Geguritan Kendit Birayung

Saking Wikisource

Naskah[uah]

35830Geguritan Kendit Birayung — prev1997I Made SUbanda

GEGURITAN KENDIT BIRAYUNG

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1997 GEGURITAN KENDIT BIRAYUNG

I Made Subandia

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1997[ 3 ]BAGIAN PROYEK PEMBINAAN BUKU SASTRA INDONESIA
DAN DAERAH-JAKARTA
TAHUN 1996/1997
PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Pemimpin Bagian Proyek : Dra. Atika Sja'rani
Bendahara Bagian Proyek : Ciptodigiyarto
Sekretaris Bagian Proyek : Drs. Muhammad Jaruki
Staf Bagian Proyek

Sujatmo
Sunarto Rudy
Budiyono
Suyitno
Ahmad Lesteluhu

ISBN 979-459-715-5

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
Isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang diperbanyak
dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit,
kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan penulisan artikel
atau karangan ilmiah. [ 4 ]KATA PENGANTAR

Masalah kesusastraan, khususnya sastra (lisan) daerah dan sastra Indonesia lama, merupakan masalah kebudayaan nasional yang perlu
digarap dengan sungguh-sungguh dan berencana. Dalam sastra (lisan)
daerah dan sastra Indonesia lama itu, yang merupakan warisan budaya nenek moyang bangsa Indonesia, tersimpan nilai-nilai budaya yang tinggi. Sehubungan dengan itu, sangat tepat kiranya usaha Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan melalui Bagian Proyek Pembinaan Buku Sastra Indonesia dan Daerah-Jakarta berusaha melestarikan nilai-nilai budaya dalam sastra itu dengan cara pemilihan, pengalihaksaraan, dan penerjemahan sastra (lisan) berbahasa Daerah.

Pelestarian sastra daerah perlu dilakukan karena upaya itu bukan hanya akan memperluas wawasan kita terhadap sastra dan budaya masyarakat daerah yang bersangkutan, melainkan juga akan memperkaya khazanah sastra dan budaya Indonesia. Dengan demikian, upaya yang dilakukan itu dapat dipandang sebagai dialog antarbudaya dan antardaerah. Dalam hal itu, sastra daerah berfungsi sebagai salah satu alat bantu dalam usaha mewujudkan manusia yang berwawasan keindonesiaan.

Buku yang berjudul Terjemahan dan Teks Geguritan Kendit Birayung ini merupakan karya sastra Indonesia lama yang berbahasa Bali pengalihaksaraan dan penerjemahannya dilakukan oleh I Made Subandia, sedangkan penyuntingannya oleh Dra. Rini Adiati Ekoputranti.

iii [ 5 ]Mudah-mudahan terbitan ini dapat dimanfaatkan dalam upaya pembinaan dan pengembangan sastra Indonesia.

Jakarta, Januari 1997 Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,

Dr. Hasan Alwi [ 6 ]DAFTAR ISI Halaman


KATA PENGANTAR .. ..... .. ... .. ...... ... ... .......... ..... iii


DAFTAR lSI .... ........ .. .... ....v


A. Pendahuluan ........ .......................... .. ........ ..1

B. Ringkasan Cerita ...... .......... ...........................4


C. Terjemahan Teks Geguritan Kendit Birayung .... .... .... ....9




v [ 7 ]A. Pendahuluan

"Geguritan Kendit Birayung" adalah salah satu karya satra Bali tradisional berbentuk puisi yang ditentukan oleh padalingsa. Sugriwa (1978:3) dalam bukunya yang berjudul Penuntun Pelajaran Kekawin menjelaskan pada artinya banyak bilangan suku kata dalam tiap-tiap baris (carik/koma). Lingsa berarti perubahan suara [ ai u eo ] pada suku kata terakhir dalam tiap kalimat atau baris.


Bentuk karya sastra ini di dalam masyarakat Bali dikenal dengan istilah "sekar alit" (macapat), yaitu sebuah nyanyian yang menggunakan pupuh (tembang). Pupuh dalam sebuah karya sastra geguritan, seperti juga halnya dengan pupuh dalam "Geguritan Kendit Birayung", masing-masing mempunyai tugas atau watak. Watak dari tiap-tiap pupuh akan tergantung pada jenis dan sifat peristiwa yang dilukiskan atau dikisahkan. Dalam kaitan itu setiap pupuh mempunyai tugas atau watak yang berbeda-beda. Maksudnya adalah tugas atau watak setiap pupuh sudah ditentukan sebagai kesepakatan yang merupakan pedoman dalam mengarang atau mengubah karya sastra geguritan.


Istilah pupuh di dalam "Geguritan Kendit Birayung" menggunakan istilah pupuh yang berbeda dengan istilah pupuh dalam karya sastra geguritan pada umumnya. Perbedaan itu hanyalah perbedaan penggunaan istilah. Tugas atau watak padalingsa pada prinsipnya sama dengan konvensi karya sastra geguritan pada umumnya. Adapun istilah pupuh yang digunakan di dalam "Geguritan Kendit Birayung", misalnya "Puh Wanara Ptak, dan Puh Skar Mayit, sama dengan "Pupuh Sinom", "Puh Tgeh", "Puh Atas", dan "Puh Duhur" sama dengan "Pupuh Durma". [ 8 ]"Puh Untat" sama dengan "Pupuh Pangkur", dan "Puh Sma" sama dengan "Pupuh Smarandana" dan "Puh Nora Kelem" sama dengan "Pupuh Maskumambang".


Beberapa tugas atau watak pupuh yang dimaksud adalah "Pupuh Sinom" digunakan untuk menggubah hal-hal yang menggembirakan, seperti kebahagiaan, kesenangan, keindahan, keceriaan, dan kegiatan muda-mudi. "Pupuh Durma" digunakan untuk menggubah hal-hal atau peristiwa peperangan, kemarahan, pertentangan, permusuhan, dan kekacauan. "Pupuh Semarandana" dipakai untuk menggubah peristiwa seputar asmara, kasih sayang, tangisan kesedihan atau hal-hal yang mengharukan. "Pupuh Pangkur" dipakai untuk melukiskan peristiwa-peristiwa dalam cerita yang mengandungg maksud sungguh-sungguh seperti nasihat "Pupuh Dangdang" dipakai untuk menceritakan hal yang berhubungan dengan kecantikan wanita dan keindahan alam. "Pupuh Maskumambang" dipakai untuk melukiskan kesedihan, hati yang merana (menangis) dan lain-lain.


Naskah "Geguritan Kendit Birayung" yang diterjemahkan itu adalah naskah titipan yang merupakan hasil transliterasi dari huruf Bali ke dalam huruf Latin. Naskah diketik dengan kertas berukuran folio tiap lembar berisi satu muka. Jumlah halamannya adalah 55 lembar.


Naskah aslinya berbentuk lontar milik Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali yang kini diubah menjadi Kantor Dokumentasi Budaya Bali bertempat di Denpasar. Naskah itu merupakan naskah tulisan tangan menggunakan huruf Bali dan berbahasa Bali. Jumlah halamannya sebanyak 47 lembar setiap lembar ditulisi bolak-balik. Nomor halaman menggunakan angka Bali ditulis hanya dalam satu muka pada setiap lembarannya. Bagian muka yang tidak ditulisi angka adalah halaman bagian a, sedangkan bagian muka halaman yang ditulisi angka adalah halaman bagian b.


Naskah lontar "Geguritan Kendit Birayung" itu ditransliterasi oleh I Made Subandia, tanggal 19 Juni 1991. Cara yang diterapkan dalam mentransliterasi naskah lontar itu dari huruf Bali ke dalam huruf Latin adalah tetap mempertahankan keaslian identitas naskah aslinya dengan menyalin apa adanya di dalam naskah aslinya. [ 9 ]Beberapa hal yang dapat diperhatikan kaitannya dengan hal tersebut adalah huruf na rambat ( *7__ ) ditransliterasi menjadi na. Huruf sa sapa (1,4) ditransliterasi menjadi sa. Sa saga (ff) ditransliterasi menjadi fa, dengan huruf (avy) ditransliterasi menjadi a. Huruf ba kembang (26)) ditransliterasi menjadi bha. Huruf ta latik (¢) ) ditransliterasi menjadi fa. Huruf ta tawa (49 ) ditransliterasi menjadi tha. Huruf da madu (w7 ) ditranshterasi menjadi dha, pépet (¥7 ) ditransliterasi menjadi e, taling (7) ) ditranshiterasi menjadi e, dan lain-lain. [ 10 ]B. Ringkasan cerita

Di Nusantara Bertahta seorang raja bernama Kendit Birayung. Raja itu amat tersohor karena kesaktian, kebijaksanaan, dan kedigjayaannya dalam perang sehingga musuh-musuhnya tidak ada yang berani. Ia mempunyai seorang adik perempuan yang juga sangat sakti dan bijaksana. Kecantikannya tak ada yang menandingi. Ia bagaikan mengalahkan kecantikan Dewi Ratih di surga.

Sultan Arab, yaitu Amir Amsyah, ingin merebut kekuasaan raja Nusantara, tetapi harus menggunakan tipu muslihat. Untuk melaksanakan tugasnya itu, ia mengutus adiknya (Dewi Rengganis) pergi ke Nusantara. Karena merupakan suatu tipu muslihat, Dewi Rengganis harus berlaku sopan dan berusaha merayu agar Dewi Ambarawati dapat diculiknya.

Setelah semua diupayakan, Dewi Rengganis segera terbang di angkasa pergi ke Nusantara. Setiba di Nusantara, tepat tengah malam, Dewi Rengganis memasang ilmu andalannya yaitu sasirep mayit. Dengan demikian, semua rakyat Nusantara tertidur lelap. Akan tetapi, Dewi Ambarawati tidak terkena ilmu itu. Ia mengetahui ada penjahat masuk istana lalu ia keluar berdiri di bawah pohon nagasari. Dewi Rengganis melihat bayangan Dewi Ambarawati berdiri di situ. Lalu, ia menyapa Dewi Ambarawati dan mengatakan bahwa dirinya bukan pencuri. Akan tetapi, Dewi Ambarawati tak menghiraukan dan tiba-tiba ia menyerangnya. Dewi Rengganis mengelak dan terbang ke angkasa tetapi Dewi Ambarawati terus mengejarnya. Dewi Ambarawati segera membentangkan panah, tetapi tangannya segera disambut oleh Dewi Rengganis sehngga panahnya nyasar. [ 11 ]5

Pada saat itu Dewi Rengganis menegaskan kembali dan memperkenalkan diri bahwa ia bukanlah penjahat atau pencuri, melainkan ia adalah Dewi Rengganis dari Haldamas. Keinginannya hanya untuk bersahabat karena Dewi Ambarawati amat sakti dan tersohor di dunia, tetapi agamanya tak jelas dan tak henti-hentinya mengalami penderitaan. Oleh karena itu, ia mengharapkan agar Dewi Ambarawati masuk agama Islam.

Dewi Ambarawati merasa dihina dan sangat marah mendengarkan kata-kata Dewi Rengganis. Lalu, Dewi Ambarawati menantang untuk mengadu kesaktian. Jika ketu emas Dewi Ambarawati anugerah dan Betara Guru dapat diatasi oleh kaos Dewi Rengganis, ia akan menuruti segala keinginannya. Kemudian, mereka berdua saling melepas ketu dan kaos ke angkasa, tetapi ketu emas itu selalau diatasi duh kaos Dewi Rengganis. Namun, Dewi Ambarawati tidak mau menyerah. Ia menantang untuk mengadu keberanian.

Dewi Ambarawati mengeluarkan dua bilah pedang dan dua bilah keris lalu Dewi Rengganis disuruh memilihnya. Kemudian Dewi Ambarawati menyuruh Dewi Rengganis menusuk dirinya, tetapi dia tidak mau. Karena dendam, Dewi Ambarawati segera menusuk Dewi Rengganis dan kena tepat di atas payudaranya, tetapi tidak terluka.

Setelah itu, mereka sama-sama terbang ke angkasa. Perang tanding pun tak dapat dihindarkan. Mereka berdua saling menusuk, tetapi tak ada yang terluka karena mereka sama-sama kebal. Pada saat kejadian sedang berlangsung, tiba-tiba keris dan pedangnya hancur berkeping-keping. Mereka berdua terus perang tanding tak ada yang mau mengalah. Walaupun sudah sangat lelah dan keringat bercucuran, mereka hanya berhenti seyenak kemudian segera bangkit kembali.

Begitulah seterusnya mereka berdua. Akan tetapi, suatu saat Dewi Rengganis berhasil memegang pinggang Dewi Ambarawati langsung mengangkatnya dan diputar-putar di atas. Dewi Ambarawati menjadi tak berdaya, kemudian dia dilemparkan dan terjatuh tak sadarkan diri. Lalu, Dewi Rengganis segera membawa dan membaringkannya di tempat tidur. Kepalanya dipangku, wajahnya dibelai, dan diciumi. Lama-kelamaan secara perlahan nafasnya terengah-engah, matanya mulai terbuka kemudian ia segera duduk di bawah. Dewi Rengganis kembali menciumnya.

Setelah itu, dengan hati yang tulus Dewi Ambarawati menyerahkan [ 12 ]6

diri untuk memeluk agama Islam. Pada saat itu tepat tengah malam lalu
Dewi Rengganis segera pergi mengajak Dewi Ambarawati ke Mukadam. Kepergiannya dari Nusantara tak ada yang mengetahui sehingga keadaan dan orang-orang dalam istana gempar. Raja Nusantara tahu adalah ulah prajurit Arab yang telah tiba di perbatasan. Oleh karena itu raja Nusantara (Kendit Birayung) memerintahkan semua prajuritnya untuk menggempur para prajurit Arab.

Pertempuran pun segera terjadi. Banyak prajurit yang gugur dalam pertempuran itu. Raja Kendit Birayung menjadi murka. Karena dendam, ia turun tangan ingin sekali berhadapan dan membunuh Raja Arab, Amir Amsyah. Dalam pengejarannya itu ia bertemu dan berhadap-hadapan saling mencaci-maki. Sementara itu, pertempuran terus berlangsung, tetapi para prajurit Arab di bawah pimpinan Amir Amsyah semakin terdesak. Karena hari telah malam, pertempuran pun segera terhenti. Kemudian, seluruh prajurit segera kembali ke tempatnya masing-masing.

Selanjutnya, diceritakan di Mukadam orang-orang istana belum tidur, sedangkan Raden Arya Banjaransari atau Raja Putra termenung duduk seorang diri memikirkan saudaranya (Dewi Rengganis) yang sudah lama pergi, tetapi belum kembali. Saat itulah tiba-tiba Dewi Rengganis dan Dewi Ambarawati datang menghadap. Ketika Dewi Ambarawati berada di hadapannya, Raja Putra merasa bngung sambil berkata dalam hati, "ia sungguh-sungguh cantik." Raja Putra bersikap merendahkan din sambil menyanjung-nyanjung Dewi Ambarawati sehingga Dewi Ambarawati merasa malu terus menunduk dan tak berani menatap.

Sementara itu, di Nusantara orang-orang bersedih dengan hilangnya Dewi Ambarawati dari istana. Pengasuh dan dayangnya menemukan sepucuk surat terbungkus sutra kuning di tempat tidumya. Surat itu segera dipersembahkan kepada Raja Kendit Birayung. Isi surat itu menyatakan bahwa Dewi Ambarawati dibawa oleh Dewi Rengganis ke Mukadam untuk dipertemukan dengan putra Raja Arab, yaitu Raden Banjaransari atau Raden Suwongsa. Karena marah, sambil membaca surat tangan Kendit Birayung gemetaran, mukanya memerah, dan badannya bagaikan mengeluarkan api. Raja Nursiwan berusaha menenangkan dan menasihati agar tidak bersedih, karena suatu saat nanti pasti akan ditemukan. Semua [ 13 ]itu pasti ulah Amir Amsyah. Oleh karena itu, perlu diadakan perjanjian perang. Kendit Birayung setuju dengan hal itu lalu 1a segera mengutus Kontal dan Tebih ke Mekah menghadap Sultan Arab untuk menyampaikan perjanjian perang itu.

Sultan Arab, Amir Amsyah, memenuhi perjanjian perang dari Kendit Birayung. Kemudian, terjadilah perang antara prajurit Nusantara dan prayurit Arab. Ketika pertempuran sedang berlangsung, konon Ki Malang Sumurang melarikan Umarmaya dan menahan di Gunung Waya. Hilangnya Umarmaya dan medan pertempuran tak ada yang mengetahui. Akibatnya, prajurit Mekah merasa sedih, dan semakin terdesak. Prajurit banyak yang terluka dan gugur bahkan Amir Amsyah terluka parah. Sementara putranya, Raden Banjaransari yang berada di istana sangat kaget dan sedih mendengar berita itu dari Dewi Rengganis. Dewi Rengganis dan Dewi Ambarawati pergi ke Aldha Hmas melaporkan peristiwa itu kepada Raja Pandita. Raja Pandita sebelumnya sudah mengetahwi peristiwa itu. Menurut dia, kekelahan Amir Amsyah itu sudah sewajarnya karena Kendit Birayung teramat sakti. Pendampingnya, yaitu Malang Sumirang dan Macan Sumantri amat tangguh dan sangat dikasihi Tuhan ketika bertapa dalam gua di Gunung Ardindra.

Selanjutnya, Raja Pandita menyuruh agar ia mencari pamannya, Umarmaya yang merintih kesakitan di dasar Gunung Waja. Dewi Rengganis segera membantu pamannya itu kemudian mengajaknya menghadap sang Raja Pandita di Alda Hmas. Karena selalu mengalami penderitaan, Umarmaya mengganti namanya menjadi Pakuwaja. Setelah itu, 1a disuruh ke gunung Indra Gin menghadap Macan Sumantri karena hanya dialah yang dapat menolong dan memberikan senjata untuk membunuh Raya Kendit Birayung. Pakuwaja bersama Dewi Rengganis melaksanakan tugasnya. Setelah dia menghadap, Macan Sumantri memberikan dua batang bambu yang masing-masing dipakai untuk membunuh Kendit Birayung dan Malang Sumuirang. Di samping itu, dia juga memberikan air suci untuk membunuh Serpabhumi dan obat untuk menyembuhkan Sultan Arab serta para prajurit yang terluka parah.

Dengan menggunakan senjata tersebut, pembesar-pembesar istana Nusantara itu dapat dikalahkan. Para pengikutnya seperti Raja Nursiwan, semua prajurit, bangsawan, punggawa, dan Menteri Nusantara menyerah [ 14 ]dan memeluk agama Islam. Para prajurit Arab yang terluka parah dalam medan pertempuran semua sembuh dan sehat seperti sedia kala. Demikian juga, Sultan Arab (Amir Amsyah) telah sembuh setelah diobati.

Selanjutnya, Sultan Arab, Amir Amsyah, menobatkan Jaladara menjadi raja yang memerintah Nusantara berkat jasa-jasanya. Setelah itu, Sultan Arab segera kembali ke negeri Mukadam. [ 15 ]C. TERJEMAHAN DAN TEKS GEGURITAN KENDIT BIRAYUNG

[1b]Semoga tak ada rintangan.

[1b]Awighnamastu

Puh Nora Lamur


1. Ni Dewi Rengganis berkata lembut,

kepada sekalian,

rakyat Nusantara,

dengan tugasnya yang berat,

bagaikan memikul gunung,

musuh Raja Nusantara,

ditipu oleh raja yang lain,

Sang Kendit Birayung,

jika rakyatnya,

sangat susah,

sang raja di Nusantara,

sakti mandra guna.


2. Tuan paduka sangat marah,

dengan musuh,

(yang) sakti dan digjaya,

dan orang memandang mendua,


1. Alon matur Ni Dewi Rĕngganis,

ri samyen,

amarĕp Nusontara,

dahat abot ing karyane,

lwir kadi nikul gunung,

msĕh prabhu ing Nusontari,

bodha kang ratu ing lyan,

Sang Kĕndit Birayung,

lamun utawi kaula,

langkung abot,

sang prabhu ing Nusontari,

dhigjaya mondra guṇa.


2. Lintang murkanyaṇa amba gusti,

dening msĕh,

sakti tur dhigjaya,

ian wong ngandhĕlĕng rorwa, [ 16 ]dari bumi dan dari atas,

walaupun banyak raja (dan)
prajurit,

mengantar menghadap sultan,

jika itu mencegat,

tak ada orang berani menghalangi,

tak (akan) bergerak,

musuh Raja Nusantara,

bagaikan walang jatuh dalam
api,


3. Di kemudian hari jika terjadi
perang

walaupun ikut,

terjun dalam medan perang,

semua raja dan prajurit,

musuh Kendit Birayung,

bagaikan sehelai daun dibuatnya,

demikian kata rakyat(nya),

terlalu susah/berat,

Sang [2a] Raja Nusantara,

adiknya,

perempuan dan masih gadis,

seperti lukisan bangunan.


4. Bernama Ni Ambarawati,

sangat cantik,

(sebagai) obat kesusahan,

sungguh menawan jika memandang,

wajahnya Sang Dyah yang
cantik,

mengalahkan Dewi Ratih di


ring siti lan ring luhur,

yadyan akeh ratu
prajurit,

angiring maring sultan,

yan punika magut,

tan hana wong anongga,

tan pakarya,

msěh prabhu Nusontari,

lwir walang tibeng ghnya.


3. Benjang-enjang atapak
jurit,

yadian sareng,

mara maring raṇa,

praratu prajurit kabeh,

mseh Kěndit Birayung,

kaya daun ahentas
kardhi,

yatha cawis kaula,

abot sakalangkung,

sang [2a] prabhuing Nosantara,

arinepun,

istri lan makatruni,

lwir gambar wawangunan.


4. Akakasih Ni Ambarawati,

dahat aywa,

tambaning alara,

ywakti waluya yen
tumon,

ring warnnane Dyah
ayu,

kang kasor Ratihing [ 17 ]surga,

tergila-gila olehnya,

Sang Kendit Birayung,

dengan tuan putri Nusantara,

tersohor di dunia,

sakti tak ada yang menandingi,

sakti dan bijaksana.


5.Prajurit Arab tak ada yang berani,

apalagi sultan,

(yang) hendak merebut,

sungguh takut tak berani melihat,

bermusuh Kendit Birayung,

sama hebat perkasa dalam perang,

tetapi tak ada terkalahkan,

pertempuran terus-menerus,

Ni Dewi Ambarawati,

tidak terkalahkan,

Sang Dewi Ambarawati,

selalu dalam kemenangan.


6. Jika tuan paduka berkeinginan,

hendak bertemu,

kamu dengan Sang Dyah,

putra raja berkata lembut,

sebaiknya adik terlebih dahulu,

ke Kerajaan Nusantara,

sesukamu mengatakan,

2b bersenang-senang bercumbu rayu,

dengan tuan putri Nusantara,


swargi,

kawuragil denira,

Sang Kendit Birayung,

sang putri ing Nusontara,

satunggeb rat,

sakti tan wenten nandingin,

sakti tur wicaksana.


5. Prajurit Arab tan pangundili,

yadyan sultan,

maraha maguta,

ywaktine dhatan panon,

mamseh Kendit Birayung,

sama guna prakoseng jurit,

nanghing tan hana kasoran,

paprange dres acucuh,

Ni Dewi Ambarawatya,

tak kasoran,

Sang Dewi Ambarawati,

sugih anmu kajayan.


6. Lamun sadya karsa hamba gusti,

anamoken,

sampyan lawan Sang Dyah,

raja putra ngandika alon,

bcik yayi karuhun,

mring kadaton Nusontari,

maJa bodha mas nyadwa,

2b angenak angrumrum,

sang putri ing Nusontara, [ 18 ]bertutur kata,

dengan ucapan yang sopan,

bertimbang rasa yang diutamakan.


7. Karena demikian akhirnya adikku,

memiliki,

saudara laki-laki (ahli) perang,

saudara(nya) yang perempuan terkenal,

sakti dan ilmunya matang,

lalu tersenyum Dewi Rengganis,

berkata sambil menoleh,

masa (mau) dikalahkan,

(oleh) orang laki-laki kecil sepertinya,

sekuat-kuatnya tenaga,

kehebatan kekuatan orang laki-laki.


8. Selesailah pertemuan pada malam (itu),

adik akan,

mohon diri kepada kakak,

yang menjadi angan-angan dalam hatinya,

menghadap Yang Mahakuasa,

yang menguasai bumi dan langit,

berbakti ke hadapan-Nya,

lalu menghadap ke selatan,

menyatukan dan menggunakan kesaktian,

tanpa mohon diri Dewi


tuturana,

dening tutur kang bcik,

ararasan kang utama.


7. Pan mangkana lamakane maskwari,

wong anduwe,

kadang lanang yudha,

kadang kang istri akawot,

widhagda putus elmu,

yata mesem Dewi Rengganis,

matur sarwi ngurjiwat,

masakna angrangkung,

wong cembel sagedi lanang,

sakalwire,

sesaget-saget cemeh,

lewih sagedhi wong lanang.


8. Putus pwa rarasan guneming wngi,

mas ing aryya,

amit maring rakka,

angening kang twase,

maring Ngalah Hyang Agung,

sang ngamurba bhumi lan langit,

nastiti ring munajat,

lan mutadwa kidhul,

sidhi tablek lan amalem,

nora orah ratna Dewi [ 19 ]13

Rengganis,
terbang melayang-layang,

9.
Menyatu dengan awan yang putih,
pergi menuju,
negeri Nusantara,
tak terhingga rasa senangku,
terbangnya sangat cepat,
bagaikan anak panah yang dibidikkan,
negara Nusantara,
sudah dilewati,
Sang Dyah terbang semakm merendah,
kemudian memasang,
(ilmu) yang bernama sasirep mayit,
kepada semua penduduk Nusantara.

10.
Semua tertidur satu pun tak ada yang bangun,
seperti orang mati,
semua orang dalam istana,
seluruhnya tak sadar dengan tepat tengah malam,
hanya Dewi Ambarawati,
tak kena dengan upaya itu,
lalu berpikir dalam hati,
sedang dimasuki penjahat,
berada di dalam istana,
lalu Dewi Ambarawati,


Arengganis,
malésat angawang-ngawang.

9.
Awor lawan mega ikang putih,
nuju maring,
nagri Nusontara,
saréng pawana légan cange,
paibére andarung,
kadi mrécukunda ing widik,
nagara Nusontara,
kawungkulan sampun,
Sang Dyah mibér angandap,
nulya masang,
kang ngaran sasirép mayit,
sawonging Nusontara.

10.
Sami sirép sawiji nora tangi,
hwir wong pjah,
tkeng wonging pura,
tan pagut lawan sakabeh,
wayah tengah dalu,
amung Sang Dyah Ambarawati,
tan kéna ing upaya,
minéh jroning kayun,
rinawuhan dhuratmaka,
haneng pura,
sang putri Ambarawati, [ 20 ]14

menggmakan ilmu andalannya.

angrasuka prawiran.

11 . Menyatukan di dalam pi-
kirannya,
(lalu) segera turun,
dari tempat tidur,
bermaksud berkeliling dalam
kerajaan,
tiba-tiba datang pembesar
istana,
sungguh menakutkan menyayat
hati,
Mas Ayu Arghapura,
lalu turun dengan pelan,
berdiri di tengah-tengah halaman,
di dalam istana,
berada di bawah (pohon)
nagasari,
tuan putri Nusantara.

11. Nunggil ing duhung
ncakcing,
tumuruna,
saking pasareyan,
arsa nglanglang jro
kadaton,
pawana agung
rawuh,
ywakti mirmir
ati,
Mas Ayu Arghapura,
nulyālon tumurun,
ring kisma ngadĕg ring natar,
ring jro pura,
maring soring
nagasari,
sang putri Nusontara.

12. Setelah diberitahukan ada
penjahat masuk,
segera waspada,
mengintip utusan itu,[3b]
dilihat olehnya bayangan,
Dewi Rengganis sudah
mengetahui,
bahwa yang mengintip itu
Sang Dyah,
(Dewi) Rengganis berkata
dengan lembut,
saya bukan pencuri,
saya abdi seperti kamu,
Dewi Ambarawati segera
menerjang,
Rengganis menghelak.

12. Wus uninga dūratmaka prapti,
dan prayatna,
angintip kang duta, [3b]
kalingan dening kakayon,
Dewi Rĕngganis wus
wruh,
maring Sang Dyah ika
angintip,
Rĕngganis alon
anabda,
ingsun dūdu pandung,
ingsun cembel kadi sira,
Ni Ambarawati anrajang
glis,
Rĕngganis pindah. [ 21 ]13. Lalu Rengganis melompat menangkis,

menuju angkasa,

lalu segera berkata lembut,

nah ikuti saya lagi,

jika kamu sungguh mau,

segera (Dewi) Ambarawati terbang,

ke angkasa ia dikejar,

segera mementangkan busur,

Sang Dewi Ambarawati,

(dengan) cepat disambut,

tangannya oleh Rengganis,

panahnya lepas tak mengena,


14. Ni Dewi Rengganis berkata (dengan) pelan,

saya bermaksud,

bersahabat dengan kamu,

saya tidak berbuat jahat,

kadatangan (saya) di sini hendak bertemu,

kaget termangu Ambarawati,

sambil beliau memandang,

rupanya swgguh cantik,

tak ada dipakainya ... .. .

berkata lembut,

Sang Dewi Ambarawati,

nah turunlah segera. 4a


13. Dan lumumpat Rengganis anangkis,

maring tawang,

astru alon anabda,

lah tutugen ingsun age,

yen sira twi purun,

sighra mabur

Ambarawati,

ring tawang ya kapapag,

sighra amentang hru,

Sang Dewi Ambarawatya,

glis katandak,

astane dening Rengganis,

panah tan kena lepas.


14. Alon anabda Ni Dewi Rengganis,

ingsun arsa,

asanak lan sira,

nora ala gawen ingong,

prapteng riki atatemu,

kanggek mangu Ambarawati,

sarwi sira tuminghal,

ring warnnane tuhu ayu,

tan hananggene tininda,

alon mojar,

Sang Ayu Ambarawati,

lah payu tumuruna. 4a [ 22 ]16


PUHLESU

1. Kemudian, keduanya segera turun,

berada di dalam lingkungan istana,

di luar halaman istana,

Sang Dyah duduk bersama-sama,

kedua putri itu berangan-angan,

Ambarawati terus memandang,

wajah Mas Argapura.


2. Cantiknya tak ada yang menandingi,

Dyah Ambarawati berkata,

mengapa saya jadi begini,

karena baru pertama saya bertemu,

dari manakah kamu?

katakan kepada saya,

apakah mahluk halus berwujud manusia.


3. Apakah kamu Yang Mahakuasa,

segeralah katakan namamu,

Juga negaranya,

serta ibu bapakmu,

beritahu saya dengan jujur,

Dyah Arghapura menjawab,

kata-katanya bagaikan manisnya madu.


4. Tak bedanya saya ini,

sama seperti kamu berwujud manus1a,


1. Dan tumurun Sang Dyah kalih,

haneng darat jroning pura,

ring natar jawining paren,

Sang Dyah sama alungguha,

yun-ayunan putri karwa,

Ambarawati tan pgat ndulu,

warnnaning Mas Argapura.


2. Ayune datan patanding,

Dhyah Ambarawati mojar,

tambah ingsun mringkene,

dene tembe sun manggiha,

saking pundi ta sira?

warahana maring ingsun,

yata hejim mahawwa janma.


3. Yata sira Sanghyang Widhi,

ian wasta nira waraha,

miwah ikang nagarane,

mwang ibu ramma ika,

warah'tn sun den jatya,

Dyah Arghapura sumahur,

sabda lwir madhu drawa.


Datan beda ingsunyeki,

sira lawan awwaking wang, [ 23 ] 17

sungguh-sungguh manusia tu- buhku,

tetapi negara saya,

sangat jauh dari sini,

Haldhamas namanya itu,

adik saya putra pendita.


5. Saya bernama Rengganis,

orang bodoh ingin belas kasihan,

oleh sebab itu, saya datang

ke sini,

karena adik tersohor di dunia,

cantik dan sangat sakti,

selalu saya pikirkan,

karena kamu orang cantik.


6 Bagaimana perasaan adik,

bersahabat dan saya sebagai kakak,

Ambarawati menjawab,

dengan tegas Sang Dewi,

kedatanganmu ingin bersahabat,

mengaku miskin dan bodoh,

lalu berkata lembut Rengganis.


7 Adikku sesungguhnya,

kalau gin bersahabat denganku,

konon ada perbedaannya,

karena adik sangat kuat,

dan beragama Islam,

adik akan saya ajak,

memeluk agama Islam.



manusya tuhu awak ingong,

nanghing nagaran manira,

lintang adoh saking kenya,

wasta Haldhamas iku,

yyayi sun putran paṇḍita.


5 Awasta ingsun Rěngganis,

wong 4b mudha kawlas arsa,

marman ingsun prapteng kene,

dening yayi kalokeng rat,

ayu tur kalintang saktya, arṣa ingsun sadulur,

mring sira hmas aywwā.


6 Punapa krasaning yayi,

asanak lan ingsun ĕmmas,

Ambarawati sawure,

kamayangan Sang Dewya,

tka sira arșa sanak,

ngangkěn miskin muda iku,

lonabdha Rengganis ika.


7 Arin ingwang sajatini,

yen arsa asanak smang,

pan wentĕn bedane rĕko,

dene yyayi sajĕgamma,

mwang agama kapilahat,

yyayi mapan iring sun,

ngastiti tāgama Islam. [ 24 ]18

8. Kalau kamu ikt agama kami, menyembah dengan taat, hendaklah nanti selalu sungguh-sungguh, karena saya khawatir dengan kamu, jika adik ikut agamaku, agama adik sekarang tak jelas, itulah sebabnya tak menemukan kebahagiaan.

9. Selalu menemukan kesengsaraan, besar kecil tak henti-hentinya, kamu hendaknya sering ber- bakti, [5a] supaya bisa berhasil, tersentak Ambarawati, sangat marah mendengar perkataan (itu), (saya) dendam dengan agamamu.

10. Tiba-tiba berkata begini, hai kamu Rengganis datang, mengadu (domba), merencanakannya, melanggar aturan agama saya, bukan agama bikin-bikinan, tetapi agama dari atas, mengapa sekarang kamu (be- rani) menghina.

8. Mūn sira nūt gaman mami, marinĕmbah brĕhalā, ywaktiknā sadulur rĕko, wetning heman sun ring sira, yyayi yen nut agama ingwang, mangke yyayi agama bingung, reha ira tak manggih mlah.

9. Amanggih papa li- nĕwih, agung tunggal tan arorwā, siranyawwa keh baktine, [5a] marmaning amanggih sasar, kabanga Ni Mbarawatya, dahat krodha myarsa awuwus, tinĕndam ring ga- manira.

10. Gangsul wagĕd wuwus neki, eh Rĕngganis tĕka sira, angadhu, angrancanane, bodha gaman ingsun langgya, nora gama gĕgaweyan, mapan gama saking luhur, dadya mangke sira aniņḍa. [ 25 ]19

PUH SKAR MAYIT

1. Demikian ... tidak berani, mencela agamaku ini, sebaiknya segeralah pergi dari sini, janganlah lancang berkata disini, kalau orang Islam dengan kafir, lebih baik Islam itu, sesungguhnya itu paksaan, mengapa menghalangi, kekuatannya, Rengganis dengan aku.

2. Tersenyum Dyah Arghapura, Dewi Rengganis menjawab, wahai adikku orang yang sangat hina, jelasnya pandangan orang sejati, tak ada sesungguhnya perempuan jahat, karena saya (orang) bodoh (dari) kampung. barangkali adikku sayang, menggerebeg, yang bernama I Jrat Wetokna.

3. Adik saya malu mengatakan, kesaktian beliau Mashyadi, Ambarawati segera berkata. jika beliau ingin mengetahui, tentang isi kesaktiannya ini, saya memiliki ketu, pemberian dewa yang sakti,

1. Neng kinawong tan puruna, mñacad gaman ingwang iki, lah age kesah ngkanya, aywa dawan wuwus riki, yen wong Slam kalawan Kapir, pundi lĕwihing Slam iku, hesti jrat punika, masakna anglintangin, saktenira, Rĕngganis kalawan ingwang.

2. Mesĕm Dyah Arghapura, sumahur Dewi Rěngganis, dhuh mas yadhi wong hināla, trangeng netraning wong yukti, tan hana istri jratwi, nora wruh maring stri jrāt, manawa masku yyayi, andarbekang, aran I Jrat Wětokna

3. Yyayi sun kesah uninga, kasaktene sira Mashyadhi, aśruh nabda Ambarawatya, lamun sira arĕp weruhi, ring daging kesakteneki, isun aņḍarbekang ktu, pawehing bhatara saktya, [ 26 ]20

Sang Dewi lalu mengambil, segera masuk, menuju ke dalam kamar tidur.

4. Mengambilnya dari dalam peti, sesungguhnya dulu ketu berbentuk emas, dipakai dan dibawa keluar, ke halaman lalu Sang Dyang berkata, begini rupanya kesaktian, yang diberikan oleh Dewa Guru, Dewi Rengganis berkata, seberapa kesaktiannya kopiah ini, ketu itu, merupakan busana kepala

5. Ambarawati berkata, Rengganis tahukah kamu ini, bahwa ketu bisa menuruti, bilamana aku menyuruhnya, terbang tinggi ke angkasa, akan mengalahkan kecepatan angin bila disuruh berbalik, hanya sekejap sudah tiba, Rengganis agar kamu mengetahui kesaktiannya.

6. Dyah Arghapura menyambut, kesaktian ku Mas Hyadi, aku tidak seperti kamu,

Sang Dewi raris angambil, glis malĕbu, mringjroning pagulingan.

4. Ngambil haneng jroning ptya, ktu rupa kancana wyakti, kesaluk bakta mijala, mring jaba Sang Dyang angling, iki rupaning kasakti, pawehing Bhatara Guru, Dewi Rĕngganis umatura, para saktine kopyah iki, ikang ktu, mapan bhūșaņaning sirah.

5. Ambarawati sumawura, Rĕngganis wruha nireki, punang ktu bisāngidhepa, yen isun tuhu ngakonin, mambur ngangaņa nglangit, kasor mruta gañcang ngipun akon mantuka, sakdĕpnethā wus prapti Rĕngganis wruh nireki kasaktya

6. Sawur Dyah Arghapura, kasakten ingsun Mas Hyadi, nora sun skadi sira, [ 27 ]21

hanya berupa sebuah busana,
aku mempunyai dua buah kaos,
ketu bersama kaos itu,
mari sama-sama disuruh
terbang,
ke angkasa bila diatasi
merebut kecepatan,
bila ketu itu di atasnya.


7. Kaos itu berada di bawahnya,
aku akan mau mengikuti
agama Kafir,
bila kopiah itu dikalahkan,
apakah kamu mau mengikuti
agamaku,
bagaimana kesanggupanmu,
nah jelaskan kepadaku,
yang ditanya menjawab,
jauh bumi lawan langit,
bila kopiah,
segera disuruh terbang.


8. Kemudian, ketu terbang
melayang,
Sang Dyah melepaskan
kaosnya,
langsung terbang ke angkasa,
dengan cepatnya kemudian,
melebihi kecepatan angin,
terbang kopiah itu agak lambat,
terbangnya ke sana kemari,
kaos bersama ketu itu saling
mengatasi,
dengan nada pelan,
Ni Dewi Mas Arghapura berkata.


"balik pnganggening sikin,
sun madwe kawos kalih,
ktu lawan kawos iku,
payu samakon mam-
bura,
mring tawang lamun kung-
kuli ngrĕbut gĕñcang,
yan kĕtuhing luhuran.


7. Kawos punika ring andap,
anut sun mring agama
Kapir,
mau kopyah ika kasoran,
yyayi anut gama
mami,
kadhi pundi sanggup yyayi,
lah kantěnanā sireku,
sang liningan sumawur,
adoh bhumi lawan langit,
lamun kopyah,
sigra kon umambrura.


8. Ktu muluk maring
tawang,
Sang Dyah nglapas kawos
neki,
mambur maring anggagana,
gĕñcang ngikawos tumuli,
kaungkulan kasor angin,
pahiba reh kopyah iku,
kananongga saparanya,
kawos luhur ktu
kalih,
alon abdha,
Ni Dewi Mas Arghapura. [ 28 ]9. Nah adikku coba lihat,

sesungguhnya mana yang di bawah dan yang di atas,

kaos dengan kopiah itu,

Dyah Ambarawati kecewa kemudian segera mengambil ketu itu,

tidak disebutkan ketu itu segera datang,

berada dihadapannya,

ketu itu berada di bawah,

kaos itu,

lebih tinggi kelihatannya.


10. Dewi Aldhahmas berkata pelan,

wahai adikku yang kucintai,

ketu mewah dibuat dari emas,

pantas digunakan di kepala,

dikalahkan oleh bentuk yang aneh,

nah sekarang bagaimana maumu,

adikku keturunan para dewa,

nah masuklah agama suci,

semoga direstui dengan,

petjanjian Mas Nyawwa.


11. Setiap yang kalah harus mengikuti agama,

Ambarawati segera berkata,

saya sangat berkeinginan

walaupun kalah ketu saya,

saya belum menyerah kepadanya,


9. Lah yyayi tingalakna,

ĕndi-andap luhur wyakti,

kawos ika lawan kopyah,

kerangan Dyah Ambarawati ktu sigra den undangi,

tan carita ktu rawuh,

mring arsa tibǎkisma,

ktu ika haneng sori,

kawos ika,

luhur ring ktu kantĕna.


10. Lon anabdha Dewi Aldhahmas,

dhuh arin ingsun yyayi,

ktu ratna luhung kencana,

nyandang ring sirah anginggil,

kasor dening bsaning sĕkil,

mangke yyayi pumapeniku,

yyayi mirah trehing dewa,

lah manjingāgama suci,

hestukĕn ring,

smayandika mas nyawwā.


11. Asing kasor nūting gama,

aśruh mojar Mbarawati,

manira dathaning arsa,

hestu kasor ktuning mami,

manira durung kasor ring, [ 29 ]sebelum berperang habis-habisan,

saya tidak takut kepadanya,

Dewi Rengganis menyahut,

tidak pantas,

orang mangkal seperti demikian.


12. lngin mengadu kesaktian,

seperti pembawaan orang lelaki,

saya ini bersedia,

tidak membawa senjata,

karena saya datang seperti ini,

ingin berjumpa denganmu,

karena sangat kasih sayang,

saya sungguh-sungguh,

bersaudara,

saya dengan kamu.


de nira aprang acucuh,

tan ulap sun ring sira,

namurin Dewi Rlngganis,

nora pantĕs,

wong cĕmĕl kaya mangkana.


12. Arşa atanding dhigjaya,

panggawane wwang kakungngi,

manira iki masdhyaya,

noranggawa sĕñjatāki,

kradi sun rawuh kayeki,

arsa manggih ian sireku,

wetning trĕsna kalintang,

ingsun tan sinipi-nipi,

asĕsanak,

ingsun kalawan sira.


TEMBANG TANUJON


1. Ni Ambarawati segera berkata,

saya memberikan,

senjata kepadamu,

ya, pilihlah yang pantas digunakan,

ini ada dua bilah keris,

dan dua bilah pedang,

kamu bebas memilihnya,

tmtuk berperang habis-habisan,


1. Asruh mojar Ni Ambarawati,

angsun aweh,

sañjata ring sira,

pilih hna kang ingangge,

iki kakalih dhūhung,

miwah pdhang iki kakalih,

sira amilih hna,

payu aprang cucuh, [ 30 ]24

Ni Mas Arghapura tersenyum,
mengatakan diri bersaudara,
mengapa kamu mengadu keberanian,
saya merintangi niatmu.

2. Bersiap-siap mengambil sebilah keris,
dan pedang,
Sang Dyah Nusantara,
segera merebut senjatanya,
pedang dan keris,
Ambarawati segera berkata,
ya, tusuklah aku,
Rengganis berkata,
tidak dibenarkan orang mendahului,
kalau kedua sengketa belum saling melengkapi,
tidak boleh aku membalasnya.

3. Ambarawati segera berkata,
jika demikian,
Rengganis berhati-hatilah,
menerima tusukanku,
Sang Dyah segera menusuk,
Ratna Ayu Rengganis (7a) sedikit pun tidak terluka,
Sang Dyah teramat kebal,
tetapi jarinya tampak berdarah,
Ni Ambarawati sia-sia menusuknya,
kemudian, ia segera berkata,

mesĕm Ni Mas Arghapura,
kudhu tmĕn,
yyayi ataṇḍing kawanin,
ingsun encakĕn arśā.

2. Dhan ingambil curigha sawiji,
miwah pdhang,
Sang Dyah Nusontara,
sigrā nambut sanjatane,
pdhang tkaning dūhung,
asruh nabdha Ambarawati,
lah sudhukna manira,
Rĕngganis sumawur,
norananā caraning wang angruhuna,
lamun tan jangkĕping kalih,
tan wěnang sun malĕsa.

3. Aśruh nabhda Ambarawati,
yan mangkana,
Rĕngganis prayatna,
saņḍangĕn panyuduk ingong,
Sang Dyah aglis anyuduk,
maring ratna Rĕngganis (7a) nanging nora lĕlgilĕs,
Sang Dyah dadi tguh timbul,
malah jriji angmu hrah,
Ni Ambarawati tan padon nyudukin,
asruh de nira mojar.
[ 31 ]25

4. Balaslah aku Rengganis,
Mas dari Argha,
menarik keris,
kemudian, ditusukkan pada dada,
di atas payudara,
tetapi sedikit pun
Ambarawati tidak luka
jika demikian sama-sama kebal,
saling menusuk,
sama-sama terbang ke angkasa,
berada di alam terbuka,
Sang Dyah mengadu keberanian,
tidak ada yang mau mengalah.


5. Kemudian, kerisnya patah hancur lebur,
dengan tiba-tiba
Sang Dyah mengambil pedang,
mereka berdua saling menebas dengan pedang
keduanya sama-sama jaya
tetapi yang hancur pedangnya,
lalu keduanya sama-sama berhenti
sama-sama merasa lelah,
keringatnya keluar bercucuran,
setelah benstirahat lalu bangkit lagi,
mereka berdua kembali sehat,
Sang Putri dari Nusantara.


4. Walĕs ingsun I Rĕngganis,
Mas ing Argha,
hanarik curigha,
sinudhuk haneng jajane,
ring saduhur ring susu,
datan pasah Ambarawati,
yan mangkana dhigjaya,
anudhūk sinudhuk,
samya mambur anggagana,
haneng tawang,
Sang Dyah atanding kawanin,
tanana kang kasoran.


5. Rĕmĕk ajur putung curigha kalih,
dan tumdak,
Sang Dyah nambut pdhang,
pdhang pindhang karone,
dhigjayane sakupu,
malah rĕmĕk pdhange kalih,
kalih ira rerene,
smya ngrasa lesu,
paringate drĕs tumdhak,
wusnya reren,
mari lĕsun nira kalih,
Sang Putri ing Nusontara. [ 32 ]26
6. Berkata lancang sekarang semua kehendakku,
sebab ada,
yang belum dilakukan,
nah, mari kita ulang kembali,
saling [8a] memuji dirinya
masing-masing,
Dayah Rengganis berkata,
adinda aku hanya mempermainkan,
mereka berdua sudah,
sama-sama berada pada ayunan,
seraya berkata lembut,
Ratna Dewi Rengganis,
nah, adinda yang memulainya.


7. Sang Dyah Nusantara berkata,
nah, waspadalah,
jangan tergesa-gesa,
Sang Dyah mendekap pinggangnya,
dengan sekuat-kuatnya,
Dewi Rengganis tidak gentar,
beratnya bagaikan gunung
sang Ayu berdiri,
jangan membungkuk,
maju terus,
Ni Ambarawati berkata,
silakan Rengganis membalas,


8. Sang Ratna Rengganis berkata pelan,
ya, adikku,
sekarang bersiap-siaplah


6. Aśruh mojar mangke karĕp sami,
mapan hana,
durung kalampahan,
lah payu marahing kene,
pada [8a] jungjung-jinunjung,
anawurin Dyah Rĕngganis,
yyayi sun angĕcaha,
Sang Dyah kalih sampun,
ngandeh sama yun-ayunan,
alonabdha,
Ratna Dewi Arĕngganis,
lah yyayi rumuhuna.


7. Anawuri Sang Dyah Nusontara,
dan prayatna,
aja ta pepeka,
Sang Dyah anyandak madyane,
angěnti kwat ipun,
nora musik Dewi Rĕngganis,
abote kadi argha,
angadhĕng sang Ayu,
Saja imiri tana,
gumingsira,
mojar Ni Ambarawati,
Rĕngganis lah malĕśa.


8. Alon mojar Sang Ratna Rĕngganis,
arining wang,
mangke den prayat[ 33 ]27

dengan waspada,
Rengganis sedang memusatkan pikiran,
Sang Ratna Ayu berdoa,
memohon kepada Tuhan,
agar tidak menyimpang dengan tujuan,
menunggalkan batin,
lalu, Ambarawati dipeluk,
oleh Mas dari Ngangga,
sambil menyebut nama Tuhankemudian, Sang Dyah dari Nusontara.


9. Di pinggangnya yang dipeluk,
tak bedanya,
[8b] bagaikan selembar kapuk,
diangkat di putar-putar,
berada di atas,
(seperti) meninggal Ambarawati,
dilempar dari angkasa,
bagaikan burung pipit dari atas,
Sang Dyah tidak dapat melawan,
segera jatuh,
ditadah dengan tangan kiri,
dibawa ke peraduan.


10. Kemudian, dibaringkan di atas kasur sari,
diciumnya,
oleh sang Dyah Nusantara,


na,
Rĕngganis ngĕning manahe,
munajat Sang Ratna Ayu,
anabdha maring Yang Widhi,
madhen tan mine ring hyas,
anunggaling kalbu,
Ambarawati cinandhak,
masing ngangga,
anambut namaning Widhi
Sang Dyah ing Nusontara.


9. Ring madyane ikang cinandakni,
datan pendah,
[8b] lwir kapuk sělěmbar,
jinunjung den awe-awe,
ingubeng haneng luhur,
dan kantaka Ambarawati,
inguñcal maring tawang,
lwir prit ring luhur,
Sang Dyah datan pagu lawan,
mingsor sigra,
sinangga ring ạṣta kiri,
binakta ing pamrĕman.


10. Dan sinalah maring kasur sari,
tinarĕkan,
sang Dyah Nusontara, [ 34 ]28

Ambarawati tidak sadar akan dirinya,
Sang Ayu dihapus,
wajahnya Ambarawati,
dikira sudah meninggal,
tiga kali kunyahan sirih,
lama ia tidak sadar,
kemudian, dipangku,
Ratna Ayu Ambarawati,
oleh Mas Arghapura.


11. Kemudian, Ambarwati sadar,
terengah-rengah,
menghembuskan nafasnya,
matanya segera terbuka,
kepalanya dipangku,
oleh Ratna Dewi Rengganis,
putri Ambarawati,
lalu duduk di bawah,
Ki Demat menciumnya,
yang dicium,
perlahan bertutur kata,
(9a) sekarang saya menurut.


12.Terserah Sang Ayu memperlakukan sekarang,
saya tidak menolak,
dengan kehendak hatimu,
lahir dan batin,
sekarang hamba mohon maaf,
Ratna Rengganis menjawab,
ya, adik katakanlah Sadat,
Mas Ayu hendaklah memohon,
kepada Tuhan Yang Esa,


datan meling ring ragane,
ingusap sang Ayu,
wadanane Ambarawati,
sangĕn denya kantaka,
tri pangliwĕdan sampun,
lamina nora ilinga,
dan pinangku,
Ratnayu Ambarawati,
dening Mas Arghapura.


11. Nulya nglilir Ni Ambarawati,
sargu-sargu,
anguncal pambĕkan,
sigra mlekang netrane,
sirah ira pinangku,
dening ratna Dewi Rĕngganis,
putri Ambarawati,
misĕr nulya lungguh,
Ki Dĕmat angaras saddha,
kang ingaras,
andabdha wacana aris,
mangkin hamba angiringa.


12. Sadera angreh Sang Ayu mangkin,
tan lĕnggana,
ring kayun andika,
lahir tumkeng battine,
mangkin kahulu anuhun,
anawurin Ratna Rĕngganis,
lah yyayi angucap Sadat,
hestukĕn Mas Ayu
maring ngalah kang sununggal, [ 35 ]29

sebagai saksi,
menghadap Nabi Ibrahim,
utusan dari Tuhan.


13. Sang Dyah dari Nusantara bersiap-siap,
mengucapkan Sadat,
masuk Agama Islam,
ucapkan Tuhan yang sesungguhnya,
yang menyaksikan setiap saat,
kepada Tuhan Yang Esa,
Sang Dyah mempersiapkan diri
masuk agama yang luhur,
Sang Putri dari Nusantara,
kemudian, bersiap-siap,
bersama pengasuh dan dayangnya menghadap,
disertai pelayan pilihan.


14. Yang berada di dalam istana semua bangun,
menyambut kedatangan Sang Dyah berdua,
seluruhnya yang sedang berkumpul,
heran (dan) kagum memandang,
ke arah Ratna dewi Rengganis,
tampak cantik dan bijaksana,
semua para utusan,
seretak mengucapkan Sadat,
mempersiapkan diri,
masuk ke agama yang suci,


anyakseni,
marahing nabi Brahim,
utusaning Hyang Suksma.


13. Adan Sang Dyah haneng Nusontara,
ngucap Sadat,
manjing gama Islam,
ucap Allah sabnăre,
anyakșenin satuhuk,
maring Ngalah kang sanunggil,
Sang Dyah aņaņḍang himan,
manjang gama luhung
Sang Putri ing Nusontara,
nulya lĕnggah,
ĕmban lan inyane nangkil,
lan kadeyan sasĕliran.


14. Ing jero pura pan sami udani,
asewaka ring Dyah kalih ika,
yan ngasebhe sakabehe,
heran jĕngĕr andulu,
maring Ratna Dewi Rĕngganis,
ayu tur wicaksana,
saisining kadutan,
sadaya angucap Saddhat,
nandang himan,
manjing maring gama suci, [ 36 ]30

berdoa kepada Tuhan Yang Esa.

15. Ni Dewi Rengganis berkata
pelan,
wahai, adikku,
apa sebabnya kamu,
tetap jadi perawan,
tidak mempunyai suami,
Ambarawati menyembah,
ya, saya hambamu,
tidak mempunyai suami,
belum bisa menguasai diri,
tetapi banyak,
para ksatria dan bupati,
menyayangi hamba.

16. Hamba belum bemiat ber-
suami,
sebelum datang,
jodoh hamba,
kemudian, Ratna Rengganis
berkata,
Mas Mirah adikku,
serahkan saja dirimu itu adikku,
kakak mempunyai saudara,
berwajah sangat tampan,
tidak ada yang menyamai di selu-
ruh dunia,
(sangat) bijaksana,
rupanya sungguh menawan,
banyak orang jatuh cinta.

17. Siapa pun yang melihatnya
jatuh cinta,
namanya,


ngĕstokĕn nalah tunggal.

15. Alonabdha Ni Dewi Rĕng-
ganis,
arining wang,
paran marmi nira,
makşih taruni amukten,
datan andarbe kakung,
awot sĕmbah Ambarawati,
inggih mamin kawula,
tan adwe kakung,
durung waněh ngamong jwwa,
anging ngkattah,
satrya para bhupati,
amělampah kaula.

16. Kawula kitan arsa
alaki,
durung prapta,
jodoning kaula,
Ratna Rěngganis
awure,
Mas Mirah arin ingsun,
ikang laya kramma mas yyayi,
kakak aṇḍarbe sanak,
pkike kalangkung,
saungkab rat nora
sama,
wicakṣaṇa,
warṇane tuhu ngedanin,
makatah tambaning nglarā.

17. Si tuminghal ulangun
pawestri,
bisekane, [ 37 ]31

Raden Wiratmaja,
Ambarawati berkata,
siapa yang mempunyai anak itu,
dan dari mana asal negerinya,
Ni Mas dari Ngarghapura,
konon (dia) itu, [10a]
putra dari Sultan Arab,
yang bemama Raden Banjaran,
sekarang sedang ditinggalkan.

Raden Wiratmaja,
Ambarawati sawurin,
sapa ta andarbe sunū,
lan ring pundi ikang nĕgari,
Ni Mas ing Ngarghapura,
sawuse punika, [10a]
putra Sultan ing Arab,
Raden Banjaran sira,
mangkin kari tinilar.

18. Karena banyak yang pergi
berperang,
Raja Putra,
masih di Mukadam,
tertarik jika adinda sudah
melihat,
wajah Raja Sunu,
pasti adinda tidak mau
melayangkan pandangan,
kepada lelaki lain,
Sang Dyah merunduk,
mendengar pembicaraan
berita itu,
dalam hatinya Sang Dewi,
semoga tak sungguh-sungguh.

18. Deni ramane angĕndon
jurit,
Raja Putra,
kari ring Mukaddham,
yyayi bhaya yen wus
tumon,
ring warnane Raja Sunu,
meh tan arșa yyayi
ningalin,
maring lanang kang lyan,
Sang Dyah den tumungkul,
angrungu ikang pawrĕtha
amicara,
jroning galihe Sang Dewi,
mogha tan tulusakna.

19. Ni Ambarawati berkata pelan,
bagaimana selanjutnya,
ucapan Ratu Mas,
kepada Sang Raja Putra,
atau kakakku saja,
bersuamikan Raden Mantri,
Mas Arghapura tersenyum,
menjawab dengan lancang,
saya dengan Raja Putra,

19. Alon matur Ni Ambarawati,
kangkĕn paran,
aṇḍika Ratu Mas,
maring Sang Raja Putra,
atawaṇḍika masku,
alaknya mring raden Mantri,
mesĕm Mas Arghapura,
ngejiwat sumawur,
isun lawan Raja Putra, [ 38 ]sudah satu wadah,

diakui sehagai saudara kandung,

satu ibu dan bapak.


20. Den Aryya Mas Banjaran Sari,

ibu,

anak Kalenswara,

beristana di Kalenjali,

adinda Mas (kau) adikku,

jika kau bohong memberikan kabar [10b]

kepada beliau Mas Nyawa

bila tak sungguh tampan,

Raden Arya Repatmaja,

atau ada cacat sedikit pun,

saya berani bertanggung jawab.


21. Kehendak saya sekarang (hai) adikku,

saya mengajak,

adinda ke Mukadam,

agar adinda mengetahui prihadinya,

mengajak ikut,

supaya adinda melihat,

wajah Sang Raja Putra,

yang diajaknya herkata,

bila hamha pergi dari istana,

pasti akan terjadi,

kericuhan di sini,

seluruh rakyat dari Nusantara.


22. Tidak diketahui tiha-tiha datang

mereka yang mengaji,


wus abhaddha,

ngangkĕn sudara Widhii,

lwir tunggal yayah reṇa.


20. Den Aryya Mas Bañjaran Sari,

ibhunira,

putri Kalenswara,

Kalenjali nĕgarane,

yayi Mas arin ingsun,

yen sun linyok asung wrĕthi [10b]

mari sira Mas Nyawa,

yen tan hestu bagus,

utwyana codhane ika sadidhik,

sun purun katĕmpuhan.


21. Karșan ingsun mangke arin mami,

sun angajak,

yyayi ring Mukadham,

yyayi amung pribha dine,

ajakan milu,

supayane yyayi ningalin,

warṇane Sang Raja Putra,

sang liningan wuwus,

yen hamba kesah ring pura,

nora wangde,

kegegeran riki,

wadya ing Nusontara.


22. Tan sinipi kagyat tĕka kang ngaji. [ 39 ]33

karena kehilangan saudaranya,
Dewi Rengganis menyahut,
tidak ada yang mengetahui,
pergi berpisah secara
sembunyi-sembunyi,
tidak lama di Mukadam,
kemudian ia segera kembali,
kembali bukan pada siang hari,
Ratna Ayu Ambarawati berkata pelan,
kepada Sang Prabu dari Arab.


jamakane kaicalan sanak,
Dewi Rĕngganis sawura,
ajanana angawruh,
lunga kesah lampah
anilib,
tan lĕpihing Mukaddham,
tanulya glis wangsul,
wangsule tan karahinan,
alonabdha Rata Ayu
Ambarawati,
Sang Prabhu saking Ngarab.

23. Kedatangan dari jauh
ke sini untuk berperang,
berkemah di sebelah utara
[11a] sungai,
Ratna Rengganis berkata,
beliau itu mempunyai putra,
pada Raden Banjaran Sari,
yang menguasai Nusantara,
adikku sebabnya saya,
datang ke sini membantunya,
pertempuran beliau,
sultan penguasa dari Nusantara,
di bawah ini akan digunakan
(tembang) durma.


23. Ika prapteng riki
angĕndon jurit,
masanggahan ring loring
[11a] bngawwan,
Ratna Rĕngganis sawure,
punika adrabe suṇū
maring Raden Bañjaran Sari,
kang amarĕp Nusontara,
yyayi marman ingsun,
prapteng riki angimbanga,
yuda nira,
sultan arĕp Nusontara,
sapa dhurma
kasoran.

PUH ATHAS

1. Ketika di timur mulai
memerah sang raja dari
Nusantara,
menyuruh menyanyi dengan
menabuh,

1. Bhangbhang wetan sang
prabhu i Nusontara,
ngandikeng nabuh gĕgĕn
ding, [ 40 ]34

sangat ramai dan bergema,
keadaan negara simpangsiur,
semua rakyat menjadi gempar
membawa senjata,
para pembesar punggawa
dan menteri.

2. Serta para raja bersama
prajurit berbusana lengkap,
membawa keris dengan
perhiasan indah,
setengah membawa keris,
dan yang setengah membawa
tombak,
berpakaian berbapang,
yang lain berbapang dengan
senjata api penuh peluru.

3. Tak bedanya pohon gelagah
di pinggir sungai,
suara kuda dan gajah,
disertai suara detakan roda
kereta,
menyebabkan bumi penuh sesak,
raja dari Nusantara,
nama keretanya,
Wilmana yang termulia.

4. Senjata bindi beruaskan
permata [11b],
lalu sang Raja keluar,
duduk di tempat persidangan,
melakukan rapat bersama
prajuritnya,
ikut serta Raja Madayin,

umungkang tanguran,
orĕg punang nĕgara,
kagegeran wadya sami,
anambut gagaman,
sagung punggawa lan
mantri.

2. Lan praratu prajurit
samya busana,
adanganan
gurantim,
sawaneh adanganan,
paro sawnĕh su-
la,
akulambi asĕsimping,
sawneh bhapang keh
wawos lan bĕdil.

3. Datan pendah glagah
pinggir palahar,
gĕntaning kuda aṣṭi,
pangriking turng-
ga,
kadi orĕg kang pratala,
prabhu ing Nusontara,
wasta wahana,
Wilmana ikang rĕtwih.

4. Sanjatane biṇḍi pinontang
ratna [11b],
mdhal śri narapati,
malinggih i paseban,
sineba dening
wanya,
sarĕng lan prabhu Madayin, [ 41 ]35
duduk berdampingan,
di kursi emas.

linggih ajajar,
haneng palangkan rukmi.

5. Tiba-tiba bersinar kewibawaan
Sanghyang Nilaba,
kedua raja bubar,
keluar ke halaman istana,
ingin menghadapi pertempuran,
diikuti oleh pasukan rakyat,
berduyun-duyun dari rumahnya,
seperti petir tanpa hujan.

5. Dab gumladog prabawan
Sanghyang Nilaba,
bhubar sang prabhu kalih,
ndal jawining kuta,
isti amagut yudha,
lakuning wadya angiring,
ngradheging kisma,
guntur tan pamawa riris.

6. Suara gamelan hiruk
pikuk,
seperti memecah telinga,
Sang Raja Nursiwan,
menuggangi kuda putih,
sang raja dari Nusantara,
menaiki kereta,
siap sedia memegang (senjata)
bindi.

6.Askurab umung swaraning
gamlan,
kadi amcah koping,
Sang Prabhu Nurśiwan,
wahana kudha ptak,
sang prabu ing Nusontara,
nithih wilmana,
jatmika angagem
biṇḍi.

7. Setelah tiba di perbatasan
medan,
perang pasukan dipersiapkan,
orang Arab melihat,
bahwa musuh telah datang,
segera memukul gong dan beri,
mengambil senjata,
siap melakukan pertempuran.

7. Sampun prapta ring
tpining arah-arah,
śigra anathah baris,
wong Arab tumingal,
punan msĕh wus prapta,
śigra anabuh gong beri,
nambut gagaman,
sayaga amagut jurit.

8. Mereka simpang-siur keluar dari
perkemahan,
pasukannya dipersiapkan,
berada di perbatasan,

8. Garawalan mdal saking
pasanggrahan,
śigra anatah baris,
haneng arah-arah, [ 42 ]36
semuanya sudah siap sedia [12a],
paling depan pasukan bersenjata api,
(mereka) saling mendekat,
kemudian, menghadap ke belakang.

sampun ayun-ayunan [12a],
bdhil kang mungguh
ing ngarsi,
paran pinaranan,
anulya ngarěp mungkurin.

PUH UNTAT
1. Suara bedil seperti pohon
gelagah terbakar,
(sangat) ramai saling
menembak,
asap yang tebal itu,
menyebabkan gelap seperti
tengah malam,
di Jamparing tak ada bedanya,
seperti hujan gerimis dan
angin ribut
tembakan peluru seperti hujan,
tak bedanya dengan hujan api.

1. Munining bdhil kadi glagah katunwan,
rame bdil-binědil,
kukus ikang sundawa iku,
ptěng lwir tngah
wěngya,
kang Jemparing tan pendah riris anglinus,
mimis bdhil lwir udan,
tan pendhah udan aghni.

2. Seluruh prajurit saling
menembak,
dan mayat-mayat bergelimpangan darah, seperti lautan,
senjata tameng yang bergeletakan itu,
mengapug di atas darah,
bangkai kuda dan gajah itu,
bertumpuk berjejal-jejal,
seperti jurang curam di pegunungan.

2. Long-linongan sakwehing bala,
mwang pranata ludira
kadi pasir,
wawos tameng kantar
iku,
akumambang ikang rah,
wangkening kudha lan astiku,
atumpang-tumpang lulunan,
lwir pangkung jaladri. [ 43 ]37

3. Jeritan orang sangat
ramai,
gugur tertelan dalam pertempuran yang sengit,
sorak-sorai seperti suara
ombak pasang,
rakyat mukmin dan Kupar,
semua pemberani dalam
berperang,
pertempuran kemudian terhenti,
karena hari telah malam.

3. Agurnita pangadhuning
wwang,
kang kacuma ambah
ramening jurit,
surak lwir ampuhan
iku,
wadya Mukmin dan Kupār,
sami sura tingkahing
pangadhun ipun,
araryyan punang yudha,
dening kasaputing wngi.

4. Tanda mundur dari medan perang
( segera) dibunyikan,
oleh prajurit Puser Bumi,
pergi menuju perkemahan itu,
dan prajurit dari Nusantara,
semua mtmdur [12b],
sudah kembali ke negaranya,
dan Raja Nursiwan,
serta Raja Nusontari.

4. Nabuh těngran muṇḍuring
raṇā,
doning wadya Pusĕr Bhumi,
maring pasanggrahan iku,
mwang wadya ing Nusontara,
mundur samya [12b]
mantuk ring něgara sampun,
mwah Prabhu Nursiwan,
lan Prabhu Nusontari.

5. Keduanya berada,
di persidangan bersama para
raja menteri dan prajurit,
mereka ikut membicarakan
pertempuran itu,
Patih Maktal berkata,
jika dikalahkan saya pulang
dan besok akan pergi,
dari ikatan itu,
saya merasa sangat menderita.

5. Sinewaka kalihira,
ing manguntur ratu
mantri prajurit,
sami gumen uudhaneku,
mojar sira patih Maktal,
yen kaworan mantuk
sun eñjing umtu,
kna ika kang kabasta,
ingsun anglaran-laranin.

6. Saya dihukum di neraka,
saya sabar ditertawai para
menteri,

6. Sun lĕbokna ing koñcara,
ikang abra sun poguyuning
mantri, [ 44 ]38
makanan segera datang untuknya,
membanjir dati dalam istana,
lalu, semuanya makan bersukaria,
tidak diceritakan makanan
dan minumannya,
disertai suara merdu gamelan
mengalun.

śigra prapta tadhah sireku,
lumintu saking jro pura,
nulyan raris akasukan
samyan iku,
tan kawarṇa bogha
drawina,
gamĕlan munyang rarĕ-
ngih.

7. Arak yang dikeraskan dan
bendera,
selain itu, ada arak api,
arak ermas dan anggur,
berem disajikan keliling,
semua gadis menyenangkan
hati,
paling depan tempat duduk
sang raja,
raja dari Nusantara.

7. Arak ginĕweng Ian
bañcera,
siyos ada arak api
arak ermas mwang anggur,
brĕm saji maidĕran,
parawan samya angenakin
kayun,
ayun tang raris ida
sang natha,
sang prabhu ing Nusontara.

8. Raja Nusantara berkata,
kepada sang Raja Nursiwan,
ya, tuanku raja,
hamba memberitahukan besok
(hamba) pergi, [13a]
melakukan penyerangan,
janganlah mengandalkan rakyat
banyak itu,
mereka hanya memberikan
semangat bersorak-sorai,
hamba ingin melawan Amir.

8. Śri Nusontara matura,
ring Prabhu Nurśiwwan,
sang ngaji,
atur kaula eñjing
mtu, [13a]
amaguting punang yudha,
aywa ngadu kang bala
akeh punika,
kewala asurak wingking
samma,
arșa kaula nglawan Amir.

9. Raja Nursiwan segera merangkulnya,
seraya berkata kepada Raja

9. Śigra ngrangkul prabhu
Nurśiwan,
anabdha ring Śri Nuson[ 45 ]39

Nusantara,
tuanku raja yang aku muliakan
itu,
ingatlah pesan saya,
hila semua perjuangan
itu berhasil,
terkalahkan tuan Amsyah,
sangat besar harapan kami.

tari,
bapaku mas bapa
iku,
ilingĕn ujar ingwang,
lamun sadya ĕntas ikang
kardhi iku,
kalah pun nira Amsyah,
agung yan gandaran mami.

10. Bersatu kepada beliau,
sang raja Nusantara,
segera bersujud mencium kaki,
kepada sang Raja Nursiwan,
janganlah kau khawatir
dengan sang raja,
menghadap beliau si Amir
Ramsyah,
Prisasatya sudah menemui
ajalnya.

10. Amawongan maring sira,
sang prabhu Nusontara,
sujud ngaras padhanyup,
ring sang prabhu Nurśiwan,
sampun dewa walang galih
ta sang prabhu,
marĕp pun Amir Ram-
syah,
Prisasatya wus
angmasin.

11. Tidak diceritakan malam
harinya,
keesokannya memukul gong
beri,
suara gamelan sangat gemuruh,
semua prajurit sudah siap
siaga,
para raja, punggawa, dan
panglima serempak,
mengiring sang Raja Grigan,
akan melakukan pertempuran.

11. Tan kawarna ikang
latrya,
wus eñjang nabuh gong
beri,
rame kang gamelan humung,
wadya sami sampun
sayagha,
ratu punggawa pramañca
pakha babriyuk,
ngiring sang natha Grigan,
bipraya amagut jurit.

12. Raja Nusantara segera bubar,
bersama-sama Raja Mdayin,
sudah keluar halaman istana,

12. Śigra bhubar prabu Nusontara,
lawan sang prabhu Mdayin,
mdal jawi kuṭa sampun, [ 46 ]40

senjata Nusantara,
jika dipandang tampak [13b],
seperti gunung buga,
setelah tiba di tegalan kembar,
mereka segera menata barisan.

sañjata Nusontara,
yan tinonton [13b],
lwir gunung sari iku,
papta ring tgal kĕmbar.
śigra anatah baris.

13. Prajurit Mekah dengan jelas
melihat,
itu musuh yang datang,
membunyikan tanda,
semua memukul gamelan,
prajurit dari orang-orang
Puser Bumi,
maju ke medan perang,
kemudian mempersiapkan
pasukan.

13. Wadya Mkah pdas ira
tumingal,
msĕh ika kang prapti,
anabuh tngĕran iku,
samya nabuh gagamĕlan,
prajurit ri wong Pusĕr
Bhumi iku,
mdhal ring raiṇa pabratan,
anulya anathah
baris.

14. Sorak-sorai silih berganti
prajurit Islam bersama kafir,
bagaikan bergoncang bumi itu,
prajurit Nusantara,
bersiap-siap seperti singa
buas,
mendahului di depan pasukan,
mereka bersama-sama memper-
mainkan kudanya.

14. Humung surak tinimbalan,
wadya Slam kalawan Kapir,
kadi robah jagat iku,
prajurit Nusontara,
tandang-tandang kadi
singha lodra iku,
marahing ngarsaṇing bala,
sama molahakĕ
waji.

15. Raja Kendit mengendarai
kereta,
bila dilihat diresapkan
dalam hati,
di saat mengubah wujud,
seperti Detya Kawaca,
bersuara keras sikapnya
menakutkan.

15. Prabhu Kĕndit nithihing
wilmana,
yan tinonton angrĕs
ing ati,
yen mañjuthi rnpa iku,
kadhi detya Kawaca,
angrak-angrik tandange
anguwus awuh, [ 47 ]41

sang Raja sesumbar berkata,
dengan saksama memegang
senjata bindi.

asumbar-sumbar śri narendra,
jatmika angagĕm
miṇḍi.

16. Minta bertanmg di medan
tempur,
melawan yang bemama Amir,
berapa banyak tentara itu
suruh segera keluar,
janganlah orang lain diberi
menandingi aku yang melawan,
tidak mulia ucapan orang,
bermusuhan dengan kami [14a]

16. Ring pabratan mintak
lawan,
mring endi kang ingaran Amir,
amung wadya ta sireku
mtu sikoden enggal,
aywa wong lyan amagut
ingsun acucuh,
tan suma pala ingwang,
amusuh maring kami [14a]

PUH TGEH

1. Raja Mur Sedah sangat
marah mendengar,
perkataannya seperti
terputus-putus,
tangannya gemetaran,
giginya menggerutu,
bibirnya tampak bergerak-gerak,
berkata sambil bersujud,
kepada istri Sultan.

1. Raja Mur Sdhah bramantyan
miyarșā,
kalingan lwir sinebit,
gĕgĕparan tangan,
agathik punang waja,
kumadog padhuning
lathi,
matur anĕmbah,
maring prayatna sira yyayi.

2. Raja Mur Sedah mencium kaki
mohon pamit,
sang Jayengpati seraya berkata,
adikku sebenarnya,
pertempuran kafir lanat,
saya serahkan kepada

2. Ngaras padha amit Raja
Mur Sdhah,
ngandika Jayengpati,
yyayi patutaņa,
yudhane Kapir Lanat,
sun srahakĕn ring Hyang [ 48 ]Tuhan,
janganlah tergesa-gesa,
agar kamu selalu waspada.

Widhi, undmuren
aja pepeka,
den prayatna sira yyayi.


3. Raja Mur Sedah segera
menunggang kuda,
beliau dilihatnya bersiap-siap,
memacu kuda,
oleh musuh di medan laga,
kemudian segera dihampiri,
dengan kereta,
kuda berlari agak miring.


3. Raja Mur Sdhah sigra
anitih turangga,
adan ira den tininggal,
anyamethi kuda,
msah tngahing pabratan,
sigra mangkya apěpanggih,
lawan wilmana,
kudha atangkeb miring.


4. Raja Kendit Birayung segera
menyapa,
hai, kamukah yang bernama
Amir,
bila kamu orang lain,
mundurlah dengan cepat,
kaubiarkan musuh kami,
aku tidak berhasil,
telah lama aku tunggu,
dan tak sabar lagi.


4. Raja Kěndit Birayung
asruh atakona,
sik kang aran
Amir,
lamun wong lyan,
mundur siko den enggal,
nora layan musuh mami,
tan sun mapala,
ngong swa amijet
rathi.


5. Sang Raja Mur Sedah segera
berkata,
(saya) bukan sultan dari Arab,
saya dari Kopah, [14b],
bernama raja Mur Sedah,
Sultan dari Arab,
biasanya suka mencium,
dan dipercayai,
pantaslah disidangkan di istana.


5. Abruh Mojar sira Sang
Raja Mur Sdhah,
dhudhu Sultan Arabi,
isun saking Kopah [14b]
aran Raja Mur Sdhah,
Sultan dari Arab,
ulucambu Sultan Arabi,
lan pinarcaya,
wsang ta seba puri.

6. Raja Kendit Birayung


6. Prabhu Kěndit Birayung [ 49 ]43
berkata dan menuding,
hai, Mur Sedah kau anjing,
sangat loba memaksa dan
lancang,
bukanlah musuhku,
ya, pukullah aku lebih dahulu,
Raja Mr Sedah menjawab,
sambil menuding.

tur anudhinga,
eh Mur Sdhah ko añjing,
momo pakśa lañcang,
dhudhu musuh manira,
lan rawěddhěn sun karihin,
Raja Mur Shah nawurin anuding.

7. Prajurit Mekah tak mempunyai
kesopanan,
jika didahului memukul,
hai, kau kafir lanat,
dahuluilah memukul,
jika tidak lengkap dari,
ketiga pimpinannya,
tidak pantas aku membalasnya.

7. Noranana carane prajurit
Měkah
yen angadha karihin,
siko Kapir Lanat,
rumuhun angadhaha
lamun tan jangkěp ing
ktri pengaṇḍa nira
tan wĕnang sun malěsi.

8. Raja Kendit Birayung segera
menudingnya,
hai, Jadah hati-hatilah sekarang,
janganlah lalai,
aku tidak menggunakan gada,
ini lubang bendi,
sekarang kamu Mur Sedah,
agar sabar menantikan.

8. Prabhu Kěndit Birayung
aśruh anudinga,
eh jadah yatna mangikin,
aywa tan pepeka,
nora sun ngadhu gadha,
iki salěngěn bindi,
mangke Mur Sdhah,
den wat ngati-yathi.

9. Mur Sedah berkata ya, segeralah lakukan,
menggunakan perlindungan
paresi,
Raja Nusantara,
memukul dengan baja,
sang Raja Mur Sedah
dengan bendi,

9. Nawurin Mur Sdhah lah
age trapakna,
akudunging paresi,
prabhu Nusontara,
anibak saking wwaja,
sang Raja Mur Sdhah
dening běṇḍi, [ 50 ]44

karena kerasnya,
bendi terbentur paresi,

10. Bagaikan petir bersinar
mengeluarkan api,
memancar [l5a] dari baja,
sang Raja Mur Sedah,
mati jatuh ke tanah,
disoraki prajurit kafir,
mereka dengan leluasa,
segera merebut rajanya.

11. Segera disingkirkan dan
mundur dari medan perang,
Sang Raja Nusantara,
memacu keretanya,
bersorak-sorai sesumbar,
mana yang bernama Amir,
ya, majulah,
musuhmu lawan berperang.

12. Jika orang lain tidak mampu
memerangi aku,
kemudian, Raja Mukaji,
gembira mendengarkan,
menghadap Sultan Arab,
mencium kaki mohon permisi,
Sang Jayeng Payasan,
lalu segera berkata,

13 . Adikku ya, pergilah kamu
ke medan perang,
aku serahkan kepada Tuhan,
adikku waspadalah,
janganlah lalai,

saking kowatnya,
bendi tibeng paresi.

10. Kadhi glap mĕdal gěni
mucirat,
aniba [15a] saking wwaji,
sang Raja Mur Shdah,
kantaka nibeng kisma,
sinuraking wadya Kapir,
sarsěng ngira,
angrěbut ratunya glis.

11. Ginosongan mundur
saking dhilagha,
Sang Prabhu Nusontara,
amolah wilmana,
anguwuh asumbar-sumbar,
ndi aran kang pun Amir,
lah tumandanga,
mseh manira ajurit.

12. Yan wong lyan tan sapala
magut ingwang,
mangke raja Mukaji,
bingar amyarsa,
marek maring sultan Arab,
ngaras padha atur pamit,
Jayeng Payasan,
ngandika wacana aris.

13. Arin ingsun lah magut
yudha,
sun srahing Hyang Widhi,
yyayi den preyatna,
poma aja pepeka, [ 51 ]45
Sang Raja Mukaji mohon
pamit,
kemudian, menaiki kereta,
berkuda hitam sangat bagus.

amit Sang Raja Mukaji,
munggaheng wahana,
kuda irěng angrawit.

14. Memutar gada dan tameng
besinya berbelalai,
kuda lari dipacu agak miring,
bisa berlari dengan kencang,
kemudian, diliha1nya musuh
di medan perang,
di situ kemudian [15b]
ditemukan,
dengan kereta,
Sang Raja Nusantara.

14. Mutěr gadha parise
nira malela,
kudane tangkěb miring,
bisa ngijik niklang,
msěh maring pabratan,
anulya mangke [15b]
kapanggih,
lawan wilmana,
Sang Prabhu Nusontara.

15. Tidak dilihat yang sedang
melakukan pertempuran,
terlihat Raja Mukaji,
semangat menyerang,
Sang Raja Nusantara,
berkata lancang sambil
menuding,
raja sisa-sisanya,
hai, anjing kamu Mukaji.

15. Dan tuminggal maring
sang magut yudha,
kuton Raja Mukaji,
pakșa amapaga,
Sang Raja Nusontara,
anabdha aśruh
manuding,
sișaning raja siko
anjing Mukaji.

16. Karena kamu belum kalah
kedua kalinya,
sedikit pun tidak merasa
malu,
tidak punya rasa kasihan,
meninggalkan agama keturunan,
dari para buyutmu jaman
dahulu,
agamanya dari Iklab,
sekarang kamu tinggalkan.

16. Panora durung picundang
ping rwa
nora merang sědi-
dih,
nora kumanmatha,
tilar gama tamayan,
saking buyut nireng
nguni,
gamaning Iklab,
manke sing ko nolaring. [ 52 ]46

17. Tak berguna dan sangat
hina menentang darma,
diislamkan oleh kafir,
sudah dikalahkan satu kali,
sekarang perjanjian yang kedua kali,
ya, segeralah kamu mundur,
begitulah seharusnya,
sebagai musuh yang sudah kalah.


18. Amir Amsyah yang disuruh melawan aku,
Raja Mukaji berkata,
sangat mudah berbicara sembarangan,
percuma berperang dengan sultan,
sultan dari Arab terlalu kuat,
jika masih hancur lebur,
prajurit Puser Bumi.


19. Kamu tidak mungkin bertempur dengan sultan [16a],
bila aku masik hidup,
saya pribadi,
sebagai musuh tandinganmu,
aku tidak menerimanya,
kedatangan Lanat Kapar,
sampaikanlah maksudnya.


20. Raja Kendit Birayung terkejut,
lalu segera mempersiapkan bindi,


17. Tan paguna hinaning
anista dammā,
sinlam dening Kapir,
picundang sapisan,
mangke janji ping rwa,
lah mundur siko den aglis,
nanarma nira,
sasat musuh ing kocci.


18. Amir Amsyah konen
amagut manira,
angling Raja Mukaji,
gampang tmen kupar,
kudhu yudha lan Sultan,
wingid Sultaning Ngarabi,
yen masih gaěng,
prajurit Pusěr Bumi.


19. Norakna ayudh siko lan Sultan [16a],
yen sun masih urip,
pribadi manira,
msěh mu atakěran,
manira nora yaddhi,
mring Lanat Kapar,
tkakna ing kapti.


20. Raja Kěndit Birayung kabangan,
sigra dandantara biniṇḍi, [ 53 ]47
Raja Mukadam,
menggunakan penangkal
hahaya,
bindi berbenturan dengan
parasi,
entah dari mana kekuatannya,
segera ditolak dengan parasi.

21 . Dipukulnya ke hawah dengan
bindi lalu jatuh di punggung
kuda,
patah menjadi dua,
Sang Raja Mukadam,
melepaskan senjata pidhara,
berputar jatuh ke tanah,
segera direbut,
oleh lawannya lalu mundur.

22. Disoraki oleh prajurit
kupar,
Sang Raja Nusantara,
memacu keretanya,
dan merasa terdesak,
hendak mundur dari peperangan,
belum ada yang kalah
berperang,
karena hari telah malam.

23. Lalu, dibunyikan tanda
mundur dari pertempuran,
senjata dikembalikan
kepada istrinya,
di perkemahan,
senjata dari Nusantara,

sang natha Mukadam,
akudhung bodha
bhaya,
kapyuk biṇḍi lan
paresi,
saking pundi kwatnya,
sigra punang paresi.

21. Minsor biniṇḍi tiba
ring gigiring
kudha,
tagĕl dadi kakalih,
Sang Natha Mukadam,
anibaka pidhara,
gumuling marahing sithi,
rinbut sigra,
dening reñcang munduri.

22. Sinurakan dening wadyaning kupar,
Sang Prabhu Nusontara
amolah wilmana,
sarwi asěgak-sěgak
mundura saking
palopi,
sapih kang
yudha,
dening kasaputing wngi.

23. Dan tinabuh kangran
mundur ring raṇa,
mantuk sěñjateng
angrabi,
maring pasanggrahan,
sañjateng Nusontara, [ 54 ]sudah kembali ke negaranya.

prajurit Mekah,

kewalahan karena kekurangan tentara.


24. Kewibawaan [16b] dan keadaan negara Pramodita,

Umur Maya berkata,

sungguh-sungguh (seperti) setan,

bangga dengan minuman,

kebiasaan mereka dalam pertempuran,

gila akan kemenangan,

sating membunuh.


25. Di mana kekuatan orang melakukan pertempuran,

sama-sama berat memikirkan,

Sang Raja Nursiwan,

jika melindungi sahabatnya,

semangatnya luar biasa,

bila merasa kalah,

berlari menutup telinga.


26. Semoga ada karunia dari penguasa alam,

untuk mengalahkan lanat kafir,

jika mundur mereka maju,

tidak akan ada membunuh,

siang malam akan kesengsaraan,

(seperti) di dalam penjara.

aku siksa sedikit demi sedikit.


wus mantuk maring něgěri,

prajurit Měkah,

tuna kapěsan jurit.


24. Kabinawwa [16b] haneng jagat Pramoditha,

Umur Maya anawurin,

bableh tuhu sethan,

ajun maring mpah,

jamakin wong ngabět jurit,

kang bagya mnang,

amati pinatening.


25. Eṇḍi utuh wong ngabet yuddha,

sama abot ketengi,

Sang Prabhu Nursiwan,

yen ngungkuling srayanya,

bungahe tan sinipi,

lamun kasoran,

malayu sipat koping.


26. Mogha hana sih hyang dewa amurbeng alam,

kasoran Lanat Kapir,

yen kělěděn mětwa,

nora sun da mjah hana,

syang dalun larani,

jroning koñjara,

sun gětok jiwil-jiwil. [ 55 ]27. Timah cair aku tuangkan dalam mulutnya,

Jayengpati berkata,

kakak seperti orang gila,

kata-katamu keterlaluan,

Raja Nusantara belum dapat ditaklukan,

jangan terlalu banyak bicara,

menyebut yang bukan-bukan.


28. Semua prajuritnya membicarakan pertempuran,

Raja Madhayin berkata,

ayah aku menghormatimu ayah,

putra Raja Nusantara [17a],

Amsyah sedang terdesak di medan laga,

janganlah berhenti,

besok diserang lagi.


29. Kebetulan masih ada anugerah dari Dewa Guru,

Amsyah dengan tergesa-gesa mohon diri,

Raja Nusantara,

berkata sambil bergurau,

kepada Raja Madayin,

kalau besok,

masih juga si Amir.


30. Semua prajuritku akan mencannya,

tidak berarti tantangan Amir Amsyah,

karena kemarahan yang


27. Timah añjur sun turuhi ke cangkĕm ira,

ngandika Jayengpati,

kakang lwir wong ngedan,

tabuh den winicara,

durung kalah Nusontari,

kakehan ujar,

pati sambat-sambatin.


28. Lan prajurit prasamya aguněm yuddha,

angling Prabhu Madhayin,

bhapa masku bhapa,

anak Prabhu Nusontara [17a].

mungpung Amsyah kapěs jurit,

aywa rarena,

eñjang malih pagutin.


29. Mungpung hana sih ira bhatara Gurwa,

děpon Amsyah glis mitta,

Prabhu Nusontara,

winor guyu maturā,

maring sang prabhu Mdhayin,

añjang kewala,

kantĕn juga pun Amir.


30. Saĕnggone kaula ngulatana,

tan sapalang runtikin ikang ngaran Amsyah,

murka apan [ 56 ]memuncak,

seperti daging kering menantang api,

dia, Amir Amsyah,

tak bedanya dengan pohon candung.


31. Percuma saja sekali jemput masih kurang,

para menteri serentak tertawa,

makanan segera akan tiba,

berbaris dari istana,

kemudian bersenang-senang,

makan dan minum,

disertai gamelan bersuara mengalun.


32. Bagaikan goncang di negara Nusantara,

semua makan sambil bersenang-senang,

para tentara dan punggawa,

pejabat tinggi Nusantara

ikut serta para menteri Madayin,

raja Nursiwan, [17b]

dan Raja Nusantara.


33. Konon kakaknya diberi tempat duduk di atas,

dan adiknya di bawah,

Ki Malang Sumirang,

serta Srapabhumya,

setelah semuanya datang menghadap,

yang duduk paling depan,

sang Raja Nusantara.


salañcang,

kadhi dendeng nantang gni,

pun Amir Amsyah,

tan pendah lumbu sawwit.


31. Tan sapala jumput sapisan kirangan,

sumyok guyuning mantri

sigra tadah prapta,

lumintu saking pura,

nulya akasukan sami,

boga drawina,

gamlan munya angṛěṛěngih.


32. Kadya orěg nagara ing Nusontara,

eca samya amukti,

prajurit punggawa

prěyogya Nusontara,

sarěng lan mantri Mdhayin,

prabhu Nursiwwan, [17b]

lan prabhu Nusontara.


33. Punang raka ring tawang nulya siněngan,

lan arine ring sithi,

Ki Malang Sumirang,

kalih lan Srapabhumya,

wus rawuh samya anangkil,

munggweng ayunan,

sang Prabhu Nusontara. [ 57 ]34. Ki Patih Baktak bersujud sambil berkata,
ya, penjelasan hamba tuanku Raja,
kekuatan orang Mekah,
jika masih Ki Umarmaya,
sesungguhnya tidak mau kalah,
itu sebabnya,
karenanya taktik perang melingkar.


35. Walaupun terdesak dalam
perang, dia tidak kewalahan,
terutama Ki Umarmaya,
bentengnya Amsyah,
bukan hanya dua dan tiga,
jika di kemudian hari ada lagi,
Ki Umarmaya,
Amir sungguh-sungguh dikalahkan.


36. Sesungguhnya orang-orang
Mekah tidak mau bergerak,
jika Umarmaya ini masih,
penyerangan Amsyah sesungguhnya tak akan kalah,
dia itulah yang diandalkan,
sakti (dan) banyak punya siasat,
I Jrat dari Kakendi.


37. Raja Kendit Birayung [18a],
dengan pelan menjawab,
gampang bila hanya satu,
tunduk oleh seseorang,
Sumirang mempunyai banyak


34. Awot sembah matur Ki Patih Baktak,
atur kawula Gusti,
nyalene wong Mkah,
yen kari Ki Umarmaya,
saywaktine nora gingsir,
mapan punika,
tataheng ali-ali.


35. Yadyan kapěs yudane boya kewuhan,
Ki Umarmaya ugi,
glare pun Amsyah,
boya roro tatiga,
yan hana-hana ring enjing,
Ki Umarmaya,
ywakti kasoran Amir.


36. Sawong Mkah ywaktine tan papolah,
yan kari Marmayeki,
udhane pun Amsyah
ywaktine boyo kalah,
anděle punika ugi,
sakti wiweka,
I Jrat saking Kakendi.


37. Raja Kendit Birayung [18a]
alon sumahura,
gampang to satunggal,
res dening sakakang,
Sumirang dwe [ 58 ]siasat,
walaupun I Umarmaya sakti,
pandai dan banyak siasat,
tak akan lepas tangannya,
disilangkan ikat di belakang.


38. Ki Patih Jaladara sembah
sujud,
ya, hamba tuanku raja,
hamba jelas mendengarnya,
ada yang dari Ngalal,
prajurit muda sangat tampan,
bernama I Maktal,
yang disegani oleh Amir.


39. Jika nanti dijumpai dalam
peperangan,
hamba tak akan membunuhnya,
yang bernama Maktal,
Patih Breha Mandaha,
seandainya dia masih hidup,
nanti di kemudian hari,
pantas dinobatkan sebagai
menteri.


40. Keadaan itu mengundang
gelak tawa para punggawa
dan menteri,
raja dari Madayin,
amat senang mendengar,
kata-kata menteri dan punggawa,
beliau sambil berdandan
kedua tangan,
dan berkata dengan pelan,
hai, putra raja Nusantara.


karya,
nadya I Umarmaya sakti,
prajnyan miweka,
nora wangde kacangkling.


38. Awot sembah Ki Patih
Jaladara,
pukulun ta dewa aji,
patik sramyarşa,
wenten kang Ngalal,
prajurit anom apkik,
aran I Maktal,
kinasihaning Amir.


39. Yan kacunduk benjang
hana ring palagan,
boya hamba amjahi,
ikang ngaran Maktal,
patik Breha Mandaha,
dimone ya kari urip,
ring benjang-benjang,
sdhěng ginawe
mantri.


40. Ngawa rebah guyuning
mantri pūnggawā,
sang prabhu ing Madhayin,
ingar amyarsa,
sabdaning mantri punggawa,
sarwi ngěmbat asta
kalih,
alon angandika,
anak prabhu Nusontara. [ 59 ]41. Ya, ayah junjunganku,
jika Amir Amsyah mati,
serahkan Marpintu kepadaku,
kepada beliau Mas Nyawa,
orang-orang Madayin dan
Mekah, [18b]
mereka ini diserahkan
kepadaku,
aku memintanya,
agar ditempatkan di Madayin.


42 Ayah junjunganku yang
memimpin para prajurit,
orang-orang Mekah dan Madayin,
Raja Nusantara,
sangat senang mendengar,
seluruh menteri dan punggawa,
semua berhias,
menggunakan busana pilihan.


43. Menteri Madayin (dan) menteri
dari Nusantara,
semua sudah selesai dihias,
tidak ketinggalan,
Raja Nusantara,
dan Raja Madayin,
menyatakan cinta kasihnya,
menyampaikan dukungannya
kepada para menteri.


41. Masku bapa yen pjah,
Amir Amsyah,
Marpintu sun srahin,
maring sira Mas Nyawwa,
wong Madayin lan Mekah, [18b]
sun srahaken
sireki,
ingsun anglungsura,
angastana ring Mdhayin.


42. Masku bhapa marentah
punang bhala,
wong Mkah lan Madhayin,
prabhu Nusontara,
lintang tuṣṭa amyaṣa,
sakehing pūnggawā mantri,
samya dinadar,
dening buṣaṇa adhi.


43. Mantri Mdhayin mantri
ing Nusontara,
sami wus dinadarin,
nora kaliwatan,
sang prabhu Nusontara,
miwah sang prabhu Madayin,
anggawe trĕṣṇa,
swaraṇḍanāning mantri. [ 60 ]PUH SMA

1. Tidak diceritakan pada
malam harinya.
setelah menjelang pagi
dibunyikan terompet,
bersiap-siap memenuhi
medan pertempuran,
seluruh prajurit Nusantara,
sudah semua memahami
tugasnya,
siap siaga dengan senjata,
I Tumenggung Jaladara.


2. Diiring oleh prajurit,
(dipimpin) oleh Tumeng-
gung Jaladara,
menunggangi kuda (tampak)
seperti barong,
Jatmika memegang gada,
memakai penangkal berukir,
[19a] berbendera merah
berkilauan,
Jatmika memakai payung
kembar.


3. Gong (dan) beri dipukul
suaranya gemuruh,
diikuti oleh (bunyi) gamelan
lain,
berjalan sambil bernyanyi,
setelah tiba di perbatasan,
kemudian menata pasukan,
menghadap ke utara barisannya,


1. Dahat kawarṇi ing
latri,
eñjang hanabuh tangguran,
aşta miyosi palugon,
sakweh wadya Nusantara,
samya mukti gaga-
manya,
syaga sasikĕpan ipun,
I Tumĕnggung Jaladhara.


2. Angiring dening prajurit,
kang tumĕnggung Jala-
dara,
alinggih kudha lwir
barong,
Jatmika angagĕm gadha,
paresine malela,
[19a] abandara abang
murub,
Jatmika apajĕng
kĕmbar.


2. Humung kinabuh
gong beri,
sinawuraning gamlan,
asesandaran lakune,
wus prapta ring arah-arah,
nulya anatha bhala,
amarĕp lor bharis ipun, [ 61 ]seperti gelombang lautam.


4. Prajurit Mekah melihatnya,
musuh kafir banyak yang
datang,
mereka segera memukul
gamelan gong beri,
menandakan pertempuran
dimulai,
semua memegang senjata,
banyak tentara para raja,
keluar dari perkemahan.


5.
Sultan Arab mengiringi,
I Umarmaya menata pasukan,
menghadap ke selatan barisannya,
sorak-sorai tak henti-hentinya,
seperti hancur sampai di angkasa,
disebabkan oleh suara gamelan
yang bersahutan.
Ki Tumenggung Jaladara.


6. Memacu kudanya,
sambil berteriak sesumbar,
ya, majulah segera,
siapa yang berkeinginan mati,
kemarilah dengan cepat,
tiada lain aku ini,
banteng dari Nusantara.


7. Raja Juldah [19b] mendengar,
tantangannya, telinga
Jaladara, seperti diiris,
beliau teramat marah,


kadi segara balabhār.

4. Wadya Mkah aningalin,
msĕh Kapir akeh
prapta,
sigra anabuh punang
gong beri,
tatĕngraning raṇa,
samya nambut gagawan,
sakeh prajurit prěratu,
mdhal saking pasanggrahan.


5. Angiring Sultan Arab,
Umarmaya nathah wadya,
marĕp mangidul
barise,
surak rame atimbalan,
kadi hrug kang
akasa,
sinawuran gamlan
humung,
Ki Tumĕnggung Jaladhara.


6. Amolahakĕn ing waji,
sarwi nguwuh sumbar,
lah papagna den age,
sapa kang arĕp alatra
mĕrene ya den enggal,
nora lyan amung ngsun,
banteng mareng Nusantara.


7. Raja Juldah [19b] amyarşi,
panangtange Jaladhara,
Iwir siněbita lingane,
brahmantyan sira kalintang, [ 62 ]berpamitan kepada Sultan,
mencium kaki sambil berkata,
hamba mohon diri akan
menandinginya.


8. Sang Jayengpati berkata,
ya, hadapilah si Kupar,
aku menyerahkan kepada
Tuhan,
tetapi jangan kurang waspada,
Raja Juldah memacu,
kudanya yang berada paling
depan,
bersenjata watang memakai
ruas berwarna.


9. Memakai tameng besi
wrasani,
paling menonjol di medan
perang,
kemudian dijumpai lagi,
oleh Ki Patih Jaladara,
Ki patih segera menunjukan,
(hai) prajurit siapa namamu,
terlalu berani melawan aku.


10. Menjawab yang ditanya,
aku ini Raja Juldah,
saudaramu bertanya,
tentara siapa dan siapa
namamu,
Ki Patih segera berkata,
Jaladara nama saya,
banteng di Nusantara.


amit maring Sultan,
angaras padha umatur,
amit kaula magutā.


8. Andika Sang Jayengpati,
lah pagut tana si Kupar,
son srahakěn ring Hyang
Manon,
poma aja kirang prayatna,
Raja Juldah anandar,
kudane mangseh ring
ngayun,
asikěp wathang
pinontang.


9. Paresi wěsi wraseni,
aněngan maring dilagha,
anulya kapanggih age,
lan Ki Patih Jaladara,
patih sigra atakena,
prajurit sapa aranmu,
pakṣa apagut manira.


10. Sumawur kang tinakoni,
yah ingsun Raja Juldah,
pakanira kang atakon,
prajurit sapa haran
ira,
Ki Patih atru nabdha,
Jaladhara aran ingsun,
bantenge i Nusontara. [ 63 ]11. Juldah kamu berani menandingi aku,
ya, waspadalah kamu,
Raja Duljah menjawabnya,
[20a] tidak seperti perilaku
manusia,
mendahului masuh,
jika belum lengkap ketiganya,
tidak pantas aku membalas.


12. Jaladara segera berkata,
Juldah berhati-hatilah
kamu sekarang,
terimalah sodokanku,
Juldah sedikit pun tak gentar,
Raja Juldah sangat waspada,
mengandalkan kekuatan
keretanya,
menggunakan pelindung
bodha bhaya.


13. Jaladara menombaki,
diarahkan ke Raja Juldah,
tembus sampai ke tamengnya,
dan juga kepala sang raja,
lalu jatuh dari keretanya,
ke tanah kemudian segera
direbut,
oleh para tentara dari Juldah.


14. Lalu, disingkirkan dari
pertempuran,
sorak-sorai seperti gelombang pasang,
pertempuran sangat dahsyat,


11. Juldah siko tanding
wani,
lah prějayakěn manira,
Raja Juldah dan sawure,
[20a] noranana ascaryaning
wang,
angrihinin maring msĕh,
yenora jangkĕping tlu,
tan wěnang ingsun maleșa.


12. Jaladhara aśru angling,
Juldah mangke den
prayatna,
sandangĕn panyuluk ingong,
Juldah pamaywa pepeka,
Raja Juldah prěyatna,
amkěk turangganipun,
akudunging bodha bhaya.


13. Jaladara anumbakin,
maring sira Raja Juldah,
trus katkeng parise,
tkeng gulune narathas,
niba saking undakan,
mring sithi glis
riněbhut,
dening wadya saking Juldah.


14. Ginisong mundur saking
jurit,
surak tan pendah
ampwan,
ĕmbah ramening pulugon, [ 64 ]Ki Tumenggung Jaladara,

menari-nari di atas punggung kuda,

sambil berkata sesumbar,

siapa yang ingin mati.


15. Ya, hadapilah aku segera,

jika tidak berani satu per satu,

ya, rebutlah aku,

bila tidak berani sebaiknya
menyerah,

Raja Maktal yang mendengar,

teramat marah,

20b wajahnya seperti (warna)
kembang sepatu.


16. Kemudian, ia menghadap
Jayengpati,

mohon pamit menyembah kaki,

Sultan berkata pelan,

wahai, kau adikku,

Raja Maktal namaku,

diakui sebagai apa
oleh (si) Brayung,

dan siapa namamu.


17. Jaladara segera berkata,

aku banteng Nusantara,

Jaladara namaku,

akulah satu-satunya,

sebagai penguasa Nusantara,

memimpin seribu orang raja

dan pantas membuat keputusan istana.


Ki Tumenggung Jaladara,

ngigěl ring gigiring
kudha,

asumbar-sumbar anguwuh,

sapa kang arep matya.


15. Lah papagěn ingsun aglis,

yang tan puruh matunggalan,

lah kembulana ingong,

yan tan purun lah
nungkala,

Raja Maktal amyarşa,

brahmantyane kalangkung,

20b wadana lwir skar teja.


16. Parek maring
Jayengpati,

matur amit aras padha,

Sultan angandika alon,

dhuh yayi arin ingwang,

Raja Maktal araning wwang,

kangkěn paran dening
Brayung,

miwah sapa aranira.


17. Jaladara asruh angling,

ingsun banteng Nusontara,

Jaladara aran ingong,

norana roro tatiga,

panděking Nusontara

angrarěh praratu siwu

tur wnang asabha pura. [ 65 ]18. Ya, Maktal kamulah yang
mendahului,

menyodok aku,

Raja Maktal berkata,

dia kasihan pada Sultan Arab,

tidak ada seperti caramu itu,

mendahului musuh,

jika belum lengkap ketiganya.


19. Jika musuh mendahuluinya,

tidak pantas aku membalasnya,

Ki Jaladara berkata,

ya, Maktal waspadalah sekarang,

jangan lalai,

Ki Jaladara itu,

mengatur pernafasan.


20. Si patih menunggu kekuatan tenaganya 21a

lalu ditebas oleh Raja Maktal,

karena sangat keras tusukannya,

sehingga tombaknya lepas
dari tangkainya,

Ki Jaladara secepat kilat,

merebut tombak itu,

sehingga terjadi tombak-menombak.


21. Digjayalah kamu Sultan Rabi,

Raja Asmah segera berkata,

kemarilah segera Bhawaji,

sekarang dahuluilah
menombak,

aku menjaganya,

Raja Bhawaji berkata,


18. Lah Maktal sira karihin,

anudhukna manira,

Raja Maktal sawurin,

yasihe Sultaning Arab,

norana cara nira,

angruhunin maring musuh,

yan tan jangkeping tigha.


19. Punang musuh angrihinin,

tan wěnang isun malěsa,

Ki Jaladara sawure,

lah Maktal mangke prěyatna,

poma aja pepeka,

Ki Jaladara punika,

angunjalhaken amběkan.


20. Anganti kwat teki patih 21a

iněbang sang Raja Maktal,

saking sanget panumbake,

wawos pocol tibeng
kisma,

srangěn Ki Jaladara,

kang wawos aglis sinambut,

arame numbak-tinumbak.


21. Dhighjayamu Sultan Rabi,

Raja Asmah asru mojar,

abawaji mangke age,

rumuhun mangke anumbak,

manira anyandangnga,

Raja Bhawaji sumawur, [ 66 ]itu bukan caraku.

22. Tidak pantas aku mendahuluinya,

jika ketiganya belum lengkap,

penyodok musuh seperti aku,

tidak pantas aku membalasnya,

Raja Basmah berkata,

waspadalah karena tugas
amat berat,

jangan tergesa-gesa.


23. Raja Bhawaji sangat
waspada,

serta berlindung di dalam
kereta,

dilindungi oleh tameng,

Raja Basma siap dengan
tombaknya,

Bhawaji siap ditombaki,

tamengnya yang kena (lalu)
keluar,

api menyala berkobar-kobar.


24. Sedikitpun Raja Bhawaji,

tidak bergeser setelah beliau
ditombak tiga kali,

tombaknya yang kalah menjadi patah,

Raja Bhasmah segera berkata,

21b ya balaslah Bhawaji,

aku membantu tombakanmu,

Bhawaji segera berkata.


25. Ya, bantulah seka-


noranana caran ingwang.


22. Tan wenang sun mangrihinin,

yanora jangkeping tiga,

panuduk musuh maring ngong,

nora wnang sun malěsa,

angling Sang Raja Basmah,

den prayatna hana
kewuh,

poma-pomaywa pepeka.


23. Prayatna Raja Bhawaji,

sarwi amkěking
wahana,

akudung dening parise,

ngingkal wawos Raja
Basma,

Bhawaji dan tinumbak,

warisane kna
mětu,

ghni murub ngabar-abar.


24. Tan musik Raja Bhawaji,

timumbak siro ping
tiga,

malah putung ikang
pawos,

Raja Bhasmah aśruh mojar,

21b Bhawaji lah malěsa,

sun sandangěn panudukmu,

Bhawaji asruh mojar.


25. Lah mangke sandangěn [ 67 ]rang,

Bhasmah janganlah lengah,

bantulah tombakku,

Raja Bhasmah sangat waspada,

menombak Sang Bhoda Bhaya,

sambil memacu kudanya,

Raja Bhasmah sudah ditombak.


26. Tombak dengan tameng
berbenturan,

tepat mengenai cekung

tulang selangka dan bahunya,

Raja Bhasmah terpelanting,

Berguling jatuh di tanah,

prajurit Mekah bersorak-sorai,

tak bedanya seperti langit
yang roboh,

Ki Tumenggung Jaladara.


27. Sangat jelas olehnya melihat,

sang Raja Bhasmah tewas,

kemudian kudanya dicambuki,

Ki Tumenggung Jaladara,

kembali ke medan perang,

Raja Bhawaji dikejar,

oleh Patih Jaladara.


28. Ditombak bertubi-tubi,

yang ditombaki kewalahan
menghadapi,

tak punya kesempatan
akhirnya kalah,

Raja Bhawaji tewas,

kepalanya kena tebas,

karena sangat marahnya,


mangkin,

Bhasmah pomaywa pepeka,

sandangen panudhuk ingong,

Raja Bhasmah den prayatna,

akudung kang Bodha Bhaya,

sarwi mke kudan ipun,

Raja Bhasmah wus tinumbak.


26. Kapyuk tumbak lawan
paresi,

trus tibeng salang-salang,

Raja Bhasmah angrarempong,

gumuling tinya ring kisma,

suraking wadhya Mekah,

tan pendah langit
kang rubuh,

Ki Tumenggung Jaladara.


27. Awas de nira ningalin,

sang Raja Bhasmah palatra,

den cemethi i kudane,

Ki Tumenggung Jaladara,

amulyaken ing yuddha,

Raja Bhawaji tinumbung,

dening Patih Jaladara.


28. Tinumbak awanti-wanti,

karepotan kang tinumbak,

tapapolah nulya
kasor,

Raja Bhawaji palatra,

murdhane kna ing nigas,

dening krodane kalangkung, [ 68 ]22a si Patih Jaladara,


29. Prajurit kafir bersorak,

seperti petir saat hujan
sasih kapat,

dibarengi suara gong dan
genderang,

perang segera berakhir

tak ada yang menang,

dihalangi oleh
tenggelamnya matahari,

yang bertempur semua mundur,

suara gamelan bertalu-talu.


30 Para prajurit dari Puser Bumi,

pulang ke perkemahannya,

tentara kafir semua mundur,

pulang ke Nusantara,

selanjutnya secara
bergantian diceritakan,

sekembalinya setengah berperang sengit,

diceritakan di dalam istana.


31 Sang Putri Ambarawati,

bersama Ni Mas Argapura,

kemudian pergi bersama-sama,

semua melintas di angkasa,

kepergiannya pada malam hari,

seorangpun tak ada yang
mengetahui,

menuju ke negeri Mukadam


32. Dibawa oleh Rengganis,


22a pun rakryan Jaladara.


29. Suraking wadya Kapir,

kadi grĕh labuh
kapat,

sinawuraning kĕndang
gong,

saksana sapih kang
prang,

kasaputaning Hyang
Ngarka,

kang ayuda samya mundur,

humung swaraning gamlan.


30. Wadya saking Pusĕr Bhumi,

manthuk maring pasanggrahan,

wadya Kapir mundur kabeh,

mantuk maring Nusontara,

gĕntining mangke kawarna,

mantuke aprang cucuh,

kawarna ing jro pura.


31. Sang Putri Ambarawati,

lawan Ni Mas Argapura,

nulya kesah skarone,

sami amargeng gagana,

kaheng dalu kesahnya,

sawiji tan hana wruh,

istam ring nagri Mukadam.


32. Kabakta dening Rĕngganis, [ 69 ]menghadap Raja Putra,

di udara tampak dengan jelas,

kecepatannya seperti mercu suar,

menyatu dengan angin,

terbangnya meluncur,

menuju negeri Mukadam.


33. Setelah tiba di atas
negeri (itu),

tak langsung [22b] ke Hedahisa,

mereka berdua segera
menurun,

terbangnya menuju ke bawah,

setibanya di istana,

mereka berdua segera turun,

yang di bawah menggunakan
sinom.


parěk maring Raja Putra,

haneng gagana akantěn,

gancange lwir mracutunda,

awor lawan maruta,

andarung pahiběr ipun,

tinuju nagri Mukadham.


33. Wus kancit luhur
něgěri,

aywa araha [22b] Hdahisa,

Sang Dyah kalih sigra
mingsor,

pahiběre maring andap,

tiba marahing pura,

Sang Putri kalih tumědun,

kang sinwam ring
daratha.


PUH SKAR MAYIT


1. Semua orang di dalam istana,

ketika itu belum tidur,

Raden Arya Repatmaja,

sedang duduk sambil
menghias diri,

di bawah pohon nagasari,

dijaga oleh dayangnya
dari belakang,

Sang Putri dari Mukadam,

datang mengahadap lelakinya,

Raja Putra,


1. Sakehing wong dalem pura,

pan lagi dereng aguling,

Raden Aryya Rěpatmaja,

kalane hesaha
alinggih,

ring soring naghasari,

hemban inya sakeng
pungkur,

Sang Putri ing Mukadham,

asebha marahing laki,

Raja Putra, [ 70 ]sedang duduk termenung.


2. Sangat rindu kepada
saudaranya,

karena lama tidak datang,

yang pergi ke Nusantara,

Raden Mantri gelisah,

apa sebabnya adinda,

sudah lama tidak datang juga,

pasti mendapat bahaya (atau)
kecelakaan,

karena adinda berjalan
bersama-sama,

dapat diperdaya,

kurang waspada dan
masih lalai.


3. Mas Ayu dari Argapura,

sewaktu menginjak di tanah,

bersama putri Nusantara,

baunya harum 23a

semerbak wangi,

Raden Banjaransari,

sudah mengetahui saudaranya
datang,

Dewi Rengganis berkata,

kepada Putri Ambarawati,

adikku jangan (sampai)
dilihatnya.


4. Karena sang Raja Putra,

baru pertama kali berjumpa,

dengan gadis cantik,

adikku kau sangat cantik,

tidak ada cacat cela,


mangu-mangu alinggiha.


2. Dahat kangen maring
ngkadang,

dene suwe nora prapti,

kang marahing Nusontara,

angame rahaden mantri,

paran marmi maskwari,

alama tananā rawuh,

bhaya manggih
dhurjana,

mas mirah alampah sandi kasomplangan,

kirang dudu kari
ringan.


3. Mas Ayu ing Argapura,

sdhěke marahing sithi,

sareng putri Nusantara,

mrabhuk ganda 23a

mrik mingging,

Rahaden Banjaransari,

wikanyen sudara
rawuh,

Dewi Rengganis anabdha,

ring Putri Ambarawati,

yyayi aja ta katona.


4. Mapan sang Raja Pinutra,

lamun těmbene kapanggih,

kalawan wanodyang raras,

adhi ayu nira yyayi,

tan kena linubedin, [ 71 ]ingin memeluk dan mencium,

tangannya seperti belalai gajah,

perilakunya seperti orang kecil,

berkata pelan,

yang diajaknya menyembah.


5. Tak peduli yang dikatakan,

aku ini (hanya) mengiringkan,

Sang Dyah segera disembunyikan,

berlindung di bawah pohon
kemuning,

samar tak terlihat,

Ratna Rengganis terus berjalan,

menghadap Raja Putra,

seluruhnya yang menghadap,

mengunjunginya,

kepada Ni Mas Argapura,


6. Mereka semua memberikan salam,

Raden Banjaransari,

hatinya merasa sangat senang,

seperti gadung disiram air, [23]

kenyang tanpa makan,

berwibawa tanpa busana,

seperti orang sakit
mendapat obat,

Raden Mas Banjaransari,

berkata,

pelan sambil tersenyum manis.


7. Wahai, Mas Ayu junjunganku,

tak henti-hentinya aku


5. arsa ngaras amarugul,

aṣṭa nulale gajah,

tingkahe lwir rare cili,

alon matur,

sang liningan saha sembah.


5. Masa bodo ingandika,

kaula iki angiring,

Sang Dyah sigra siningidhan,

alingan ring wit
kamoning,

samar datan kaaksi,

Ratna Rengganis pun laju,

marěking Raja Putra,

sakatahe kang anangkil,

angunjungi,

maring Ni Mas Argapura.


6. Ramya sami asung
salam,

Rahaden Banjaransari,

lintang tuşta galih nira,

lwir gadhung kasréban
warih, [23b]

wareg datan amukti,

bhungah tan anandang huyung,

lwir wong agring
olih tamba,

Raden Mas Banjaransari,

angandika,

alon sira saha smita.


7. Duh, Mas Ayu jiwata,

tan pgat sun ngati[ 72 ]menunggu,

karena lama juga tidak datang,

aku kira mendapat bencana,

karena perjanjiannya dahulu,

sanggup membawa Dyah Ayu,

Sang Putra dari Nusantara,

yang bernama Ambarawati,

sekarang apa,

sebabnya tidak dibawa.


8. Sang Putri dari Nusantara,

hamba ingin melihatnya,

Ratna Rengganis berkata,

bagaimana susahnya menunggu,

hanya menerima di sini,

sakitnya (lagi) orang
yang diutus,

jika lalai tentu (akibatnya)
mati,

hamba dikatakan mencuri,

di dalam istana,

hamba mengadu kekuatan.


9. Dengan Sang Putri Nusantara,

yang sangat bijaksana
dan sakti,

rupanya sangat cantik,

bertubuh lembut dan langsing,

[24a] kukunya memakai

pewarna nampak indah,

kulitnya seperti emas
disepuh,

tetapi beliau sudah
dikalahkan,

oleh hamba dahulu,


ati,

dene lami nora prapta,

sun senggah manggih balahi,

dening pasanggupe riin,

angawa maring Dyah Ayu,

Sang Putri ing Nusontara,

kang aran Ambarawati,

mangke paran,

marmine nora kabakta.


8. Sang Putri ing Nusantara,

arsa sun aningalin,

Ratna Rengganis aturnya,

pira sakite ngatosi,

anampi haneng riki,

sakita wong kang
ingutus,

yan iwas wyakti
pjah,

kaula kasengguh maling,

ing jro pura,

kaula tanding dhigjaya.


9. Lan Sang Putri Nusontara,

wicaksana turing sakti,

warnane kasoran gambar,

raga luwes kumarincing,

[24a] akěnci naka ngarining,

pamulu lwir masning
ajur,

nanging ta sampun
kasoran,

dening kawula ing nguni, [ 73 ]menyerahkan nyawa (dan)

sudah masuk agama Islam.


asrah jiwa,

sampun wus nandang Islam.


PUH DHANGDANG.


1. Sang putri dari Nusantara,

sudah diakui,

saudara angkat,

di dunia sampai di surga,

tetapi tidak ikut kemari,

Sang Putri dari Nusantara,

sebabnya tidak ikut,

bersama hamba,

oleh karena hamba dikira
mencuri,

sebab perilaku,

hamba sehari-hari,

tidak bisa diketahuinya.


2. Berkeinginan keras mencium,

tangannya itu,

(seperti) belalai gajah,

jika tak sabar (hanya) melihat,

andaikan itu orang kecil,

tidak bisa duduk bersama-sama,

nafasnya terengah-engah,

tidak menyapa orang yang
dilihat di jalanan,

hatinya sangat gelisah,

bagaikan orang,

hatinya dikutuk Tuhan,

Sang Raja Putra tersenyum.


1. Sang Putri ing Nusantara,

ingangkěnan,

sodara widi braha,

ring dunya tkeng erathe,

anging tan mariki tuhu,

Sang Putri ing Nusontari,

marmine nora milwa,

tumut ring kauleku,

dene kaula malinga,

doning tingkah,

kaula ring saban-sabani,

datan kěna pinarěkan.


2. Ayun arugul angarasi,

ikan aṣṭa,

nulaleha gajah,

yan tan sabar pangaksine,

kadi wong rare iku,

tan kěna jajar alinggih,

sragu-sragu amběkan,

tan ptakon wong liring hnu,

měnggah mrasah ing nyananya
kandhi kan wong,

kna prayyang-yyang ing ngata,

mesěm Sang Raja pinutra. [ 74 ]3. (Sambil) berkata bernada manis,

[24b] wahai adik Mas,

janganlah khawatir di hati,

berbeda seperti yang dahulu,

sesungguhnya yang telah
lalu.

kakak ingin mengambil,

sekarang terserah kamu,

Dewi Argapura berkata,

jika kakak tak akan
menggangu,

agar mengutamakan,

bila sang Dyah sungguh
datang,

wajahnya sungguh menawan
hati.


4. Sanggupkah kakanda sungguh sabar,

tidak mengganggu,

memegang badannya
Raden Banjaransari,

berkata bila saya mengganggu,

semoga besok dan seterusnya

disambar oleh banyak
burung garuda,

bila di air dikutuk,

semoga diterkam kura-kura,

jika bertemu dengan

orang banyak agar menemukan
bencana,

kalau saya ingkar janji.


5. Kemudian, Dewi Ayu Ratna


3. Angandika wacana
manis,

[24b] dhuh yayi Mas,

aja walang driya,

beda kadi ing dumune,

ywakti inguni
tuhu,

kakang arsa angambil,

mangke sum hrasatwa,

Dewi Argapura sumawur,

yan andika nora
gangguwa,

lamun těměn,

yan prapta sang Dyah
wyakti,

warnane enteken atya.


4. Sanggup andika abar
ywakti,

aywa ganggu,

muruguling angga,

Raden Banjaransarine,

ngandika lamun sun ganggwa,

moga sun ahenjang-enjing,

sinawuping grudākya,

yan ring toya pinastu,

moga sinarap dening empas,

ya namu ring,

akeh ngrabhūk kang
pinanggih,

yen isun cidra ing janjya.


5. Sira Dewi Ayu Ratna [ 75 ]Rengganis,

menuju,

ke pohon kemuning itu

mencari sang putri sedang

duduk dibawah pohon
kemuning,

di situ Sang Dyah bersembunyi,

Sang Dyah segera didatangi,

kemudian Ni Ambarawati,

[25a] tangannya dilihat,

Dewi Arga,

berada di bawah pohon
nagasari,

sinar bulan cemerlang
menyinari.


Rengganis,

amaranin,

wit kamoning ika,

animbali sang putri nosor ring kamoning
alungguh,

Sang Dyah ika asingid,

sigra Sang Dyah pinaranan,

Ni Ambarawati puniku,

25a tinantening aşta nira,

Dewi Arga,

mring soring naghasari,

gumiwang padhanging
candra.


PUH NORA KLEM


1. Pada saat bulan purnama

bersanding dengan Dewi
Ratih,

rupanya Sang Dyah,

keduanya jika dilihat,

tak ada tandingannya.


2. Dari ufuk timur seperti

matahari kembar terbit,

yang sedang menghadap,

semua termangu melihat,

Mas Ayu Argapura.


3. Mereka berdua duduk


1. Ri tatkala purnama

sandingning Ratih,

warnaning Sang Dyah,

sang kalih yan dinuluning,

tan hana ika kaworan.


2. Saking purwa lwir

bhaskara kembar mijil,

kang anangkil ika,

samya jengěr aninggalin,

Mas Ayu ing Argapura.


3. Twi ajajar Sang Dyah [ 76 ]bersanding,

dengan Putri Nusantara,

tak bedanya dengan pinang
dibelah dua,

Raden Mas Banjaransari.


4. Baru melihat Sang Putri
datang,

dalam hatinya berkata,

Sang Ambarawati,

sangat cantik serasi
rupanya.


5. Sungguh bingung Raden
Banjaransari,

Sang Dyah Arga lalu berkata,

pangeran maafkanlah hamba,

inilah adik hamba.


6. Nanti di kemudian hari
pasti cinta,

jika sudah bersuami,

dengan paduka,

adinda Sang Dyah sangat
pantas itu. [25b]


7. Menjadi istri paduka yang
pertama,

Raja putra berkata,

kakak ini adalah orang miskin,

bodoh hina dan sengsara.


8. Kakak setiap hari
bersedih hati,

tidak mengetahui akan akibat-


kalih alinggih,

lan Putri Nusontara,

tan pendah jambe
tinebih,

Raden Mas Banjaran skar.


4. Aninggalin Sang Putri
wuwu prapti,

mangucaping nala,

Sang Putri Ambarawati,

ayu pantěs warna
nira.


5. Twi kawengan Rahaden
Banjaransari,

mahatur Sang Dyah Argha,

pangeran kawola singgih,

ri kaula puniknya.


6. Pasti huga ring enjang
ta ring enjing,

yan wus ta hagarwa,

kalawan andika singgih,

yyayi dyah kadarma
nika. [25b]


7. Makadadi kang garwandika
pangrihin,

ngandika Raja Putra,

pun kakang iki wong miskin,

muda hina kawlas arṣa.


8. Iki ingalanang ngelanang kumangi,

tan wruh ring [ 77 ]nya,

seperti kunang-kunang
bersanding bulan,

(begitulah) sesungguhnya
diri saya.


9 Seperti tumbuhan melata
merindukan langit,

sekarang kau adikku,

sesungguhnya hendak bertemu
kakak,

berjodoh dengan putri
cantik.


panatya,

Iwir coba manarung
langit,

ywaktine awak
ingong.


9. Lwir segsegan dangaluh
langit,

mangke yyayi ingwang

aněmoken kakang yukti,

karma lan putri
wibhawa.


PUH SMARAN


1 Bijaksana, cantik, dan kaya

kakak berkata dengan
sesungguhnya,

adinda Ratna Ayu
Ambarawati,

sangat jelas terdengar olehnya,

pembicaraan dari Raja Putra,

yang sedang dilanda asmara
itu,

Sang Putri Ambarawati.


2. Merasa malu dalam hati,

menunduk menatap tanah,

silih berganti diceritakan,

yaitu di istana Nusantara,

suara tangis sangat riuh


1. Wicakṣaṇa ayu sugih,

ywakti pun kakang
andika,

Ratna Ayu Ambarawati,

hawas de nira amyarsa,

pangandikan Raja Putra,

mrendah keni raga
iku,

Sang Putri Ambarawati.


2. Asmu merang kang ati,

tumungkul angědět lemah,

genti ikan winawos,

ing kdaton Nusontara,

humung tangising jro [ 78 ]di dalam istana,

setelah hilangnya Sang Ayu Dyah,

Sang Dyah Ambarawati.


3. Hilangnya pada malam hari,

pada suatu malam pengasuh dan dayangnya,[26a]

hatinya merasa sangat sedih,

segera menghadap sang raja,

menyembah sambil berkata,

kau putra raja.


4. Barangkali diambil pencuri,

dibawa pergi dari istana,

hilangnya pada saat tengah malam,

tak ada seorang pun yang mengetahui,

dari kekurangan hamba,

namun, hamba menemukan,

sepucuk surat di tempat tidurnya.


5. Dibungkus dengan sutra kuning,

ini hamba menyampaikan,

surat itu segera dipersembahkan,

diterima oleh sang raja,

marahnya tak bisa ditahan,

sang Raja Kendit Birayung,

wajahnya tampak merah padam


pura,

saicale Sang Dyah Ayu,

Sang Dewi Ambarawatya.


3. icale kalaning latri,

ing dalu ěmban lan inya, [26a]

kalangkungnya prihatine,

aśruh parěk ring sang natha,

awoh sĕmbah samsya matur,

siranak paduka dewa.


4. Manawa pandung ingambil,

kabakta kesah ing pura,

ical kala tngah wĕngya,

sawiji norana wruha,

saking tiwas kaula,

anging kaula amangguh,

surat ring jroning pamrĕman.


5. Ingulěsan sutra kuning,

iki kaula ngaturang,

sigra katur kang layange,

tinampĕd deni sang natha,

brahmantyan tan sepira,

sang prabhu Kěndit Birayung,

wadanabang katinggalan. [ 79 ]6. Badannya bagaikan mengeluarkan api,

sangat marah pada saudaranya,

kehilangan putri kesayangannya,

kedua belah tangannya gemetar,

bibirnya bergerak-gerak,

giginya mengigit-gigit,

sambil menatap surat.


7. Dibacanya dalam hati,

itu adalah perbuatan jahat,

yang termuat didalam surat,

yaitu bemama Rengganis,

26b yang membawa sang Dyah,

Dyah Ambarawati itu,

diajak ke Mukadam.


8. Dipertemukan dengan putra Arab,

yang bemama Raden Suwongsa,

Sang Raja Nusantara,

berkata dengan nada marah,

perempuan jahat berperilaku dusta,

Raja Nursiwan berkata,

menghibur sang raja.


6. Anggane lwir mtu gni,

dahal merang dening kadhang,

kicalan oke ayune,

gĕgĕpĕr pun tangan karwe,

kumĕdot paduning latya,

agatik wajaniriku,

sarwi anyingakin surat,


7. Winaca jroning ali,

punika alampah dhuṣṭa,

umungguh sajroning layang,

awasta Rĕngganis ika,

26b kang amakla ing sang Dyah,

Dyah Ambarawati puniku,

ingajak maring Mukadham.


8. Aseba ing putra ngrabi,

kang ngaran Raden Suwongsa,

Sang Prabhu ing Nusontara,

gangsul panabda nirekā,

wadon jaruh lampah duṣṭa,

Prabhu Nursiwan umatur,

anglipura sri nalendra. [ 80 ]PUH SKAR MAYIT


1. Janganlah bersedih anakku

jika sudah diketahui tempat sang Dewi,

pasti kelak di kemudian,

sang Dyah tentu akan dijumpai,

demikian sebab sesungguhnya,

tidak lain penyebabnya,

Amsyah akan berpisah,

dengan I Rengganis,

berbuat jahat,

bersama Ki Umarmaya.


2. Lebih baik sekarang tuanku,

memerintahkan utusan kepada Amir,

mengadakan perjanjian perang,

janganlah mengadu prajurit kecil,

putra raja juga ini,

berperang mati-matian dengan Amsyah,

karena tampak saling menekan,

Kendit Birayung berkata,

ya, anakku, 27a

sangat baik seperti demikian.


3. Sekarang hamba mengutus,

mengadakan perjanjian dengan Amir,

tidak diceritakan lalu


1. Aja sungkawa anak ingwang,

yan wus kantĕn nggon sang Dewi,

pastine ring eñjang-eñjang,

tan urung sang Dyah kapanggih,

mapan mangkana ugi,

nora liyan lakar ipun,

pun Amsyah parorwa,

ikang ngaran I Rĕngganis,

lampah dhusta,

kalawan Ki Umarmaya.


2. Bcik mangke mas ku bapa,

aputusan maring Amir,

amet sangketa ayudha,

aywa ngadu wadya cili,

anak prabhu ugeki,

lawan Amsyah prang cucuh,

den kantěn luhur andap,

Kěndit Birayung nawurin,

inggih dewa, 27a

abcik kadya mangkana.


3. Mangkin kaula mutusan,

amet sangketa ring Amir,

tan carita glis ině[ 81 ]segera dipanggil,

dua orang prajurit segera datang,

bernama Kontal dan Tebih,

sungguh tak bisa dipisahkan,

(mereka) selalu bersama-sama,

bersatu bila ia makan,

kemana dia pergi,

walaupun tidur selalu bersama.


4 Keduanya sama-sama perkasa,

dan sudah berpengalaman dalam perang,

itulah yang diutus,

oleh Raja Nusantara,

mengadakan perjanjian perang,

Kontal dan Tebih segera berangkat,

tidak diceritakan dalam perjalanan,

perjalanannya sudah tiba di rumah,

prajurit Mekah berkemah.


5. Kamu datang dari mana,

siapa namamu berdua,

dan apa tujuanmu,

baru kali ini datang kemari,

yang ditanya menjawab,

saya diutus oleh sang raja.

dari negara Nusantara,

ingin menghadap Raja Arab


ngan,

prajurit kĕmbar dan prapti,

awasta Kontal Tebih,

tan kena pisah saghang,

lawan sadulur neka,

akoran lamun ya mukti,

slakune,

tunggal kukub nggenya nidra.


4. Kalihe sama prakosa,

tur sring angabet jurit,

punika kang kinonkonan,

dening prabhu Nusontara,

ngamet sangketa jurit,

Kontal Tĕbih den lumakuh,

tan kawarna ing marga,

lampah ira sampun prapti,

ring pakuwon,

Wadya Mkah atakena.


5. Saking pundi sira prapta,

paran wasta nira kalih,

lan punapa karya nira

těmbe prapta maring riki,

kang inakenan anawurin,

ingsun dutane sang prabhu,

ring nagri Nusontara,

arṣa marek prabhu rabi, [ 82 ]sebaiknya,

saya menghadap kepada rajamu 27b


6. Yang ditanya merasa senang,

saya yang akan menyampaikannya,

kamu menunggu di sini,

lalu, dia pergi tanpa pamit,

menghadap Jayengpati,

setibanya, dia bersujud,

mencium kaki seraya berkata,

ya, tuanku raja ada utusan datang,

dua orang dari negeri Nusantara.


7. Hendak menghadap tuanku raja,

diutus oleh Sang Raja,

Raja Sultan Arab berkata,

ya, suruh mereka kemari,

orang itu segera kembali,

datang di tempat utusan,

kemudian, ia berkata,

silakan, kamu berdua,

aku mengantar,

kamu menghadap Sultan.


8. Mereka berjalan bersama-sama,

menghadap Jayengpati,

setelah tiba di hadapannya,


hlarapěna,

sun marĕking ratu nira. 27b.


6. Sang liningan kabangan,

ingsun matura karihin,

iriki sira ngantos,

nulu mintartana sari,

marěka Jayengpati,

srawuhe awot santun,

ngaras pada matura,

singgih wenten dhuta prapti,

wong kakalih saking nagri Nusontara.


7. Isti parěk ri andika,

ingutus dening sang ngaji,

angandika Sultan Arab,

lah kiněna mariki,

wong ika kaglis mawali,

prapteng ing pranaheng antu,

aris denya mojar,

lumarisa sira kalih,

sun anganjak,

sira marěk maring Sultan.


8. Padhan prasmya tumindak,

parěk maring Jayengpati,

sarawuhe ring payunan, [ 83 ]setelah mereka berdua duduk,

di bawah kursi emas,

dibarengi oleh Jayeng Keyuh,

para raja dan punggawa,

bagaikan lautan tak bertepi,

penuh sesak,

berpakaian berwarna-warni. 28a.


kalih ira wus alinggih,

ring sor palangkan rukmi,

sinewaka Jayeng Keyuh,

dening ratu punggawā,

Iwirsgara tan papti,

těttěp jějěl,

bhusaṇa awarṇa-warṇa. 28a


PUH DHANGDANG


1. Sultan Arab berkata,

apa tujuanmu,

datang menghadapku,

ya, siapa namamu,

dan siapa rajamu itu,

yang ditanya berbakti,

ya, hamba adalah utusan,

dari beliau Sri Maharaja,

Kendit Birayung yang amat sakti,

beristana di negara Nusantara,

hamba ini bernama Kontal.


2. Jika (kamu) ini bernama Tebih,

yang diutus,

mengadakan perjanjian,

agar tuanku ikut berperang,

janganlah mengadu orang kecil,


1. Angandika Sultan Rabi,

paran gawe,

sira maring kenya,

lah sapa bisekane,

miwah jnongi ta sireku,

kang tinakenan ngabhakti,

inggih kaula utusan,

denira Śri Maha Prabhu,

Kěndit Birayung kang saktya,

ngastana ing negara Nusontara,

kang kaula ingaranan Kontal.


2. Yan puniki ingaranan Těbih,

ingutusa,

angamet sangketa,

andika magut paprange,

sampun wong cili ingadu, [ 84 ]agar tuanku ikut juga berperang,

melawan raja Nusantara,

supaya jelas antara yang kalah dan menang,

Sultan Arab berkata,

aku menuruti,

berapa hari diperkirakan patih,

raja sakti dari Nusantara.


3. Mengadu kedigjayaan dengan aku ini,

saya sangat senang,

sekehendak hatimu,

Raja Maktal segera mengetahuinya,

(lalu) mengambil kain dan selimut,

Raja Maktal segera pergi,

mengambilkan pakaiannya,

28b lalu diberikan kedua orang itu,

Kontal dan Tebih disuruh memakai,

mereka berdua,

Kontal dan Tebih merasa heran,

karena pakaian yang serba indah.


4. Hasil perbuatannya sangat mulia,

yang disamakan,


andika ugha ajurit,

msah prabhu Nusontara,

mangda kantěn andap luhur,

angandika Sultan Arab,

nira anuta,

pintěn dina krasa patih,

ratu śakti Nusontara.


3. Tanding dhigjaya lan ingsun iki,

ingwang ecca,

sakarěpe sira,

Raja Maktal sigra,

wruhe,

ngambil wastra lan kampuh,

Raja Maktal linggara aglis,

ngambila kang pěsalina,

28b sigra nyanding kalih iku,

Kontal Tĕbih dinadaran,

kalih ira,

eran sira Kontal Tĕbih,

dening bhusana kang mulya.


4. Pala mreětane kang lintang lwih,

ingaranan, [ 85 ]Jayengmurti itu,

adalah musuh aku beri busana,

Kontal (dan) Tebih lalu berkata,

mohon permisi hamba hendak pulang,

besok akan mulai berperang,

Jayeng satru berkata,

ya, silakan kamu pulang,

segera berangkat,

tak diceritakan beliau dalam perjalanan,

lalu telah tiba di Nusantara,


5. Mengahadap kepada sang raja,

setelah surat perjajnjian itu dipersembahkan,

pertempuran akan dimulai besok,

Raja Kendit Birayung amat senang,

kemudian, malampun tiba,

makanan dan minuman segera dihidangkan,

kepada semua menteri dan hulubalang Nusantara.


Jayengmurti ika,

musuh den sun dadangren,

Kontal Tĕbih aris matur,

amit hamba amantuki,

eñjang uga aprang,

angandika Jayengsatru,

lah sira umantuka,

śigra linggar,

tang kocapa sireng margi,

wus prapta i Nusontara.


5. Umarěk ring ari bhupati,

wus katuang kang prějañji ika,

eñjang miyos paprange,

suka Prabhu Kěṇḍit Birayung,

anulya kasupating wngi,

śigra mara boga grawina,

sakweh mantri pūnggawā iku Nusontara. [ 86 ]PUH WANDARA PTAK


1. Srepabumi berkata 30a

ya, atas perintah tuanku raja,

bersama Sekar Ditya,

hamba berjaga di istana,

setelah semua diputuskan sidang itu,

Malang Sumirang bersiap-siap pergi,

menunggangi naga manusia,

menjaganya dari angkasa,

Srepabumi,

mohon pamit pulang ke rumah.


2. Kendit Birayung bersama Linggara,

mengendarai kereta putih,

seperti singa hendak menerkam,

Jatmika bersenjatakan suligi,

kedua raja itu bubar,

semua diapit payung besar,

mengunakan lukisan,

tak ubahnya seperti lautan pasang,

dengan serempak,

mengiring sang raja.


3. Keluar dari halaman istana,

masuk ke tempat kuda dan gajah,


1. Aturepun Śrěpabhūmya 30a

inggih sandikan sang aji,

saingguhe Skar Ditya,

kaula magut ring sithi,

putus raraşan sami,

Malang Sumirang dan mambung,

anitih nagha jadma,

saking tawang angimbangi,

Śrěphabūmi,

amit alěbweng kismā.


2. Kěṇḍit Birayung dan Linggara,

anitih wilmaṇa putih,

kadi singā ganomangsa,

Jatmika sikěp suligi,

bhubar prabhu kalih,

samya kĕmbar pajĕng agung,

sratha atatabwan,

bina kaya pasir milir,

kakarigan,

angiringi ida sang natha.


3. Mtu ing jawining něgara,

manjing ing kuda lan aṣṭi, [ 87 ]suara tombak terdengar mendesing,

suara riuh bergantian,

ditiup angin,

seperti batang gelagah terbakar,

ramainya langkah tentara berjalan,

seperti petir tanpa hujan,

setelah diberitahukan,

pertempuran segera akan mulai


kinoyang kraciking astra,

pakurentang wawos gathik,

tinampuh dening angin,

kadhi glagah katunū,

grěděg wadya lumanpah,

guntur tan riris,

wus atagĕn,

dhurmita paguting yudha.


PUH TGEH


1. Kedua raja (itu) telah tiba di perbatasan,

segera menata barisan,

tentara Nusantara, 30b

bagaikan lautan pasang,

tampak seperti lahar dari gunung,

pakaiannya seperti sebuah taman bunga.


2. Prajurit Mekah datang berduyun-duyun,

segera memukul gong beri,

semua prajurit Arab mengangkat senjata,

sisa dari yang terluka,

semua siap siaga,


1. Prabhu kalih wus prapta ring arah-arah,

sarwa anathah baris,

wadya Nusontara, 30b

Iwir sagara blabar,

tinon lwir eyuh ring giri,

ikang bhusana lwir kusuma saukir.


2. Wadya Mkah atalimpah prapta,

Sigra nabuh gong beri,

anambut señjata akeh prajurit Arab,

sakarine nandangkanin,

samya sayaga, [ 88 ]lengkap dengan persenjataan
perang.


3. Sekar Detya kemudian segera dihiasi,
berincin emas tercabik,
berpermatakan batu
nila,
berukir emas keliling,
beruas-ruas selaka putih,
sungguh menawan,
berkilauan sangat indah.


4. Berduyun-duyun berpakaian hiasan,
berhiaskan emas pilihan,
berisi permata mirah,
jika dilihat berkedip-kedip,
tampak seperti perut
terikat,
ikatannya merata,
permatanya tampak
menakutkan.


5. Jika dilihat Sekar Detya
seperti emas diukir,
bagaikan tak menginjak
bumi,
cekatan di dalam perhitungan,
penglihatan ketiga,
ahli dalam hal berperang,
[31a] tak pernah berpisah
dengan senjata tombak.


asikeping ajurit.


3. Sekar Detya tigra mangke ingasetan,
asim-simas
rinujit,
akukunang batu nila,
akundali mas rineka,
apontang slaka putih,
wuwuh angraras,
olar-olar angrukmi.


4. Asluran ayun wingkingi
kakapa,
kakapane mas adi,
cinaploking mirah,
yan tinon pati
kradap,
amlěk wětěng masawit,
apus antutnya,
ratna yan sat kawdhi.


5. Mas tinathah yan tinon
Skar Detya,
kadi tanampak sithi,
segěd nikri niklang,
netran ipun katiga,
widagda binakteng jurit,
[31a] nora aoasah dening
mipis jěmparing. [ 89 ]83

6. Jayengrana sudah mengenakan pakaian,
lengkap dengan peralatan perang,
gada sarpa gajah,
tamengnya berukir,
kerisnya sungguh utama,
Sultan dari Arab siap
menghadapi pertempuran.


7 Kemudian keluar dari
perkemahan,
prajurit Arab semua
mengiring,
Arya Umarmaya,
segera menata barisan,
berperang dengan kafir,
Sultan Arab menunggangi
Sekar Yakti.


6. Jayengrana sampun
ngrangsuk busana,
saha peraboting ajurit,
gada sarpa liman,
paresina malela,
gadga wratsi yukti,
Sultan ing Arab iṣṭā
amagut jurit.


7. Nulya mdal saking
pasanggrahan,
widya Arab samya
ngiring,
Arya Umarmaya,
sigra anathah bala,
ayuna-yunan lan Kapir,
Sultan ing Arab Skar Yakti.


PUH SKAR SAWWA

1. Para prajurit seperti
menghancurkan dunia,
mukmin melawan kafir,
sudah siap di alun-alun,
sang raja dari Nusantara,
memanggil menjerit-jerit,
beliau itu sesumbar,
sambil memegang gadanya,
ya, Amsyah cepatlah,
tandingilah,
aku kemari dengan segera.


1. Sura kadhi hruging jagat,
Mukmin lawan Kapir,
wus alun-alun ika,
sang prabhu ing Nusantara,
anbah nguwuh-uwuhi,
asumbar-sumbar sireku,
sarwi ngikal gadha nira,
lah Amsyah den enggali,
papagana,
ingong mĕrene den agya. [ 90 ]2. Jika kau berani bergabung,
rebutlah aku,
dengan segera Jayengrana,
[31b] segera naik ke dalam
kereta,
I Sekar Dyumring melihatnya,
kemudian, diikuti dari
belakang,
lalu menyusul Bahing
Dhigjaya,
kudanya berlari miring,
bersama kereta Kendit
Birayung,


3. Wahai, prjurit kecil
lagi bongkok,
tak berguna ikut dalam
pertempuran,
Amir Amsyah disuruh meng-
hadapi,
menjawab Ki Jayengpati,
sekarang aku menghadapi,
dia Ki Jayengsatru,
menunggunya siang dan
malam,
yang sesungguhnya dinanti-nanti,
sekarang aku berhasil,
aku berjumpa denganmu.


4. Raja Kendit Birayung
tertawa,
untunglah aku dikira bukan
Amir,
sekarang Amir sudah datang,


2. Yan wani sira tunggalan,
kěmbulana manireki,
agělisang Jayengrana,
[31b] munggaheng wahana
aglis,
I Skar Dyumring ngarşi,
dan kapapag haneng
kayuh,
wusan Bahing Dhigjaya,
kuda atangkeb miring,
lan silmana Kěndit Birayung,


3. Eh prajurit alit andap,
tan sumapala magut jurit,
Amir Amsyah kon maguta,
sumawur Ki Jayengpati,
ing mangke sunekanin,
yahi Ki Jayengsatru,
den acép rahina wengya,
kang pinta-pinta sayukti,
mangke sadya,
ingsun panggih lan sira.


4. Raja Kěndit Birayung
guywa,
lathah sun sengguh tan
Amir,
mangke sira Amir mara, [ 91 ]85
terlebih kamu yang memukul,
aku tak akan menangkis,
silakan kamu menyodok,
Jayengrana segera berkata,
wahai, anjing kafir lanat,
tidak pantas,
aku mendahului musuh.


5. Aku tidak mau mendahuluinya,
ya, Jayengrana waspadalah,
segera [32a] memegang
gadanya,
Jayengrana mempersiapkan
gajah,
berlindungkan tameng,
sang Raja Kendit Birayung,
memberikan kode pada
kakaknya,
Jayengrana ditombaki,
keduanya sama-sama kuat,
tamengnya berbenturan


rumuhun sira anggitik,
manira nora nangkis,
aklar sira anyudhuk,
Jayengrana asru ngandika,
lahya Kapir Lanat añjing,
nora sara,
sun angruhuning msah.


5. Manira tan arep ruhunan,
nah Jayengrana yatnain,
sigra [32a] ngikal
gadhanira,
Jayengrana mkek
aști,
akudunge parasi,
sang Prabhu Kěṇḍit Birayung,
mawangsit maring raka,
Jayengrana tinumbakin,
kalih kwatnya,
kapyuk tibeng parisnya.


PUH DUHUR


1. Seperti kilat menyemburkan api,
Sekar Dyuh menjerit,
kakinya ditarik,
dililit oleh ular,
sang Jayengpati melompat,
ke daratan,
kemudian, Srepabhumi segera.


1. Kadi glap metu gni
mumbul mūncrat,
Skar Dyuh añjerit,
sukune ring kisma,
anděkung dening sarpa,
lumumpat sang Jayengpati,
maring daratan,
aglis pan Srěpabhumi. [ 92 ]86 2. Memegang kaki sang Jayengrana, pada saat menginjak tanah, dengan kaki kudanya, Ki Sekar Detya tampak bingung, ingin membanting Srepabhumi, tetapi dapat dicegat, oleh Srepabhumi.

3. Orang kafir bersorak seperti petir saat hujan sasih kapat, Umarmaya di belakang, ingin menolongnya, rajanya sedang terdesak, tak henti-hentinya disambar, Malang Sumirang, membawanya terbang ke udara.

4. Umarmaya dipegangnya tak berdaya, kedua tangannya diikat, 32b kemudian, Jayengrana dalam kisma, ditombak berkali-kali, tetapi Sultan tak terhindar dari siksaan berat.

5. Dalam tubuhnya terasa tak ada roh, memenuhi seluruh jasmani, para menteri dari Mekah, merebut rajanya, disingkirkan dari pertempuran,

2. Anambut padane twan Jayengrana, ikang anampak sithi, lan sukuning kudha, nguricang Ki Skar Detya, sang nawuting Srěpabhumi, ararempongan, dening pun Srěpabhumi.

3. Suraking Kapir kadi grěh labuh kapat, Umarmaya ring wingking, arşa anulung, ring ratune kapěsan, tan antara sinanderi, Malang Sumirang, ambakta ring ngawyati.

4. Tan papolah Umarmaya ciněkělan, rinimpusan tangan kalih, 32b mangke Jayengrana ring kisma, wali-wali tinumbakin, anghing tan pasah Sultan lara tab sipi.

5. Amung rasa ring ragadatan paatma, anusup bilang sandi, pramantri ing Měkah, angrabuti ratunya, inosong mundur ring jurit, [ 93 ]87
ke perkemahan, sang raja Nusantara.

6. Bertepuk tangan tertawa terpingkal-pingkal, Sabarlah pikul dia Si Amir, aku belum puas, aku dikira tidak perkasa, kekuatanku di medan perang, Amsyah terkalahkan, oleh Srepabhumi.

7. Raja Nursiwan menari, sambil menunggang kuda, wahai, anakku sekarang, sesungguhnya belum, bermertua aku, Marpintu aku serahkan, kepadamu Nyawa, sang raja Nusantara.

8. Sambil menyembah sebaiknya pulang saja, Amsyah di kemudian hari, sungguh tidak terlepas, menyerahkan diri untuk hidup, berunding di Nusantara, dengan hamba, 33a kalau si Amir setia.

9. Tidak dusta mengabdi kepada hamba, hamba menobatkannya sebagai menteri, sang raja Nursiwan, ring pasanggrahan, sang prabhu Nusontara.

6. Kaplok tangan gumuyu asguk-sguk, sabar tgěn pun Amir, durung sun waneha, sun sengguh tan prakosa, kasakten manira jurit, Amsyah kasoran dening pun Srěpabhumi.

7. Raja Nursiwan ngigěl, sarwi nithih kudha, adhuh anak sun mangkin, ywakti tan durunga, amatwa maring ngwang, Marpintu sun srahin, ring sira Nyawa, sang prabhu Nusontara.

8. Awot sembah bcik mantuka uga, Amsyah ring eñjang-eñjing, wyakti tan urunga, nungkul malaku gsang, aseba ring Nusontara, maring kaula, 33a lamun satya pun Amir.

9. Nora lěnggana ngawula maring kawula, hamba anggawe mantri, sang prabhu Nursiwan, [ 94 ]88
senang (sambil) bergurau sinis, lalu, kedua raja itu pulang, ke Nusantara, bersenang-senang siang dan malam.

suka gumuyu lathah, dan mantuk sang prabhu kalih, ring Nusontara, asukan syang latri.

PUH DHANGDHANG

1. Diceritakan Kimalang Sumirang, di angkasa, menggendong Umarmaya, menuju ke gunung waja, setelah tiba di sela-sela gunung, Umarmaya dikubur di dasar pinggang gunung, setelah dimasukkan, kemudian ditutup, pakaiannya diambil, oleh Kimalang Sumirang, Ki Umarmaya, saudaranya (berada) di gunung, siang dan malam merintih.

2. Rintihannya seperti suara buluh perindu nyaring, Malang Sumirang, pulang ke Nusantara, menghadap kepada kakaknya, menceritakan semua penga-

1. Kimalang Sumirang kawarṇi, ing gĕgaṇa, anyangkil Marmaya, anuju gunung wajane, rawuh ring sigar kang gunung, Umarmaya pinĕndĕm dasar ing ardhi, wus pinulang ingutĕpan, kakasange kambil iku, dening Kimalang Sumirang, Ki Umarmaya, prĕnahe ring ardhi, syang dalu asĕsambat.

2. Sasambate lwir sundari angrangih, Malang Sumirang, mulya Nusontara, parek ring sira rakane, satingkah samya ti[ 95 ]89
lamannya,

ya, kakakku Ki Umarmaya,

sudah menjadi dasar di puncak gunung,

disiksa (oleh) Tambak Layung,

Malang Sumirang segera mengambil,

pakaian Ki Gurit Wesi,

sang raja lalu 33b berkata.


3. Adikku Malang Sumirang,

janganlah kamu ragu mengambil,

simpanlah dengan baik,

di dalam peti,

jangan sampai ada orang tahu,

di kemudian hari Si Amir,

jika disidangkan di Kenya,

aku nobatkan sebagai menteri di situ,

tidak diceritakan dalam pertempuran,

yang diceritakan,

Jayengpati berada di perkemahan,

sedang merasa rindu.


4. Karena adik Srepabhumi,

dengan kudanya,

meringkuk di tanah,

Skardyu tidak dapat berdiri,

banyak yang terluka,

prajurit Mekah sakit hati,


nutur,

Ki Marmaya singgih sang aji,

wus dadi dasaring argha,

sinangsara Tambak Layung,

aglis Malang Sumirang,

kekasange Ki Gurit Wesi,

sang natha 33b aris ngandika.


3. Yayi Malang Sumirang,

aja baribin punang kendya,

wingin sunimpena,

maring sajroning ptine,

aja hana wong kang wruh,

eñjang-eñjing pun Si Amir,

lamun aseba ing Kenya,

sun jěněng mantri haneku,

tan kawarṇa ing payudhan,

kang kawarna,

něng pasanggrahan Jayengpati,

kangěn denya kacurṇan


4. Dening ari pun Śrěpabhumi,

tkaning kudha,

anyalempohang sitya,

Skardyu tan angaděge,

akeh nandangkanin iku,

prajurit Měkah priyati, [ 96 ]90
karena sangat kasihan,

pada Umarmaya itu,

setelah lenyap dari medan perang,

tidak diketahuinya,

antara mati dan hidup,

para menteri dan hulubalang merasa heran.


5. Mereka semua merasa sedih,

yang berada di perkemahan,

satu pun tidak ada yang keluar,

menahan sakit hatinya,

lalu diceritakan (dewi) Rengganis,

berbicara kepada Banjaransari,

air matanya berlinang,

34a ayah tuanku raja,

celaka gugur berperang,

agar tuanku menolongnya,

dan segera berangkat sekarang.


kangĕne twi kalintang,

ring sira Umarmayaku,

saicale maring raṇa,

tan kantĕna,

mwah pjah lawan urip,

eran pramantri pūnggawā.


5. Sakatahe samya nandang sdhih,

ne ring pasanggrahan,

siji tan umdal,

angrasa ngrĕsing atine,

kawarna Rĕngganis iku,

matur maring Bañjaransari,

angĕmbĕng tirtaning waspa,

34a ramaji andika ratu,

sangsara ngmasin yudha,

rama andhika tulungi,

ndah mangkat samangkya.


PUH SLAKA KUNING


l. Tetapi istri paduka jangan diikutsertakan,

merepotkan banyak yang akan melihat,

sebaiknya tinggalkan di sini,

menunggu sekembalinya di istana,


1. Anging ganvan nika aja milĕtti,

rimbat akweh cingak,

bcik karyana iriki,

nungguhana marahing pura. [ 97 ]2. Beliau adalah Raden Banjaransari,

kaget air matanya berlinang,

mendengar kata-kata Dyah ,

Rengganis

berkata ya, adikku bantulah


3. Menyusul ayah paduka Tuan Amir,

Mas Ayu dari Argha,

dan Raden Banjaransari,

segera keluar dari istana.


4. Menuju tempat pertemuan Ratnayu Rengganis,

Ratna Dewi segera,

mempersiapkan barang bawaannya,

dibawa tuan menteri.


5. Lalu Dyah Rengganis terbang melintas di angkasa,

menuntun Raden Mantri,

Ni Dyah Rengganis terbang,

menyatu dengan awan putih


6. Pada saat subuh telah tiba di Nusantara,

turun di Satya,

kemudian, menuju perkemahan,

mereka berdua telah 34b

tiba.


7. Mereka berdua bersaudara menghadap,


2. Sira Raden Bañjaransari,

ěngsěk asmu waspa,

mirěng atur Dyah Rěngganis,

ngandika lah yi tulunga.


3. Anusul mring ramaji twan Amir,

Mas Ayu ing Argha,

lan Raden Bañjaransari,

sigra mdal saking pura.


4. Maring paseban Ratnayuha Rěngganis,

Ratna Dewi sigra,

angucul anjinga neki,

ginaměling twan mantrya.


5. Dyah Rengganis umiběring tawang nuli,

nuntun raden mantrya,

pahiběr Ni Dyah Rěngganis,

awor něgha ptak ika.


6. Mehan subuh prapta maring Nusontara,

turun maring Satya,

muju sanggraha nuli,

kalih ire wus 34b

prapta.


7. Umarěk kalih ira asodari, [ 98 ]92

sedang kesedihan,

keduanya bercucuran air mata,

setelah semua sama-sama melihat.


anandang kamranan,

sang kalih atungutung tangis,

wuspadha anyingak.


PUH NGANTOS


1. Seluruh Raja,

hulubalang (dan) Sala mengunjungi,

para raja dari Raja Putra,

dan Mas Arengganis,

paduka Amsyah berkata,

wahai, anakku berdua datang.


2. Tetapi aku tidak berguna,

berperang dengan si anjing Kupar (itu),

Rengganis anakku,

pamanmu Nyawa tidak ke sini.

karena kakak Umarmaya,

menghilang dari tengah pertempuran.


3. Tidak ada yang mengetahuinya,

antara yang mati dan yang hidup,

Mas dari Argha bersujud menyembah,

mencium kaki mohon permisi,

menghadap kakaknya,

di gunung Ketu Kencana.


1. Sakatah kang para ratu,

pūnggawā Sala mangunjungi,

praratu ring Raja Putra,

miwah ring Mas Arěngganis,

ngandika rama Amsyah,

dhuh nanak kalih prapti.


2. Kalintang nging nirdon ingsun,

ayudha lan Kupar añjing,

Rěngganis anak ingong,

huwa nira Nyawa tan riki,

pan kakang Umarmaya,

ical ring tngěng palupi.


3. Tan kantěn tanana wruh,

ya ta pjah lawan urip,

awot sěmbah Mas ing Argha,

ngaras padha matur pamit,

marěk raka andika,

ing gunung Kětu Kĕñcana. [ 99 ]93
4. Saya menjelaskan kepada ayahanda,

Sang Jayengpati menjawab,

ya, pergilah anakku,

Ratna Ayu Rengganis,

bersujud lalu mohon diri,

Sang Dyah dengan cepat keluar. 35a


5. Segera terbang ke udara,

terbang bersamaan(dengan) angin,

cepat seperti mercu suar,

tidak diceritakan di udara,

dia telah tiba di Aldha Hmas,

menghadap tuan Raja.


6. Dia mencium kaki (sambil) berkata,

ya, ayahku sang resi,

sang pendeta menyahut perlahan-lahan,

mengatakan kata hatinya,

wahai, anakku sekarang tiba,

aku amat kasihan kepadamu.


7. Beliau Mas Nyawa Ayu,

lama tidak pulang,

kau anakku datang dari mana,

karena sudah dua bulan lamanya,

belum pulang ke Kenya,

Dyah Rengganis menyembah.


8. Memang lama saya tidak kembali,


4. Mring rama sun mahatur,

ngandika Sang Jayengpati,

lah lunganing anak ingong,

Ratnayu Arĕngganis,

amitur awot sĕmbah,

anglengser Sang Dyah mdhali. 35a


5. Sigra muluking umambur,

pahiběre awor angin,

mlarot lir mrecutundar,

tan kawarnaning wyati,

prapteng ing Aldha Hmas,

parěk maring rama aji.


6. Angaras padha umatur,

singgih ramada sang resi,

sang paṇḍita sawur banban,

ngandika wacana aris,

adhuh nini mangke prapta,

kangĕn sun ring anak tan sipi.


7. Mring sira Mas Nyawa Ayu,

lami nora amantuki,

sira nini tkeng ĕndi ya,

mapan rong candra alami,

nora mantuk maring Kenya,

Dyah Rĕngganis matur bhakti


8. Wyakti lami titiang mantuk, [ 100 ]seperti ucapan paduka raja,

tidak dapat menasihati,

Sultan dari Puser Bhumi,

yang merencanakan pertempuran itu,

dengan raja Nusantara.


9.Kalah bertempur kemudian terdesak,

menderita luka parah,

dan paman Umarmaya,

lebih dahulu lenyap dari pertempuran,

tidak diketahui hidup atau mati 35b,

tentara Mekah banyak yang menderita luka parah.


kadi wĕcanan ramaji,

tan kĕna arahi andika,

Sultan haneng Pusĕr Bhumi,

angamet yudha punika,

lawan ratu Nusontara.


9. Yudha kandap kapĕs iku,

karangkung anandhang kanin,

miwah huwa Umarmaya,

ical tĕkeng laggha riin,

tan kantĕn pati lan gĕsang 35b

akeh hyadu Mkah nandang kanin.


PUH UNTAT


1. Raja pendeta kemudian tersenyum,

seraya berkata pantas tidak berhasil,

Sultan merasa takut melakukan pertempuran itu,

melawan raja Nusantara,

Raja Brayung,

orangnya teramat sakti,

terlalu berani berperang,

sebab kalah berperang.


1. Nulya mesĕm raja pandita,

ngandika bĕnĕr tan pangundali,

Sultan ngĕb yudhane iku,

lawan ratu Nusontara,

natha Bayung,

sakti ne ian jatmanya,

abot ampĕh aprang,

marma ya ilanging jurit. [ 101 ]2. Pamannya juga gugur,

berada di dasar Gunung
Indrewaji,

oleh Malang Sumirang itu,

disambar dari angkasa,

dibawa dan ditanam di dasar
gunung,

Argawaja saudaranya itu,

kesedihan menangis siang
dan malam.


3. Raja Nusantara itu,

yang kedua bernama Malang,

yang ikut mengalahkan
Srepabhumi itu,

Malang Sumirang membantu
dari atas,

itu sebabnya Kendit Birayung
terhindar dari tembakan,

secara bergantian menyerang,

tetapi hanya bisa,

membunuh tiga orang prajurit.


4. Yang berasal dari Nusantara,

yaitu Malang Sumirang
(dan) Srepabhumi,

mereka di pinggir laut,

dia bernama Macan Sumantri,

sudah bertapa di dalam
gua 36a,

sangat dikasihi oleh dewa,

dalam gua di Gunung Ardindra.


5. Karena sudah takdir Tuhan,

Raden Himan Sumantri,


2. Masih ipun uha gsang,

haneng dasar adri
Indrĕwaji,

dene Malang Sumirang iku,

sinandĕr saking tawang,

kgawa pindrĕm dasar
ing gunung,

Argawaja pranah ika,

siang dalu lara
anangis.


3. Ratu Nusontara ika,

kang karwa Malang ika nami,

ing sora Srepabhumi
teku,

i luhur Malang
Sumirang,

ika marmi Kěndit Birayung
klong kahru,

alilih tanding aprang,

anging kwasa,

matening tri.


4. Kang ngana ing Nusontara,

Malang Sumirang
Srěpabhumi,

hana ta papinggir lawut,

ngaran Macan Sumantri ya,

maring gwa araga sukṣma
sampun 36a

kinasihan dening dewwa,

ing gwa Ardindra giri.


5. Marmining titahning sukṣma,

Rahaden Himan Sumantri, [ 102 ]saudara kakak Tambak Layung,

dahulu ketika di Jabang Hya,

di istana Bendul dibawa ke Jamrahum,

diceritakan Gua Indra,

dilindungi oleh Tuhan.


6. Memberikan pengobatan,

kepada Sultan Arab,

juga menyerahkan senjata kepada raja,

Kendit Birayung yang amat sakti,

Ni Rengganis mendengar ucapan sang biksu,

berkat salam hatinya,

hendak pergi ke pinggir gunung.


pranah kakah Tambak Layung,

ing kina dhuk Jabang Hya,

ingjro Bhĕndul binakta ing Jamrahun,

winarnaning gwa Indra,

cinadang dening Hyang Widhi.


6. Angaweh ikang usadha,

maring Sultaning Arabi,

aweh sĕnjate ring sang prabhu,

Kĕndit Birayung kang saktya,

Ni Rĕngganis myarsa

lingning sang biksu,

angling sajroning nala,

laledang pinggiring ardhi.


PUH DANGDANG

1. Sang pendeta kemudian berkata,

wahai anakku,

anakku Nyawa,

pergilah sekarang anakku,

hanya anakku yang dapat menolong,

pamanmu yang sedang menderita,

berada di dasar Aldha,

menangis siang dan malam,

pamanmu menjerit-jerit,

sangat sengsara,


1. Sang pandita angandika aris,

aduh nini,

anak ingsun Nyawwa,

lungha mangke anak ingong,

nini huga atulung,

maring hwa nira kasyasih,

haneng dasar ring Aldha,

nangis syang dalu,

hwa nira asĕsambat,

lintang lara, [ 103 ]karena ditindih gunung,

ya anakku membongkamya.


2. Jika kamu sudah berhasil membongkar, 36b

pamanmu Arya Umarmaya,

hendaknya aku dipanggil,

aku ingin bertemu,

Ratna Rengganis menyembah,

mohon pamit sambil mencium kaki,

segera terbang melayang,

menyatu dengan embun putih,

tidak diceritakan,

terbangnya Ni Rengganis,

telah tiba di atas Aldhawaja.


3. Sang Dyah semakin ke bawah turun ke tanah,

berdiri di puncak Argha,

telah lupa (lalu) mengingat-ingat,

merenung membungkuk,

sang Ratnayu di kejauhan mendengar,

tangis di dasar gunung,

sang Dyah Ayu (dengan) segera,

membelah gunung waja,

Aldha itu,

setelah pecah menjadi dua,

Ni Mas Ayu Argapura.


Kemudian disambar Umarmaya dipegang,


deni tinĕtĕhing ukir,

lah nini buncalana.


2. Yan wus kĕna de nira muncali, 36b

Arya Umarmaya hwa nira,

hyatna panggilan ingong,

arsa ingsun atmu,

awot sĕmbah Ratna Rengganis,

pamit angara padha,

kesah sigra mambur,

awor lawan mengha ptak,

tan kawarna,

pahibere Ni Rĕngganis,

ing Aldhawaja kungkulan.


3. Sang Dyah mingsor tumurun ring sithi,

angadĕga ring puncaking Argha,

iwang nahĕn minge-minge,

meling-meling jangkuk,

sang ratnayu sawat miarsi,

tangis ring dasar Argha,

sigra sang Dyah Ayu,

anyigar kan gunung waja,

Aldha ika,

wus sigar dados kakalih,

Ni Mas Ayu Argapura.


4. Ndan sinamdér Umarmaya kni, [ 104 ]tangannya,

diangkat ke atas,

Umarmaya sangat kaget,

telah tiba di puncak gunung,

Umarmaya sangat bangga hatinya,

(lalu) berkata wahai anakku,

sebagai raja wanita,

dewa pujaan yang termulia,

jika tidak kamu,

(kau) anakku menolong kami,

37a pasti paman akan mati.


5. Ni Dewi Rengganis berkata,

ya, paman,

sebaiknya datang,

menghadap ke Aldha secepatnya,

ayah hamba ingin bertemu,

lebih baik paman pulang,

menghadap segera ke Aldha,

bertemu dengan sang pendeta,

Umarmaya menjawab,

ya, paman sekarang akan mengikuti,

perjalanannya sangat cepat.


asta nira,

binuncal mungguha,

Umarmaya lintang kaget,

prapta ri puncak gunung,

Umarmaya bungahing ngati,

angling dhuh putraning wang,

ratuning wong wadhu,

dewaning isti utama,

yan tan sira,

nini atulung ring mami,

37a tulus hwa palatra.


5. Anawur ri Ni Dewi Rĕngganis,

singgih hwa,

bcik andika mara,

marahing Aldga kmase,

rama hamba ayunta tmu,

bcik huwanda mantuki,

marahing Aldha Hmas,

panggih lan sang wiku,

Umarmaya asawura,

pun huwa mangkya angiring,

angumambang lampahnya.


PUH LUH TOKAL


1. Tak diceritakan perjalanan mereka berdua,


1. Tan kawarna lampah sang kalih, [ 105 ]tiba-tiba mereka telah sampai,

di Arghapura,

lalu menghadap sang pendeta.


2. Di hadapan sang pendeta,

sama-sama berbakti,

sang pendeta berkata,

wahai, adinda tak direstui,

oleh Tuhan yang ada di dunia.


3. Dari dahulu selalu mengalami penderitaan,

semoga nanti menemukan kebahagiaan,

namun, adinda agar selalu,

mengutamakan perbuatan yang benar.


4. Karya berat dan ringan (adalah) takdir Tuhan,

tak dapat dihindarkan,

sekarang gantilah namamu,

adinda bemama Sukuwajya.


5. 37b Itulah nama adinda,

sekarang hendaknya pergi,

menghadap pada sang pertapa,

dalam gua di Gunung Indragiri,

di sana ada orang sedang bertapa.


6. Man Sumantri nama yang akan menolong adinda,

kancit prapta nira,

haneng Arghapura neki,

laju marek sang pandita.


2. Maring jong sang,

wiku sama ngabakti,

sang wiku ngandika,

adhuh yayi tan pinasti,

dening hyang haneng dunya.


3. Manggih mala rahat katkeng riin,

ri wkas manggih ing arja,

nora lyan amung yayi,

kang prayogyang lakonana.


4. Karya abot lan enteng titah Hyang Widhi,

tan kĕna ingobah,

mangke gentos ikang nami,

yayi ngaran Sukwwajya.


5. Bisekaning yayi,

ing mangke lumaris,

parĕk ring sang ngatapa,

mring gwa ardi Indragiri,

haneng rika wentĕn sang ngatapa.


6. Man Sumantri parabe ring anda tulungi, [ 106 ]dan senjata yang bisa,

membunuh raja Nusantara,

putranya (yaitu) Rengganis diikuti.


7. Pamanmu Rahaden Arya Gurit Wesi,

tetapi ada permintaan saya,

kamu agar pergi melalui darat,

jangan coba-coba melintas di angkasa.


8. Jika sudah sampai di gua gunung itu,

janganlah ikut masuk,

sebab Rahaden Man Sumantri,

sudah berbadan gaib.


9. Tidak dapat dilihat oleh orang perempuan,

sangat gelap tak tembus oleh mata,

Ni Rengganis lalu permisi,

bersama Raden Pakuwaji.


10. Semua berjalan di darat Gertakresi,

yang disebut Argapura,

benar datang perbuatan ini,

perjalanan yang sangat jauh.


11. Tidak diceritakan dalam perjalanan mereka telah tiba,

Di Gunung Ampyan Adindra,


lan sanjata wnang,

matanin prabhu Nusontara

nini anak Rĕngganis tutha.


7. Hwa nira rahaden Arya Gurit Wĕsi,

anging wawkas ingwang,

nini margeng darat ugi,

aja sabar margeng tawang.


8. Yan wus prapta haneng kĕdok ikang ukir,

aja milwa malĕbwa,

mapan Rahaden Man Sumantri sampun maraga suksma.


9. Tan kena dulu dening wang pawestri,

pteng tan katinggalan,

nulya amit Ni Rengganis,

kalih Raden Pakuwaji.


10. Sami darat laku saking dari Gĕrkatresi,

ngaran Arghapura,

tka bĕnĕr laku neki,

lampah amangawang-ngawang.


11. Tan kawarna sireng marga wus prapti,

ring Ampyan Adindra, [ 107 ]38a mereka berdua berhenti sejenak,

Dyah Arga berkata pelan,


12. Ya, paman saya di sini menunggu,

paman saja yang masuk,

Gurit Wesi menjawab,

wahai, saya putranya Nyawa.


13. Hendaknya sabar menunggu di sini,

ya, silakan menunggu,

Raden Pakuwaji segera,

pergi menuju Gunung Adindra,


14. Dani jiwa yang sungguh suci,

seperti terang benderang di dalam gua,

sang pertapa yang mengutamakan kebaikan,

sebab beliau sudah pandai.


15. Tentang kedatangan I Pakuwaji,

sudah diketahui oleh sang pertapa,

kalau Guritwesi yang datang,

pasti segera datang menuju pintu.


38a giri kalih araryani,

alon matur Dyah Arga.


12. Inggih wwa iriki titiang nganti,

hwa huga malĕbwa,

nawurin pun Gurit Wĕsi,

dhuh sun putra nira Nyawwa.


13. Kna ugi nanak ayu ngantĕk riki,

riki kang ngantuna,

sigra Raden Pakuwaji,

lunga mring Ardindra iryya.


14. Saking pramaning sukṣma ing sejati,

jroning gwa lwir rapadhang,

sang atapa wihing kerti,

mapan sampun ida wikan.


15. Sadulure rawuh I Pakuwaji,

wus ngantun sang atapa,

lamun Guritwĕsi kang prapti,

sigra prapta maring lawang. [ 108 ]16. Lalu, dilihat masuk dengan kakaknya,

terlebih dahulu disalami,

Raden Arya Pakuwaji,

saling berhadapan denga sang pertapa.


16. Ris malĕbhu panggih lawan rakaki,

hulu kasalaman,

Raden Arya Pakuweji,

marahing anda sang atapa.


PUH DHANGDHANG


1. Kemudian, keduanya saling berjabat tangan,

lalu duduk,

Arya Pakuwaji,

Ki Damat menyampaikan sembah,

sang pendeta lalu merangkulnya,

dan mencium Ki Guritwesi,

wahai, Arya 38b Pakuwaji,

berbahagialah kamu datang,

seperti yang telah diharapkan,

(untuk) mencari,

senjata yang dapat membunuh,

sang raja dari Nusantara.


2. Dan, obat Sultan yang terluka parah,

di dalam pertempuran,

kakak sudah menyediakan,

senjata dan obatnya,

kakak sungguh tidak mengetahui,

karena baru kali ini ber-


1. Nulya salam jabat tangan kalih,

nulya lĕnggah,

Aryya Pakuwaji,

Ki Damat atur sĕmbahe,

sang wiku nulya ngrangkul,

sarwi ngaras Ki Guritwĕsi,

duh Aryya 38b Pakuwaji,

bayane ta rawuh,

kang kadi kasinadyan,

angulati,

sañjata ikang matenin,

sang prabhu ring Nusontara.


2. Lan usadha Sultan aṇḍang kanin,

ring payudhan,

kaka wus cumadang,

sañjata lan usadane,

ywakti pun kakang tan wruh,

dene tĕmbe mangkye [ 109 ]jumpa,

bagaikan orang mimpi,

ibu, ayah dan adinda,

apakah masih hidup atau mati,

ada berapa,

kakak dan adikmu semuanya,

ya, coba katakan sekarang kepadaku.


3. Arya Guritwesi menjawab,

ya, ayah,

(dan) ibuku sudah tiada,

hanya saya yang tinggal sendiri,

tidak punya saudara,

tetapi orang tua Ambarawati,

ketika masih hidup,

ketika melahirkan putra,

konon putranya laki-laki,

semasih bayi,

baru berumur tiga bulan,

ia lenyap dari Bandulan.


4. Tidak diketahui hidup atau mati,

sang pertapa,

air matanya berlinang-linang,

jatuh membasahi dada,

39a bercucuran dari atas,

tersedu-sedu keluar tangis,

sangat lama menahan nafas,

tidak bisa bicara,

dan tidak dapat menjelaskan,

sang pertapa,

berkata bercampur tangis,

wahai, Arya Pakuwaja.


kapanggih,

kadi wong aswapna,

ibhu rama masku,

yan kari utawi sedha,

hana pira,

dhalure raka rai,

lah pajarěn mangke

ring ngwang.


3. Anawurin Arya Guritwĕsi,

inggih rama,

ibu sampun lina,

amung hamba kari newek,

tan darbe sadulur,

anging rama Ambarawati,

dhuk rama ring gsang,

těmbe ndarbe sunu,

putrane reke lanang,

kari bajang,

wawu umur tigang sasih,

muksah sireng Bandulan.


4. Nora kantěn pati lawan urip,

sang ngatapa,

angěmbeng ikang waspa,

tibeng jaja anaretes,

tumka maring luhur, 39a

ginublan mawtu kang tangis,

srĕgung uñjal amkĕkan,

tan bisa amuwus,

nanging norakna wakta,

sang ngatapa,

anabdha winor ing tangis,

dhuh Aryya Pakuwaja. [ 110 ]5. Sekarang saya pergi mengambil,

senjata itu,

dengan obatnya,

kemudian sang pertapa pergi,

mengambil bambu,

dua batang yang sebatang,

untuk membunuh sang raja,

yang sebatang lagi,

dipakai membunuh Malang Sumirang,

dan air suci,

untuk membunuh Srepabhumi,

kemudian, sang pertapa kembali


6. Ke tempat sang Gurit Wesi,

berkata perlahan-lahan,

wahai, Pakuwaji,

ini senjatanya,

yang satu itu,

gunanya untuk membunuh,

sang Raja Nusantara,

yang satu itu,

untuk membunuh Malang Sumirang,

air suci itu,

untuk membunuh Srepabhumi,

dipercikkan di tempat tinggalnya.


7. Yang ini dipakai obat luka,

39b sudah semuanya,

siap sedia seluruhnya,

ditempatkan pada kantung,


5. Ingsun lunga mangkin ngambil,

kang sanjata,

kalawan usadha,

sang ngatapa nulya lengser,

angambil punang wuluh,

roro wuluh kang sawiji,

amatenin sang natha,

kang sawiji huluh,

amatenin Malang Sumirang

miwah tirtha,

matenin pun Srepabhumi,

ndah wangsul sang ngatapa.


6. Ring prenahe Aryya Gurit wěsi.

alonabdha,

adhuh Pakuwaji,

iki sanjatane,

kang sawiji puniku,

anggen ira kang mateni,

sang Prabhu Nusontara,

sawiji punika,

amatenin Malang Sumirang,

iki tirtha,

matinin pun Śrĕpabhumi,

tame sna ring kismā.


7. Iki maka usadhaning kanin,

39b sampun samya,

sumapta sadaya,

winadah dening kastula, [ 111 ]sang pertapa menunduk,

tidak kuasa lagi melihat,

kepada Arya Pakuwaji,

dengan perlahan-lahan berkata,

Raden Arya Pakuwaji,

hamba memohon,

permisi kepada sang pertapa sekarang,

sang pertapa menjawab.


8. Ya, pergilah adik dengan hati-hati,

Raden Arya,

Pakuwaji carilah,

(dan) ikuti petunjuk jalannya,

perjalanannya sangat cepat,

lalu, tiba ditempatnya menunggu,

Mas Ayu Arghapura,

Sang Ayu berkata,

bagaimana usahamu,

dijawab oleh,

Raden Arya Gurit Wesi,

paman berhasil mendapatkannya.


sang ngatapa tumungkul,

tan kawasa mangkya ninggalin,

ring Aryya Pakuwaji,

alon denya muwus,

Raden Aryya Pakuwaja,

hamba nědā,

pamit ring andika mangkin,

sawure sang ngatapa.


8. Lah lungaha yayi den abcik,

Raden Aryya,

Pakuwaji linggar,

tinuti ulat lakune,

lampah iran andarung,

nulya prapta prenahe nganti,

Mas Ayu Arghapura,

Sang Ngayu amuwus,

kadi pundi kang sinadya,

sumawura,

Raden Aryya Gurit Wěsi,

huwa angsaling karya.


PUPUH PANGKUR


1. Ya, berangkatlah anakku,

semoga cepat tiba di Nusantara,

Pakuwaji lalu berkata,

bawalah paman mas Nyawa,


1. Lah umaris anak ingwang,

den age rawuhing Nusontara,

Pakuwaji nulya sumawur,

baktanen hwa Mas Nyawwa, [ 112 ]terbang di angkasa supaya secepatnya tiba,

menuju Nusantara,

(kemudian) Sang Ratna Rengganis.


2. Segera mengatur penglihatannya, 40a

dipegang oleh Arya Gurit Wesi,

melayang ke angkasa,

berada di atas awan,

kecepatannya seperti angin,

berada di atas,

tak terasa dalam penerbangan,

sehari sudah tiba.


3. Di pondoknya saat malam hari,

(di) Nusantara,

Sang Ratna Ayu Arengganis,

segera turun dari udara,

keduanya perlahan-lahan berjalan,

mereka berdua menuju keperkemahan,

semua hulubalang,

merasa senang dalam hati.


4. Mereka semua mengunjungi,

Ratna Ayu dan Gurit Wesi,

Marmadhi menangis tersedu-sedu,

Ki Demat mencium kaki,


anggagana den aglis prapta iku,

marahing Nusontara,

Sang Ratna Ayu Arĕngganis.


2. Sighra anguncul ancingak, 40a

ginaměl dening Aryya Gurit Wěsi,

muluk gagana umambur,

aming duhur awor mega,

gañcang ngira Iwir awus,

haneng luhur,

tan asari pahiběran,

sadina nulya prapti.


3. Ring pondokan kala wĕngya,

Nusontara,

Sang Ratnayu Arengganis,

sigra ring dara tumurun,

kalih alon denya lumampah,

merěk ring pasanggrahan kalih iku,

sakatahe prapunggawa,

samya bhungah ikang ngati.


4. Angunjungi sakabeha,

maring Ratna Ayu miwah Gurit Wěsi.

Marmadhi anangis asruh,

Ki Demat angaras pada, [ 113 ]hamba tidak mengira akan hidup lagi,

sambil menangis dia menjawabnya,

menangis (itu adalah) kebodohan.


5. Seperti anak kecil mulutnya menganga,

bagaikan mulut ikan jagul,

jika saya pergi,

tidak akan tiba lagi di Kenya,

berjumpa denganmu,

tenanglah adikku,

Raden Pakuwaji, 40b

mengambil bakul tempat obat-obatan.


6. Sultan segera diobati,

tak diceritakan seketika sembuh seperti sedia kala,

belum waktunya,

celaka,

sebab bertambah kekuatannya,

tunggangan I Skardyu diobati,

konon lukanya telah sembuh,

para raja dan menteri sudah sehat semua.


7. Semua yang terluka,

diobati sehingga sembuh seperti sedia kala,

semua merasa gembira


bhotěn nyana kaula urip sadulur,

saking nangis pasawurnya,

bablěhe anangis.


5. Kaya boncah cangkeme mangap,

kadi cangkem bajulneki,

yen manira alampah,

nora malih prapteng Kenya,

kapangliha lan sira,

mněng arin ingsun,

Raden Aryya Pakuwaji, 40b

amet skul wadah sadhi.


6. Sultan sigra tinambanan,

tan danantara waluya pramangkin,

norana tělasing,

lacur,

sangkan wuwuh ring kakwatan,

tinambanan undakin I Skardyu,

purnna tatuning reka,

wus kwat ratu pramantri.


7. Sakatahekang kecurnan,

tinambanan sami walyana mangkin,

sami egar ngraseng [ 114 ]setelah sehat,

tidak diceritakan malam harinya,

konon keesokan harinya,

Sultan Arab itu,

menyuruh memukul gong kendang,

dan mengobarkan bendera.


8. Dipimpin oleh I Sekar Detya,

semua prajurit Mekah serempak mengambil,

segala perlengkapan perang,

Mas Ayu dari Arghapura,

konon bersenjatakan sebuah suligi,

dan Raden Pakuwaji,

membawa (senjata) bhanyu tirthagni.


9. Ditempatkan pada tempayan kecil,

semua segera keluar mengatur pasukan,

gong beri kemudian dipukulkan,

soraknya bagaikan halilitar memecah bumi, 41a

rakyat Nusantara mendengar sorak yang riuh,

jika orang-orang Mekah itu datang,

di medan perang (tentu) mengatur pasukannya.


kukuh,

tan kawarna ikang latrya,

kawarnaha enjing,

Sultan Arab iku,

ngakonabuh gong kendang,

anggunggahaken tungguli.


8. Ingasihan I Skar Detya,

sakakwehing wadya Mekah angambil,

saha gagaman ipun,

Mas Ayu ing Arghapura,

asikep suligi siji kawuwus,

ring Rahaden Pakuwajya,

makta bhanyu tirthagni.


9. Winadhaning kaskula,

sigra samya mtu kweh nathah baris,

tinabuh gong lan tambur,

surakadi hrug kang jagat, 41a

wong Nusontara myarşa surak anguwuh,

yan wong Mkah ika prapta,

ring tgal anathah baris. [ 115 ]10. Ingin memulai pertempuran,

kemudian, segera dilaporkan kepada raja,

jika pasukan Mekah telah tiba,

ingin memulai pertempuran,

sang Raja Madhayin,

Kendit Birayung,

beliau keluar dari persidangan,

lalu memukul kentongan.


11. Mereka ingin menang dalam pertempuran,

seluruh tentara Nusantara,

dan rakyatnya pun telah siap siaga,

kemudian, para raja bubar,

Raja Nursiwan dan Kendit Birayung,

dikawal oleh pasukan,

yang siaga dan lengkap dengan senjata suligi.


12. Sang raja dari Nusantara,

mengendarai kereta putih

sang Raja Madhayin,

menunggang kuda putih,

segera menyerang dengan gencar,

diikuti oleh suara gamelan,

pertanda kehancuran akan datang.


10. Pakṣa amulaken yudha,

sigra glis katur ring śri bhupati,

yen wong Mkah wus rawuh iku,

paksa malyaken yuddha,

śri bhupati Mdhayin,

Kěndit Birayung,

mdal idhaneng paseban,

tangurang tinabuh nuli.


11. Işta miyosing digjaya,

sakatah prajurit Nusantara,

lan wadya wus sayaga sampun,

nulya bubar tri narendra,

bri Nursiwan Kěndit Birayung,

ingiring dening wadya,

wus sayaga sangkep suligi.


12. Sang natha ing Nusontara,

anitihin Wilamana putih

sang prabhu Mdhayin iku,

awahana kudha ptak,

gagancangan lakune amagut cucuh,

sinawuraning gamelan,

kadhurmanggalaning prapti. [ 116 ]PUH DHURMA


1. Sang raja dari Nusantara segera datang, 41b

kemudian, menyiapkan pasukan,

sang Raja Nursiwan,

dan Raja Nusantara,

beliau selalu berdekatan,

lalu berkata,

sang Raja Nusantara.


2. Hamba sangat kagum pada Si Amsyah,

tidak mempunyai rasa malu,

tidak menghargai diri,

karena sudah dikalahkan,

sekarang ingin memenangkan pertempuran,

tidak dapat dihindarkan,

akan menjadi pecundang kedua kalinya.


3. Raja Kendit Birayung,

memberitahukan pengikutnya,

yang berada di dalam rumah,

dan yang ada di angkasa,

beliau Malang Sumirang,

menunggang naga berwujud manusia,

terbang melayang-layang,

menghalang-halangi musuhnya.


1. Sigra prapta sang natha ing Nusontara, 41b

nulya anathah baris,

sang prabhu Nursiwan,

sang prabhu Nusontara,

tan adoh denya lumaris,

aris anabdha,

sang prabhu Nusontara.


2. Gawok těměn kaula ring Si Amsyah,

nora adrebe isin,

nora numanmatha,

denya wus apicundang,

mangkin arsa molih jurit,

nora urunga,

kapicundang ping kalih.


3.Prabhu Kendit Birayung,

angwasitin kadhang,

kahaneng jroning siti,

miwah kang ring tawang,

sira Malang Sumirang,

mawahana nagha jadmi,

angawang-angawang,

angimbang-imbangi rai. [ 117 ]4. Lalu, diceritakan Ayu Mas Arghapura,

sudah melintas di angkasa,

Raja Nusantara,

melalui medan perang,

mengendarai kereta putih,

bersenjatakan suligi,


5. sambil sesumbar (dan) berteriak

Mana pecundang yang tak pantas pulang,

ya, majulah kau Amir,

tidak menghargai diri,

Jayengrana mendengarkan,

42a Skardyu segera maju,

lalu dihadang,

oleh Raja Nusantara.


6. Sorak para prajurit seperti menggoncang bumi,

kuda-kuda berjungkir balik,

dengan kereta,

Malang Sumirang segera,

mengintai dari angkasa,

tidak diketahuinya,

ada yang mengintai dari belakang.


7. Punggung Malang Sumirang ditombak,

dengan bambu api,

tepat kena sasaran lalu terguling,


4. Dan kawarna Mas Ayu Arghapura,

sampun margeng ngawyati,

prabhu Nusontara,

anbah ring dilagha,

anitih wilmana putih,

sikep suligya,

asumbar anguwuhi.


5. Ĕndi kono picundang wnang mulya,

lah měrene pun Amir,

nora kumanmatha,

Jayengrana mirangang,

42a Skardyu cinamti,

nulya kapapag,

lan prabhu Nusantara.


6. Suraking bala kadi obah kang pratala,

kuda atangkĕb miring,

kalawan wilmana,

aglis Malang Sumirang,

saking tawang ngintip-intip,

nora wikana,

yen hana saking wingking.


7. Dan tinumbak gigire Malang Sumirang,

dening hulu agni,

kna nukyah pasah, [ 118 ]tembus sampai ke dada,

Malang Sumirang tewas,

mayatnya hancur,

Jayeng Palupi segera.


8. Menembak ke arah Raja Nusantara.

dengan bambu api,

tepat kena lalu jatuh,

dari keretanya,

jatuh di tanah lalu mati,

kemudian tiba saatnya Srepabhumi.


9. Diperciki dengan air suci

yang digendong oleh Pakuwaji,

kemudian, Srepabhumi tewas,

mayatnya hancur lebur,

prajurit kafir menyaksikan,

rajanya telah wafat,

lalu mundur lari tunggang-langgang.


10. Semua mengungsi masuk ke dalam istana, 42b

satu pun tak ada yang ketingalan,

tak ada yang berani menoleh ke belakang,

kemudian, Raja Nursiwan,

dengan semua prajuritnya,

bubar lari berpencar,

menuju hutan dan gunung.


trus katkeng jaja,

Malang Sumirang ngmasin,

muksah wangkenya,

aglis Jayeng palupi.


8. Anuju maring prabhu Nusontara,

dening huluh agni,

kna nulya tiba,

saking wilmana nira,

tibeng lĕmah nulya mati,

mangke ta sira pun Śrĕpabhumi.


9. Tinetesan de nira Pakuwaji,

dening tirtha sangkil,

Śrĕpabhumi pjah,

wangken ipun mukṣaha,

wadya Kapir aninggalin,

ratunya pjah,

mlayu mungkur kambing.


10. Samya ngungsi malěbu dalĕm kuta, 42b

siji tanana kari,

tanana nolih untat,

mangke prabhu Nurśiwan,

tkaning wadyane sami,

bhubar mlaywa,

angungsi wana giri. [ 119 ]11 Nusantara dikepung dihadang,

oleh para prajurit Arab,

pintu istana ditutup,

prajurit Puser Bhumi bersorak,

memenuhi kota,

dihujani peluru.


12. Kemudian, Ki Tumenggung Jaladara bermusyawarah,

dengan seluruh menteri,

di dalam istana Nusantara,

semua mempertimbangkan upaya perang,

karena dikalahkan berperang,

sang raja telah tiba,

Ki Jaladara berkata.


13. Wahai, para menteri saya bertanya kepadamu,

bagaimana kehendakmu sekarang,

karena negaramu,

Nusantara kelaparan,

saya menuruti kehendakmu,

yang ditanya,

semua menjawab setuju.


14. Ya, terserah paduka melakukan,

hamba ikut menyerah,

mohon hidup,

hamba mengabdi,

kepada Raja Puser Bhumi,


11. Nusontara kiněpung kinaṇḍang-naṇḍang,

dening wadya ing ngarabi,

nginĕp lawan kutha,

surak wadya Pusĕr Bhumi,

ngepang nĕgara,

kaudaning mimis.


12. Nulya aguněm Ki Tumĕnggung Jaladara,

lan sakatahing mantri,

jroning Nusontara,

sami nimbang rarasan,

dene kasoran ajurit,

ratunya lina,

Ki Jaladara angling.


13. Ih prĕmantri isun atakon ring sira,

paran karĕpta mangkin,

dene něgaranta,

Nusontara kilapar,

sun anut karĕp sireki,

kang tinakonan,

sami asawur paksi.


14. Singgih arşa dane tan papolah,

hamba ngiring nungkuli,

amalaku gsang,

anda angawula,

maring prabhu Pusĕr Bhumi, [ 120 ]43a Jaladara

dengan perlahan berkata.


15. Jika kehendakmu sama-sama sepakat menyerah,

ya, segera sekarang disuruh,

memasang bendera,

agar tampak jelas dari luar,

naikkan bendera putih,

tanda menyerah,

kepada Raja Jayeng Murti.


16. Kemudian, keluar bersama-sama tanpa senjata,

semua berpakaian putih,

pertanda menyerah,

semua memeluk dada,

segera menunjukkan tanda,

menaikkan bendera,

menjulang tinggi bendera putih.


17. Bendera itu tampak dari luar istana,

semua orang Nusantara,

tidak membawa senjata,

berbusana serba putih,

segera berjalan melalui pintu masuk,

Ki Jaladara,

diiring oleh semua menteri.


18. Tak ketinggalan para bangsawan Nusantara,

delapan ratus menteri,


43a Jaladara,

alon denira angling.


15. Yen sambadha karĕpta pada nungkula,

lah mangke koněn aglis,

amasang bendera,

den awas saking jaba,

ungguhan bandera putih,

ciri nungkula,

ring prabhu Jayeng Murti.


16. Nulya sarĕng mdhal aja asañjata,

sami angangge putih,

tatan anungkula,

sami amkul jaja,

sigra akarya ing ciri,

ngandhěg bĕndera,

nginggil bandera putih.


17. Kang bandera katon saking jawining kuta,

sakeh wong Nusontara,

nora anggawa braja,

angangge sarwe ptak,

śigra awana kori,

Ki Jaladara,

kering sakehing pramantri.


18. Akrigen saprěmenaking Nusontara,

domas katahing pramantri, [ 121 ]keluar menyerahkan diri,

segera diserahkan kepada Sultan,

berkata yang memimpin pertempuran,

ya, bantulah,

Jaladara secepatnya.


19. Kemudian, Raden Pakuwaji segera berangkat,

43b segera membantu,

Patih Jaladara,

menghadap raja,

setibanya (beliau) berbakti,

mencium kaki,

menyerahkan diri,


20. Sang Jayeng Payasan segera berkata pelan,

adinda rakryan patih,

syukur ditakdirkan Tuhan,

adinda (kau) saudaraku,

bersama menanggung baik dan buruk,

satu agama,

menyembah Tuhan Yang Esa.


21. Kemudian, adinda menyembahlah kepada Brahala,

menganut agama Nabi Brahim,

selanjutnya cerita dipersingkat,

lalu diceritakanlah Sadhat,

disaksikan oleh Nabi Brahim,


mdhal anungkul,

glis katur maring Sultan,

ngandika ang murbeng jurit,

lah timbalana,

Jaladara den aglis.


19. Nulya mangkat Rahaden Pakuwaji,

43b animbalakĕn aglis,

patih Jaladara,

marĕk maring ayunan,

srawuhe angĕbakti,

angaras padha,

angaturang pati urip.


20. Ngandika alon Sang Jayeng Payasan,

yyayi rakryan patih,

sukur sihing sukṣma,

yayi sanak lang ingwang,

sarĕng nmu ala bcik,

tunggal agama,

ngastukĕn Alah siji.


21. Mangkin yayi mari anĕmbah Brahala,

anut gama Nabi Brahim,

sidik hata wekas,

mangke lah ucap Sadhat,

nyakşenin anabi Brahim, [ 122 ]Ki Jaladara,

berkata ambil menyembah.


22. Ya, tuanku raja hamba bukan menolak,

lalu, semua menteri,

dan para prajurit,

semua mengucapkan Sadat,

ikut menyebarluaskan Agama Islam,

meningkatkan iman,

(kemudian) Jayengpati berkata.


23. Adinda Jaladara sekarang menjadi raja,

memerintah Nusantara,

memeluk agama,

sembahyang lima kali,

dengan batas empat bulan sekali,

44a sewaktu hari baik,

melaksanakan ibadah puasa.


24. Adiklah yang membangun tempat persembahyangan,

adinda pula yang membangun permukiman,

suluh lu patpat,

dan yang membangun Jumaat,

Jaladara lalu berkata,

ya, baiklah,

raja yang baru lalu berkata.


Ki Jaladara,

matur sarwi awot sari.


22. Singgih dewa kaula boya lĕnggana,

nulya sakehing mantri,

tkan ikang wadya,

sami angucap Sadat,

sarĕng mañjang gama suci,

anandang himan,

angandika Jayengpati.


23. Mangke yayi Jaladar ngaděg raja,

aměngku Nusontara,

tětěp agama,

sambayang waktu lima,

jroning sawang saṣa sasih,

44a sanangkĕn ramat,

apwasa den agati.


24. Yayiakĕn akaryya kang langgar,

yayi karyana mukim,

kalawan suluh lu patpat,

angaděg na Jumaat,

Jaladara matur aris,

inggih sandika,

prabhu anyar nabdha aris. [ 123 ]25. Kepada prajuritnya untuk bekerja membangun langgar,

semua rakyat Nusantara,

sampai ke kelurahan,

beramai-ramai mengerjakan,

dalam sehari langsung jadi,

(pekerjaan) itu dibagi-bagi,

raja yang baru berkata lagi.


26. Semua orang membawa harta kekayaan,

kepada sang raja yang telah wafat,

sampai dengan warganya,

karena banyak beban,

semua disuruh membawa,

ke perkemahan,

sultan dari Puser Bhumi.


27. Setelah kekayaan raja semua diserahkan,

kepada sultan dari Arab,

kemudian diserahkan,

kepada Aryya Pakuwaja,

(karena) senang dan sangat belas kasihan,

prajurit Mekah,

dan prajurit Nusantara.


28. Jayengrana berkata 44b

di dalam forum,

adikku Raja Mukaji,

ya, silakan pulang,

adik menuju ke Mukadam,

kata Raja Mukaji,


25. Ring wadyane nambut karya ngadeg langgar,

sakeh wadya Nusontari,

tkaning lurahan,

gumuruh nambut karya,

sadina anulya dadi,

masigit ika,

prabhu anyar ngandika aris.


26. Akweh wang mundut raja brana,

ring sang prabhu kang mati,

tkaning warganya,

pan katahing pundutan,

kinon miyos amarěki,

ring pasanggrahan,

sultan ring Puser Bhumi.


27. Sampun katur pragawa lan raja brana,

maring sultan ing Arabi,

anulya sinarah,

ring Aryya Pakuwaja,

sukane tur lintang ngasih,

wadyaning Mkah,

lan wadya Nusantara.


28. Angandika Jayengraṇa 44b

ring paseban,

adhi raja Mukaji,

lah payu mantuka,

adi mara ring Mukadam,

ature prabhu Mukaji, [ 124 ]mohonlah pulang,

karena tujuannya sudah tercapai.


29. Akan tetapi sampaikanlah

(kepada) raja baru Jaladara,

Jayengpati berkata,

ya, adinda tetaplah,

memegang pemerintahan negara,

janganlah berhenti berbakti,

dengan melaksanakan Sadat,

sesuai dengan agama.


30. Raja Jaladara menyembah sambil berkata,

baiklah hamba menuruti,

sultan berkata,

menghadap Raja Maktal,

hendak mengambil busana,

semua bersiap-siap,

para bangsawan Nusantara.


31. Raja Jaladara kemudian dipersiapkan,

dengan busana utama,

tidak ada yang ketinggalan,

para mentri Nusantara,

semua merasa sangat senang,

sultan dari Arab,

menyuruh memukul gong beri.


32. Pertanda bubar dari perkemahan,


nda mantuka,

dene wus putus kardhi.


29. Ndan sinengan prabhu anyar Jaladara,

ngandika Jayengpati,

yayi lah kantuna,

amung ngraksa negara,

ajěha měgat angebakti,

akarya ing Sadat,

manuting agami.


30. Awot sembah matur prabhu Jaladara,

sandika hamba ngiring,

sultan andika,

marahing raja Maktal,

angambilakěn pisalin,

samya dinada,

prěmenak Nusontari.


31. Prabhu Jaladara nulya dinadar,

dening bhūṣana adi,

nora kaliwatan,

pramantri Nusontara,

sukane samya tan sipi,

sultaning Arab,

akonabuh gong beri.


32. Tengrane bubar saking pasanggrahan, [ 125 ]setelah menaiki pedati,

semua 45a harta kekayaan,

diangkutnya dengan unta,

dengan kuda dan gajah,

mereka para janda,

semua menunggang kuda.


33. Bulan Muharam yang jatuh

pada tanggal ketiga belas,

pada hari Kamis,

tahun Jimawwal,

gugurnya raja Nusantara,

(lalu) masuk agama Islam,

Jayeng Payasan,

pulang kembali di Mukadam.


34. Semua menteri Nusantara,

tunduk menyembah,

kepada Sultan Arab,

sang raja Jaladara,

bersama menteri Nusantara,

semua mengantarnya,

sultan itu pulang kembali.


35. Jauhnya Nusantara perjalanan satu bulan,

begitu juga negeri Mukadam,

secara perlahan-lahan berjalan,

menempuh perjalanan satu bulan,

Jayengpati berkata,

wahai, adikku,

dan, para menteri semua.


sampun munggaheng padathi,

sakeh 45a raja brana,

wineh winohing wonta,

mwah dening kuda asti,

kang para rangda,

sami wahana waji.


33. Ulan Muharam ring tanggal ping tiga wlas,

ring dina Kěmis iki,

tahune Jimawwal,

kalah prabhu Nusontara,

manjing maring gama suci,

Jayeng Payasan,

ring Mukadam mantuki.


34. Skatahe pramantri Nusontara,

prasamya wdhi asih,

maring Sultan Arab,

sang prabhu Jaladara,

sareng mantri Nusontari,

samya ngatěra,

sultan ika mantuki.


35. Nusontara doh lakunan sacandra,

lan Mukadam nagari,

bubar malon-lonan,

anungkep sacandra,

angandika Jayengpati,

duh arin ingwang,

miwah sadaya mantri. [ 126 ]36. Hanya sampai di gunung saja aku diantar,

(dan) sekarang kembalilah semuanya,

menuju Nusantara,

yang disuruh berlinang air mata,

para menteri dari Nusantara,

mencium kaki,

berpamitan kepada Jayengpati.


37. 45b Mereka semua

kembali ke Nusantara,

mereka semua merasa sakit punggung,

sekembalinya Sultan,

ke negara Mukadam,

jarak perjalanan yang ditempuh selama satu bulan,

baru tiba di Mukadam,

semua juru arah (kesinoman).


36. Haneng giri atěrana ingwang,

ing mangke sami awali,

maring Nusontari,

kang kinen piněseng waspa,

pramantri ing Nusontari,

angaras pada,

amit ring Jayengpati.


37. 45b Samya wangsul

mantuk maring Nusontara,

samya wingkingan gigir,

Sultan umantuka,

ring negara Mukadam,

lampahe nungkep sasasih,

prapteng Mukadam,

kasinoman ring puri.


PUH SINOM


1. Semua janda diboyong,

dibawa ke dalam istana,

mereka sama-sama diakui di istana,

Sultan berrsama putranya,

(yaitu) Raden Mas Banjaransari,

bertempat di sebelah barat daya,


1. Sakatahing rangde boyongan,

kabhakta haneng jro puri,

pada sah sira ring pura,

Sultan sareng putraneki,

Raden Mas Banjaransari,

prěnahe ring kulon kidhul, [ 127 ]orang tuanya di timur,

tetapi sang Raja Mukaji,

tidak di dalam istana,

(beliau) bertempat di halaman luar istana.


2. Bertempat di sebelah selatan pasar,

di rumah Tapel Aji,

para patih dari Mukadam,

di tempat Raja Mukaji,

setelah memenangkan pertempuran,

bersenang-senang siang dan malam,

tak henti-hentinya bersedekah,

kepada fakir miskin,

Sultan tetap,

berada di negara Mukadam.


3. Silih berganti yang diceritakan 46a

Putri Cina kalah perang,

sepulangnya dari Cina,

Sang Dyah diambil sebagai
istri,

karenanya tak ikut pulang,

dengan gadis Cina yang
cantik jelita,

tak henti-hentinya dicaci-
maki,

dicela oleh istrinya,

hina tak punya rasa malu,

tak memiliki rasa sayang.



ramane haneng wethan,

anghing sang natha Mukaji,

nora ing jro,

masanggrahan haneng
jaba.


2. Prenahe ring kidhul
pasar,

ing wismane Tapěl Aji,

pěpatih haneng Mukadam,

ing pranah prabhu Mukaji,

sawuse mnang ing jurit,

akasukan syang
dalu,

tan pgat gelar dana,

sida ring pakir miskin,

Sultan jěněk,

haneng negareng Mukadam.


3. Gentining ikang kawarna 46a,

putri cina kasor jurit,

samantuke maring cihna,

Sang Dyah binandong bibi,

dening tan sareng mulih,

lan dewi cinaning ngrum,

tan sah de numan-uman,

widanigha dening bibi,

naṣṭadama,

tan andarbeku manmatha. [ 128 ]4. Widanigar tak seperti manusia,

sangat lancang (hanya)

menonton pertempuran,

melihat Tuan Allah berperang,

seandainya menyenangkan
hati,

itu sesungguhnya nakal,

wanita yang sangat lalai,

orang tuanya sudah tiada,

jika (dapat) menyenangkan
hatinya,

Widanigar,

ya, pergi tidak akan pulang
kembali.


5. Menyerahkan dirinya,

mengabdi dari rumah ke
rumah,

kepada orang yang
mengalahkan,

sebagai pengambil air,

Widanigar menangis,

mereka semua kedua puluh orang,

putri Cina itu semuanya tidak pulang,

diusirya,

pulang kembali ke Mukadam.


6. Kedua puluh orang itu,

diantarkan secepatnya,

46b oleh (para) abdi
dari Cina,

Sang Dewi menaiki perahu,


4. Widanigar nirdon
njadma,

pakṣa lancang tonton
jurit,

kawas tuwan Allah yudha,

pradene enakang
ati,

ika jatining jalir,

wanodya kalintang jaruh,

gurune ilang sirna,

pradene enakang
ati,

Widanighar,

lah kesah aja men-
tuka.


5. Srahakna anggan ira,

ngaula pawongan
iki,

maring sang
angalahakna,

makā pangambil warih,

Wadanigar anangis,

maka rong puluh
ipun,

putri cina punika tan
sinungan mantuk sami,

tinundungan,

mangsul marahing Mukadam.


6. Sami maka kawandasa,

ingatěraken den aglis,

46b dening kaula ing
Cina,

amarga palwa Sang Dewi, [ 129 ]oleh karena itu bersedih

siang dan malam,

tidak diceritakan di tengah
lautan,

karena cerita disingkat,

perjalanannya sudah tiba,

di pelabuhan,

di situlah tempatnya turun.


7. Sang Dyah sebanyak dua
puluh orang,

Dewi Widati,

Widanisih Widanigha,

serempak berjalan perlahan-lahan,

jika di saat malam hari,

beristirahat di bawah pohon
kayu,

keesokan harinya berjalan lagi,

naik turun di gunung,

perjalanan mereka,

menuju daerah Mukadam.


8. Berjalan berbulan-bulan,

perjalanannya baru akan
sampai,

ke negara Mukadam,

saat tiba pada malam hari,

masuk ke dalam istana,

segera naik ke teras balai,

segera bertemu dengan Sultan,

perilaku putri Cina di saat
datang,

Jayengrana,


dening kalangan syang
latri,

datan kawarna ing
lawut,

saking glising cinarita,

lapah ira sampun prapti,

ring paseban,

irika gnah tumuruna.


7. Sang Dyah makakawanda
dasa

Dewi Widati,

Widanisih Widanigha,

prasama alon lumaris,

yen kasupati wngi,

araryan soring
kayu,

enjang maluh lumampah,

munggah turun maring ukir,

lampah ira,

ajujur desa Mukadam.


8. Laku bulan-bulanan,

lampah ira kancit
prapti,

maring něgareng Mukadam,

rawuhe kalaning wngi,

manjing maring negari,

aglis munggahing manguntur,

glis katmu maring Sultan,

tingkah putri Cina
prapti,

Jayengrana, [ 130 ](kemudian) pergi keluar halaman istana.


9. Setibanya di halaman istana, 47a

putri Cina semua menangis,

Ki Demat mencium kaki,

Jayengpati berkata,

wahai Nyawa anakku,

apa sebabnya (kamu) kembali,

Widanigara menyembah,

berkata sambil menangis,

menjelaskan,

sebabnya (mereka) semua
kembali.


10. Sangat jelas olehnya mengatakan,

tidak kurang dan tidak lebih,

Sultan Arab sangat kasihan,

segera diajaknya masuk,

menuju ke dalam istana,

setibanya di istana,

segera memanggil putranya,

Rahaden Banjaransari,

kemudian datang,

menghadap kepada orang
tuanya.


11 Sultan berkata pelan,

wahai, Suwongsa anakku,

Widanigar yang datang,

bersama dua puluh orang gadis,

menyerahkan jiwa raganya,

kepamu anakku,

sekarang kamulah yang



kesah mdhal saking jaba.


7. Sarawuhe maring
jaba, 47a

putri Cina samya nangis,

Ki Děmat aras pada,

angandika Jayengpati,

dhuh Nyawa anak mami,

paran karane awangsul,

Widanigar aněmbah,

mahatur winor ring tangis,

angatura,

marmine sami wangsula.


10. Darta de nira matura,

ri tuna datan lawih,

lintang awlas Sultan Arab,

sagrah angajak umanjing,

marahing dalem puri,

sarawuhe ring kadatun,

aglis ngěsengin putra,

Rahaden Banjaransari,

nulya parěk,

mara maring jeng
ing rama.


11. Sultan alon mangandika,

eh Suwongsa anak mami,

Widanigar iki prapta,

sareng makapung dasih,

jiwane sami,

maring sira anak ingsun,

mangke anganggen [ 131 ]mengambilnya sebagai istri,

putranya berkata sambil
bersujud,

ya, baiklah,

hamba tidak berani menolaknya,


12. Sang putri segera diterimanya,

oleh Raden Banjaransari,

47b kedua puluh orang,

karena semuanya dipakai istri,

tetapi Ratna Rengganis,

sebagai penasehat para gadis,

tidak ada yang berani melawan,

semua para putri,

seluruhnya,

kasih kepada Mas Arghapura.


13. Selesai ditulis sumbernya

ini oleh Ida Nyoman Alit

dari Gria Tengah Budha
Keling,

pada hari, Jumat,

Kliwon uku Bala,

pada bulan gelap ke-2,

sasih ke-8,

rah 4.

tenggek 12,

tahun Saka 1912,

itulah tahunnya.

Ya, sembahku kepada

Sanghyang Aji Saraswati.


garwwa,

putrane matur wot
sari,

sahandika,

kaula datan lenggana.


12. Sigra sang putri cinandak,

ring Raden Banjaransari,

47b samı maka kawan
dasa,

mapan sami kanggen swami,

anging Ratna Rengganis,

angarahing para arum,

tanana purun langgana,

sakatahing para putri,

samadaya,

asih ring Mas Arghapura.


13. Puput katdun babon iki

olih Nyoman Alit

saking Griya Tngah
Budha Kling,

duk ring we su,

Kliwon wara Bala,

titi pang ping 2,

sasih, 8,

rah, 4,

teng, 12,

isaka, 1912,

yuşaning warşa.

Om Saraswatye nama
siwa ya.