan.

221. Ida Gede Siwa Buda rauh, ada petang dasa, para santana mangiring, sami pada manyabuk, mamepes masabda alus, duh Gusti Bagus Diarsa, sampun mamanj angang sungsut, bapa mangaturang awak, bapa wantah mangaula.

222. Kayun-kayun I Gusti nguduh, bapa mangiringang, tan pi-wal sadede singgih, Bagus Diarsa gumuyu, tumuli alon amu­wus, sampun padanda sangsaya, doh manah titiang mamu­suh, ring ida maha pandita, padanda patirtan titiang.


71

[ 71 ]223. Ida gede pada saur manuk, atuang pangucape, bapa ngi­-

ring kayun Gusti, Bagus Diarsa muwus, inggih ida maha
biksu, makarya cor pacecira, sang para sogata muwus , ing-­
gih bapa mangiringang, tan kocap janjine pragat.

224. Tumuli kacoran sampun puput, kaulane kabeh, para menak
para Gusti, kadang wargane rauh, misan mindon muah
mingtelu, mabred bareng padadiane, pada ngaturang pa­-
nungkul, atep mangaturang sumbah, ring Gusti Bagus Diar-­
sa.

225. Sang kasumbah mesem tur amuwus, kema ke brayane,
da cai mangendenin, layone Gusti Agung, benehang jua
sok puput, panjake pada pagedab, manegen ka sema gupuh,
manggaenang patulangan, tunjel lantas abriakan.

226. Tan kocap jani sampun dalu, benjang pasemengan, Bagus
Diarsa katangkil, kadang wargane rauh, nebengin I Gusti
Bagus, tan ucapen ida gede, Gusti Sulaksana rauh, sareng
Gusti Samirana, kenehe jejeh mangruntag.

227. Akuda bangke gara di kayun, jejeh san atine, di bucuma­-
ti malinggih, norek tanah manguntuk, laad mikuh dadi
sangkur, busan-busan manyerere, ngiwasin Anake Agung,
kaden ragane kraosang, bes ririh liunan daya.

228 . Baan pajalane malu-malu, bes kalintang jele kirang we-­
las luih runtik, tur sapa kadi aku, premanane ngulah rahayu,
tani tutur tani sastra, samanya mamikul pisuh, siapa wani
ring ragane, Gusti Agung anggen kemitan.

229. Kaden pacang jumeneng satuuk, di jalane kene, pangras­-
an awak bes asin, ento palanyane pangguh, pantes tani nuut
sikut, cangcanga baan barere, manglalu awake takut, du­-
duta ba pagawene, sangkan arang anak suarga.

230. Kocap tingkah dane Gusti Agung, munggaiang panang-­
kilan, semia srenggara manis, ngandika sungsung guyu,
tan wenten reged muang jendul, jati tuah jana nuraga, asing
pangandika metu, mangleganin panangkilan, nyandang ma-

72 [ 72 ]muterang jagat.

231. Magentos pesengan Gusti Bagus, ne mangkin maparab Gusti Agung Nitiyukti, reh pangraose paguh, tuara bisa kasalimur, rajah satua pandadine, sangkan manemu ra- hayu, wiakti dulurin Betara, sangkan bagiane magledag.

232. Ida Gede saur matur manuk, ampura ja bapa, mangkin
matur ring I Gusti, ulih ne sampun-sampun, durung bapa
ngrenga tutur, kadi I Gusti labdane, Anak Agung jaya sa­-
tru, mapelinggihan Garuda, yan tan ucapaning satua.

233. Boya bapa saking jumbuh atur, maalum-aluman, mangi­-
ring kayun I Gusti, nyandang wantah i ratu, mangontosin
Gusti Agung, kalih yan manahang bapa, kadi dane sang wus
lampus, raose manguragada, tuara palapan ring panjak.

234. Kewala ngulurin legan kayun, sami pangraose, cai Sulak­-
sana kalih, I Samirana iku, pangraose nyabran jendul, tan
uning ring silakrama, bongkole manadi muncuk, ngrusak
tataning negara, setata mangrag-grag bikas.

235. Uger-uger lawas tan karunggu, satmakanya bapa, kena upa­
drawan Widi, kudiang tan wenten uwug, ngandika I Gusti
Agung, tan wentenko sapunika, wantah panitah Hyang tu­
duh, tingkahe manggih kasukan, wantah dulurin Betara.

236. Sue katangkil I Gusti Agung, lingsir raris budal, panang­
kilan raris mulih, ka jroan Gusti Agung, Ni Sudadnyana
kawuwus, I Gusti Istri parabe, suka wirya sugih agung, cacep mangulanin panjak, braya kadang masewaka.

237. Tan kocap tingkahe manggih agung, ada dasa dina, saget
Hyang Narada prapti, I Wiracita ndulur, kapanggih I Gus-
ti Agung, sedekan ring panangkilan, I Wiracita wotsantun,
sampun mungguing babataran, anake gaok makejang.

238. Tumon ring wong kadewatan rauh, maawak gandarwa, semune ramping ngresi ati, gupuh I Gusti Agung, manga­-
turang wajik wuku, ring Ida Sangiang Narada, Ida Gede milu
gupuh, atur padiargacamania, angastungkara ring weda.

73