Cebur nuju daging

Geguritan Dukuh Wanasari

Saking Wikisource

33633Geguritan Dukuh Wanasari — prev1997Made Sudiarga
[ 3 ]

TIDAK DIPERDAGANGKAN UNTUK UMUM


GEGURITAN DUKUH WANASARI
I Made Sudiarga



Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Jakarta
1997
[ 4 ]BAGIAN PROYEK PEMBINAAN BUKU SASTRA INDONESIA

DAN DAERAH-JAKARTA TAHUN 19961/1997 PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Pemimpin Bagian Proyek : Dra. Atika Sja'rani Bendahara Bagian Proyek: Ciptodigiyarto Sekretaris Bagian Proyek : Drs. Muhammad Jaruki Staf Bagian Proyek: Sujatmo Sunarto Rudy Suyitno Ahmad Lestaluhu



ISBN 979-459-720-1

HAK ClPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG lsi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan penulisan artikel atau karangan ilmiah.


iv [ 5 ]KATA PENGANTAR

Masalah kesusastraan, khususnya sastra (lisan) daerah dan sastra Indonesia lama, merupakan masalah kebudayaan nasional yang perlu digarap dengan sungguh-sungguh dan berencana. Dalam sastra (lisan) daerah dan sastra Indonesia lama itu, yang merupakan warisan budaya nenek moyang bangsa Indonesia, tersimpan nilai-nilai budaya yang tinggi Sehubungan dengan itu, sangat tepat kiranya usaha Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Bagian Proyek Pembinaan Buku Sastra Indonesia dan Daerah-lakarta berusaha melestarikan nilai-nilai budaya dalam sastra itu dengan cara pemilihan, pengalihaksaraan, dan penetjemahan sastra (lisan) berbahasa Daerah. Pelestarian sastra daerah perlu dilakukan karena upaya itu bukan hanya akan memperluas wawasan kita terhadap sastra dan budaya masyarakat daerah yang bersangkutan, melainkan juga akan memperkaya khazanah sastra dan budaya Indonesia. Dengan demikian, upaya yang dilakukan itu dapat dipandang sebagai dialog antarbudaya dan antar daerah. Dalam hal itu, sastra daerah berfungsi sebagai salah satu alat bantu dalam usaha mewujudkan manusia yang berwawasan keindonesiaan. Buku yang berudul Geguritan Dukuh Wanasari ini merupakan karya sastra Indonesia lama yang berbahasa Bali pengalihaksaraan dan penerjemahannya dilakukan oleh I Made Sudiarga, sedangkan penyuntingannya oleh Drs. M. Fanani.


v [ 6 ]Mudah-mudahan terbitan ini dapat dimanfaatkan dalam upaya pembinaan dan pengembangan sastra Indonesia.

Jakarta, Januari 1997

Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,

Dr. Hasan Alwi

VI [ 7 ]DAFTAR lSI

KATA PENGANTAR.. ... . ...... . .... ... .. .. ... .. .. .... .. ... .... . .... .... . ... . .v DAFTAR lSI ... . ....... . ..... ..... ... ... . ..... .. . .. ... .. .. . .. .. ... .... . .... . ... ... vii BAGIAN I PENDAHULUAN .... ... ...... . .. ... .. ... ........ .... ... ... . . .. . .. . 1 BAGIAN II RINGKASAN GEGURITAN DUKUH WANASARl . .. . .. .5 BAGIAN III TERJEMAHAN DAN TRANSLITERASl GEGURITAN DUKUH WANASARl . .. .. ... .. .. .. .. . .. ..... . . .. ..... ... .. ... ..9

vii [ 9 ]
BAGIAN I
PENDAHULUAN

Geguritan sebagai salah satu bentuk karya sastra Bali tradisional mendapat tempat yang istimewa di dalam hati masyarakat Bali karena karya sastra ini mengandung nilai-nilai budaya yang sangat luhur. Karya sastra Bali tradisional ini sudah menjadi bagian hidup masyarakat Bali yang dalam kenyataannya dapat dilihat dalam kegiatan mabebasan dan upacara keagama­ an. Adanya kaitan yang sangat erat antara geguritan dan sosial budaya masyarakat Bali menyebabkan karya sastra itu menjadi sumber inspirasi, acuan, dan anutan masyarakat Bali sebagai pendukung geguritan itu. Geguritan Dukuh Wanasari merupakan salah satu cipta sastra Bali tradisional yang sangat populer di tengah-tengah masyarakat Bali. Kepopuleran ini dapat dibuktikan dengan banyaknya naskah salinan geguritan itu. Naskah geguritan itu disimpan di berbagai tempat antara lain, di Perpustakaan Lontar Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Denpasar, di kantor Dokumentasi Budaya Bali, di Gedung Kertya Singaraja , dan Perpustakaan Balai Penelitian Bahasa Denpasar. Di samping terbesarnya naskah geguritan itu. kepopuleran Geguritan Dukuh Wanasari juga terbukti dalam seringnya gegurita itu dinyanyikan dailam berbagai kesempatan. Geguritan Dukuh Wanasari dinyanyikan pada waktu bekerja befungsi sebagai hiburan. Geguritan itu dinyanyikann di rumah orang yang meninggal dunia berfungsi sebagai peng­ hibur keluarga yang berdukacita. Gegurilan Dukuh Wanasari berfungsi sebagai pengasah kepekaan jiwa dinyanikan serta dikupas dan disimak bersama-sama sewaktu istirahat dari bekerja atau pada upacara keagamaan tertentu ataupun pada hari raya penting. Pada saat persembahyangan. Gegurilan Dukuh Wanasari dinyanyikan sebagai pemagis suasana. Dalam pertunjukkan rakyat, geguritan ini dinyanyikan

sebagai pelengkap dan ikut sebagai medium komunikasi . Dengan demikian, [ 10 ]

2

Geguritan Dukuh Wanasari ini dapat memberikan kenimatan, medidik, dan memotivasi pembaca ke arah yang bertanggung jawab.

Geguritan Dukuh Wanasari itu merupakan produk budaya Bali dan khazanah sastra yang terdapat di Bali. Geguritan itu menyimpan berbagai nilai budaya masyarakat Bali pada masa lampau. Nilai budaya yang terkandung di dalamnya itu sangat penting untuk diketahui. Geguritan Dukuh Wanasari itu dapat dikatakan penting karena di samping menyimpan nilai budaya masyarakat lama, yang lebih penting dan berguna bagi masyarakat Indonesia modern untuk memahami nilai-nilai bidaya yang pada dasarnya berpijak pada nilai-nilai buday masyarakat tradisional.

Nilai-nilai budaya yang tersimpan di dalam Geguritan Dukuh Wanasari itu dapat mempekaya batin orang yang menikmatinya. Oleh karena itu, Geguritan Dukuh Wanasari yang berhuruf Bali ini perlu ditransliterasi (alih aksara) ke dalam huruf Latin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami.

Alih aksara dan alih bahasa Geguritan Dukuh Wanasari ini sangat bermanfaat bagi pemerintah dalam menyukseskan program pelestraian kebudayaan daerah sebagai bagian dari keudayaan nasional. Selain itu pula alih aksara dan alih bahasa geguritan ini memberikan masukan bagi program pengajaran bahasa dan sastra daerah yang menjadi bagian dari kurikulum muatan lokal. Di sampaing itu, alih aksara dan alih bahasa Geguritan Dukuh Wanasari ini bukan saja mengakibatkan geguritan itu hanya dapat dibaca dan dimengerti oleh orang Bali, tetapi geguritan itu juga dapat dibaca dan dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Alih aksara atau transliterasi di dalam Geguritan Dukuh Wanasari di sini dimaksudkan adalah pengalihan huruf demi huruf dari abjad Bali ke abjad Latin. Kata-kata yang menunjukkan ciri ragam bahasa lama (kata-kata arkhais) ditransliterasikan sesuai dengan bentuk aslinya disesuaikan dengan penulisan kata menurut Pedoman Umum Ejaan Bahasa Bali yang berlaku sekarang.

Penulisan kata yang menunjukkan ciri ragam bahasa lama itu antara lain sebagai berikut. (1) ditransliterasikan dengan n. (2) ditransliterasikan dengan: s. (3).... ditransliterasikan dengan: s. (4) ditransliterasikan dengan: ph. (5) ditransliterasikan dengan: dh, d. (6) [ 11 ]3


.........ditransliterasikan dengan : bh.(7)......... ditransliterasikan th.(8) ......... ditransliterasikan dengan : gh.(9)........ pepet diberi tanda alif (...ē...).

Alih bahasa atau terjemahan di dalam Geguritan Dukuh Wanasari di sini dimaksudkan adalah pengalihan atau penggantian bahasa sumber geguritan yang berbahasa Bali ke bahasa sasaran, bahasa Indonesia. Pandanan bahasa sumber dalam bahasa sasaran dilakukan dengan memindahkan makna kata yang terdapat dalam bahasa Bali ke bahasa Indonesia. Kata-kata dalam bahasa Bali yang dipakai dalam geguritan ini, khususnya yang menyangkut istilah sosial, budaya, dan agama yang tidak ada padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia, pemindahan pesan itu atau istilah-istilah teknis itu dilakukan dengan tetap mempertahankan keaslihannya itu dan menggarisbawahi istilah-istilah tersebut. Misalnya, kata Sad ripu yang berarti enam musuh. Sad ripu merupakan istilah khusus yang berkaitan dengan ajaran agama Hindu, bila diterjeahkan hanya dengan pemindahan makna berupa enam musuh, makna yang terkandung dalam ajaran itu belum sepenuhnya terungkap. Oleh karena itu, istilah sad ripu tetap dipertahankan keaslianya.

Geguritan Dukuh Wanasari yang dialihakasarakan dari abjad bahasa Bali ke abjad atau huruf Latin dan dialihbahasakan dari bahasa bali ke bahasa Indonesia ini bersumber dari naskah Geguritan Dukuh Wanasari koleksi Kantor Dokumentasi Budaya Bali di Denpasar. Identitas naskah Geguritan Dukuh Wanasari itu sebagai berikut.

Judul naskah "Geguritan Dukuh Wanasari". Ditulis di atas daun rontal, ukuran naskah lontar panjang:40 cm, lebar,5 cm, dan tebal: 51 lembar. Daun lontar ditulisi bolak-balik, nomor halaman hanya terdapat dalam satu penomoran dalam setiap lembar. Keadaan naskah cukup baik, tulisanya sangat jelas dan mudah dapat dibaca. Asal lontar "Geguritan Dukuh Wahanasari" dari Negara Jembrana.

Geguritan Dukuh Wahanasari digubah oleh Ida Bagus Kajeng dari Desa Lambing Kelurahan Mambal Kecamatan Ambiansemal Kabupaten Dati II Badung. Geguritan Dukuh Wanasari ini dikarang pada tahun 1963. Kemudian naskah ini disalin dengan huruf Bali pula oleh I Made Pasek dari Banjar Satriaya, Desa Pendem, Kecamatan Negara, Kabupaten Dati II Jembara.

Identitas pengarang dan penyalin Geguritan Dukuh Wanasari dapat diketahui dari kolfon geguritan itu sebagai berikut. [ 12 ]

4

Puniki Geguritan dukuh Wanasari, kakawi antuk Ida Bagus Kajĕng, saking pradesa Lambing Prabĕkĕlan Mambal, Distrik Abiasĕmal. Puput kasurat kalaning dina, wara, ka wara Langkir tanggal ping dasa sasih kadasa. Isaka warsaning rat, 1885. Yening kadi Indonesia tanggal 5 bulan april, 1963. Sane nĕdun mañurat Imade Pasĕk, saking Banjar Satriya, Jalan Satriya, Gang 5 Kalurahan Desa Pendhem, Kacamatan Nagara, wawengkong jagat Jembrana. Puput ring rahina A. Pa, wara Watugunung, krĕsña paksa ekadasi, jvestā masā, isaka warsaning rat. 1914. Nanging makakirang rangkung sasuratan puniki mungguing pasang sastra miwah katah padhĕm, ngalungsur pangampura majĕng ring para pamawos. Puput.


Terjemahan

Inilah Geguritan Dukuh Wanasari digubah oleh Ida Bagus Kajeng, dari Desa Lambing. Kelurahan Mambal Kecamatan Abiansemal. Selesai ditulis pada hati Kamis Kliwon wuku Langkir, pada tanggal 10, bulan kesepuluh (Kadasa), Tahun 1985 diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tanggal 5, bulan April, tahun 1963.

Orang yang menyalin menulis adalah I Made Pasek dari Banjara Satria, Jalan Satria Gang, 5, Kelurahan Pendem, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembara. Selesai ditulis pada hari Selasa Paing wuku watugunung, pada hari gelap kesebelas, bulan Jyesta, tahun isaka 1914. Namun, kurang lebih tulisan ini dan aturan penulisannya banyak yang salah, mohon dimanfaatkan oleh para pembaca yang budiman selesai. [ 13 ]BAGIAN II RINGKASAN GEGURITAN WANASARI

Dukuh Wanasara sejak dahulu melakukan tapa brata di tengah hutan. Di sana ia mendalami Agama, berbuat kebaikan, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama itu. Perbuatan-perbuatan itu dilakukannya bertujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup dan kebahagian yang abadi.

Dukuh Wanasara mempunyai seorang putra bemama I Wayan Cita. Ibu I Wayan cita meninggal dunia ketika I Wayan Cita masih kecil. Kematian ibunya itu akhirnya I Wayan Cita diasuh oleh ayahnya, Dukuh Wanasara. Dalam asuhannya itu, Wayan Cita disuruh merawat ketiga burung kesayangan ayahnya dan menjaga kebersihan pendukuhan (tempat pendeta dihutan).

Dukuh Wanasara mengajarkan sastra dan agama kepada putranya, I Wayan Cita. Kedua ilmu itu diajarkannya agar I Wayan Cita menjadi orang yang berbudi luhur, bertingkah laku yang baik, bersih secara lahir dan batin sehingga kelak menjadi orang yang berguna dan mencapai kebahagiaan yang abadi, suatu kebahagiaan yang tidak kembali lagi menjadi kesengsaraan.

Sastra dan agama yang diajarkan oleh Dukuh Wanasara kepada I Wayan Cita, antara lain, teguh dan taat melakukan pemujaan, menaati ajaran agama dan menjauhi semua larangannya, dan melakukan amal sedekah (dana punya). Dukuh Wanasara di samping menuntun moral dan etika kepada I Wayan Cita, ia juga mengajarkan filsafat keagamaan yang dijelaskan dengan berbagai contoh yang terdapat dalam cerita-cerita atau sastra. Filsafat ke­agamaan yang diajarkannya itu, antara lain, Sad ripu 'enam macam musuh yang terdapat dalm diri manusia'. Keenam musuh itu meliputi kama 'hawa nafsu'. kroda 'kemarahan' loba 'ketmakan', moha,'kebingungan'I. matsarya 'iri hati', dan ingsa 'membunuh secara sewenang-wenang'.


5 [ 14 ]6

Tri Guna yaitu tigas sifat atau watak manusia, ketiga sifat-sifat itu meliputi satwam 'budi pekerti yang luhur', rajah 'sifat penuh nafsu kegiatan dalam keduniaan', dan tamah 'kelobaan yang merajalela'. Panca Yajnya artinya lima upacara keagamaan, meliputi Dewa Yajnya Pitra Yajnya, Resi Yajnya, Manusa Yajnya, dan Buta Yajnya. Panca Mahabuta artinya lima unsur zat alam meliputi Pratiwi 'tanah', apah 'zat eter', teja 'cahaya' bayu 'udara', dan akasa 'atmosfir'.

Panca sanak artinya korban dalam buta yadnya yang mempergunakan lima binatang sebagai bahahn pokok, meliputi angsa, anjing, babi, kembing, dan sapi. Panca Sata artinya korban dalam buta yajnya yang memper-gunakan lima ekor ayam. tiap-tiap ekor berwarna puti, merah, siungan, hitan, dan brumbun (dianggap sebagai dasar daripada caru yang lebih besar lainnya. Panca Walikrama artinya korban dalam buta yajya yang diadakan sepuluh tahun sekali yang dipersembahkan kepada Panca Dewata, biasanya dilaksnaka di pura Besakih. Panca Dewata adalah lima dewa yang menguasai kiblat. Dewa Siwa (ditengah), Dewa Brahma (di Selatan), Dewa Mahadewa (di barat), Dewa Wisnu (di utara), dan Dewa Iswara (di timur). Panca Kelud artinya nama upacara kurban (buta yajnya) yang lebih besar dari panca sanak. Eka Dasa Ludra artinya upacara yang dilakukan di Pura Besakih hanya seratus tahun sekali.

Catur Warna artinya empat golongan dalam masyarakat Hindu, keempat golongan itu meliputi golongan Brahmana, golongan Kesatriam golongan Wesia, dan golongan Sudra. Keempat golongan itu masing-masing mempunyai kewajiban-kewajiban tersendiri dan masing-masing golongan itu supaya menjalin hubungan yang harmonis dan saling menghargai, saling menghormati, dan saling menolong sebab bila tidak diwujudkan iklim yang harmonis itu ketenangan, kedamaian, dan kesentosaan atau kesejahteraan dunia tidak akan dapat dicapai.

I Wayan Cita mengikuti dan mendengarkan ajaran-ajaran ayahnya dengan seksama. Bila ada yang kurang jelas dipahaminya, ia meminta kepada ayahnya agar menjelaskannya dengan gambalang disertai dengan contoh-contoh yang mudah dan dapat dicernanya. Setelah memberikan nasihat-nasihat itu, dukuh Wanasara meninggalkan I Wayan Cita, pergi ke tengah hutan, bermaksud menangkap burung. [ 15 ]

7

Diceritakan I Rajah yang bertempat tinggal di Banjar Daksina Desa Jagrapada bersahabat karib dengan I Wayan Cita. I Rajah sudah lama tidak pernah bertemu dengan sahabatnya. Oleh karena itu timbul rasa rindu dan kangen kepada I Wayan Cita. Untuk menghilangkan kerinduannya itu. ia kemudian bekunjung ke rumah I Wayan Cita.

Percakapan I Rajah dengan I Wayan Cita tidak ada ujung pangkalnya: mereka berdua berbincang-bincang sesuka hatinya. Pada suatu saat, I Rajah mencela I Wayan Cita. Ia menyatakan ajaran-ajaran yang dipelajari atau diperdalam oleh I Wayan citas itu tidak pantas dilakukan oleh orang yang masih muda. Kebahagiaan yang mesti, diraih selam masih muda hanyalah kebaha­giaan duniawi; kebahagiaan itu hanya sesaat dengan memenuhi semua keinginan atau memuaskan hawa nafsu. Sebaliknhya, janganlah ia mengejar kebahagiaan rohani, kebahagiaan yang dicapai setelah meninggal dunia atau kebahagiaan yang dicapai di sorga. I Rajah meyakinkan I Wayan Cita, yakni dengan mengambil contoh perbuatan yang dilakukan dengan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan, tetapi akhimya hanya mencapai kesengsaraan. Per­buatan itu antara lain, dilakukan oleh I Wanari dalam cerita Tantri dengan mengamalkan kebenaran, tetapi akhirnya, ia tewas bersama anaknya karena ditipu oleh I Papaka; sang Baka mati karena dicekik lehernya oleh si Kepiting: sang Rama, raja Ayodyapura, megalami kesengsaraan karena istrinya Dewi Sita diculik o leh Raja Rawana. I Rajah kemudian mengajak I Wayan Cita untuk memuaskan hawa nafsunya dengan berjudi, mabuk-mabukan, makan sepuas-puasnya, dan lain-lainnya. Selagi masih muda. janganlah memikirkan kebahagiaan di sorga sebab di sana tidak benar ada kebahagiaan. salah satu buktinya adalah Dewa Wisnu yang berada di sorga berkali-kalii menjelam kedunia karena di sorga sangat sengsara. I Wayan Cita menerima ajakan I Rajah itu'; kemudian, mereka berdua memuaskan semua keinginan indrawinanya. Kebahagiaan yang mereka nikmati itu tidak berlangsung lama ; bahkan kebahagiaan itu berganti dengan kesengsaraan.

I Wayan Cita juga bersahabat dengan I Ketut Tamas, saudara I Rajah. yang bertempat tinggal di Swapnapada. I Ketut Tamas juga mencela I Wayan Cita. celaannya itu tidak jauh berbeda dengan celaan I Rajah. I Made Tamas mengajak I Wayan Cita untuk memuaskann hawa nafsu dengan berjudi, merampok, berjinah, dan lalin-lainnya. Ajakan itu diterima oleh I Wayan Cita sehingga mereka berdua selalu mengejar kepuasan yang sesaat saja. [ 16 ]

8

Pada suatu hari, I Wayan Cita mengalami penderitaan yang sangat menyedihkan. Ia tergeletak di tengah jalan, kepanasan, kehausan,dan kelaparan. Berita duka lara I Wayan Cita itu di dengar oleh I Wayan Satwa lalu ia menolongnya. I Wayan Cita dirawat oleh I Wayan Satwa ; setelah sembuh, ia menyatakan penyesalannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan­-perbuatan yang semata-semata mengejar kepuasan sesaat. I Wayan Cita kembali mendalami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama demi kebahagiaan yang abadi. [ 17 ]

BAGIAN III

TERJEMAHAN DAN TRANSLITERASI TEKS

GEGURITAN DUKUH WANASARI


1b. Ya Tuhan semoga tidak ada
rintangan.
Geguritan Dukuh Wanasari


PUH SINOM

1.Saya mencoba Mengarang,
pada saat ini ,
bahasanya bercampur dan
tulisannya tidak teratur,
mohon maaf yang sebesar­
besarnya,
pengarang yang sangat bodoh
dan serba kurang,
tidak tahu malu ikut me­
ngarang,
cerita mentah tidak berujung
pangkal,
gubahan yang tidak asri,
tidak menarik kalbu.
sudilah kirannya memaaf­
kannya.


2. Pada hakikatnya tujuanya
mengarang,


1b. Om Awighnamastu
Gaguritan dukuh Wanasarî


1. Isĕng tityang nganggigita,
dadauhan wawu mangkin,
bhāsa māduk pasang sāstra,
banget sasang ampura ugi,
kawi muda tuna sami,
jengkal pongah milu ngapus,
satwa matah tan papurwwa,
caclantungan tani sain,
boya lĕngut,
suecha ugi ngampurayang.


2. Sujati musthining manah,




9

[ 18 ]

10

bukan untuk mengatakan diri sangat pandai,
memahami seluk-beluk aksara,
memahami sastra yang utama,
sangat jauh itu semua,
bagaikan kunang-kunang bertebangan,
harapannya mencapai bulan,
sudah tentu tidak akan berhasil,
bagai seekor ayam,
yang terpesona dengan keindahan laut.


3. Kapankah pikirannya puas,
karena sangat luas tidak bertepi.


4. Sebagai penjernih pikiran,
semoga berhasil menemukan kebahagiaan,


2a. sungguh keutamaan tujuan mengarang,
hanya sebagai pemberitahuan,
sebagai pelita dalam setiapmalam,
semoga dicintai oleh semua orang,
orang yang telah memahami aksara,
agar berkenan mengasihi,
memberikan petunjuk,
sehingga menjadi jelas dan terang.


boya nengguh dhewek uning,
tatas ring tatwa aksara,
nuksamayang sastra pingit,
wekas adoh iku sami,
saksat kunang-kunang mapaksanya menuju bulan
dikapan sidha kapanggih
kadi manuk,
anglangeni siarnnawa.


3. Dikapan siddhangning cittha,
dening jimbar tan patepi,


2a. tuhu pangaptining manah,
samtra anggen pakeling,
makasuluh peteng sadulur,
mugi sih para sadulur,
sang wus tatsing aksara,
durus ugi manwecanin,
maweh suluh,
sane mwastha puput galang,


4. Maka penambahing manah,

mugi sida nemu jati,
[ 19 ]

11


sampai dua kali tiga kali,
tidak berkeinginan berhenti mencari,
mudah-mudahanlah supaya berhasil,
jalan kesempurnaan itu.
dimulai dari permulaan cerita,
Dukuh Wanasara kini,
sejak dahulu,
tetap kokoh ditengah hutan.


5. Tidak pernah berhenti melakukan tapa berata,
berbuat kebaikan setiap hari,
mengamalkan inti sari agama,
setiap mejelma menjadi mahluk hidup,
selalu mencapai keberhasilan yang diingini,
dikelilingi pagar besi yang mempunyai seorang anak,
Wayan Cita dinamai,
ia berumur,
baru menginjak remaja.

6. Ada kesayangan Dukuh Wanasara,
burung Titiran tiga ekor,
yang seekor namanya konon,
Brahmakunda sangat baik,

burung Sanghyangdin Padmayoni,
dadanya merahnya sampai di kepalanya,
setiap orang yang memberi


jantos ping kalih ping tiga.
tan midep mengupti

dumadak sidha kapanggih.

jalan kasampurnnan iku.
kawit penembehing cerita,
Dukuh Wanasara mangkin,
saking dangu,
pagéh kukuh tengah alas

5. Tan ginggsir ring tapa
bharata,
nucilakṣanā sasai.
ngagem raşaning agama.
nunggal sidhyanging numadi.

malih sadhaning kedadin.

makbak pagèr wesi kukuh.
wenten wěkandane tutunggal,
Wayan Citta kaaranin.
tuwun ipun.
wawu mara měnek taruna.

6. Wenten imgon Wanasara.
pakksikitiran katrini,
ne asiki arane reko.
Brahmakunda langkung lewih,
manuk Sanghyang Padmayoni,
dhadha abang tekeng tutuk.

sing angingu manggih
[ 20 ]

12


makanan mendapatkan kebahagiaan,

Beliau menjadi tujuan yang hakiki,

setelah kembali pulang menuju ke hadapan Hyang Brahma.


7. Yang seekor lagi burungnya,

Sanghyang Wisnu sungguh dipuji.

konon sangat hitam,

rupanya sangat menarik,

patut menjadi tujuan bagi orang yang mengungsi,

menyatu bila telah meninggal,

kelak pulang tanpa khawatir,

menuju alam Sanghyang Hari,

yang satu ekor,

burung Sanghyang Parameswara.


8. Sungguh burung yang utama,

dadanya berbulu putih bersih.

karena keberhasilan orang yang memberi makanan.

semua penjelmaan kembali lagi,

ke alam Hyang Jagatpati.

sang Dukuh ya diceritakan.

pagi-pagi dawuh pisan

baru datang dari tempat pemandian,


3a. terkejut mendengar, swara burungnya ketiga.


labha

ida pangaptining ati

wekas mantuk,

ngungsi padan Hyang Brahma.



7. Ne asiki manuk ida,

Sanghyang Wisnu twi kapuji;

mahaireng aran kocap,

urajita sudhi lewih,

patut I Ngon wwang mangungsi,

manunggal yan putus,

wekas mulih tan sanjaya,

nujur pada Sanghyang Ari,



8. Tuhu pamekas uttama,

bulun dhadha nulus putih,

olih sadhya sang mangingon,

mulih sangkaning dadi,

maring pada Hyang Jagatpati,

dane Dukuh ne kawuwus,

pasmengane dhawuh pisan,

wawu rawuh saking beji,



3a. kagyat ngrung,

swaran paksine katiga. [ 21 ]

13


9. Sungguh merdu bila di­- dengarkan,

burung-burungnya mena­ sihati,

supaya sang Dukuh Wanasara,

anaknya supaya dinasihati.

karena biasa sudah bertutur,

setelah makan sirih berkata pelan-pelan,

terhadap anaknya saat ini,

nak putraku,

ibumu sudah meninggal dunia.


10. Hanya tinggal bapak sudah tua,

lagi pula bodoh yang tidak sedikit,

bapak kasihan kepadamu yang masih kecil,

hidup kekurangan cinta kasih,

kesedihanmu terus-menerus,

tidak ada barang-barang,

dari bapak yang kamu warisi.

sungguh-sungguh kosong,

janganlah kamu menyesal­ kannya.


11. Nah tabahkanlah karena pikiran,

mungkin sudah karena takdir,

meskipun itu dipikirkan,

menyesal dengan diri miskin,

sudah tentu hal itu tidak baik,


3b. akibatnya sedih dan murung,

Bapak nah singkatnya per­ mintaan


9. Manis arum yan rasayang,

paksine matur pakeling,

mangda dane Wanasara,

mituturin pyanak aris,

dening mula pacang nutur,

uwus nginang ngucap ban-ban,

teken pyanakne mangkin,

cening bagus,

mamen cening ninggal pejah,



10. Enu bapa suba tuwa,

ludin belog tani gigis,

kangen bapa teken cening,

idup katunayan bhukti,

lacur ceninge manerus,

twara ada apan-apan,

gelah bapa tami cai,

jati suwung,

eda cai maselselan



11. Nah palilayang di manah,

jeneng mula pedum cening

apituwi ya sangetang,

maneselang awak miskin,

sinah tong maphala yukti



3b. phalannane sakit bekut,

nah cutet pangidih bapa, [ 22 ]

14


kepadamu saat ini,

janganlah malu,

hendaknyalah kamu belajar.


12. Bersungguh-sungguhlah kamu memperdalam,

sastra dan agama dipelajari,

siapa tahu ada keberuntungan,

kamu dapat memahami.

merasukkan di dalam hati,

diutamakan dengan sungguh- sungguh,


itu dijadikan ibu bapak.

dijadikan Tuhan di dunia,

dipuja dan dijunjung,

selalu dimintai kehidupan.


13. Terus berderma di dunia,

supaya kamu tidak ada yang menyamai,

karena al itu patut diupa- yakan,

kebetulan kamu masih hidup.

agama dan sastra itu diteladani,

dilandasi pikiran yang luhur,

teguh dan taat melakukan pemujaan,

akhirnya kamu mengetahui salah paham,

menyesali diri sendiri tidak. berguna.


14. Hentikan kebiasaan yang sudah liwat,

megejar bayangan sehari-hari,


těken cai ane jani.

ědā kimud,

lakar melajahang awak.


12. Sěkěnang cěning sěkěnang

śāstra agamane gulik,

singña kaget adā sādhya,

sidha baan cai nampi.

mangincěpang ya di ati,

uttamayang saking tuhu,

ěnto anggon meme bapa,

pinakaang widhi di gumi,

suun sungsung.

tunasin mrětta sattata.


13. Dāna těrus maring jagat,

tan kapadan jāti cening.

krana sandang ya saratang,

mungpung cěning kari urip,

dharma śāstrane tinutin.

dasarin baan iděp tuhu,

tegeg pageh ngastityang.


wěkas twara cai uning.

salah unduk.

nělsěl awak tan paguna.


14. Kějang gagamane suba.

nguběr lawat sai-sai, [ 23 ]

15

4a. itu sesungguhya berupa racun.

sesungguhnya akan tumbuh di dalam pikiran,

racun itu mengakibatkan penyakit.

di manakah akan masih ada kebaikan,


kebaikan itu diteladani,

kesedihan itu berada di mana- mana,

membuat kebingungan,

bingung tidak mengetahui kemudahan.


15. Milik yang tersimpan di cari berkeliling.

berupaya keras sampai mimi,

sampai mengingau karena berbahagia,

yang kosong diduga berisi,

dimuliakan berhari-hari,

di jaga dirangkul siang malam,

sebab khawatir akan kehilangan,

pencuri dipelihara di duga orang baik-baik,

berperilaku budiman,

dimanjakan dikira sahabat karib.

16. Tentu akan mendapatkan bahaya,

salah duga sehari-hari,

tidak memiliki pertimbangan,

selalu memenuhi hawa nafsu,

bagaikan ikan dikait kail karena lidahnya,


4a. ěnto jāti mawak wișya.

twi di iděp lakar men-

wisyane maphala kali.

dija lakar ěnu ayu.

kaayone katindihin.

lara wirange magumi.

ngawe bingung.

bingung twara nawang elah.


15. Gělah sěpěl alih milěhan.

sarat pisan nganti ngipi,

kanti ipit mangěndělang,

ne puyung dalihang misi.

uttamayang sari-sari,

gěbag kupkup siang dalu.

pan sangśaya kacorahan.

corah ubuh dalih jāti.

māwak sādhu,

sayangang dalihang rowang.


16. Sinah lakar němu bhāya.

salah dalih sari-sari.

twara ngělah udākara

mangulurin ědot sai.

kadi minā kěna pāncing.

majalaran lidah ipun, [ 24 ]

16


sangat tertarik pada rasa yang enak,

anai-anai itu mati anakku,

karena ia tertarik,

terpesona melihat sinar


4b. lampu.


17. Burung bahaya karena kena terpikat.

tertarik mendengarkan suara merdu.

kumbang itu mati konon.

tertarik dengan kotoran telingga gajah.

yang di telinganya menyusup mencari,

akhirnya ia terbunuh,

hasil dari memennuhi segala keinginan.

kurang pertimbungan di dalam hati.

sehingga bingung,

hidupanya dipakai sebagai permainan.


edot maring rasa melah,

dedalune mati cening,

edot ipun,

mengatonang tejan,


4b. dhamar.


18. Karena itu guru menegaskan,

berkali-kali menasihatimu,

kamu supaya tidak lengah.

kurang awas yang mendasari pikiran hati,

pikiran ditangani keributan.

dari sedikit menjadi banyak,

dari mana datangnya.

dari pikiran yang selalu kurang waspada,

17. Paksi bhaya keneng pikat,

meled ningeh muni manis,

bramarane mati reko,

edot teken tilun asti,

ne di kuping susup alih,

keabet ya payu lampus,

phalan edote jalanang,

tuna udakara ring ati,

dadi bingung,

uripe anggon palalyan..


18. Krana guru melid pesan,

cucud mituturin cening,

cening apang eda ampah,

ampah madasarin ring ati,

ati katekanan kali,

uli kikit dadi liu,

uli dija panangkanna,

uli idep ampah sai, [ 25 ]17

kurang penerangan. di dalam hati kegelapan.

19. Kegelapan pikiran me nyebabkan kebutuaan tidak mengetahui yang benar dan salah adapun rincian kebutaan itu. pertama tidak mengahui ilmu pengetahuan. kedua tidak melihat dunia,

5a. buta yang ketiga itu, dikuasai oleh panca indra, bila ketiganya itu anakku, sangat besar, menderita karena dikuasai oleh indra.

20. Panca indra memerintahkan supaya memenuhi kepuasan hati, menginginkan kebahagiaan sesaat tidak merasakan belas kasih. terhadap sesama orang. semua mahluk hidup yang lainnya, itulah yang dapat menim- bulkan, enam musuh di dalam hati, perinciannya, kama kroda dan loba.


21. Moha matsaryya dan hingsa artinya satu per satu

tuna suluh. di iděpe kapetengan.

19. Pětěng ati māwak bhūta.

tuara nawang beneh salah.

yan bacakan bhūta rěko. kapisan tandruhing aji

kapindo tan manggih bhimi.

5a. bhūta kaping tiga iku kawisesa baan indriya. yan ring i tatiga cěning, pinih agung. papaning kaweda indriya.

20. Pancendriyane nitahang. mangulutin lěgan ati,

mamrihang suka bhawak.

tan kaanan welasasih, maring sasama dumadi. sarwwa wastu kañcan ipun. ěnto saja ngawrědiyang. musuhe němněm di ani, Iwir ipun, kāma krodhā miwah lobhā.

21. Mohā matsaryya lan ingsā.

tegesnane běsik-běsik. [ 26 ]

18

kama berarti keinginan.
kroda berarti kemarahan di
dalam hali.
loba berarti pikiran yang
tamak.
menikmali yang bukan
miliknya.
tidak pernah merasa marah
moha artinya anakku.
pikiran bingung.
tidak dapat memikirkan hal­
hal lain .

22. Matsarya itu yang akan dijelaskan
iri hati kepada setiap orang

5b. Ingsa artinya konon
tidak berhenti memati-mati
itu yang sangat sakti
Sad Ripu namanya itu
itu merupakan musuh yang sangat berat
pada masa kaliyuga menjelma salah berkata
perbuatan dan perkataan menyimpang.

kama maedot sujatinna
krodha sreged maring ati
lobha idep maparih
mamukti tan adruwe tuhu
ndatan kaanan erang
moha tegesnane cening
manah bingung
tan idep satwaning lian

22. matsaryane kaucapang
elik ring sama dumadi

5b. ingsa tegesnane reko
tan mari mamati-mati
ento ane liwat sakti
sad ripu aran puniku
ento dadi musuh tapa
di kaliyuga mamurti
salah mawuwus
laksana idepe mimpas

PUH GINADA


1. Nah pikirkan dengan masak-masak
pahalanya akan dijumpai
kukuh menolak ajaran sastra
tidak menuruti ajaran yang baik

1. nah pinehin melah
phalannane pacang panggih
pengkung manungkinsan sastra

tan minuhun warah ayu [ 27 ]

19

sehari-hari menjalankan.
dan memenuhi,
keinginan panca indra itu


2. Wayan Cita merasa bersalah.
terhadap perilakunya yang
sudah dah liwat,
kukuh tidak mau men­
dengarkan.
akan perintah gurunya yang
benar,
karena iru menemukan ke­
salahan.
berkata manis.
ya Guru maafkanlah.


3. Kesalahan hamba sudah ke
keterlaluan,
tidak menuruti ajaran yang
sudah liwat,
sekarang tidak lagi menolak,
hamba mengikuti ajaran guru,


6a. mempelajari ajaran sastra
semoga berhasil
pembersihan sakit karena kesalahan


4. I Dukuh membalas menjawab.
itulah yang Guru harapkan
anakku ,
namun supaya bersunguh­
sungguh .
supaya sungguh-sunggu
h
sampai di hati ,
amat berbahaya bila tidak
setia.


sari-sari manalanang.
tur ngulurin
wisuyan i panca indriya


2. wayan citta marasa iwang.
maring pamargine nguni
punggung boya maningehang
ring tuduh gurune patut
dening durus manemu iwang
matur aris
singgih guru ampurang


3. Iwang tityang bas puruan
tan mituhu warah riin
mangkin boya purun tulak
tityang ngiring tutur


6a.' melajahin daging sastra
mugi panggih
panudaning lara iwang


4. I Dukuh masawur nimbal
ento apti guru cening
nangingke apang pasaja
nekeng di idepe tuhu

daat ila yang tan satia [ 28 ]

20


mara bahaya akan di jumpai,

Guru mengajarkannya sekarang.


5. Berbohong kepada hewan konon.

sepuluh tahun akan menmui kesangsaraan.

berbohong kepada sesama orang,

seratus tahun mengalami penderitaan,

berbohong kepada Tuhan Yang Maha Esa,

kesengsaraan di jumpai,

seribu tahun mengalami ke­sengsaraan.


6. Berbohong kepada per­guruan.

keliwat sengsara tidak bertepi,

singkatnya tidak ada kawah,

melebihi kebohongan itu,

bila terhadap kebenaran dan korban,

bukan anakku ada yang dapat melebihi satia.


7. Karena satia itu dilaksanakan

sastra agama diikuti,

apabila berada di dunia.


6b. Sanghyang Wulan menjadi lampu penerang,

setiap saat Sanghyang Surya menerangi.

bila dalam keluarga konon.


pāpa panggih,

Guru jani manuturang.


5. Liñok maring sato kocap,

dasa warsa papanggih,

liñok ring samanya janma,

satus tawun lara těmu,

liñok ring Hyang Widhi Wasa,

duhka panggih,

siu tawun mAnggih sangsara.


6. Liñok teken pagurwwam,

liwat papa tan patěpi,

cutět twara ada kawah,

angluwihi liñok iku,

yan ring dharma miwah yājnā,

boya cěning,

ada mengungkulin satia.


7. Karana satyane glarang,

sastra agamane iring,

apan yan ring rat rikala


6b. Sanghyang Wulan maka suluh,

dinā kāla Sanghyang Sūryya meñětěhin,

yan kulasanta kocap. [ 29 ]

21


8. Putra saleh dan bijaksana,

menjadi penerang yang se­benarnya atau hakiki,

dia sebaga tali penghubung sanak kekeluarga,

bila berujud sebagai lampu penerang,

diceritakan di dalam dharma dan sastra,

itu yag hakiki,

menuntun sampai berhasil dan berbahagia.


9. Wayan Cita berdatangan sembah,

karena kebodohan yang tidak sedikit,

dengan penuh harap hamba memohon,

pengertian agama itu,

Guru supaya berkenanlan menjelaskanya,

pada hari ini,

supaya hamba menge­tahuinya .


10. Begini Anakku dengarkanlah,

Guru sekarang menjelaskan,

jika tidak salah menurut Bapak,

sesungguhnya agama itu,

menuntun semua kewajiban manusia,

memuja dan berbakti,

ke hadapan Tauhan Yang Maha Esa.


8. Putra sādhu tūr wisesā,

mawak suluhe sujāti,

yā talining kadang warga,

yan malwas māwak suluh,

dhārma sāstrane kaucap,

ěnto jāti,

manuntun sidhaning sādhya.


9. Wayan Citta mātūr ngusap,

antuk tambět tan sinipi,

jujut titiang manunasang,

těgěs agama puniku,

suweca Guru midartayang

sane mangkin,

mangdā tityang sauninga.


10. Kene cěning padingěhang,

Guru jani maněgěsin,

yan tan pělih baan bapa,

sajātin agama iku,

ngagěm dharmmaning manușā,

stithi bakti,

maring pāda Widhi Waśa. [ 30 ]

22


11. Berserana dengan catur angga,

budi manah yang ketiga.


7a. angkara yang diceritaka,

anggawaya yang keempat,

bertujuan untuk menjelma,

dilandasi,

dengan Triwarga konon.


12. Tiga sifat utama yang men­jalankan,

keluar perbuatan buruk dan baik.

pahala perbuatannya tiba,

sampai kepada orang yang berbuat itu.

datangnya atau hasilnya sesuai dengan perbuatan,

sungguh diwarnai,

berlandaskan pada pikiran.


13. Oleh para dewa dan semua kala,

tidak dapat dihindari,

walaupun ditolak dengan ajaran weda,

japa mantra jenisnya,

yoga samadi dana punia,

begitu anakku,

dikatakan oleh sastra dan agama.


14. Guru kembali mejelaskan .

anakku supaya jelas menge­tahui.


11. Malarapan catur angga,

budhi manah kaping trini.


7a. angkarane maucap,

anggawaya kaping catur,

tatujon diwarūpa,

kadasarin,

baan Triwargga kocap.


12. I tri guņā mañalanang,

wětu karmmā ala běcik,

phalan karmmane tumiba,

maring sag makarmma iku,

těkannā ngalih jalaran,

twi kawarņni,

majalaran baan manah.


13. Baan dewa sarwwa bhūta,

twara dadi baan ngimpasin,

dyastu tulak baan wedha,

japa mantrā kañcan ipuh,

yoga samadhi dāna punya,

keto cěning,

kojaring sastra agama.


14. Walinin Guru midartha,

apang cěning tatas uning, [ 31 ]

23


yang disebut Tri Warga,

dasar agama disebut, darma, arta, dan kama,

Anakku ada lagi,

yang disebut Tri Guna.


15. Satwa rajah dan tamah.


7b. kegunaanya baik-baik,

Guru sekarang mejelaskan,

guna satwa itu sesungguhnya,

sesuai dengan agama,

sudah mengetahui,

buruk baik neraka sorga.


16. Guna rajah penjelasannya,

melakukan pembunuhan tidak pernah berhanti,

selalu angkara dan loba,

sangat bahagia dan sangat sedih,

melihat orang takut melihat,

tidak belas kasih,

kepada sesama mahluk hidup.


17. Guna tamah melanjutkan,

juga senang memati-mati,

banyak sekali perbuatannya,

tidur bangun kebiasaannya,

tidak bisa kekurangan makan,

sangat sedih,

bertubuh kala di dunia.


18. Demikian rincian Triguna itu,

meresap di dalam hati,

berganti-ganti memerintah,


ne maadan Tri Wargga,

dasar agama kawuwus,

dharmmā artha miwah kāma,

buwin cěning,

ne maadan Tri Gunna.


15. Satwa rajah miwah tamah.


7b. gunannane běcik-běcik,

Guru jani manuturung,

gunā satwane satuhun,

těpět maring śāstra agama,

nawang pasti,

ala ayu papa swargga.


16. Guņā rajah paridarthanya,

ingsa karmmane tan mari,

angkara lobhā satata,

agung suka agung sungsut,

mangun takuting timinghal,

tunā asih,

maring sasama tumitah.


17. gunā tamahe manumbal,

masih děměn mamati-mati,

mayus pěsan magarapan,

mědhěm bangun lagun ipun,

twara dadi tuna pangan,

agung elik,

māwak buthā maring jagat.


18. Keto kandan i Triguņa,

masusupan ya di ati,

magěnti mara manitah, [ 32 ]

24


di dalam pikiran sehingga bingung.

tidak tahu baik buruk,

salah tafsir,

seperti penjelasan guru yang sudah-sudah.


19. Karena itu patut diusahakan,


8a. guna satwam di dalam hati,

supaya dapat berpikir dan bertindak,

guna rajah tamah itu,

supaya berhenti meraba­-raba.

salah tafsir,

I Wayan Cita berkata me­nimbal.


20. Guru silakan lanjutkan,

mengajari hamba lagi,

yang patut hamba pakai pe­gangan,

dasar mengemban satwa itu,

mengalahkan kesaktian rajah,

tamah lagi,

I Dukuh melanjutkan cerita.


di iděpe kraņā bingung.

twara nawang jěle mělah,

salah dalih,

buka satwan guru suba.


19. Kraņa sandang jwa saratang.


8a. guna satwam di ati,

apang sidha ngawinayang,

guna rajah tamah itu,

apang suwud pati gabag,

salah dalih,

I Wayan matūr manimbal.


20. Durusang Guru lanturang,

matuturin tityang malih,

sane sandang gamběl tityang,

dasar ngěmban satwa iku,

ñurudang sāktining rajah,

tamah malih,

I Dukuh nglanturang satwa


PUH GINANTI


1. Resapkanlah Anakku yang telah lalu,

zaman kretayuga itu di dunia,

guna satwam memerintah,

berbuat tapa diteladani,


1. Rěsěpang cěning ne malu,

krětayugane ring gumi,

guņā satwam mawiśesā,

ulah tapa kasungkemin, [ 33 ]

25

berderma bersedekah tanpa guna,

rajah tamah itu ditindih.


2. Zaman Tretayuga yang menyambung,

guna satwam itu dipuji,

ulah darana selalu dilakukan,

dhyana yoga, dan samadi,

dana yajna kurang berguna.


8b. zaman Dwapara yuga mengganti.


3. Sifat satwam semakin luntur,

rajah tamah itu yang menguasai,

bila diteruskan membuat kegaduhan,

membuat kekacauan di dunia,

namun orang yan bijaksana,

bersenang hati membuat cerita kebenaran.


4. Saatnya guna satwa itu,

supaya tidak sampai mati,

menjadi santapan rajah tamah,

keutamaan kebanran itu diciptakan,

ada perihal Panca Yajna,

lumbrah disebut adat istiadat.


5. Panca Yajna itu disebut,

yang menjalankan disertai,

dengan Tri Kaya Parisuda,


dāna yajna tan paguņa,

rajah tamhe katindih.


2. Trětayugane manāmbung,

satwa guņane kapūji,

ulah dharaņa satata,

dhyana yoga mwang samādhi,

dana yajna tuna guņā.


8b. Dwaparayuga manampih.


3. Satwa guņā ngancan luntur,

rajah tamahe mamūrtti,

yan ulurin mangun rundah,

mangun kali maring gumi,

dwaning idā sang janmā,

sweccha mangun tatwa aji.


4. Kathin guna satwa iku,

apang ěda kanti mati,

dadi labhan rajah tamah,

luwih tatwane kakardhi,

ada indik Pañca Yajñā,

kětah adat kawastanin.


5. Pañca Yajñā tuwi kawuwus,

ne ñalanang kasarěngin,

i tri kaya pariśudha, [ 34 ]

26


bertujuan sangat baik sekali,

mengurangi kesaktian indira,

rajah ramah itu di hati .


6. Pada zaman Dwaparayuga banyak ada cerita,

yang menjadi sumbernya hanya satu,

diceritakan dari Reg Weda,

ditirukan ke dunia,

penolong kalahnya satwa,

mengadu kenikmatan zaman Kaliyuga.


7. Sanghyang Swayambu Manu,


9a. menyelamatkan sejak dulu,

atas perintah Sanghayag Brahma,

khwatir akan kehilangan weda,

hilang Weda hilang yajna,

yajna hilang Weda mati.


8. Weda mati dunia hancur,

demikian asal mulanya dahulu,

lanjutkan Guru bercerita,

setlah kaliyuga berlangsung,

danapunia dan yajna,

rajah tamah yang melandasi .


9. Itu sebabnya menjadi bingung,

memahami benar salah,


tatujonnāa langkung lěwih,

ngiranin śaktining indira,

raja tamhe di ati.


Ring Dwaparayuga liyu tutūr,

ne makwit twah abĕsik,

kawuwus saking Rĕg Wedha,

kapencarang maring bhumi,

panulung lilihing satwa,

ngadu lega zaman kali.


7. Sanghyang Swayambhu manu.


9a. ngawrĕdhayang duke ngūni,

saking titah Sanghyang Brahma,

sangsaya weda nibeni,

ilang weda ilang yajñā,

yajñā ilang Weda mat.


8. Mati wea bhūmi lĕbur,

kento kawitñane nguni,

lanturang guru mañatwa,

di subane kāli nampuh,

dāna punya miwah yajñā,

ramah tamah manasarin.


9. Ento kraņa dadi bingung,

mangingĕtin bĕnĕh pĕlih, [ 35 ]

27


singkatnya Guru mencerita­kan,

karena sekarang zaman kali,

perkiraan Guru bila tidak salah,

Anakku sudah dapat mema­hami.


10. Yang sungguh bernama kebenaran,

bernama kesalahan di dunia,

I Citta lagi memohon,

perihal Panca Yajna itu,

I Dukuh menjawab kemudian,

menjelaskan satu per satu.


11. Pertama yang dijelaskan,

Dewa Yajnya dinamai,

berperilaku berbakti keha­dapan dewa,


9b. berserana pikiran yang suci hening,

lahir dan batin,

Dewa Tuhan sangat suci .


12. Yang kedua disebut,

buta Yajna cinta kasih,

terhadap semua mahluk halus,

yang nyata maupun tidak nyata,

buta namanya semua ber­badan.

tumbuh hidup di bumi.


13. Pitra Yajna yang ketiga,

roh atma belum suci,


cutětang Guru midartha,

rehning jani masan kali,

tarkan Guru yan tan iwang,

bisa cai mamědasin.


10. Ane tuhu mādan ayu,

mādan ala maring gumi,

I Citta malih nunasang,

solah Pañca Yajñā nguni,

I Dukuh masawur nimbal,

manuturang siki-siki.


11. Kaprathama ne kawuwus,

Dewa Yajñā kaaranin,

solahe bhakti ring dewa.


9b. malarapan jati ěning,

sakala miwah niskāla,

DewaSanghyang miwah śuci.


12. Kaping pindo aran ipun,

Butha Yajñā solah asih,

těken butha majalaran,

sakala niskala jati,

butha ngaran sarwwa māwak,

māwak maurip di gumi.


13. Pitra Yajña kaping tělu,

pitra atma durung śuci, [ 36 ]

28

yang belum berbadan dewa,
juga wajib dihormati,
keberadaannya juga dua,
nyala dan tidak nyala suci.


14. Pitra Yajnya rinciannya,

lima macam pembagiannya anakku,

Guru akan jelas memahami,

supaya kamu jelas memahami,

yang ini dulu dilanjutkan,

urutan Panca Yajna itu.


15. Resi Yajna yang keempat,

resi sesungguhnya dinamai,

itu guru yang nyata,

guru yang gaib sabda,

yang diterima dengan pikiran.


10a. pikiran suci sabda baik.


16. Guru yang nyata itu,

sang pendetsa di bumi,

bagaikan dewa yang tampak,

beliau itu wajib dihormati,

dengan perantaraan bahasa yang tidak tampak,

yang tampak dari kesucian.


17. Korban yang kelima itu,

Manusia Yajna dinamai,

perincian korban itu,

mulai dari baru lahir,

berakhir sampai kematian,

seluruh penjelasan sudah selesai.


ne durung maraga dewa,

masih patut ya bhaktinin,

jalarane masih dadwa,

sakala niskala suci.


14. Pitra Yajna palih ipun,

limang soroh palih cening,

Guru pacang midarthayang,

apang cening tatas uning,

ne jani malu lanturang,

turut Panca Yajna nguni.


15. Resi Yajna kaping catur,

resi jati kategesin,

guru sakala punika,

guru niskalane wangsit,

ne katrima baan manah.


10a. manah suci wangsit becik.


16. Guru sakala punika,

sang pandita maring gumi,

ri saksat dewa sakala,

patut ida kabhaktinin,

majalaran basa niskala,

sakalane saking suci.


17. Yajna kaping liman ipun,

Manusa Yajna karanin,

papalih yajna punika,

ngawit saking wawu mijil,

panelas ngantos winarang,

pragat paridartha sami. [ 37 ]

29


18. Perihal Panca Yajnya itu,

sekarang Guru kembali lagi,

Pitra Yajna itu yang di­ceritakan,

kanan dikatakan lima jumlahnya,

yang pertama bernama,

Sawaprateka dinamai.


19. Sesungguhnya berupa mayat,

mayat yang nyata Anakku,

memakai Wadah Patulangan Damarkurung Kajang lagi,

Banten Teben dan Angenan,

Sawewedana yang kedua kali.


20. Rangkaian upacara seperti yang telah lalu.


10b. bertubuh dengan kayu yang harum,

kayu majagawu dan cendana Pranawa yang ketiga,

tidak memakai wadah yang bertingkat,

tidak memakai damarkurung lagi.


21. Patulangan juga tidak ikut,

tanpa banten teben lagi,

tanpa angenan selamanya,

panjangilang disertai sesaji,

nasi angkeb disertakan pula,

dan ajuman putih kuning.


22. Bubur Pirata tambahannya,

berwujud air yang sangat suci,


18. Kandhan Pañca Yajñā iku,

walinin guru ne jani,

Pitra Yajñāne satwayang,

kaucap lalima ngūni,

kaprathamane maaran,

Śawaprateka kawarnni.


19. Mapangawak śawa tahu,

sawa sakalane cěning,

ngangge Wadah Patulangan,

damarkurung kajang malih,

bantěn těben angěnan,

śawawadena ping kalih.


20. Pailen aci kadi wawu.


10b. mapangawak taru měrik,

majagawu lan caņdana,

paraņwane kaping trini,

tanpa wadah palih nikā,

tan padamarkurung malih.


21. Patulangan twara milu,

tan pebantĕn tĕben malih,

tan paangěnan sakewala,

panjangilang dulur saji,

nasi angkěb runtutan ika,

lan ajuman putih kuning.


22. Bubuh Pirata dulurin ipun,

mawak tirtha langkung suci, [ 38 ]

30


di Salunglung diselesakan,

tetapi ada rangkaiannya lagi,

wajib mengikuti rangkainnya mengupacarai mayat,

Sawawendana seperti telah disebutkan tadi.


23. Yang keempat Swasta di­ sebut-sebut,

anakku wadah tidak dipakai,

dan perilaku mapranawa,

tetapi berbeda sedikit,

ketika membakar mayat itu,

di lobangnya begitu Anakku.


24. Tempat melakukan upacara itu,


11a. Sawaptrateka itu lagi,

Sawawedana Pranawa

Swasta semuanya dilakukan di kuburan,

tetapi ada lagi yang diucap­kan,

Anakku di dalam sastra be­gini.


25. Bapak temukan di dalam tutur,

tempat mencari tanah suci,

pitra yajna itu yang menye­lesaikannya,

Anakkudisanggah Pamrajaan,

sudah selesai dipersembahkan,

sudah diupacarai pitra yajna semuanya.


di Salunglung kapatutang,

anging ada pilěh malih,

wenang nganūt pailěh nawa,

wědana inucap nguni.


23. Kaping catur Swasta mungguh,

tan pawadah patuh cěning,

teken palih mapranawa,

kewala bhiña akidik,

kala ngěsěng awak iku,

di bangbange kento cěning.


24. Gěnah muput yajñā iku,


11a. Śāwapratekane malih,

Śawawedana Paraņawa,

Swașțsa maring setra sami,

nanging ada buin kaucap,

munggwing śastra kene cěning.


25. Pangguh bapa maring tutur,

genah ngalih karang suci,

pitra yajnane pamragat,

di sanggah pamrajan cěning,

suba pragat kaatūrang,

suba mitra yajñaang sami. [ 39 ]

12

26. Ada lagi yang menyambung,
Astiwedanadinamai,
mengupacarai
mengupacarai mayat pula,
lumbrah disebut upacara yang
dilakukan secara simbolis,
sudah selesai ada yang me-
nimbal,
lanjutkan upacara ini.


27. Atma Wedana disebut-sebut, rangkaian upacaranya dirinci begini, Nyekah Kangsen yang Nyekah Kurung yang kedua kali, potong gigi yang ketiga, rangkaian upacaranya sesuai dengan aturan.


28. Nista madya tingkatannya,


11b mamukur yang utama, habis keterangan tentang, upacara pitra yajna, Atma Wedanadinamai, melanjutkan upacara Manusa Yajna, tembang Sinom dipakai menyanyi.

26. ada buin ane manambung,
Așțiwĕdana karaņin,
amrĕtĕka malih śawa,
kĕtah kaucap makirin,

suba narik ada nimbal,

lanturang yajne puniki,


27. Atma Wĕdana kawuwus palĕt karyyane kawarņni,

Nĕkah Kangsen kaprathama,

Nĕkah Kurung kaping kalih,

28. Niștā mādhya palĕt ipun,

mamukure kaping tiga, pakrĕtinna manūt indik.


11b. mamukure mauttami, tĕlas kandain yajñā atma wedana jawarnani manusa yajna manimbal tĕmbang Sinom manĕm- bangin.

1PUPUH SINOM

1. Pada saatnya bayi lahir, tingkah-lakunya menitis bernama Banten Dapetan

1. Rikālaning rare lĕkad, pali-paline numadi,

mawașța Bantĕn Dapĕtan, [ 40 ]

32


pikiran dipakai mengartikannya.

mendapat bayi sempurna lahir,

anugrah Tuhan itu,

Tuhan yang menganugrahkannya,

hasil perbuatan yang telah dilalui,

pantas itu,

bayi itu wajib disayangi.


2. Setelah bayi itu berusia dua belas hari diadakan upacara sesajenyang dipersembahkan,

di tempat ibunya dahulu,

biasanya mandi ketika masih hamil,

dipersembahkan ke hadapan Dewa Wisnu,

Wisnu artinya kewajiban,

isinya supaya dipahami,

kewajiban itu,

setiap saat menjaga anaknya.


3. Setelah berusia satu bulan,


11a. lagi tujuh hari pasti,

Tutug kambuh itu namanya,

upacaranya Saat ini.

korban pertumbuhan dinamai,

isinya supaya diketahui,

sesuai dengan nama si putra,

yang patut diupacarai pahalanya.


lokikā anggen nĕgĕsin,

napĕt rare pūrņna mijil,

paican titah puniku,

Sanghyang Titah maicceayang,

phalan karmma sane nguni,


sandang ipun,

rarene patut sayangang.


Disubane ya mayusa

riras dina kakaryyanin,

babantĕnan pacang atūrang

di tongos memenne nguni,

sai mandus duke bĕling,


Suba mayusa abulan,


nagung pitung dina pasthi,

Tutugkambuh to adanna,

prakĕrtine kāla iki,

labhan kambuh kaaranin,

dagingñane apang wĕruh,

nganutin aran i putra,

sane ñandang katiwakin,

phalan ipun,

dhirghayusā urip waras. [ 41 ]

33

4. Guru melanjutkan mejelas-
kannya.
tiga bulan umurnya si anak
kecil.
konon upacaraya dilakukan,
lengkapi dengan upacara
Banten Pabangkit.
Bangkit artinya baik.
Ototnya bertambah bagus,
beserta daging-dagingnya
pada Saat ini telinganya
dilubangi.
sebagai tandanya,
Sanghyang Siwa yang dipuja.

4. Lanturang Guru nuturang,
tigang sasih yusaning alit,
pali-palinane kocap,
tutug baan banten pabangkit,
bangkit tĕgĕsñane bĕcik,
urate mawuwuh ayu,
miwah galih-galih nira,
tusuk karnņa kāla iki,
cihnan ipun,
Sanghyang Śiwa kang
'sinĕmbah.

5. Sesudah genap enam bulan.
Satu oton juga dinamai,
menjadi hari kelahiranya,
memotong rambut pada hari
ini,

5. Suba jangkĕp ĕnĕm bulan,
awĕton tuwi kãdanin,
dadi pawĕtwanña ikā,
metik rambut dina iki,

12b. mulai turun ke bumi,
maksud pemotongan rambut
itu,
tujuannya agar rambut tum-
buhnya banyak,
tertarik supaya sampai me-
lewati telingga,
mata hidung,
diantaranya dari lidah.

12b. ngawit turun ring pratiwi,
sasipatan rambut puniku,
ĕdotñane lyu wĕdar,
ĕdot majalaran kuping,
mata cungguh,
minakadi saking lidah.

6. petik potong dimaksudkan
tahu memotong keinginan si
kecil atau si bayi.
yang pantas tidak diberikan,


6.Pĕtik punggĕl kaarriyang,
wĕruh munggĕl kaprining alit.

sane ñandang twara baang, [ 42 ]

34


supaya tidak menambahi,

karena itu perlu diupacarai,

sarana upacara pembersih itu,

itu bermaksud,

mulai boleh diberi makanan.


7. Beraneka rupa tumbuhan,

tumbuh dari tanah

seperti anggeara,

Guru lanjutkan lagi,

setelah cukup dewasa,

kira-kira setelah berumur,

lima belas tahun atau lewat,

pada saat itu patut potong gigi,

nama upacara itu,


13a. Masangih atau Matatah,


8. Jumlah gigi yang dipotong,

enam jumlahnya anakku,

enam musuh itu artinya,

musuh di dalan diri sendiri,

berkuasa tidak tertandingi,

dipasangi daya upaya,

supaya bisa tunduk,

punah kekuasaannya nanti lagi disambung,

cerita Guru supaya didengar­kan.


9. Rangkaian upacara itu,

Mawinten membersihkan hati,

kemudian dilanjutkan dengan Pawarangan,

Madengen-dengen anakku,


apang ěda mangulurin,

krana ditu kaāryyanin,

prayascita bantěn ipun,

teges ipun,

kawit dadi wehin bhoga.


7. Sarupaning sane mědal,

měntik saking prathiwi,

minakadi anggeara,

lanturang Gurune jani,

di subane tutug kelih,

painganan tuwuh ipun,

molas warsa dyastu liwat,

ditu sandang ngětěp gigi,

aran ipun,


13a. Masangih miwah Matatah.


8. Katah untune katatah,

němněm yogyannane cěning,

șad ripu těgěs punika,

musuh ring awak puniki,

mawitśesa tan sinipi,

pasangin upaya tuhu,

apang sidha manungkul,

punah wiśeșanñna wěrih,

buwin sambung,

satwan Gurune pirěngang.


9. Runtutan karyyan punikā,

mewinten nucing ati,

wěkas pawarangan nimbal,

maděngěn-děngěn cěning. [ 43 ]

35


beserta sesayut itu,

yang bernama durmanggala,

nama upacara ini,

sejak dahulu,

laki perempuan menyatukan pikiran.


10. Menjalankan perintah agama,

segala usaha supaya berhasil,

Guru melanjutkan berceritera,

ketika sudah hamil,

menjaga atma ditekuni,


13b. mengunci benih demikian sampai selesai,

upacara Butayajna yang melanjutkannya,

Guru ceritakan sekarang ini,

asal mulanya,

upacara Pancasata yang dijelaskan.


11. Panca artinya lima buah,

sata artinya ayam jantan anakku,

upacara dengan sarana ayam,

jumlahnya lima ekor ayam,

lima ekor ayam bila ditam­bahi,

dengan itik yang berbulu,

Bulu Sikep dinamakan,

beserta anjing lagi,

yang sudah umum,

Blangbungkem dikatakan.


12. Itu bernama Pancasanak,

Pancasanak itu ditambahi,


madulur sasayut iku,

ne mādan Dhurmanggala,

těgěs pawarangan iki,

saking tuhu,

lanang istri manunggal manah.


10. Ñalanang tuduh agaman,

sidhaning kapti kapanggih,

lanturang guru mañatwa,

di subane bobot jani,

atma rakșa kakaryyanin,


13b. kancing manik kento putput,

bhūtayajñane manimbal,

tuturang Guru ne jani ,

kawit ipun,

Pāncasatha ne kawarnna.


11. Pañca těgěsna lalima,

sata siap mwani cěning,

Yajna ne maśrana sața,

lalima katahna jāti,

pañca sața yan wuwuhin.

baan itik bulun ipun,

bulu sikěp kakětahang,

madulur asu malih,

lumbrah ipun,

Blangkungkěm kaucap.


12. Ento madan Pañcasanak,

Pañcasanake wuwuhin, [ 44 ]

36


dengan kambing konon namanya,

Panca Kelud lagi anakku,

Panca Kelud itu ditambah lagi,

dengan babi yang pelirnya masih utuh,

beserta sapi konon namanya,

Balik Sumpah ada lagi,

lanjutannya itu,

Masapuh-sapuh dinamakan.


13. Dasarnya Balik Sumpah,

13b. bertambah tiga ekor kerbau,

Masapuh-sapuh konon,

bila ditambaho kerbau lagi,

lima ekor namanya anakku,

Panca Walikrama itu,

namanya upacara Batayajna,

bila ditambahi kerbau lagi,

jumlahnya itu,

dua puluh tiga sungguh di­namakan.


14. Eka Dasa Ludra namanya,

sekian sudah selesai anakku,

menjelaskan tentang upacara,

dasarnya tiga yang hakiki,

seperti yang telah Guru kata­kan tadi,

tiga buah perilaku itu,

yang bernama Trikaya,

Parisuda namanya yang hakiki,

pikiran luhur,

perkataan dan perbuatan yang mulia.


baan kambing aran kocap,

Pañca Kělud buin cěning,

Pañca Kělude wuwuhin,

baan bawi butuhan iku,

lawan sampi aran kocap,

Balik Sumpah ada buin,

lanturan ipun,

Masapuh-sapuh kawarnna.


13. Dasarñane Balik Sumpah,


13b. mawěwěh kěbo katrini

masapuh-sapuhe reko,

yan wuwuhin kěbo malih,

limang siki aran cěning,

Pañca Walikrama iku,

ngaranya Bhūta Yajña,

yen dagingin kěbo malih,

katah ipun,

tělu likur twi kaucap.


14. Eka Dasa Ludra aran,

amonto pragatang cĕning,

manuturang inggih yajñā,

dasarñane tiga jāti,

buka raos Guru nguni,

tiga laksana puniku,

ne maaran Trikāya,

Pariśudha těgěsñane jāti,

manah ayu,

'mūni lakșaņane mělah. [ 45 ]

37


15. Bila bertentangan dengan dasar itu,

dana punia tidak berguna anakku,

semua jenis upacara di­ sebutkan.

tidak berpahala tidak berguna,

kekayaan habis tidak di­ ketahui,

buta kala menerima itu,


14a. kesengsaraan pahalanya kelak.
tubuhmu dirasuki kali,
kamu hidup,
namanya sudah membangun
kawah.


16. Akhirnya itu yang akan me­nerima.

juga diri sendiri,

karena diri sendiri yang mela­kukan,

lahir dari kejahatan pikiran hati,

meskipun penghalangnya anakku,

dirimu juga yang membangun,

ganas wajahnya menakutkan,

juga sangat menakutkan hati.

perkataan salah,

itu menjadi tulang.



17. Udara jahat menjadi nafas,

yang menumbuhkan pikiran jahat,

akhirnya datang semua meng­hadang,


15. Yan nungkasang dasar ika,

dana punya nidron cening,

sakancan yajna kaucap,

tan paphala tan pasari,

bhrana telah tan paindik,

bhuta kala nampi iku,


14b. apaphalanna ring wekas.

awake kasusup kali.

cai hidup.

suba madaln ngawangun kawah.


16. Wekas ento akar nrima,

masih awake padidi,

dening awake mengwangunang,

metu saking alan ati,

yadyan pangadange cening,

i awak masih ngawangung,

krura rupa kahinawa,

pada agresing ati,

swara dudu,

ika mandadi taulan.


17. Bayu ala dadi angyan,

ne nguripang manah pering,

wekas teka padha ngadhang. [ 46 ]

38


dijalanan meminta makanan,

ditolak dengan perwujudan kejahatan,

perwujudan kejahatan benda hambar,

benda hambar maya-maya bumi,

semakin berkobar,

kawah pengaduan galak.


18. Karena tiga penyamaran.

itu menjadi musuh sakti,

berkuasa tidak dapat di­ kalahkan.


15a. dari badan semuanya lahir.

raksasa sangat sakti.

ke luar dari bara kayu.

beserta detya sangat menakutkan,

keluar dari kemarahan hati,

lagi muncul.

si raksasa dari kebingungan.


19. Buta Yaksas itu keluar,

dari kelapran dan kesedihan,

Buta Dengen dari keseng­saraan.

Buta Kala itu akan keluar.

duri keserakahan sering punyah.

begitu sessungguhnya anakku,

jangan tandruh,

memang diri sendiri yang melahirkannya.


di jalan managih bhukti,

tulak baan ala pawastu,

ala pawastu barang tambar,

barang tambar mayam gumi,

mingkin murub

kawah pengadunga galak.



18. Apan tiga kasamaran,

etno dadi satru sakti,

mawisesa tan kapangpang,



15a. metu saking awak sami,

dhanawa langkung sakti,

metu saking bharan kayu,

miwah detya kabhinawa,

metu saking krodhan ati,

malih metu,

i raksasa saking moha,



19. Bhuta Yaksane umetwa,

saking lapa lan anglih,

Bhuta Dengen saking lara,

Bhuta Kalane unijil,

saking tanah punah sai,

keto sujatinna cening,

eda tandruh,

mula awak ngamijilang [ 47 ]

39


20. Karena sekarang kebetulan masih bujang.

lakukan pekerjaan yang baik­ baik,

akhirnya bila sudah tua .

banyak penghalang yang mendatangi,

tidak mampu kurang makanan,

sakit buta dan menjadi pelupa,

siapa orangnya yang dapat di­ handalkan,

yang mau menunjukkan per­jalanan,

bersedia menuntun,



15b. menjaga di jalan yang ber­ bahaya.



21.Sungguh-sungguh sanak saudara.

para keluarga di bumi,

pada waktu kematian banyak yang datang,

karena belas kasihan banyak yang sedih,

ada yang menyembah dan mengikuti,

sampai di perkuburannya menyelesaikan,

bila sudah demikian bagai­mana,

patah penunjuk jalan patah titian.

selalu tersandung,

perjalanannya selalu meraba­ raba.


20. Krana jani mungpung bajang,

wangunang karmmane yukti,

wekas yening suba tuwa,

liyu pangalange prapti,

tani mampuh tuna bhukti,

sakit bhuta turing pikun,

enen anake cagerang,

lakar mitudhuhin marggi,

sweccha nuntun,


15.b ngraksa di jalan durgghama.


21. Jati inggih nama braya,

kadang wargine di gumi,

di matine liyu teka,

baan tresna liyu sedih,

ada nembah manututin,

teka di setrane puput,

yan suba keto kudyang,

elung pangancan elung titi,

pati entul,

pajalane pati gabag, [ 48 ]

40

22. Sungguh bagaikan layang­-
layang,
talinya putus ditiup angin,
yang dituju belum jelas,
akhirnya jatuh menimpa api,
sakit kesengsaraan dialami,
akhirnya terbakar karena
salah tujuan.
perihal dirinya belum jelas.
dahulu di sini di bumi,
dikira mudah,
diandalkan menerima ke­
bahagiaan.


23. Meskipun di dunia berba­hagia,
karena banyak mempunyai
uang,
belum dapat dikatakan ke­
bahagiaan yang hakiki.


16a. bagaikan kebahagiaan pada
waktu bermimpi.
kaya raya makanan berlim­pahruah,
setelah bangun semanya
hilang,
tidak ada yang mengikuti
akhirnya,
kebahagiaannya kembali
sengsara.


24. Kebenaran merupakan jalan
utama,
tidak ada yang menghalangi.
kebenaran bagaikann perahu
konon,


22. Saksat kadi lalayangan,
pegat tali tempuh angin,
ne kaungsi boya karwan,
wekas ulung niben geni,
sakit kasangsaran panggih,
payu puwun salah unduk,
undhuk awake tong pedas,
laadne dini di gumi,
kaden aluh,
cager manampi kasukan,

23. Yadyapin sakala suka,
bane liyu ngelah pipis,
toden madan suka jati,

16a. saksat suka kala ngipi,
sugih brana bhukti penuh,
suba enten telah ilang,
twara ada manututin,
dadin ipun,
sukane mawali duka.

24. Dharmma saksat jalan antar,
twara ada manantulin,

dharma saksat prawu reko,
[ 49 ]

41


berlayar meyeberangi samu­dra,

kebenaran bagaikan mata hari.

menerangi alam semesta.

dharma itu bagaikan tingkah laku yang mulia,

penyangga ketiga dunia anakku,

karena kokoh,

kebenaran sahabat keempat kelas sosial manusia.


25. Seperti sang Pendeta,

I Wayan berkata manis,

lanjutkan Guru lanjutkanlah,

jelaskanlah saat ini.

supaya hamba mengeahui,

perihal Catur Warna itu,

Dukuh Wanasara menjelas­kannya,

perinciannya satu per satu,

isinya itu,

Pupuh Ginanti dipakai me­nimbal.


ambahin mangliwat pasih,

dhārmma sasksat Sanghynag Rawi,

mañuluhin buwana agung,

dharmmane sāksāt sasanā,

saksan jagat tiga cening,

krana kukuh,

dharmma kantin catur jadma.


25. Pinakādi sang Pandita,

I Wayan matur aris.

rarisang Guru rarisang,

pidarthayang sane mangkin,

mangda tityang tatas uning.

tingkah Catur Warnna iku.,

Wanasara manuturang.

kandanñane siki-siki.

isin ipun.

Ginanti anggen manimbāl.


GINANTI

1. Catur Warna meliputi.

Brahma, Ksatria, anakku,

Wesya, Sudra genap empat,

bersaudara ya tunggal bibi,

satu ayah di sini menjelma,

bersatu hidup di bumi


1. Catūr Warnnā luwir ipun.

Brahmana Ksatriya cěning.

Weŝya Śudra gěněp patpat,

mañama ya tunggal bibi.

tunggal bapa dini lěkad,

mapunduh idup di gumi. [ 50 ]

42

2. Brahmana yang paling
dahulu.
bukan karena lebih dahulu
lahir,
karena teguh pada bratanya,
dua belas pantangannya
Anakku,
bagaikan senjata utama,
mengalahkan musuh di bumi.

3. Adapun kewajiban beliau
meliputi,
pertama kebenaran yang
hakiki,
memahami ajaran di dalam
agama,
karena menjadi guru di bumi,
kedua setia tidak pernah
goyah,
tapa brata yang ketiga kali.

4. Tapa itu pada hakikatnya
berarti,
pancaindra dibatasi,
darma brata yang keempat,
dapat megekang segala
yang diingini,
bersikap tidak membedakan,

17a. terhadap sesama orang.

5. Tidak iri hati.
demikian disebut.
pantangan yang kelima
Anakku,

2. Brahmana pinih luhur
. boya sangkan rivin mijil.
pageh bratane makrana,
roras bharata ida cening.
saksat sanjata uttama,
mangalah satruning gumi.

3. Luwir bratan ida mungguh.
prathama dharmajāti,
ngagem kojaring agama,
ngagen kojangaring agama
apan maraga gurun gumi,
kapindo satya tan ubah.
tapa bharata kaping trini.

Teges tapa jatin ipun.
panca indriyane piyerin.
dharmma bhrata kaping
empat.
bisa mituturin kapti,
tuwara mabhina-bhinayan,

17a. marep ring sama dumadi.

5. Wimatsarya twa mungguh.

bhrata kaping lima cening. [ 51 ]

43

beliau tidak dengki di dunia,
nama pantangannya yang
keenam,

6.Titiksa yang dimaksud,
tidak marah Anakku sejati,
yang kedelapan Anasuya,
tidak berbuat dosa di bumi,
yang kesembilan Yajnya
namanya,
tidak pernah berhenti memuja
Tuhan.

7. Yang kesepuluh berdanapunia
dengan tulus,
berderma terhadap sesama
orang,
munin
Drati Brata yang kesebelas,
pikiran suci bersih,
Ksama brata yang kedua
sungguh-sunggu tidak mela-
kukan balas dendam.

8. Perilaku Ksatria dirinci,
ajaran Weda dipahami,
selalu melakukan pemujaan.
beryajna bersedekah tidak
pernah berhenti,
menjadi guru yang bijaksana,

17b. menjaga keselamatan dunia.

9. Perilaku Wesya itu yang
disebut,
tidak pernah berhenti belajar
kepada para resi,

tan irsya ida ring jagat.
ngaran kaping sasti. tan ginggang mungguh ring
citta,
Titiksa Bharata ping sapti.

6. Titikṣa teges ipun,
tan krodha cening jati.
ping kutuse Anasuya,
tan ngardhi dosa ring gumi.
ping sanga najna manimbal,
tan mari ngastawa Widhi.

7. Kaping dasa dana nulus,
maweweh maring sasami,
Dhratti Bhratakasping solas,
citta nirmala maening,
Kṣama ne kaping roras,
tan ginggang tindih ring jati.

8. Ulah Ksatriya ne itung.
teleb ring Wedā jāti.
tan surud magni hotra,
yajnā dānane tan mari. maraga guru wisesa,

17b. ngraksa ala ayun gumi.

9. Ulah Wesyane kawuwus,

tan mari muruk ring resi.
[ 52 ]

44

dan kepada warga Ksatria.

beramal sedekah di bumi,

setiap hari yang baik.

selalu memuja kepada Hyang Tiga Ceni.


10.Tiga Geni yang dimaksud,

yang pertama dinamai.

mendalami ajaran sastra.

api yang dipakai memasak makanan,

kedua bagaspatya,

api setiap waktu menjadi saksi.


11. di dapur saat itu,

yang ketiga Citageni.

api pembakaran gua,

dipuja oleh sang Wesya tidak goyah selalu bisa berhasil,

menuju keutamaan menitis.


12. Adapun perilaku warna Sudra itu,

sangat hormat bakti memuji.

kepada para Brahmana dan wama Ksatria,

kepada Wesya yang ketiga kali,

pahala satia kesengsaraan hilang.

segala yang dilakukan ber­hasil dan segala yang diinginkan tercapai.


13. Mengaku orang besar tidak menurut,


miwah ring ksatriya wangsa,

madana punya ring gumi,

rikala subha diwasa,

teleb ring tiga geni


10. Tiga Geni jatin ipun,

kaprathama araneki,

awani kajar sastra,

api pangratengan bhukti,

kapindo bagaspatya,

geni saksi rikalaning.


11. Pawarengan kal iku,

Cittageni kaping tri,

geni pagesengan guwa,

pinuja sang Wesya sai,

tan ginggang sidha muliha,

mangungsi sidhaning dadi.

12. Yaning ulah Sudra iku,

rumaket bhakti sumiwi,

ring Brahmana lan Ksatria,

maring Wesya kaping trini,

phalan satya papa ilang,

sidha karyya sidha kapti.

13. Ngaku agung twara manut, [ 53 ]45

18a. perihal pantangan yang telah disebutkan tadi, itu namanya salah tindakan, merendahkan diri yang sejati, perilakunya seperti berbicara, ingin menang tanpa bukti.

14. Apa yang dijadikan bukti yang betul, membuktikan keangungan yang sejati, bila di dalam tubuh salah ukuran, bila dalam wajah sangat dekil, bila di dalam sastra sangat nista, bila di dalam bertutur kata salah berakali-kali.

15. Bila di dalam berpikir sangat bodoh, perilakunya selalu durhaka, bila di dalam makanan selalu kekurangan, apa yang akan dibela lagi, bukti keangungannya yang benar, pikiran dan indria dikuasai oleh rajah dan tamah .

16. Jelas akan menemui kehan­- curan, kesengsaraan meresap di bumi, sorga nirwana itu hilang, lima kenikmatan yang me­- resapi,


18a. gělar bharata kocap ngūni. ěnto madan salah sukat. nganistayang nāma jāti, angganing kadi Wicara. nagih měnang tan pabhūkti.

14. Apa anggon bhūkti tuhu. mitwiyang agung jati, yan di adeg salah sukat, yan di goba langkung děkil, yan di śāstra katunuyan. yan di mūni ngandang sai.

15. Yan di iděp bělěr punggung, laksanane sigug sai. yan di bhūkti katunayan. apane lakar tindihin, bhuktin agunge pasaja rajah tamah inriyan ati.

16. Sinah lakar ala pangguh, kālane ñusup ring gumi. śunya nirhhanane ilang.

panca wiśaya ñusupin. [ 54 ]

46

rajanya kehilangan rakyat,
pandita kehilangan ilmu.

17. Wesya makanannya sudah
habis,

18b. Sudra kehilangan lampu
penerang,
kehancuran meraja lela di
dunia,
Nresangsa sesungguhnya
berarti,
mengharapkam kebahagiaan
yang sesaat,
karena itu kali sekarang
menjadi-jadi.

18. Apabila sang raja itu sudah
takut,
tidak menepati perilaku yang
sejati,
sang Brahmana memakan
segala makanan,
Wesya lupa kepada kuwaji-
bannya yang utama,
Sudra tidak setia meng-
hormat,
kepada sang tiga yang telah
dikatakan tadi.

19. Nah dihentikan cerita da-
hulu,
tutur cerita kesengsaraan
Dewa Surya sudah memudar,


ratune kicalan jagat
. paņdita kicalan aji.

17. Wesya bhuktinña tan kantun,

18.b. Sudra kapěgatan sundih.
nraśangsa mūkti ring jagat
Nrěsangsa těgěsna jāti,
mamrihang suka dhawak.
krana payu kali jani.

18. Yaning rātu wedi iku.
tan tepet ring ulang jāti,
sang Brahmaṇa sarwwa
bhaksan,
Wesya lupa ring kramādi.
Śudra lěměh mañewaka.
ring sang tiga kocap nguni.

19. Nah rerang malu nutur.
tutur satwa kali jani.
Sanghyang Śuryya nga-

rorokang. [ 55 ]

47

sangat berbahaya dikatakan Oleh iimu.

akhirnya lagi dilanjutkan,

I Dukuh kemudian pergi.

ila-ila kojar aji.

wĕkas buwin lanturang.

I Dukuh raris ninggalin.


20. Bergegas-gegas mengambil burung,

akan menangkap burung hari diceritakan I Wayan Cita,

dia padukuhan memikirkan,

seluruh isi ajaran itu,

tidak meyimpang sungguh sejati.


20. Ngambil paksi sada asru,

pacang mapikat ne mangkin,

kacarita Wayan Citta,

di padukuhan maminehon,

sedaging tutūr punikā,

tan simpang tuhu sujati.


21. Mengambil Iontar namanya

Partayajna yang dibaca,

21. Ngambil lontar wașțan ipun,

Partayajña kawacenin,

19a. cerita tentang kepergian sang Arjuna,

mendaki gunung Sekarang ini,

yang bernama Gunung Indrakila,

akan melakukan tap semadi.

19a. tatwa pamarggin sang Partha,

ngungsi gunung sane mangkin,

ne mādan Indrakila,

pacang mangwangunang kerti.


PUH DURMA


1. Tembang Durma dipakai,

untuk melanjutkann cerita,

konon ada manusia seorang diri,

bernama I Rajah,


1. Tĕmbang Dūrmma anggen,

manglanrurang satwā,

kocap jadmā adiri.

maaran I Rajah, [ 56 ]

48


dari Banjar Daksina Desa Jagrapada kini.

datang berkunjung,

ke padukuhan sudah sampai.

2. Karena sudah bersahabat baik sejak lama.

dengan I Wayan Cita ini ,

cinta saling mencintai.

sayang saling menyayangi,

kedatangannya dijumpai.

I Wayan Cita.

sedang membaca kekawin.

3. Wayan Cita menaruh lontar kemudian menyapa,

Beli Made baru datang

sendirian tidak mengajak teman.

Beli silakan masuk.

Silakan Beli duduk di atas kursi,

I Rajas duduk.

wajahnya gembira kakinya bergoyang-goyang.

4. Lalu bercerita menceritakan hal-hal yang aneh.


19b. tidak tentu ujung pangkalnya.

seperti orang mabuk.

ceritanya meloncat-loncat,

di sini di situ ke sana kemari.

menceritakan kemenangan­nya.

di tempat sabungan ayam lima ribu rupiah.


sakeng Banjar Daksina,

Desa Jagrapada mangkin,

teka manguna,

ka padukuhan sampun prapti.


2. Apan mula masuwitra uli kuna,

teken I Wayan Cita jati,

tresna padha tresna,

una saling una,

satekanne kapanggih,

I Wayan Citta,

sedhek mamaca kakawin.



3. Wayan Citta ngejang lontarraris manapa,

Beli Madhe wau prapti,

ngraga tan parowang,

rarisang Beli munggaha,

ring korssine Beli malinggih,

I Rajas manegak,

tandang obah gejar-gejir.


4. Lawut ngortha mangorthayang kacan tawah


19b. tan paretwa tan paindik,

cara anak punah,

satwane nongklang-nongklang,

dini ditu kema mai,

ngorthayang menang,

di tajen limang tali. [ 57 ]49

5. Belum selesai bercerita ia tertawa terbahak-bahak, meloncat menceritakan desti, api dan samar. semua guna-guna yang mu­ jarab. penjaga diri mantra yang Utama, mantra guna, semakin keramat semakin sakti.


6.Berhenti menceritakan baru dia menanyakan, setelah selesai menceritakan baru dia bertanya. apa yang diceritakan tadi, Wayan Citta menyambung, keperian sang Arjuna dahulu. akan bertapa, di Gunung lndrakila.


7. I Wayan belum selesai ber­ cerita, Made Rajas menyambung lagi. benar seperti beritanya. Adik sangat berharap. mempelajari dharma,


20a. sebagai bekal mati, manaruh kebiasaan, kebahagiaan kepuasan di bumi .


8.Jadi semua kebodohan di pikul di dunia,


5. tonden ñarik orthane kĕdek mangakak, makĕcos ngorthayang deșți, ĕndih miwah samar, sakañcana guna wiséșa,

pasikĕpan japa mandi,

acĕp-acĕpan, kañcan tĕngĕt kañcan śakti.

6.Suwud ngorthayang mara iya manakonang, Suwud ngortayang mara ya manakonang. apan pancahan di tuni. Wayan nimbal. pamarggin sang tapa nguni. pacang matapan. mlaring Indrakali giri.

7. Tonden ñarik paiidarthanna I Wayan, Madhe Rajas nimbal aris,

saja kadi ortha, Adi pisarat pisan, ngulik dharmmā

20a. bĕkĕl mati, ngĕjang gĕgaman, suka wiryyane di gumi.

8. Dadi koñang bĕlog pondong

di jagat, [ 58 ]

50

sipa saja yang menasihati,

adik mempelajari kebenaran.

melaksanakan tapa brata.

mengurangi segala makanan,

mencari sorga,

akhirnya setelah nanti mati.

9. Diri sendiri ditipu tidakkah

dapat dipikirkan.

aku disuruhkan mati,

yang kosong disimpan,

yang berisi dibuang..

itu sesungguhna orang

bigung,

dikatakan kehidupan.

mencari racun dinamai.

10. Apa yang meyebabkan adik
sangat mengahrapkan,
mendalami kebenaran sebagai
bekal mati,
mempercayai berita bohong,
menceritakan ada penderi-
taan,
ada sorga setelah mati.
sesungguhnya ada,
neraka sorga di bumi ini.

11. Jika nista tidak memiliki apa-apa, itu namanya kesengsaraan
yang hakiki,

20b. terperosok ke bawah.
kawah artinya sengsara,
keinginan artinya adik,

enen saja manuturin.
adi malajah dharmina,
maglar tapa brata.
manunain sarwwa bhukti,
ngalih sorgha,
wěkas di subane mati.

Awak kapus tong dadi
kenehang.
awake tunden mati.
ane puyung sepelang.
ane misi entungang.
ento jati awak paling,
sengguhang mreta.
ngungsi wisya kaaranin.

Apa karana dadi adi sarat pisan, ngulik dharmma bekel mati. ngugu rawos bobab, manuturang ada papa. ada swargha wekas mati jātinnā ada. pap swargha maring gumi.

11. Yening lacur twara ngelah apa-apaan, ento madan papa jāti.

20b. tiba maring kawah, kawah tegesna leka.

kahyun tegesna adi, [ 59 ]

51

wah artinya goyah.
goyah bingung kekurangan
makanan.

12. Jika kita sudah kaya banyak
harta,
semua benda mas uang,
semua keinginan dapat
dipenuhi,
itu namanya sorga,
sorga artinya yang hakiki,
suwar artinya kebenaran,
ga terang yang abadi adik.

13. Begitu adik mengapa sangat
kebingungan,
yang ada di sini berkeliling
dicari.
yang sangat jauh,
tidak ada orang yang menge-
tahuinya,
bayangannya tidsak pernah
dijumpai,
hanya berita,
suka duka tanpa bukti.

14. Mempelajari agama mengejar
berita sesungguhnya,
berita yang tidak terbukti,
menceritakan sorga,
ada kawah di sana,
setelah mati akan ditemui,
ih ah ah Wayan,

21a. mengapa mempercayai suara
paling.

wah tegesna obah.
obah bingung tuna bhukti.

12. Yaning suba awak sugih liyu
ngelah,
kancan bhrana mas pipis.
asing gelah sida,
ento madan suwargha.
swargha tegesnane yukti,
suwar ngaran darma.
ga galang jati adi.

13. Kento adi nguda sangkan
katandruhan.
ane dini mileh alih.
ane ejoh sawat,
twara ada manawang.
lawate tong taen panggih.
kewala ortha,
layah lemuh tan pagalih.

14. Mlajah dharmma nguber
ortha sujatinna,
ortha twara ada jāti.
mangothyang swargha.
ada kawah wěkasan,
di matine lakar panggih,'
'
ih ah ah Wayan,

12a. ngudyang ngugu muni
paling. [ 60 ]52

Karena menduga berita itu mendua. diceritakan dengan pikiran penuh harapan. apabila menjadi manusia. tidak memiliki kebenaran. setelah mati kesengsaraan dijumpai, terperosok dalam kawah, tentara Dewa Yama me­- nyakiti .

16. Disakiti, disemblih dipotong­- potong, badan dicincang keluar darah, di mana mendapat cerita, orang senang bercerita, tidak memikirkan di dalam hati. bila sudah tewas. mayatnya ditanam di pe­ kuburan.

17. Jadi di sana di kawah tersiksa, keluar darah kocar-kacir, di mana mengambil obat, siapa yang memberikan me­- minta, meminjam ataupun membeli, ah ih ih ah, orang bohong senang ber­- cerita.

18. Karena sekarang ketika masih hidup tidak pentas. mencari kebenaran sebagai bekal mati,


15. Kārana nalihang orthane adwa, kacap baan manah prih.

yaning dadi janmā. yan tuwara ngělah dharmma, wěkas mati papa panggih.

tiba di kawah Yama bala mañakitin.

16. Katigtig kapurak kapukang- pukang, awak setset pěsu gětih, dija bakat satwa, anak děměn mengortha, tuwara ngenèhang di ati,

yen suba pejah śawane mataněm di sma.

17. Dadi ditu di kawahe mataulan, pěsu gětih kucar-kucir, dija nemak taulan, nyen ne maang mañělang,

mañanda yadyapin meli. ah ih ih ah anak bobab děměn ngorthi.

18. Krana jani di idupe tuwara sandang. ngalih dharmma běkěl mati [ 61 ]53

21b. itu siapa yang mengetahui perihal orang tewas, jadi sibuk memerinci, ada yang sengsara, ada yang menjumpai sorga yang abadi.

19. Apabila itu adik percayai di dalam pikiran, berita yang tidak baik, nah Beli menyediakan, sorga yang baik kemudian, ketika mati adik jumpai. sekarang serahkan, milik Adik kepada kakak ini.

20. Sebab konon orang yang mem-pelajari sastra, tidak senang akan uang, membatasi keinginan, cobalah sekarang laksanakan, supaya adik tahui pasti, dewa di dalam perut, beliau akan marah sekali.

21. Lalu apa yang dipakai untuk memuja beliau, memamaafkan kesalahan adik, cobalah pikirkan, diupacarai untuk memohon maaf, dengan tutur kebenaran lagi, semakin marah, kalau sudah demikian bagai­- mana Adik.

21b. ěnto ěñen manawung. unduk anak pejah, dadi teteh mangadanin. ada ne papa, ada manggih swurgha lě jati

19. Yaning ěnto gugonin adi di manah, akon-akon tuwara jāti. nah Běli nanggupang. Surwagha mělah ri wekas, di matin adine panggih. jani serahang, gělah adik těken beli.

20. Reh kocap anake mlajahin śāstra, tuwara děměn těken pipis, matunain māya, indayang ja jani těgarang. apang adi nawang pasti, dewa di basang. ida lakar běndhu pasti.

21. Apalawut anggon ngastityang ida, mamūurnnayang běndhu adik, indayang kěněhang. bantènin ban ñuksmā,

ban tutūr dharma malih. sumingkin duka, di kentone kudyang adi. [ 62 ]54

22. Demikian, Adik pikirkanlah dengan seksama. suara merdu meyakiti. dirimu terkena daya pikat. seperti si burung Titiran. terlarik mendengarkan suara nyaring. akhirnya bahaya, terperangkap dalam tipu muslihat.

23. Singkalan adik mungpung masih hidup tidak sepan­ tasnya, mencari kebenaran kematian ini, mengurangi makan, dan minum di dunia, tidak dibenarkan memati­- mati, itu kebenaran apa, ajaran merendahkan, Sanghyang Widi.

24. Bukankah beliau tidak pandai lagi mengerjakan, karena diperintah saat ini, oleh orang yang pura-pura mendalami agama, tidak boleh melakukan pem­- bunuhan, bila melanggar akan sengsara dialami, demikian ceritanya, berita yang sungguh berten­- tangan dengan kebenaran yang sejati.

22. Kento adi pineh apang mělah. muñi manis maněsin. awak kěna pikat. buka i paksi Kitiran, tělěb ningěh muñi manis,

pamuput bhaya, kěna pangupaya sandi.

23. Cutět adi mungpung idup tuwara sandang. ngalih dharmmaning kapatin,

matunain pangan,

miwah kinun ring jagar, tan kawěnang mamati-mati, ento dharmma apa, darma nganistayang Widhi.

24. Kaden ida tuwara wirkan buwin makaryyan. karana katuduh jani, baan sang mapidharmma, Tan dadi ingsakarmma, yanpurug papakaja panggih.

kěnto orthanña. ortha manungkasin jāti. [ 63 ]55

25. Cobalah pikirkan semua ke­- hidupan di dunia, si ular bila diumpamakan, tidak mau memangsa, memakan kodok kecil atau kodok yang besar, bagaikan burung elang lagi.

22a. melakukan kebijakan. berhenti memangsa burung ayam.

26. Ajaran kebenaran apa yang mencari kematian yang tidak jelas, konon seperti I Wanari. di dalam Tantri dicertitakan. mengamalkan kebenaran sampai tewas, hingga seluruh anaknya mati, mengamlakan kebanran kena daya upaya, I Papaka penjahat yang licik.

27. Ada lagi si Lutung yang meng­- amalkan kebenaran. darmanya menyerahkan diri, dipotong di hutan, oleh I Wlacit dan Surada. di dalam Utara diceritakan lagi. bernama sang Baka. mengamalkan darma akhir­ nya mati .

28. Jinak dipotong oleh raja Ayodhyapura, sang Rama konon namanya,


25. Dongkěněhang sarwwa uripe di jagat, i lalipi yan umpami mangamah twara ñak, nadhah katak wyadin go- dogan, kadi paksi ělang malih.

22b. magělar dharmma, mari mangsa kedis pitik.

26. Dharmma apa ngalih mati tani karwan,

kadi I Wanari nguni. di Tantrine cerita, ngělah dharmma sungkan pejah. tèkaning panakne sami, magelar dharmma, kěna upāya, I Papakā dūstā budhi.

27. Buwin ada I Lutung magělar dharmma, dharmmane ñrahang mūrdhi, kapunggal ring alas, ban I Wlacit lan Surādha. ring Uttara mungguh buwin. madan sang Baka, madharmma ngěmasin mati.

28. Boh kapunggal antuk prabhū Yodyapura,

sang Rāma parabe ngūni, [ 64 ]

56

banyak cerita kebenaran,
menemukan mara bahaya,
pikirkanlah Adik supaya pasti,
darma mengamalkannya,
darma mengajar kematian.

29. Yang wajib dipercayai se-
karang dalam pikiran,

22b. sekarang mungpung masih
hidup, jangan mengekang,
memenuhi hawa nafsu,
memakan dan meminum
Adik, apakah pertandanya,
sebab sorga di dalam bumi.

30. Bila umpamanya benar Adik
seperti berita,
ada sorga setelah mati.
pahala orang yang berbuat ke-
baikan,
kalau kakak menafsirkannya,
tidak benar seperti berita itu,
di sana lebih baik,
dengan sorga di bumi ini.

31.Di sana jelas tidak ada yang
dapat membahagiakan pi-
kiran,
seperti sorga di bumi,
kurang segala-segalanya,
kurang makanan dan ke-
ramaian,


liyu satwan dharmma.
manemu lara bhaya,
pineh adi apang pasti.
Dharmma mangaduwang.
dharmma managjagin pati.

29. Ane nandang gugonin jani di
manah,

23a. sakarine mungpung urip.
éda manangkayang.
ngulurin legan manah,
mamangan manginum adi
jawat manandang,
apan suwargha maring gumi.

30. Yan upami saja adi kadi ortha.
ada suwargha wekas mati,
phalan sang madharmma,
yening beli narkkayang.
tuwara saja kadi orthi.
ditu luwihan,
teken suwargha maring
bhumi.

31. Diu pedas twara ada
ngaleganin manah,
kadi suwargha maring gumi,
tuna makejang-kejang.

tuna bhūkti karameyan, [ 65 ]

57

cirinya cerita yang tadi.
Sri Darmawangsa,
tidak berkenan naik ke sorga.

32. Ketika beliau diberikan tempat di sorga,
oleh Sanghyang Indra,
tetap tidak mau menerimanya,
jelas beliau sudah pandai,
sorga itu sangat kekurangan makanan,
lagi ada cerita,
Sri Sutasoma itu konon.

33. Ketika beliau dapat mengalahkan musuh di medan laga.
mengalahkan musuh yang sakti,

23a. bernama sang Jayantaka,
sang raja yang bertahta di
Ratnakanda,
ia kembali ke negeri Astinapura, di dalam perjalanan lalu dijumpai.

34. Sanghyang Indra berkali-kali
menyinggahkannya,
supaya beliau berkenan menerima,
mampir ke sorga,
yang ditawari tidak menerima,
itu bukti sudah pasti,
surga itu kalah,
dengan kebahagiaan di bumi,

cirinñane satwa ngūni.
Sri Dharmmawangsa.
tan kayun mungguh ring swarghi.

32. Kawitidā katūran linggih ring swargha.
antuk idā Hyang Indrsa Adi,
kdeh tan ngringang.
sinah ida suba wikan,
suwarghane sanget tuna bhukti
buwin ada satrwa,
Sri Sutasomane nguni.

33. Kawit ida ñjaya Satru maring raṇa,
ngasorang musuhe śakti,

23b. mā dan Jayāntaka.
sang prabhu ring
Ratnakandhā ,
ida tulak ngungsi puri Astinapura,
di marggi wastu kapanggih.

34. Sanghyang Indra pindā ida
mañimpangang.
mangda ida sweccha ugi.

simopang maring suwargha.
sang katūran tan arsā,
entho cihna pasti.
swarghane kalah.

těken kasukan di gumi. [ 66 ]

12

35. Adik lagi pikirkanlah dengan
masak-masak.
cirinya sorga sangat sepi.
kurang kemewahan.
lagipula kekurangan makanan.
jika dibandingkan dengan
bumi,
karena menjelma,
para dewata itu dahulu.

36. Sejak dahulu Ida Sanghyang
Narayana,
menjelma di Dwarawati,
menjadi Sri Kresna,
Hyang Anantabhoga konon,
menjadi sang Aldara dahulu.
Sri Darmawangsa,

23b.Sanghayang Darma yang
menjelma.

Sanghyang Surya menjelma
menjadi sang Karna,
beliau sang Yang lagi.
lahir menjadi sang Salya,
sang Drestadyumna,
Sanghyang Ageni menjelma,
Batara Baruna.
menjadi Raja Matsyapati.

38. Paling sering datang men-
jelma di dunia,
Sanghyang Wisnu sungguh
dipuji,
pertama beliau,

35. Buwin adi nah kenehang
apang melah.
cirin suwarghane suwung
sepi.
tuna kadunvan.
ekrana manadmā.
turing katunan mreta.
yan banding tekening di gumi.
krana manadma
para dewatane nguni.

36. Maring nguni Ida Sanghyang Narayana, dumadi ring Dwarawati. dadi Sri Kresna. Hyang Anantabhoga kocap. dadi sang Aldhara nguni, Sri Dharmmawangsa.

23b. Sanghyang Dharmma manumadi,

37. Sanghyang Suryya manumadi dadi sang Karnna, Ida Sanghyang Yama malih metu dadi Salya. sang Drěstadyumna. Sanghyang Agni manumadi. Bhatara Bharuna. dadi Prabhu Matsyapati,


38. Paling pepes teka teka dumadi ring jagat, Sanghyang Wisnu twi kapuji.

kapratama idā. [ 67 ]

59

mejelma menjadi ikan.
ikan besar tidak terkira,
keduakalinya kanan.
menjadi Empas yang sangat
besar.


39. Ketiga kalinya menjadi babi
hutan,
keempat kalinya menjelma.
menjadi Narasinga,
kelima kalinya diceritakan,
menjadi pendeta kardil lagi.
keenam kalinya beliau,
beliau menjelma menjadi
sang Parasurama.


40. Ketujuh kalinya menjelma
menjadi raja Ayodyapura,
sang Rama namanya yang
termasyhur,
kedelapam kalinya menimbal,
menjelma menjadi sang
Kresna,


24.a seperti cerita kakak yang tadi,
kesembilan kalinya menjelma.
menjadi sang Buda di bumi ini


41 . Singkatan adik para dewata
itu menjelma.
menjelma ke dunia,
itu apa yang menyebab­
kannya.
ciri di sorga,
merupakan ciri di sarga.


dumadi manadi iwak,
iwak agung tan sinipi,
kapindo kocap, manadi empas agung adi

39. Kaping tiga manadi celeng
alasan,
kaping empar manumadi.
dadi Narasinga.
kaping limane kaucap,
dadi wikil kate malih.
kaping nemnem ida.
Parasiu rama ida miji

40. Kaping pitu dadi ratu Yodyapura, sang Rama maparab adi. kaping kutus nimbal, manadma dadi saang kresna,

24b. buka satwan beli ituni . ping sanga medal, dadi sang bugha maring gumi. 41 ciri maring suwargha.

maciri maring suwargha, [ 68 ]

60

kekurangan makanan dan ada
lagi,
untuk membuktikan,
sorga baik tidak benar
.

42. Cerita lama sekarang beli
menceritakannya,
sang Swata namanya Adik,
melaksankan tapa brata,
di pinggir sebuah telaga,
sangat teguh sehari-hari,
akhirnya mati,
Sanghyang Atma ke sorga
mengungsi.

24b. menolak sang Swata dulu,
kemudian lalu pulang.
makan mayat di telaga,
begitu ceritanya dahulu,
di dalam Utara,
diceritakan di sana pasti.

44. Nah pikirkan apa sebabnya.
Dewa Brahma,
dahulu menolak Sanghyang
Swata,
sesungguhnya karena beliau.
kalau menurut kakak.
sulit sekali menikmati,
nah lagi pikirkan,
sebabnya di sini di Bali.

45. Hindu Bali hanya disuruh.
mempersembahkan,


tuna bhukti ada buwin.
anggen ngarwwanang.
swargha melah tuwara jāti.

42.Satwa kuna jani beli
manuturang..
sang swata parabňa adi,
mangun tapa bratha,
di tepi nikang talaga.
Meliwat pageh sari-sari.
mapuput lina,
Sanghyang Atma ring
swargha ngungsi.

43. Suba rawuh lawut tangkil ring
Hyang Brahma,

24a. manulak sang Swata nguni,
tumuli matulak,
mukti sawa ring talaga,
kento satwane ne nguni,
maring Utara.
kaunggahang ditu pasti.

44. Nah pinehin apa krana
Sanghyang Brahma,
manulak Sanghyang Sweta
nguni,
jati sangkan ida,
yening beli manarkka,
meweh pisan mamuktinin,
nah buwin kenehang.
krannannane dini di Bali.

45. Hindu Bali tuah katuduh
maturan, [ 69 ]61 kepada para dewata, Tilem dan hari Purnama, serta pada hari raya Tumpek, Galungan dan Kuningan lagi, itu sesungguhnya, menolong para dewata.

46. Ada lagi diceritakan di dalam Adiparwa, ciri sorga kekurangan makanan, para dewata semuanya. semuanya bermusyawarah di puncak. Gunung Sumeru sejati, supaya dapat, berhasil mencapai tujuan yang diinginkan.

47. Keputusan pembiacaraannya di dalam rapat itu, akan memutar samudra,

25b.bernama Ksirarnawa. kemudian mereka berangkat, dewata raksasa semuanya, setelah tiba. segera mengaduk lautan.

48. Perilakunya memutarGunung Mandara, Dewa Indradi puncak gunung,

Raja Kurma (kura-kura yang besar) menjadi dasar, Sanghyang Basuki beliau,

maring dewatane sami, Tilĕm mwang Pūrņnāma, miwah tumpĕk perainan, Galungan kuningan malih, ĕnto pasaja nulungin dewata sami.

46. Buwin ada kaucap di Adi parwa, cihna swargha runa bhūkti, watěk dewata padha, parum sami ring puncak, Gunung Semeru wyakti, mangdanña sidha, olih bhūkti kang kinapti,

47. Maputus babawose di parūman, pacang memutěr tasik,

25b.madan Ksirarnņāwa, tumuli raris mamargha, dewata dhanawa sami. ri sāmpun praptā, di gělis mamutěr tasik.

48. Jalarane amutěr Gunung Mandhora, Hyang Indra pucaking gunung, kūrmma rāja dasar, Sanghyang Basuki sira, [ 70 ]62.

melilit di tengah-tengah gunung, para dewa dan raksasa, bersama-sama memutar gunung itu.


49. Nah singkat cerita amreta itu sudah keluar, detya danawa yang me­ ngambil, para dewata kesulitan, lalu membuat tipu muslihat, supaya mreta itu dapat di­ ambil, Hyang Narayana, berubah wujud menjadi orang perempuan yang cantik.


50.Berjalan lemah lembut me­ narik hati, mendatangi para danawa, semua jatuh cinta.


25a. amreta itu diserahkan, kepada orang perempuan maya segera, Dewa Wisnu menampakkan diri , terbang melayang di langit.


51.Para detya danawa serta rak- sasa, terperangkap dalam tipu muslihat, disanalah mereka marah segera berangkat,


mamilĕt parswaning giri. dewa dhanawa, sahasa mamutĕr gĕlis

49. Nah cutĕtang amrĕtane sām- pun wĕdal, detya danawane ngambil,

mewĕh watĕk hyang, lawut manggawe upāya, larapan mrĕtane kĕni,

Hyang Nārayanā maya rūpa istrĭ lĕwih.

50. Dempah-dempoh lumampah manulat manah, maranin dhanawa sami, padhā jñana rāga.

25a. amrĕtane kasrah, maring sitrī māya gĕlis,

Wișņu ñakalā,

anglayang maring langit


51. Watĕk daetya dhanawa miwah rāksasa, kĕna pangupāya sandi,

ditu padha krodha ageya lumampah, [ 71 ]63

membuntuti jalanan Dewa Wisnu, kemudian berperang sama-sama Sakti sama-sama pemberani.


52. Dalam perang itu kalah detya danawa, banyak raksasa yang mati, Dewa Wisnu konon, beliau terbang melayang, menuju Gunung Somaka , air kehidupan disembunyi- di dalam goa gunung itu tidak kelihatan.


53. Dan dijaga Oleh para dewata,

semua hati-hati berkeliling,

akhirnya hilang juga, sang Garuda yang mengambil, amreta itu segera diserahkan, kepada si naga, untuk membayar hutang ibunya dahulu.


54. Para naga semua senang

26b. menerima amreta, mereka bersiap-siap mem- berishkan diri. tidak boleh kekotoran, amreta tidak ada yang menJaga, setelah mandi, segera menuju ke amreta itu.


ngětut lampah Sanghyang ari,dadi mapěrang, padha śakti padha wani,


52. Tatang tutug alah ikā daitya, dhanawa, liyu rāksasane mati, Hyang Wişñu kocap, ledang ida manglayang, mañujur Somaka giri, amrĕta ĕngkebang,

ring gowok gununge silib.

53. Tūr kagĕbag baan watĕking dewata, padha yatna-yatna mangi- derin, pamuput masih ilang, sang Garuda ngalap, Amrĕta katrimaang gĕlis, maring i nāga, nawur utang bibi ngūni.

54. kancan naga padha girang

'26b. narima mrĕta, diege padha masuci,

tan dadi kĕlĕtehan, amrĕta tan ana ngĕmit,

suwud masiram, ngungsi amrĕtane gĕlis,

[ 72 ]

64


55. Tahu-tahu hilang dicuri oleh Hyang Indra.

demikian dahulu ceritanya adik.

itu dipakai ciri,

di sorga sudah sangat susah,

para dewata kesusahan berkali-kali.

karena itu memasang,

daya upaya yang licik.


56. Karena itu sekarang tidak pantas mengamalkan darma,

mencari sorga setelah mati,

mengapa sangat mengharap­kannya.

mengejar sorga yang susah,

kakak berkali-kali mem­beritahukan,

sorga itu berada di dunia,

tidak ada yang dapat me­nandingi.


57. Bila kaya itulah disebut sorga yang sejati ,

seperti cerita kakak yang tadi,

pikirkan sering berhasil,


26a. para dewata semuanya menjaga,

kita di sini tidak ketinggalan,

Sanghyang Sadana,

selalu menjaga uang kita.


58. Sanghyang Sri berkenan beliau selalu berada,


55. Wastu ilang kapandung antuk Hyang Indra,

kento adi stwa nguni,

ento anggon cihna,

di swarghan kaliwat sayah,

dewatane keweh sai,

krana masangang,

upaya dudu silib.


56. Karana jani twara sandang,

mangun dharmma,

ngalih swargha wekas mati,

nguda sarat pesan,

managjagin swargha terak,

beli melid mangorahin,

swargha ring jagat,

twara ada manandhingin,

57. Yaning sugih ento jati madan swargha,

buka rawos beli nguni,

sai idepe sidha


26a. dewtane padha ngebag,

sai raga dini tan mari

Sanghyang Sadhana.

mangebag pipise sai.


58. Sanghyang Sri ledang ida twara elad [ 73 ]

65

di lumbung menjaga padi.
sangat banyak bila diceri-
takan,
para dewata itu semua datang,
menjaga kita bila di dalam
rumah,
ada yang menjaga di dalam
rumah,
bersahabat dan menyatu
setiap diingini.

59. Buta kala bergantian mereka
semua menjaga,
di pintu di jalan sehari-hari,
namun ingatlah,
memberikan upah setiap
saat,
setiap lima hari pada saat atau
hari,
kaliwon itu konon,
dengan sesajen satu tandinga.

60. Demikianlah sesungguhnya
keadaanya di dunia,
karena itu kakak mengatakan
di sini,
di dunia ini sorga,
oleh karena tidak ada yang
lainnya,
karena itu tidak pantaslah
Adik,
mempelajari agama,
mencari sorga setelah mati.

61. Nah demikianlah cerita kakak
ini resapkanlah,

di jiněng mangěbag pari.
liyu yan tuturang.
dewatane padha těkā.
ngemit i rāga yan sugiāh.
ada ring umah.
maprakanti nunggal kapti.

59.' Bhutā kāla magilir padha
majagā,
di lawang di wang sai.
kewala ingětang.
ngupahin ngěnap kala.
ngalimang dinā manujonin.
kliwone kocap.
antuk sajen atading.

60. Kento saja kawiryyane maring
jagat,
krana běli nalih dini.
di gumine swargha,
dening twara ada lenan.
krana twara sandang adi.
mlajahin dharmma,
ngungsi swargha wěkas mati.

61. Nah amonto satwan běline

rěsěpang,
[ 74 ]

66

27b. pikirkanlah baik-baik di
dalam hati,
kakak secara jujur dan
sederhana,
bercerita kepada Wayan,
ingat kakak sejak dahulu,
sama-sama menyayangi,
bersahabat setiap hari.

62. Selesai bercerita I Rajas lalu
berjalan,
sampai di luar kembali lagi,
I Wayan menyapa,
Kakak mengapa kembali lagi,
I Rajah menjawab,
apa sebabnya,
Kakak kembali lagi,
I Rajah menjawab,
ada sebuah cerita lagi sedikit.

63. Besok mari kita berangkat
melancong,
ajak kakak membeli nasi,
pagi-pagi dawuh tiga,
ke Desa Swapnapada,
di sana ada orang melak­-
sanakan odalan,
di Pura Desa,
beserta sabungan ayam adik.

64. Kakak menunggu kedatang­-
an Adik di jalan,
apabila tidak mempunyai
uang,
janganlah tidak datang,
bekal kakak ini minta.

27a. pineh-pinehin di ati,
beli papolosan,
manatwa teken Wayan,
inget beli uli nguni,
padha pitresna,
masawitra nunggal kapti.

62. Pragat natwa I Rajas raris
maltinggal,
teked di wang malih mawali,
I Wayan manapa,
Beli kadi tulak wali,
I Rajah manimbal,
napi mawanan,
Ben kadi tulak wali,
I Rajah nimbal,
ada satwa buwin akidik.


63. Buwin mani jalan luwas,
mangguran,
ajak beLi meli nasi,
meng dawuh tiga,
ka Desa Swapnapada,
ditu anak mangodalin.


di Pura Desa,
madulur tabuh rah adi.

64. Beli nantos tekan adi di jalan,
yaning tuwara ngelah pipis,
eda tuwara teka,

bekel beline juang. [ 75 ]

67


secukupnya adik pakai,
cukuplah demikian,

27a. Kakak sekarang memohon
diri,

acukupan anggon adi,
amonto pragat,

27a. beli jani mangalain


PUH SMARANDANA


1. Wayan Cita diceritakan
sekarang ini,
kacau balau pikiranya,
memikirkan isi nasihat itu,
nasihat dari gurunya dan
I Rajah,
tidak dapat memastikannya,
yang salah melawan yang
benar,
konon sudah malam dawuh tiga.

2. Bingungnya semakin men­-
jadi-jadi,
karena I Guru belum tiba,
dari memikat burung itu,
bingungnya semakin gelisah,
resah gelisah tidak karuan,
pikirannya terombang­-
ambing,
mengantuk tetapi tidak dapat
tidur.

3. Kira-kira sudah tengah
malam,
dapat tertidur sekejap mata,
bagaikan tidur setengah sadar,
didatangi oleh orang pria,
berperawakan tinggi besar
rambutnya banyak.

1. Wayan Cita kocap mangkin,
osek seksekan di manah,
mamineh daging tuture,
tutur guru mawah I Rajah,

twara bisa mastikayang,
sane boya lawan tuhu,

kocap wengi dawuh tiga.

2. Bingunge kadi wewehin,

reh I Guru durung prapte,
saking mepikat paksine,
bingunge mapwara uyang,
uyang blasak tani karwwan
idepnane nrawang-nruwung,

kyap tong dadi pules,

3. Painganan tengah wengi,

maan engsap akijapan,
kadi mangrambang sawange,
katekanan anak lanang,

adeg ganggas bok samah. [ 76 ]

68


menasihati dengan sungguh­
sungguh,
disuruh supaya mengu­-
tamakan.

mapitutūr saking tuhu,
katuduh apang ñaratang.


4. Kebahagiaan itu mungpung masih hidup,

4. Kasukane mungung urip,


28b. itu sekarang dilaksanakan
sudah selesai pikirannya,
menuruti isi mimpinya,
lagi terseruyung ke tempat tidur,
tidur mendengkurkan kaki,
mimpi mengejar capung emas.


28a. ĕnto jani katlĕbang,
suba ñarik papinĕhe,
miturut daging ipyan,
buwin ñĕruyung ka pede
pulĕs manĕngkulung suku
ngipi nguber capung ĕmas


5. Sekarang sudah siang hari,
I Wayan bangun terperanjat,
menyiapkan diri akan ber­-
angkat,
siap sedia mengunci pintu
rumah,
karena kosong di padukuhan,
gurunya belum datang,
memakan sirih lalu berjalan.


5.Suba tatas lĕmah jani,

I Wayan bangun manglejat,

nabdabang lakar luwase,

reh suwung di padukuhan,

gurunñane durung rawuh,

manginang lantas majalan.


6. tiba di jalan dijumpai.
Made Rajas sudah menunggu,
di sana lalu mereka bergegas­-
gegas,
pergi ke Desa Swapnapada,
jalan lurus tidak ada per­-
simpangan,
lurus ke selatan sudah di
sabungan ayam yang mereka
tujukan.


6. Tĕkĕd di jalan kapanggih,

Madhe Rajas majantosan,

ditu lawat padha age,

ñujur Desa Swapñapada,

jalan antar twatra ada simpang,

bĕnĕr kĕlod sāmpun rawuh,

di tatajen manujurang. [ 77 ]

69


7. Mencari tempat dagang nasi,
setelah bersama-sama ber­-
belanja,
berjongkok memegang nasi
beralas daun,
mereka saling memberikan,
minta tambahan sate lawar.


29a. daging yang digoreng jenisnya
pula,
krupuk dan urutan.


8. Sesudah selesai membeli
nasi,
membeli nira pula di sana,
pergi ke tempat sabungan
ayam,
mengantar ya mengadu ayam,
untungnya berlipat ganda,
setiap yang diadu semua
menang,
sehabis menyabung ayam
wajahnya bersuka cita.


9. Karena sudah dihitung,
masing-masing kemenang­
annya,
sama-sama berjumlah tiga
ribu,
penyebutannya memakai ru­-
piah,
lalu pulang dengan gembira,
pembicaraannya saling ber­
sahutan,
membicarakan perilaku di
perjudian.


7. Ngalih tongos dagang nasi, suba padha matumbasan,

manongkok nampa tekor,

sada ceceh mangenjuhang, nagih imbuh sate lawar.


29a. gagorengan kancan ipun

krupuk miwah urutan


8. Suba suud meli nasi,

meli tuwak ditu lantas, nujur genah tatajene,

ngatehang ya makembar, agete kaliwat-liwat, asing kembar molih sampun,

suwud tajen sebeng egar.


9. Wireh suba kaitung, pemenange sowang-sowang,

padha matigang taline,

pawilangan ngangge rupiah,

raris mulih tandang egah, rerawosane macepuk,

ngerawosang tingkah di klecchan. [ 78 ]

70


10. Sama-sama mengaku sangat
paham,
semua jenis rupa ayam,
yang tentu akan menang,
Partakarna yang dikatakan,
satya kibhuri srawa,
Sugriwa Bali macamnya lagi,
sangat panjang bila diceri­-
takan.

11. Diceritakan Wayan Cita
sekarang ini,
sudah tiba di pendukuhan.

29b. ia segera mengambil sapu,
membersihkan sampai bersih,
menaruh sapu kemudian me­-
ngambil lontar,
membaca hanya di dalam hati,
gurunya kemudian datang.

12. Pedukuhannya kelihatan
bersih,
anaknya sedang membaca,
sangat senang hatinya,
menduga anaknya sungguh­-
sungguh belajar,
tekun belajar sendiri,
membuang kebiasaanya yang
dulu,
berjudi dan banyak hutang.

13. Tidak diceritakan Wanasari,
Wayan Cita diceritakan,
sangat kental kasih sayang­-
nya,

10. Padha ngaku pedas uning,

sarupaning ules ayam, ne pacang talujayane, Parthakarnna ne kaucap, satya kibhuri srawa, Sugriwa Bali kancan ipun, tuhu panjang yan winar-nna.

11. Kocap wayan Cita mangkin,

sampun rawuh ring padukuhan.


29b. age mangambil sapune, marerisak sampun kedas, ngejang sapu ngambil lontar,

mamaca tan tekeng tanu, gurune tumuli prapta.


12. Padukuhan katon bresih,

pyanake sedeng amaca, langkung garjitta atine, nengguh pyanak twi pasaja,

seken melajahang awak, ngutang gagamane malu,

mamotoh mangutang-utang.


13. Tan ucapen Wanasari, Wayan Citta caritayang,

langkung raket pitresnane, [ 79 ]

71

bershabat dengan I Rajas,
selalu memnuhi keingin­
annya,
kemenangannya tiga ribu,
menyebabkan sering me­-
lancong.

14. Entah siang entah malam hari,
berkeliling mengejar perjudian,
berperilaku seperti sangat
pandai.

30a. bagaikan bisa maya-maya,
tiba-tiba muncul di sini di sana,
bila tidak mempunyai uang
sedikitpun,
bagaikan tikus sungguh
kedinginan.

15. Merunduk di situ merunduk
di sini,
pura-pura membaca lontar,
kakawin dan kidung,
juga tidak dapat disem-­
bunyikan,
dipejamkan semakin mem­
belalak,
telinga ditutup,
namun semakin sungguh
mendengar,
keinginan itu sungguh terang.

16. Tertarik akan rasa makanan,
tertarik mencium baunya,
tertarik mendengarkan berita,
tertarik mengetahui wajahnya,

masawitra ring I Rajas,
mangulurin legan ati,

pamenange tigang pusung,
manuduh sai mangguran.

14. jawat lemah jawat wengi,
mainengan nrapa palalyan,

masolah kadi wiryyane,

30a. kadi bisa maya-maya,
saget dini ditu ngenah
di tong ngelah gelar ipun,

kadi bikul licitan tuwi,

15. Nguncruk ditu ngruncuk dini,

ngebrasang mamaca lontar,
kakawin miwah kidunge,
masih twara dadi sarwwang,

kidemang sumangkin kedat,

kuping tekep ningreh tuhu,

edote sujati celang.

16. Celang maring rasa bhukti,
celang mangadek ambunna,
celang maningeh orthane,

celang manawang gobanna, [ 80 ]

72

keinginan dijadikan raja,

sebab I Wayan sering mengiringi pergi ke mana­ mana.

17. Keinginannya dijadikan bumi.

tenaga suara dan pikiran,

kanan dijadikan para juru,

menjunjung perintah maha raja,

sepuluh indra dijadikan rakyat.

selalu menjalankan perintah,


30b. setia tidak pernah menolak.


18. Meskipun hujan angin.

atau pun saat sangat panas,

atau pun gelap-gulita,

tetapi tetap dijalani,

sebab perintah maharaja,

dipuja bagai ratu agung,

membuat keselamatan dunia.


19. Kemudian diceritakan mereka berdua pergi,

Wayan Cita dan Made Rajas,

menuruti keinginannya konon.

kepuasan hatinya yang nyata. tidak menghiraukan aki­batnya.

lama-kelamaan semakin menyusut.

kebahagiaannya berbalik duka.


ĕdote kaanggen rāja,

baan I wayan sai nūngsung.

iring luwas mailehan


17. Tawulane kaanggen gumi,

bayu śabda lawan manah,

kanggĕp para juru rĕko,

nampa titah mahārāja,

dasĕndriya kanggep wadawa,

ñalanang prentah satuwuk,


30b. satya twara taen tulak


18. Dyasta kāla ujan angin,

dyapin kāla panes pisan.

yadyapin pĕtĕng libuta,

masih payu kajalanang,

apan titah mahāraja,

kapūjayang ratu wibhuh,

manggawe ayuning jagat


19. Tucapĕn luwas sang kalih,

Wayan Citta lan Madhe Rajas,

mangulurin suka rĕko,

lĕgan atine sakāla

twara mangitung wĕkasan,

lami-lami ngāncan surud,

sukane mawali duhka [ 81 ]

73

di tempat sabungan ayam sering kalah,

sering sampai berani ber­hutang,

berani menipu karena ke­bingungannya.

meminjam uang, tetapi tidak mengembalikan, kebohongannya sudah terbukti,

di dalam pikiran pahalanya,

tidak dipercayai berhutang.


21 . Apalagi mau meminta,


30a. sudah jelas tidak dapat,

konon bila ia mendapat,

merengek dengan pongah,

tidak malu mendengarkan,

perkataan kasar wajah cemberut,

asal jadi keinginannya ter­penuhi.


PUH PANGKUR

1. Tembang Pangkur melan­jutkan,

diceritakan saudara I Rajas sekarang,

Ketut Tamas namanya,

bertempat tinggal di desa,

Swapnapada sudah bersa­habat karib,

dengan I Wayan Cita,

sejak kecil saling mencintai.


20. Di tatajen kalah sai.

Kanti pěpěs jwari nganggap,

jwari ngapus ban bingunge,

nilih pipis twara nguliang.

bogboge suba mapuna.

di iděpe phalan ipun.

twara kagugu mautang


21. Salingke lakar mangedih,


30a. suba sinah twara maan,

disadhayane maan reko,

matěmpahin baan pongah,

twara kimud madingěhang,

muñi kasar sěběng rěngu,


ngulah payu asa ksayan.


1. Těmbang pangkur manglanturang,

kacarita ñaman I Rajas,

Kětut Tamas wastan ipun,

maumah ring praděśā,

Swapnapādā mula masawitra satuhu,

antuk ipun I Wayan Citta,

saking alit padha asih [ 82 ]

74

2. Karena sudah sejak lama sekali. Wayan Cita tidak pernah di Jumpa, sekarang ada keinginannya. ke Pandukuhan melancong, lalu berjalan, setelah sampai I Wayan di jumpai, di sudut balai merunduk, seperti ayam kesakitan.

3. I Tamas berkali-kali me nyapa, Kaka Wayan barangkali menderita sakit,

31b. I Wayan menjawab ragu, pikiran kakak tidak baik, sejak duahari yang lalu kakak tidak pernah keluar, I Tamas mengunjungi. I Wayan sungguh-sungguh sakit.

4. Sakit karena tidak mempu- nyai apa-apa, seperti tidak mempunyai uang, I Ketut berwajah manis, menyapa dengan polos, Kakak Wayan, sesungguhnya saya tahu, penyakit Kakak tahu, karena tidak mempunyai uang

2. Wireh saking lami pisan, Wayan Citta tuwara taen kapangih. mangkin wenten manah ipun. ka Padukuhan nnaangguran, tūr majalan, sāmpun rawuh I Wayan pangguh di bucun bale ngarěngěkang, kadi ayam kěni gěring.

3. I Tamas cucud nakenang, Beli Wayan manawi kěni pinakit.

31b. I Wayan masawur saru, kěněh běli tuwara mělah. uli ipwan běli twara taen pěsu, I Tamas manglokin, sakitna I Wayan jāti.

4. Sakit twara ngělah apa. minakādi twara mangělah pipis, I Ketut masěběng kěnung mamūni papolosun, Běli Wayan, uning tityang jātin ipun, pinakit běli punikā.

antuk tan madrune pipis. [ 83 ]

75


5. Tidaklah pantas kakak me- nyusahkannya.

tentang uang atau tentang makanan,

sangat gampang untuk mencarinya,

I Wayan kemudian mejawab,

nah bagaimana lagi karena sudah salah sejak dulu,

diriku yang malas belajar,

beginilah pahalanya dijumpai


6.Sekarang tidak mempunyai guru,


32a. sangat bodoh apa yang dipakai untuk mencari makanan,

I Tamas berkata dengan lembut,

meskipun memiliki guna untuk apa,

guna sangat berat di junjung,

guna itu hanya memerin- tahkan,

supaya bekerja keras sehari- hari.


7. Masakan kakak tidak me- ngetahui,

cerita dahulu kala sang Nandaka terpuji,

di dalam cerita Tantri ter- cantum,

sangat pandai tidak ada yang menyamainya,

sehari-hari selalu banyak memikul pohon,


5. Tan sandang Běli ñung- kanang.

indik jinah wiadin indik bhūkti.

langkung dangan antuk ngaruruh,

I Wayan masaur nimbal.

nah kenkenang kadung pělih uli malu.

malěs malajahang awak,

kene phalane kapanggih.


6. Tuwara jani manglah guru.


32a. bělog pisan apa anggon mangalih bhūkti,

I Tamas masawur kěnung.

yadyapin mangělah gunā,

pacang napi,

gunā baat pacang suun,

i gunā wantah nitahang.

pacang tuyuh sari-sari.


7. Masa běli tan uninga.

satwa ngini sang Nandāka kapūji.

maring Tantrine umungguh.

lěwih gunā tan papadha,

durus sarat sāri-sari montaru, [ 84 ]

76

kesedihannya bertambahan­- tambah,

seketika membuat tipu muslihat.


8. Supaya berhasil dengan mudah,

berhenti taat memuat guna sehari- hari,

tipu muslihatnya sudah berhasil,

sang Nandaka pergi ke hutan. yang bemama,

hutan Malawa itu,

setelah tiba sangat bahagia.

dengan mudah dapat mem­- peroleh makanan.


9. Cobalah lagi pikirkan,


32b. semuanya yang berguna menjumpai kesushan.

seperti si burung Merak itu.

ekornya membawa guna.

namun berakhir.

ia sangat berat membawa ekornya,

si burung Kitiran diceritakan.

berguna suaranya merdu .


10. Seumur hidupnya tidak pernah bebas.

meskipun mendapat ma-­ kanan dan minuman yang baik.

sengsara ia dikurung,



larane kalintang-lintang.

nadak ngarddhi nāya sandi.


8. Mangda sidha polih dangan,

suwud sarat mamondong gunāne sai,

upayane sidhā sāmpun,

sang Nandaka nūjur alas,

sane māran,

alas Malawa puniku,

sāmpun rawuh lěga pisan.

saking dangan olih bhūkti.


9. Indayang malih elingang,


32b. saluir ipun ne maguna

manggih wittha,

kadi pakşi Merak iku,

ikuhñane mawa gunā,

durus anglih,

berat ipun nguba ikut,

i pakşi Kitiran kocap.

maguna suarane manis.


10. Sauripñane boya bebas

wiadin polih pangan kinum běcik

duhkita ipun kinurung. [ 85 ]

77


si kuda sangat berguna,

berlari sangat cepat lenggang lenggoknya sangat lemah lembut,

tidak pernah berhenti mene­- mui penderitaan,

mencari makanan selalu di duduki.


11. Sipohon berbuah lebat.

sampai patah cabangnya digelantingi,

si dukun diceritakan sangat sakti,

kata-katanya sering tidak senonoh,

berpahala duka,

mengapa sangat Kakak Ketut,

menyesali diri tidak ada gunanya,

gunanya hanya membangun­ kan kesedihan saja.


12. Meskipun sangat pandai dalam ilmu sastra dan agama,


32a. sungguh tidak berguna,

bila tidak menepati kata hati,

pikiran tepat tujuannya,

sebagai dasar untuk men­- dapatkan kebahagiaan,

tetapi ada lagi pantangannya,

pikiran malu supaya di­ hilangkan,

sudah tentu tidak bisa dicapai .


i kuda lěwih gunā.

mělayu běcat ngijig ipun tuhu lemuh.

tan surud maněmu duhku.

anglih sari katěgakih.


11. I taru ěngěd mabuah,

doyan ěmpak carangñane kaglantingin

i balian sidhi kawuwus,

doyan cawuh saujarnā,

maphala duhka.

nguda bangět běli Kětut,

nělsěl raga tan paguna.

gunāne mangun lara sai.


12. Yadyan wikan sāstrāgama,


32b. nirddon pisan,

yan tan těpěting ati,

manah těpět tujon ipun dasaring maněmu sādhya.

sakewala wéntěn malih bratan ipun,

kimud manahe icalang.

dikapan tan sidha kapti. [ 86 ]

78


13. Orang yang patut diteladani,

perilaku sang pendeta yang sudah kesohor dahulu,

memperoleh kebahagiaan dengan mudah,

berkali-kali mengelilingi dunia,

meminta-minta dikatakan sangat utama,

banyak pahalanya dikatakan,

terutama sekali tidak ke­ kurangan makanan.


14. Meskipun merasa kekurang­- an uang,

kedua kalinya menelusuri jalan-jalan,

ketiga pahalanya,

jelas mengetahui sanak saudara,

kerabat keluarga dan handai tolan akan bertambah banyak,

tetapi supaya pandai.

setiap saat mengunjungi.


15. Ada lagi cerita kuna,


33b. rupanya kakak sama sekali tidak tahu.

Jokosuruh namanya,

sejak kecil mengembara,

meminta-meminta pada setiap desa yang didatanginya,

akhirnya juga mendapatkan kebahagian,

menjadi raja yang berwibawa.


13. Anak wéntěn sandang tulad,

dharmman ida sang wiku bhiksukā ngūni.

polih bhūkti sangkan aluh,

sāri-sāri miděr bhuwanā.

mintā-mintā kaucap utama tuhu,

katah phalanñane kaucap kapisan tan kirang bhūkti.


14. Yadyan jinah masa kirang.

kaping kalih limbak tataning marggi.

kaping tiga phalan ipun,

pedas uning ñama braya,

kadang warggha sraya kanti mawuwuh,

sakewala mangdā wikan,

ngudadikan margrawuhin.


15. Wenten malih satwa kuna,


33b. kadi běli janten pisan tatas uning

Jokosuruh wāstan ipun,

saking alit mangumbara,

mintā-mintā asing deśa aranin ipung,

talěr puput mangguh sādhya,

dados rātu ñakruwartti. [ 87 ]

79


16. Watugunung gelar berliau.

bertahta di Negeri Walwi- ringwesi,

raja besar terkenal.

menguasai dunia.

demikianlah.

patut sekarang pantas di tiru,

meminta-minta di dunia,

utama pahala yang dijumpai.


17. Ada lagi diceritakan,

mendapatkan kebahagiaan Bhagawan Drona dahulu kala.

di dalam Adiparwa itu di ceritakan,

dijadikan guru oleh beliau,

sang Pandawa dan Korawa itu konon,

berdasarkan meminta-minta, demikianlah ceritanya dahulu.


18. I Wayan senang mendengar­- kanya,

ceritanya I Tamas sangat meresap dihati.


34b. dipikirkan bagaikan obat yang sungguh-sungguh,

menghilangkan duka lara,

lalu berkata Adik Tamas memang betul,

senangnya adik bersaudara,

menunjukkan jalan yang baik.


19. Kebetulan sekarang hari yang baik.

catur wara hari ini laba Adik,


16. Watugunung parab ida.

maděg prahhū ring Wal- wiringwesi,

prabhū wibhūh kasumbung.

mawiśesa maring jagat, sapunikā,

patut mangkin sedeng tiru,

mintā-mintā maring jagat,

uttama phalane panggih.


17. Wentěn malih katuturan,

manggih sadhyā Bhagawān Drona ne ngūni,

ring Adiparwwane munggah,

kānggen guru antuk idā.

sang Pandawa kalih Korawa ne sampun,

malarapan mintā-mintā.

sapunika satwa riyin.


18. I Wayan suka ningehang.

satwan I Tamaw tělěb nusup di ati.


34b. kaiděp usadi tuhu,

mangilangang lara bhāra,

raris ngucap Adi Tamas

sakeng tuhu,

lěgan adine manama

mituduh ambahe běcik.


19. Mungpung jani padewasan,

catur wara manemonim laba

adi. [ 88 ]

80

sanga wara-nya (hari ke­- sembilannya) hati ini,

tulus dikatakan hari yang baik.

danuh tiga saat itu mulai berangkat,

akan berangkat mencari-cari sesuatu,

jelas akan berhasil.


20. Ketut Tamas membenarkan.

sudah jelas dawuh tiga mereka pergi.

menelusuri desa mulainya,

segala keinginannya terpe­- nuhi,

setiap sanak saudara yang dituju semua senang,

ada yang senang hati me­- ngajak mampir,

menginap dua malam.


21. Ada yang mengajak tiga hari.

ketika pulang ada yang memberikan uang,

ada yang memberikan padi.


34b. ada yang memberikan ayam.

ada yang rela.

menyewakan kendaraannya,

karena ia sangat rela.

berhasil tujuannya yang diingini.


22. Tidak pantas bila dipan- jangkan.


sanga warunna ka tulus

kocapan dewaśa mělah,

dhawuh tigā ngawitin ditu lumaku,

lakar luas malih-alihan,

sinah lakar mapikolh.


20. Kětut Tamas mamatutang.

suba pasti dhawuh tiga mamargi,

ñajah deśa kawit ipun,

sakita karěpe sidhā,

sing paranin ñamabraya,

padha rungu,

ada trěsna manganděgang,

mainěpan kalih wěngi.


21. Ada nganděg tigang dinā,

di mulihña ada ngěnjuhin pipis,

ada maang ngědih pantun.


34b. ada maang ngedih siap, ada lěga,

ñewaang těgakan ipun.

sangkanya langkung lěga,

sidha pangaptine panggih.


22. Twara sandang yan pañjang-

ang. [ 89 ]

81

bila diceritakan kebahagiaan
mereka berdua.
mendapat kebahagiaan de­-
ngan upaya,
tidak berusaha keras.
sekarang diceritakan.
saatnya musim keempat
panasnya membara,
mereka berdua rebah di jalan.

23. Tidak bisa bergerak,
akan bangun apalagi akan
berjalan,
sakit perutnya melilit,
karena tidak makan,
dua hari,
meminta makanan karena
sudah.
maksudnya atau kebiasaan­
nya diketahui,
oleh semua sanak saudara­-
nya.

24. Senang menerima tidak
pernah memberikan,
senang meminta tidak berani
diminta,
senang menipu asal dapat,

35a. senang menghina tidak
terhina.
senang berbohong,
memfitnah orang benar.
senang menceritakan yang
bukan-bukan,
bila diganggu marah sekali.


yan tutūrang lěgan ipun sang
kalih.
olih bhūkti sangkan ulah.

twara matuyuhin awak,
mangkin kocap,
kalaning masa ka catur,
panase mangěntak-ěntak,
sang kalih ebah ring marggi.

23. Twara nidayang ngebrasang,
lakar bangun salingke pacang
mamarggi,
lara basange mangilut,
wireh twara mabaan
kalih dinā,
ngědih bhūkti apan sāmpun,
Lagunña katangěhan.
teken ěamabraya sami.

24. Demen nampi tan matapiang.
děměn ngědih tan bani ka-
ědihan.
děměn ngapus ngulah payu,

35b. děměn nguña tan kauñahan
demen mobab,
misunavang anak patut,
děměn natwa twara-twara,

yan boyanin sěngit gati. [ 90 ]

82

25.Sebanyak orang yang ber-
jalan,
di sampingnya ada yang
berani mengejek,
ada yang melempari pung-
gungnya,
ada yang berpaling muka,
ada yang menyamping,
pura-pura tidak tahu,
ada yang datang akan
berusaha,
mengejar seperti akan me-
nolong.

26.Sampai di sana tertawa ter-
bahak-terbahak ,
nah singkatnya tidak ada
yang menolongnya,
Wayan dan I Ketut sangat
sedih,
rasanya bagaikan di dasar
kawah,
duka lara,
badan sakit seluruh tubuh,
menyesali diri tidak berhasil,
ceritanya sekarang diganti.

25. Saliun anake majalan,

samping ipun ada juwari,
mangeweri,
ada ngurik tundhun ipun,

ada manglenang liyat,
ada mimpas,
mapi-mapi twara rungu,
ada teka,

managjag kadi nulungin.


26. Teked ditu kedek ngakak,

nah cutetang tong ada,
manulungin,
Wayan lan I Ketut sedih
bekut,
rasa dadi dasar kawah,

lara bhara,
awak sakit makaukud,
ñelsel awak tani sadhya,
gentosin satwane mangkin.

PUH GINANTI

1. Sekarang diceritakan sau-
daranya,
Ketut Tamas yang peling tua,
bernama I Wayan Satwa,
mengusahakan keselamatan
dunia,

1. Mangkin kocsap naman
ipun,
Ketut Tamas pinih kelih,
maadan I Wayan Satwa,

ulah rahayuning gumi.82 [ 91 ]

83

bertempat tinggal di Turia pada.

dari kecil diceritakan.


2. Ia diceritakan pada waktu yang lalu,

meninggalkan desa mengem­- bara,

diusir oleh I Rajas,

Ketut Tamas mengikuti,

karena masing-masing ber­- beda

pendapatnya sendiri-sendiri.


3. Wayan Satwa keinginannya,

selalu belajar sendiri,

mengekang pancaindra,

ajaran sastra dan agama yang dituruti,

berguru sejak lama,

kepada dukuh Wahasari.


4. Ia mendapat berita bagus,

ada saudaranya dua orang,

menemui penderitaan di tengah jalan,

tidak ada orang yang me­- nolong,

keluar perasaan belas kasi­- hannya.


35b. berusaha akan menemui.


5. Ia keluar tergesa-gesa,

menuju tempat kedua sau­- daranya,

tidak diceritakan di jalan,


maumah ring Tūryyapāda.

saking alit ngarangin.


2. Kāwit ipun ane malu,

ninggal deśa mangarangin,

katudung baan I Rajas,

Kětut Tamas manarěngin,

majalarab padha mimpas,

papiněhe ndhiri-ndhiri.


3. Wayan Satwa manggěh ipun,

malajahang awak sai.

matunain pañca indriya,

śāstra gamane inutin,

mapagurwan uli lawas,

těken Dukuh Wanasari.


4. lpuh polih gatra tuhu.

wentěn nama kalih diri.

manggih lara maring jalan.

tan wentěn anak nulungin,

mětu manah kapitrěsnan,


35b. misadnya pacang mapanggih.

5. Sada gati ipun pěsu,

mañujur gěnah sang kulih,

tan ucapěn maring jalan. [ 92 ]

84

diceritakan sudah tiba ia kasihan melihat,

kedua orang saudarannya tidur di jalan.


6. Diperhatikan dengan jelas,

sudah dapat mengenalinya,

Wayan Cita dan Ketut Tamas,

ditanyai apa sebabnya,

menemui duka lara,

keluhan dipakai menjawab.


7. Diceritakan sekaang sudah,

ditolong karena belas kasihan,

oleh I Wayan Satwa,

diajak pulang kedua orang itu,

dibantu seperti biasanya.

merawat orang sakit.


8. Kira-kira lamanya ,

tujuh hari ia berdua,

menemui kesengsaraan yang sangat berat.

Wayan Satwa yang mem­- bantu,


36a. pada waktu malam ataupun siang hari,

bergadang berkali-kali.


9. Pada hakikatnya kebenaran itu.

kasih sayang berada di dalam hati.

tidak berkenan di dalam pikiran.


kacarita sāmpun prapti.

kāngěn ipun mengatonang.

sang kalih měděm ring


6. Kāwaspadain trang sampun.

keni antuk mengelingin

Wayan Citta lan Kětut Tamas,

katakonin kraņane jāti,

mamanggihin duke laru.

duuhan kanggen ñawurin.


7. Kacarita mangkin sāmpun,

katulungain saking asih

antuk ipun Wayan Satwaā,

kājak kumah ipun kalih.

kaayahin kadi biasa.

matěpětin anak sakit.


8. Painganan lawas kipun,

pitung dina ipun kalih,

manggih lara mahābhara,

Wayan Satwa mangayahin,


36a. jawat pětěng yadin lěmah.

magadangin sai-sai.


9. Sujātin sang Dharmma tuhu

karūna mungguh ring ati,

twara ledang maring cittā, [ 93 ]

85


bila melihat orang sengsara,

bila tidak dapat menolong,

berbeda dengan pikiran jahat.


10. Ia bahagia bila dapat me­nolong

penderitaan sesama orang,

iri hati itu berada di dalam pikiran,

tidak berhenti memati­matikan,

Wayan Cita sekarang diceritakan,

sudah sembuh seperti sedia kala.


11. Tetapi Ketut Tamas masih,

sakitnya semakin keras,

segala macam obat punah,

tidak dapat disembuhkan,

akhirnya ia meninggal dunia,

I Satwa hatinya belas kasihan.


12. Sudah terkenal beritanya,

I Ketut telah meninggal dunia,

Made Rajas sekarang di­ceritakan,

tentang beritanya yang sejati,

kematian I Ketut Tamas.


36b. ia resah memikirkan.


13. Karena terlanjur sudah salah,

persaudaraannya tidak har­monis.

kepada I Wayan Satwa,


yang manggih laraning dadi,

yan tan polih manulunga,

bhīna maring dūșțā budhi.


10. Suka ipun yan manulung,

laraning sama dumadi,

irsyane mungguh ring citta,

tan mari mamati-mati,

Wayan Citta mangkin kocap.

sāmpun waras kadi ngūni.


11. Nanging Kětut Tamas kantun.

larañnane tulak wali,

sarūpaning tamba punah,

twara ada ke katampi,

pemuput ngěmasin pějah,

I Satwa kangěn di ati.


12. Sāmpun lumbrah orthan ipun,

I Kětut ngěmasin pati,

Madhe Rajas mangkin kocap.

olih gatrane sujāti,

matinñane Kětut Tamas.


36b. osěk ipun maminěhin.


13. Wireh kaduk iwang sāmpun,

pañamane twara běcik,

maring ipun Wayan Satwa. [ 94 ]86


bila sekarang akan men­datangi,

menengok kematian I Tamas,

pikirkannya sangat kacau.


14. Bila tidak ke sana juga malu,

karena saudara tujuannya sama,

berapa umpatan akan diterima,

akhirnya pikirannya se­karang,

akan melayat kemudian berjalan,

diceritakan sudah tiba.


15. Wayan Satwa menyapa halus,

wajahnya halus berseri-seri,

Adik Rajas baru tiba,

siapa yang menemani Adik,

I Rajas lalu mejawab,

saya sendirian ke sini.


16. Wayan Satwa lagi menyam­bung,

mari di sini bersama Kakak,

di tempat duduk Adik duduk,

Made Rajas kemudian duduk.


37a. Wayan Cita sekaang tiba,

menyapa suara manis.


17. Beli Made baru datang,

bagaimana kabarnya rumah di timur,

selamatkah semuanya,


yan mangkin pacang nekain,

maniñjo patin I Tamas,

kimud iděpe tan sipi.


14. Yan tan kěma masih kimud,

wireh ñama nunggal kaptri,

kudang ucap pacang tarima,

pamuput iděpe mangkin,

pacang niñjo tūr majalan,

kacarita sāmpun prapti.


15. Wayan Satwā ñapa asru,

sěběng alus kěñir-kěñir,

Adi Rajas mara těka,

ěñen Adi mañarengin,

I Rajas masawur nimbal,

padidian tityang prapti.


16. Wayan Satwa malih ñambung,

mai dini barěng běli,

di plangkane adi něgak,

Madhe Rajas něgak aris.


37a. Wayan Citta mangkin prapta,

mañapa muñine manis


17. Běli Madhe wawu rawuh,

sapunapi jumah kangin,

rahajěngke sarěng samian, [ 95 ]

87

Made Rajas menjawab,

selamat semuanya,

Wayan Satwa menyambung lagi.


18. Menceritakan asal mulanya,

Wayan Cita Tamas dahulu,

semua telah dinasihati.

sampai sekarang ia meninggal dunia,

selesai bercerita menanyakan,

bagaimana pikiran Adik sekarang ini.


19. Tentang kematian I Ketut,

Made Rajas kemudian men­-

saat ini singkatannya saya,

menuruti kehendak Kakak,

kebodohan saya keterlaluan,

selalu salah sejak dahulu.


20. Tidak megikuti nasihat yang baik,

seperti sekarang pahala yang di jumpai,

menemui penderitaan tidak ada gunanaya.


37b. pendeknya sekarang saya mengikuti,

kehendak Kakak akan belajar,

mengurangi kebiasaan yang buruk dahulu.


21. Wayan Satwa menjawab halus,


Madhe Rajas mañwurin,

rahayu ajak makějang.

Wayan Satwa nimbal malih.


18. Manuturang kāwit ipun.

Wayan Citta Tamas nguni,

sami wus kapidartha.

ngatospadhěm ipun mangkin,

puput ñatwa manakonang,

kenken iděp Adi jani.


19. Indik matinña I Ketut,

Madhe Rajas sawur arie,

sane mangkin cutět titiang

misarayang kahyun Beli,

tembět tityange kalintang.

wantah iwang sakeng riin.


20. Tan mithun tutūr patūt,

kadi mangkin phala panggih.

mangguh larā tan pangunā,


27b. cutět mangkin tityang ngiring.

kahyun Běli pacang maljah.

matunain lagu ngūni.


21. Wayan Satwa sawur alus. [ 96 ]

88

memang itu harapan kakak.

satu pikiran kita bersaudara.

bagaikan jalan raya adik.

jalan menuju kelahiran.

lahir batin bersih.


22. Nah sekarang ini sudah sama,

perhitungan kakak adik,

tujuan Kakak mempercepat,

membakar mayat si Adik,

Made Rajas membenarkan,

singkatnya cerita sekarang.


23. Mayat I Ketut Tamas sudah,

dibakar dengan api,

di kuburan dibakar.

tulangnya dikumpulkan se­- mua.

dibersihkan dengan air.

dihanyutkan di tengah samu­- dra.


24. Telah selesai upacaranya,

Made Rajas pulang kembali,


38a. tidak diceritakan dalam perjalanan,

diceritakan sudah tiba,

di Desa Jagrapada,

I Satwa diceritakan lagi.


25. Pada waktu bercerita sambil duduk,

bersama Wayan Citta kemu­- dian,


ěnto mula aptin běli.

běsik iděpe mañuma.

sāksat jalun antar adi.

cambah ngalih běkěl lěkad.

sakāla niskala běcik.


22. Nah ne jani suba patuh

paitungan běli adi,

iděp běline ngelanggalang.

mangěsěng śawan i adi,

Madhe Rajas mamatutang.

cutětang satwane mangkin,


23. Sawan Kětut Tamas sampun,

kapuputang antuk gěni,

maring setra pamuwurunan,

tulange kapilpil sami,

kapuputang antuk toya,

kaañut madhyaning pasih.


24. Sāmpun puput kāryyan ipun,

Madhe Rajas matulak mulih,


38a. tan ucapan maring jalan,

kacarita sāmpun prapti,

ring pradeñā Jagrapada I Satwa malih kawarni.

25. Kāla něgak nutur-nutur,

sarěng Wayan Citta aris, [ 97 ]

89

Dukuh Wanasara datang,

mereka berdua lalu turun,

dari tempat duduknya.

lalu berkata lemah lembut.


Dukuh Wanaśara praptā,

sang kalih macěbur aris,

saking gěnahna maněgak.

tumuli maatūr aris.


PUH GINADA

1. Silakan guru silakan,

duduk di atas kursi ini,

Dukuh Wanasara sudah duduk,

lalu bertanya lemah lembut,

kepada I Wayan Cita.

sebabnya di sini,

I Wayan Cita menceritakan.


2. Dariawal sampai akhir,

sebabnya ia dijumpai,

berada di tempat Wayan Satwa,

I Dukuh kemudian menjawab,

beginilah pahalanya diterima,

oleh kamu,

keras kepala tidak mem­- percayai cerita.


3. Bukankah sudah banyak sekali.

nasihat Guru sejak dulu,

kamu tidak mentaatinya,

sekarang singkatnya cerita guru.

kamu di sini sekarang belajar,

supaya pasti.

berguru kepada Wayan Satwa.


1. Rarisang Guru rarisang,

maring korsine malinggih.

Wanaśara śampun magěnak,

tumuli matakon asru,

maring ipun Wayan Citta,

karana dini,

Wayan Citta manuturang.


2. Saking kawit ngantos tělah.

māwinan ipun kapanggih,

wentěn maring Wayan Satwa

I Dukuh nimbal masawur.

kene phalaina katiba,

těken cai,

pěngkung tuwara ngugu Satwa.


3. Anak suba liyu pěsan,

tutūr Guru ane ngūni,

cai twara mangidepang.

jani cutět satwan guru

dini cai jani mlajah

upang pasti,

maguru ring Wayan Satwā. [ 98 ]

90

Bila kamu tidak menaati.

nashat I Satwa itu.

sekali-sekali kamu jangan pulang,

ke Pedukuhan demikianlah perkataan gurumu pikirkan,

kamu jangan,

sangat salah menerimanya.


5. Wayan cita berkata me­- nunduk,

ia Guru saya mengikuti,

saya tidak akan menolak,

isi nasihat Guru yang benar.

namun maafkanlah.

kesalahan yang telah lalu,

berkenanlah Guru memaaf­- kannya.


6. I Dukuh membalas men­- jawab.

pemaafannya yang sejati,

terdapat dalam kesungguhan hatimu belajar,

mengutamakan kebenaran,

perilaku sebagai manusia,


39a. lahir di sini.

di dunia ini sudah sepantas­- nya dipikirkan.


7. Pada waktu kamu masih di dalam kandungan.

dihamilkan oleh I Bibi,

gelap tidak mengetahui terang.


4. Yan cai twara ngiděpang.

pitutūr 1 Satwa yukti.

ěda pisan cai mulih.

ka Padukuhan kento puput,

rawos gurune kenehang,

ěda cai,

sanget mañalahtampiang.


5. Wayan Cita matūr ngasab,

inggih Guru tityang ngiring.

boya purun tityang tulak,

daging warah Guru pātūt,

sakewala manawěgang iwang riin,

Sweccha Guru mangam-- purayang.


6. I Dukuh masawur nimbal,

pangampūrane sujāti.

těměs caine mlajah,

matitisang ne satuhu,

tataning dadi mānusā,


39a. lěkad dini,

di gumi sandang kěněhang.


7. Dugas cai nu di basang.

kabobotang baan Bibi.

peteng twaranawang galang, [ 99 ]

91

delapan bulan lamanya,
setelah kamu lahir,
ke dunia ini,
bila tidak mengikurti sastra
dan agama.

8. Seumur hidup tidak tahu
terang.
kegelapan sehari-hari,
tidak berguna hidupnya di
dunia,
tidak mati tidak hidup.
bukan binatang bukan pula
manusia,
demikian kamu,
pikir-pikirkanlah dengan
seksama.

9. Nah cukuplah sudah selesai.
nasihat Guru kepada kamu,
I Dukuh lagi berkata,
kepada I Wayan Satwa itu,
aduh Anakku,
Wayan Satwa,
nah saat ini,
saudara kamu I Cita.

10. Guru sekarang menyerahkannya,
supaya kamu menasihatinya,

39b. di sini ajak belajar.
bersama-sama,
I Satwa berkata halus,
saya tidak akan menolak,
hanya mengiringi,
bersama-sama akan belajar.

kutus bulan swen ipun.
di subane cai lékad.
maring gumi.
yan tan mānūt sāstrā gama.

8. Saurip twara nawang galang.

kepéténgan sai-sai.
nirddon idupe ring jagat.

boya mati boya idup.
boya sato boya jadmā.

kento cai.
piněh-piněh apang mělah.

9. Nah amonto suba pragat,
satwan Guru těken cai.
I Dukuh malih angucap.
maring Wayan Satwa.
uduh céning
Wayan Satwa,
nah ne jani,
naman cěninge I citta.


10. Guru jani mañerahang,

apang cěning mituturin.

39b. dini bareng ajak mělajah.

I Satwa maatūr alus.
boya tityang purun tulak.
wantah ngiring.
saereng-sareng pacang ma-

lajah. [ 100 ]

92


11. Namun mohon maaf,
atas kebodohan kurang se-
muanya.
Guru supaya terus bekenan,
memberi petunjuk jalan yang
benar,
Dukuh Wanasara membalas
menjawab,
sudah pasti,
Guru datang setiap saat.


12. Akan memberikan kamu
cerita,
menunjuki hari yang baik,
saat ini Guru tinggalkan,
pergi ke Pedukuhan,
tidak diceritakan Wanasara,
diceritakan sekarang.
cita dan Satwa berbincang-
bincang.


13. Wayan Cita menceritakan,
semua tingkah lakuya yang
telah lalu,
sudah selesai diceritakannya,
keluar katanya benar,
ya Kakak Wayan Satwa,
barangkali sekarang,
saya mohon maaf yang
sebesar-besarnya.


14. Pahala yang saya terima.

40a. tidak menuruti nasihat yang.
benar,
nyata-nyata jatuh di kawah,

11. Sakewanten mandawegang.
antuk tambet tuna sami.

mangda terus Guru sweccha.
mituduh marggine patut,

Wanasara sawur nimbal.

lakar pasti
Guru teka ngenap kala.


12. Lakar maag cening satwa,

manujonin dina becik,
ane jani Guru matinggal.
ka Padukuhan lumaku.
tan ucapen Wanasara,
kocap mangkin,
Città satwa mucap-mucap.


13. Wayan Citta manuturang.
saparindike nguni,

sampun puput kaparidartha.
wetu bawos ipun pătut,
inggih Běli Wayan Satwa.
munggwing mangkin.
tityang mangdawegang pisan.


14. Phalan ipun panggih tityang.

40a. tan mituhu tutur jati,

sakāla tiba ring kawah, [ 101 ]

93

kawsah api berkobar-kobar,
bila tidak Kakak yang belas
kasihan,
akan terbakar tidak tersisa.

15. Singkatnya isi permintaan
saya,
teruskanlah sekarang ber-
kenan,
menunjukkan jalan bagi saya,
dapat dilalui itu,
dari kawah api berkobar,
tersenyum manis,
I Satwa berkata pelan-pelan,

16. Sesungguhnya Kakak bodoh
sekali,
tetapi hanya menuruti,
seperti orang senang belajar,
berguru sejak dahulu,
kepada baliau Guru Wayan,
sangat sayang,
memberikan Kakak pelajaran.

17. Kemurahan beliau bila
diumpamakan,
bagaikan bibit yang utama,
ditanam di tanah yang kurus,
meskipun tumbuh tidak
selamat,
dmikian beliau mengamalkan,

40b. ajaran utama,
kepada kakak yang kurang
dasar.


kawah gěni muntab murab,
yan tan Běli durus sweccha.
pacang bhasmi tan paśesā.

15. Cutět daging atur titiang.

durusang swecchane mang-
kin,
mituduhin tityang margga,
sidhaning entas puniku
saking kawah gěni murub,
kěnung manis.
I Satwa masawur banban.

16. Jāti běli tambēt pisan,

sakewala matuutin.
cara anak demen malajah,
mapaguru uli ilu,
těken dane gurun Wayan.
langkung asih,
mangincen Běli plajahan.

17. Swechan dane yan upama,

sakṣat bibit mautami,
matandur ring tanah běrag.
dyastu měntik twara lanus.
kento dane maniwakang.

40b. tatwa běcik,

těken běli tuna dasar. [ 102 ]

94


18. Wayan Cita membalas ber-
­bicara meskipun demikian
Kakak,
saya mohon dengan sangat
hormat,
yang ada di dalam pikiran,
I Sata lagi menjawab,
begini Adik,
marilah bersama-sama se-
karang belajar.


19. Kakak bukan menyem­bunyikan,
apa yang ada di dalam pikiran
kakak,
karena pada waktu yang lalu,
diceritakan oleh I Guru,
mendapat cerita dan nasihat
yang baik,
saat ini,
hanya ada sedikit saja.


20. Anggap saja kakak mem­peringatkannya,
yang sudah ada pada diri Adik,
bila tidak cocok di dalam
pikiran,
cerita kakak itu,
supaya adik memaafkannya.
nah saat ini.
Kakak mulai bercerita.


21. Menurut cerita yang terdapat
dalam sastra dan agama,
dan nasihat guru Adik,
yang berada dalam pikiran,
sedikit-sedikit tinggalnya,


18. Wayan Citta matur nimbal,
dyastu sapanukia Beli,
tityang kedeh mapinunas,
ne wenten mungguh ring kahyun,
I Satwa malih manimbal,
kene Adi,
jalan bareng jani melajah,


19. Twara Beli mengubdyang,
ne ada di idep beli,
reh ne malu adi suba,
kabawos antuk I Guru,
olih satwa tutur melah,
ane jani,
kewala ada amatra,


20. Anggap beli matingetang,
ne suba ada ring adi,
yan twara manut ring manah,
satwan beline puniki,
apang adi ngampurayang,
nah ne jani,
kawitin Beli manatwa,


21. Manut solah sojar sastragama,
kalih warah gurun adi,
ne umungguh ring citta,

matra-matra karin ipun, [ 103 ]

95

41a. digali-gali di dalam pikiran
yang baik,
itulah yang patut diingat.


22. Diceritakan menjelma men-
­jadi manusia,
sungguh sangat buta Adik,
bula tidak tahu terang,
tetapi cepat berjalan,
sastra dan agama umpamanya,
lumpuh Adik,
tidak bisa berjalan.


23. Tetapi melihat dengan jelas,
dengan jelas dapat melihat
buruk dan baik,
kenyataan dan yang tidak
nyata,
beserta neraka dan sorga,
sebab selalu bersatu adanya,
bersahabat karib,
saling menolong di dunia.


24. I Rumpuh Ganding jalankan,
dia yang menunjukkan arah
jalan.
jalan lurus tidak bercabang,
jalan yang dilewati untuk.
mendapatkan kebahagiaan
yang sesungguhnya,
nyata dan yang tidak nyata,
dapat dijumpai.
berumur panjang dan sehat.


25. Ada lagi yang diceritakan.


41a. galiin buin di manah,
sane yukti,
ento sandang jwa ingetang,


22. Kaucap dadi manusa.
saksat antuk buta Adi,
buta twara nawang galang,
kewala becat lumaku,
sastragamane upama,
rumpuh Adi
twara nidhayang majalan.


23. Kewala terang maningak,
terang tumon ala becik,
sakala miwah niskala,
papa swarggha kancan ipun,
krana patut matunggalan,
maprakanti
saling tulung maring jagat,

24. I Rumpuh Gandhing jalanang
ia mituduhin marggi,
jalan antar twara simpang,
ambah ngalih bhukti tuhu
sakala miwah niskala,
sidha panggih,
dirgahayusa urip waras,


25. Buin ada ne kaucap, [ 104 ]

96

di dalam sastra dan agama
Adik.
bila sangat kaya di dunia,


41 b. kebanyakan memiliki harta benda,
segala keinginan dapat dipuaskan,
namun hanya satu,
tidak berani mengaharapkan.

26. Sangat sukar untuk mendapatkannya,
mencari kesetiaan yang sejati,
bila tidak dilandasi dengan kesetiaan,
tidak berguna semua kekayaan yang banyak itu,
itulah yang dapat mengantarkannya,
tiba di neraka, menemui duka lara.


27. Satia dipakai landasan men-
jaga diri,
dipakai senjata yang hakiki,
menjaga ketenangan tidak
membunuh dan tidak iri hati ,
melakukan tapa pahalanya.
mengalahkan kemarahan di
dalam pikiran,
Sanghyang Aji.
pembunuh kesombongan
ceritanya.


28. Orang yang sakit tidak
mendapat pengobatan,


maring sastrǎgama adi.
yaning sugih maring jagat


41b kaébékan brana tuhu,ǎ sakita karépa sidha,
nghing abésik, twara bani managérang


26. Lakar bakat mewéh pisan,
mangalih satyane jǎti,
yan twara kaanan satia,
nirdon sugih bharana liyu,
énto saja manélarang,
tibeng weci,
manému duhkita bhara


27. satya anggon ngarǎksa angga, angge prabote sujǎti, sri raksamati irsya, tapa raksǎ phalanipun pangalah krodha ring citta. sanghyang Aji, pamadhém angkara kocap


28. anak lara tan patamban [ 105 ]

97


iri hati kepada sesama orang.

tidak setia di dalam pikirannya,

selalu dikuasai oleh kemarahan,

mengikuti semua perjalanan,

akhirnya menjadi,

musuh yang kuat tidak dapat dikalahkan.


29. Diri sendiri tidak lagi dapat dikuasai,

demikian pahala yang dijumpai.


42a. Wayan Cita memohon,

yang bernama tapa itu,

penghancur kemarahan didalam pikiran,

kemudian dijawab,

Wayan Satwa menjelaskan.


30. Tapa artinya memusatkan pikiran,

menuju ke penjelmaan manusia,

ibaratnya gunung tubuh itu,

Sanghyang Atma menjiwai tubuh itu,

asal mula kehidupan dikatakan,

Dewa kehidupan.

pikiran suci berbadan bersih,


31. Kekotoran di dalam tubuh dikatakan.

kecintaan, kedengkian, dan kebimbangan,


irsyā ring sama dumadi.

tan satya mungguh ring citta.

krodha kalaning mangliput.

milu saparaning lampah,

dadi mijil,

šatru jaya tan kapangpang.


29. Awak suwud dadi gělar.

kento phalane kapanggih.


42a. Wayan Citta manunasang.

ne maadan tāpa tuhu,

pamunah krodha ring cittā.

sawur aris,

Wayan Satwa manuturang.


30. Tapa ngaran těpěting manah,

manuju paraning dadi,

maka gunung ikang awak.

Sanghyang Atma sanggariku.

sakaning sanggar kaucap.

Sanghyang Urip.

ambek suci māwak natar.


31. Sukěting natare kocap.

raga dwesa mohā malih. [ 106 ]

98


hawa nafsu kasih sayang dan
harta benda.
macam tiga kekotoran itu,
supaya selalu dijadikan sapu.
pikiran selalu sadar,
kepada tujuan menjelma.


32. Dipakai sebagai sajian yang utama,
jelas mengetahui buruk dan baik,
suka, duka, papa, sorga.
nyata dan tidak nyata itu,
kebajikan sebagai pakaian yang utama,
demikianlah Adik,
sesungguhnya yang bernama bertapa.

33. Ada lagi yang bernama tapa,

42b. yang diajarkasn oleh I Guru dahulu,
sastra dan agama itu diibaratkan,
gunung bunga sangat harum,
pikiran itu ibaratnya kumbang,
setiap hari,
mengisap sari bunga itu.


34. Kakak lanjutkan bercerita,
menceritakan tingkah laku.
menjelma.
menjadi manusia sungguh dikatakan,


kāma trěsnā miwah artha
kañcan tiga mala iku.
pinakang sapu satata
manah eling
maring paraning mañadmā.

32. Pinakang bantĕn uttama,
pedas uning alā bĕcik,
suka duhkā papa swargha,
sakāla niskāla iku,
kasadone maka mahawaštra,
kento Adi,
tuhuning ngaran matapa.

33. Buin ada madan tapa,

42b. pawarah I Guru ngūni
sāstrāgamane anggĕpang.
gunung sĕkar langkung arum,
manahe anggĕpang kum-
bang.
mahas sai,
mañĕsĕp sarining sĕkar.

34. Lanturang beli manatwa,
nuturang tingkah dumadi,

dadi jadmā twi kaucap. [ 107 ]

99


sangat utama itu.

namun, hal itu dapat di­ nyatakan ,

dengan akal budi yang suci,

itu dipakai melandasi perin­tah.


35.Perintah beliau Sanghyang Sukma,

memerintahkan melaksana­kan kebaikan,

itu bernama suba karma,

pahala suba karma itu,

pemusnahan duka lara,

sudah pasti,

itu yang bernama keba­hagiaan.


36. Bahagia lahir dan batin,

jika sekarang menentang,

tidak melakukan perbuatan kebaikan,

perbuatan yang tidak baik dituruti,

akhirnya pahala yang akan diterima,


43a. kesengsaraan dinikmati, lahir batin katanya.


37. Hidup itu bagaikan kilat,

tidak lama akan kembali lagi,

moksah kembali ke alam ketiadaan,

karena itu sekarang sudah patut.


mauttama jatin ipun,

darwaning suba kaanan,

budhi jati,

ento anggon nampa titah



35. Titah ida Sanghiang Sukma,

manitah amangun becik,

ento madan subha karmma,

phalan subha karmma iku,

pamusnahan lara bhara.

kento pasti,

ento ne madan kasukan.



suka sakala niskala,

yaning jani manungkasin,

tan magawe subha karmma,

asubha karmmane tinut,

wekas phalannane tiba.



43a. Papa panggih,

sakala niskala kocap.



37. Urip tatit upaninna,

twara lana buin mawali,

moksah mulih ring tan,

krana jani suba patut, [ 108 ]

100

perbuatan yang baik dilak­- sankan,

di bumi ini,

supaya tidak terlambat dalam perjalanan .


śubha karmmane wangu- nang.

maring gumi,

apang da kasep di jalan.


38. Apabila melaksanakan per­- buatan yang baik,

seperti kebenaran itu Adik,

meskipun hanya sedikit,

jelas pahalanya akan dijum­- pai,

sebab kebenaran itu bagaikan matahari,

baru keluar,

menghilangkan kegelapan di dunia.


38. Yening ngawangun śubha karmma,

makādi dharmane Adi,

yadyapin sangěn kewala,

sinah phalanña kapangguh,

apan dharmma sāksāt sūryya,

wawu mijil.

ngilangang pětěng ring jagat.

PUH SINOM

1. Tembang Sinom dipakai melanjutkan,

cerita perilakunya manusia,

tidak memusatkan pikiranya,

ketika kebahagiaan dinikmati,

kebahagiaannya tidak ter­- lukiskan,

lupa pada sebaliknya,

kebahagiaannya terbalik menjadi duka,

bagaikan roda pedati,

naik turun,


43b. berputar cepat sekali.


2. Ketika menemui penderitaan,

kesdihannya tidak terlukiskan,


1. Sinom anggen mang- lanturang.

satwan tingkah sang dumadi,

sane tan těpět maring citta,

rikāla suka pinanggih.

girangñane tan sinipi

lali ring pawalin ipun,

sukane mabalik duhka

kadi cakraning padati,

měnek tuun,


43b. maputaran jěngět pisan.


2. Ritatkāla němu lara

sědihñane tan sinipi, [ 109 ]

101

menyesali diri tidak karuan,
Tuhan dituduh tidak tahu,
tidak berkenan menganugrahkan rahmat-Nya,
itu sesungguhnya orang yang tahu,
pada perbuatannya yang sudah lalu,
karena mengalami duka lara,
pahalanya,
perbuatan buruk yang telah dilakukan dahulu.


3. Bukanlah karena Tuhan Yang Maha Esa,
menurunkan penderitaan di dunia,
Suka duka sesungguhnya,
hasil dari perbuatan yang telah lalu,
karena itu ada seloka yang mengatakan,
ketela ditanam ketela yang dipetik,
jagung ditanam jagung pula yang akan dipetik,
pasti demikian tidak salah,
sangat bodoh,
menyesali diriakhirnya Tuhan disalahkan.


4. Karena sangat mudah menyesal,
menyesali Tuhan berkali-kali,
salah dalih menganutnya,
mengira-ngira Tuhan di dalam hati,


ñĕsĕk awak tani karuan,
Widhine tan eling dalih.
twara seccha mañwecanin,


ĕnto jāti anak tandruh,


maring karmmañane suba,


kraņa mangih lara kingking,
phalan ipun,
aśubha karmmāñane pūrwwa.


3. Boya sangkaning Wadhi Waśa,
maweh lara maring gūmi,
suka duka sujātinña,
phala katmmanñane ngūni,


karaņa ada slokan gūmi,


sela tandur sela pupu,


jagung tanem jagung pupuang,
kĕnto pasti twara pelih,
bĕlog punggung,
ñĕsĕl widhi pūrwwa kĕrta.


4. Sangkan gampang mañĕlsĕlan,
ñĕsĕl widhi sai-sai,
salah dalih manganūtang,

ngrekayang Widhi ring ati,
[ 110 ]

102

sungguh seperti dirinya
sendiri.


44a. dikuasai oleh pikiran yang
marah,
diresapi oleh sifat-sifat rajah
tamah.
menikmati isi dunia,
macamnya,
di mana dapat diceritakan .


5. Tuhan Yang Maha Esa konon,
bebas akan buruk baik,
pada suka duka konon ,
tidak dikuasai oleh buruk dan
baik,
suka duka semua mampir.
utama tidak kena perintah,
karenanya berani mem­-
perkirakan,
Tuhan Yang Maha Esa di
dalam hati,
Kena tumbuk,
oleh sifat maya di dunia.


6. Orang buta tidak mengetahui,
segala macam isi dunia,
dikira kurang karena itu lagi,
anugrah Tuhan Yang Maha
Esa.
dikira kurang karena itu lagi.
memohon dengan penuh belas
kasih.
begini begitu tidak jelas.
tidak memikirkan dalam hati.
akhirnya selesai,
Anugrah-Nya di dunia,


kadi dheweknane pasti.


44a. kaanan pikayunan bendu.
karaketan rajah tamah
mangledangin daging gumi.
dija bakat katuturang


5 Sanghyang Widhi Wasa
kocap
mahar maring ala becik
maring suka duka reko
tan karaketan ala becik
suka duka sami mampir
uttama tan keneng tunduh
sangkan jwari mangre-
kayang
keni tumbuk
baan maya maring jagat


6. nak buta katandruhan.
sahananining daging gumi.
dalih tuna krana malih.
swecchan Sanghyang Widhi
Wasa,
datih tuna krana malilt.
mapinunas ngasih-asih.
kene kento tanpa unduk.
boya mamineh di ati
jati puput.

sweechan ida maring jagat. [ 111 ]

103


7. Panca Mahabuta namanya.
lima banyaknya Adik.
tanah eter disebutkan,
sinar uadara dan langit,
itu yang akan menjadi bumi,
Beliau sesungguhnya maha
tahu,
sesuka hatinya menjadi-
kannya,
sebagai dasar keteguhan,
berhasil menemukan,
pahalanya sangat utama.


8. Menurut perkataan sang
Arjuna,
kepada Sanghyang Jagapati,
ketika baliau melakukan di
Gunung Indrakila,
keluar sabda beliau pasti,
sudah sepatutnya adik mem-
percayainya,
begini adik diceritakan,
yang belum dijumpai se-
karang,
akhirnya akan dijumpai,
sekarang ini belum di-
ceritakan.


9. Akhirnya dapat dipikirkan.
tidak dilalui sekarang ini,
akhirnya sungguh akan ber-
hasil,
akan melalui dengan pasti,
sebagai dasar pikiran yang
sangat baik,
menuruti ajaran itu,
Siwatatwa disebutkan,


7. Panca Mahabhūta ngaran.
lalima katahan Adi.
prathiwi apah kaucap.
teja bayu miwah langit.
ento lakar maring gumi.
langkung lewih jatin ipun. sakita karepe nadosang.
otomaka dasar pageh ati.
sidha pangguh,
pahalannane maotama.


8. Manut sojar sang Arjjuna.
maring Sanghyang Jagatpati,
seduk ida mangun tapa.
maring Indrakila giri.
wedar bawos ida pasti.
pasti sandang adi ngugu.
kene adi kawedalang.
ne durung kapanggih mang-
kin,
wekas pangguh.
dine mangkin durung kacarita.


9.Wekas sidha ban ngenehang.
tan kalampah sane mangkin.
wekas janten pacang sidha.
antuk manalanang pasti.
maka dasar budhi jati.
miturut tatwa puniku.

Siwatatwa kaucapang.
[ 112 ]

104


berhasil tanpa bayangan lagi,
di sana tercantum,
dalam Kakawin Arjuna
Wiwaha.

10. Karena demikian sudah
sepantasnya,
tidak lagi ragu-ragu,
akan membelajarkan diri,
sebab tingkah laku menjelma,
ada perumpamaannya lagi,
seperti usungan mayat yang
tidak urung,
mati dituntun menuju ke
pekuburan,
satu tindakan yang sudah
pasti,
yang dituju,
tempat pekuburan semakin
dekat.

111. Wayan Cita kemudian ber-
kata.
Kakak lanjutkan sekarang,
ceritakan supaya jelas,
supaya saya mengetahuil
dengan jelas,
kejadiannya semua itu,
Panca Mahabuta itu,
Wayan Satwa kemudian.
menjawab,
itu menjadi sahabat dunia,
gunanya,
menjaga keselamatan dunia.


12. Namun supaya bisa me-
nganutnya,

Sidha tan pakelir malih.

ditu mungguh,

maring Kakawin Wiwahan.


10. Wireh kento suba sandang,

beda buin alang eling,

lakar malajahang awak,

apan tingkahing dumadi,

ada babandan tan wurung,

kadi babandan tan wurung.

pějah tuntun nuju šetra,

tunggil tindak suba pasti,

ne katuju,

gěnah setra nganampekang.


11. Wayan Citta matur nimbal,

rarisang Beli ne mangkin,

pidarthayang mangda terang,

mangda tityang tatas uning.

panadosan ipun sami,

Panca Mahābhūta iku,

Wayan Satwa sawur nimbal.

ento dadi kantin gumi,

gunan ipun,

ngawredhiyang ayun jagat.


12. Nanging pang bisa manganūtang, [ 113 ]

105

menjadikannya sahabat sehari-hari,

45b. kesenangannya supaya di­ ketahui,

diajak mudah marah sekali,

sejak pagi hari hingga siang hari,

diajak melancong ke timur ke barat,

ke utara, ke selatan tidak tidur bangun berkali-kali,

menjadi musuh,

ia membangun duka lara.


13. Bila diajak bekerja,

ia sungguh sangat senang,

keluar kemurahannya konon,

sesuka hati memintai,

jelas tidak dikurangi,

ya sungguh pemurah terus,

orang yang sakit diberikan obat,

orang yang miskin diberikan uang,

macamnya,

segala makanan yang terasa sangat enak.


14. Namun, ada diingatkannya,

kepada semua orang.

supaya tahu menurutinya,

dana itu dibagi tiga,

satu bagian dana itu.

diperuntukkan pada kebenaran yang mutlak,

yang sebagian lagi itu,


nganggen ipun kanti sai,


45b. dadoyane apang tawang,

ajak aluh sěbět gati,

uling sěměng ngsnyos lingsir,

ajak nganggur ngangin-ngawuh,

ngaja ngělod tan rerenan,

mědhěm banguna sai-sai,

dadi sātru.

ipun mangun lara wirang.


13. Yaning ajak magarapan,

girangñane tidong gigis

pěsu dānaanñane kocap,

sakita kārěp nagihin,

pědas twara kapucingin,

iya jāti dāna terus,

i lara kadānan tamba,

i tiwas kadānan pipis,

kañcan ipun,

sarwwa bhūktine surasā.


14. Nanging ada pitěngětna

maring ida dane sami,

mangda uning manganutang,

dānane pinalih trini,

kang sabagi sadāning,

kadharmmaning dharmma tuhu,

kang sebagi malih ika, [ 114 ]

106


sedekah pada keberhasilan, hawa nafsu itu, konon makanan pada tingkat 46a. ketiga,

15. Sarana dalam keberhasilan, mendapatkan kekayaan dan
keselamatan, Adik demikian ajarannya, kepada setiap orang yang
menjelma, bila sudah dituruti, perintah nasihatnya diikuti, mencapai keselamatan di
dunia, dikatakan kebahagiaan yang
abadi, sungguh demikian, Adik pikirkanlah dengan
matang.

16. Bila tidak menurutinya, menjalankan dana ini, tidak dibagi menjadi tiga, seperti pembagian yang tadi, hanya dipakai untuk me­menuhi, lima keinginan itu, menuruti keinginan selalu, supaya gemuk dan baik, akhirnya, dimakan oleh Kalantaka.

17. Namun beliau yang sudah
mendalami ajaran agama, pandai akan kebenaran yang
hakiki,


sadhana ring kasidhaning kama iku, ping tinganing bhoga 46a. kocap

15. Sadhana ring kasidhayan, nemu arthha wredhi malih,

kento Adi piteketna, maring sang kadhanenumadi

yaning sampun kaanutin, tudhuh pawisikna ikut, manggih ayu maring jagat,

suka sada kaaranin,

kento tuhu, pineh adi pastikayang.

16. Yaning twara manganutang, nalanang dana puniki, tan pinalih dados tiga, kadi papalian nguni, kewala anggen mangulurin,

panca wisaya puniku, nginuta wulan satata, mangda mokoh turing becik, wekas ipun, katadhah ban Kalantaka.

17. Yaning ida sang wus dharmma,

wikan ring anggane jati. [ 115 ]

107

tidak lupa ketika meninggal
dunia,
segala kekotoran yang me­
nunggunya.

45b. menjadi makanan ulat dan
cacing.
tidak ada kemuliaannya,
tidak berkenan menuruti be­
laiu,
kebahagiaan duniawi ini,
supaya tidak,
akhirnya diselimuti oleh
kesemuan atau maya.

18. Ada lagi yang mengatakan,
badan yang nyata sekarang
ini.
itu juga yang menyebabkan,
Panca Mahabuta dahulu,
dari sana keluar intisari,
Enam macam rasa namanya,
masam sepat dan pedas,
pahit manis dan asin
menjadi minuman,
menjadi makanan di dunia.

19. Intisari makanan konan,
meskipun menjadi tubuh
manusia,
menjadi daging sumsum
darah.
intisarinya kembali menjadi,
Dewa Kama dan Dewi Ratih
dinamai,
Kama dan Ratih itu,


tan lanā ri kāla pějah.
sarwwa rěgěd manongosin.

45b. dadi bhūktin ulěd cacing.
boya wentěn mulian ipun,
tan kahyun maturut idā,
kasukan anggā puniki.
mangda sāmpun,
lanane kaliput maya.

18. Buin adā mangucapang.
anggă sakālane jani,

masih ěnto mangadakang.
Parñca Mahabhūta ngūni.
uli ditu mijil sari.
Sad raşa aran ipun.
masem sěpět miwah lalah,
pahit manis miwah asin,
dadi kinum, ng
dadi pangan marin8 jagat.

19. Sarĭ-sarĭn pangan kocap,
yadyapin neki numadi,
dadi daging sunsum rah.
sarĭn ipun malih dadi,
Kāma Ratih kaaranin,

kāma ratihe puniku, [ 116 ]

108


menunggal menjadi manusia,

semua mahluk hidup di bumi,

akhirnya,

kembali lagi ke asal mulanya.


20. Bila Kakak memikirkannya.


46a. mengembalikan badan ini tidak dengan mudah sekali,


dengan air api dan angin,

sekian selesai dinamai,

yang menghidupkan tubuh itu,

yang dinamai Sanghyang Atma,

di mana asal mula beliau dahulu,

sesungguhnya,

sulit sekali untuk memli- kirkannya.


21. Meskipun hal itu sudah diketahui,

asal mula beliau dahulu.

bagaimana caranya mengem­- balikannya.

apa yang dipakai sarananya,

dengan air api dan angin ,

atau japa mantra itu.

danapunia dan yajnya.

kapankah dapat kembali.

sangat sult.

bila tepat saatnya menjelma.


22. Ada gubahan cerita.

si Kera bila diumpamakan,

matunggalan dadi jadmā,

kañcan urip maring gumi,

wěkas ipun,

malih mawali ring sangkan.


matunggalan dadi jadmā

kancan urip maring gumi,

wĕkas ipun,

malih mawali ring sangkan.


20. Yaning Běli mangěněhang.

46a. ngawaliang anggā iki,

twara sěngka gampang pisan,

baan toya gěni angin,

monto pragat kaadanin

ne nguripang anggā iku,

ne kaucap Sanghyang Atma,

dija kawit ida nguni,

jātin ipun,

sěngkā baan mangěněhang.


21. Yadyastuke suba tawang,

linggih kawit ida ngūni,

kenken baan ngawaliang.

apa anggon mañalarin,

baan toya api angin,

jawat japa mantra iku

dānapūnya miwah yajñā.

dikapan bisa mawal.

dahat meweh,

yan těpět matitisang.


22. Ada satwa sasiptayan,

I Wanāra yan upami, [ 117 ]

109

diberi pakaian serba indah.

segala macam pakaian yang mulia.

sudah jelas tidak dapat.

akan menumbuhkan kebaha­- giaannya,

keinginannya nsupaya bebas,

menaiki pohon sehari-hari,


47b. kesenangannya,

memakan buah-buahan di hutan,


23. Demikian pula si Kijang si Menjangan,

kapan akan bahagia hatinya,

dihiasi dengan emas,

bila tidak bebas di dalam hatinya,

makan rumput setiap hari,

di tengah hutan itu,

gubahan cerita itu,

bila kakak menafsirkannya sesungguhnya,

suapaya tahu menghargai­ nya.


24. Yang menyebabkan belaiu Sanghyang Urip berhasil pulang,

ke asal mula belaiu,

tidak dikuasai oleh kesemuaan Adik,

kesemuan dunia menggi­- lakan,

Wayan Cita berkata halus,


bhūsanain sarwwa ratnā.

kañcan bhūsanane lěwih.

suba sinah twara jāti.

pacang mangun lěgan ipun,

dadoyanña mangdā bebas,

měnek taru sai-sai,


46b. lěgan ipun,

amangan phala ring alas.


23. Masih I Kidang Manjangan,

dikapan tusta ring ati.

bhūsanain antuk mās,

yan tan bebas maring ati.

mangan dhukut sari-sri.

madhyaning alas iku,

sasiptan satwa punikā.

yening běli manampenin.

waian ipun,

mangda uning matitisang.


24. Ne makrana bebas idā,

Sanghyang Urip sidha mulih.

maring sangkan ida mūla,

tan kaliput maya Adi

mayan gumi mangedanin.

Wavan Citta mātūr alus, [ 118 ]

110

perkenankanlah saya mohon maaf.

teruskanlah berkenan hari ini,

memberikann penerangan,

kepada saya yang kegelapan.


tityang wantah manda- wěgang.

tumusan swecchane mangkin,

maweh suluh.

maring tityang kapětěngan.


PUH DHANGDHANG


1. Wayan Satwa segera men­- jawab.

sulit sekali,

meskipun diceritakan,


47a. tingkah laku menjadi manusia itu,

banyak daya upayanya,

berkuasa di dunia,

segala macam isi dunia.

semuanya tunduk,

semua jenis ikan di dalam air,

bisa mati,

ditangkap dengan pancing,

dengan jala dan jaring.


2. Segala yang terbang seperti halnya burung,

berhasil ditangkap dengan jalan memikat,

dengan panah dan menjaring,

seluruh ayam misalnya,

baik yang besar maupun,

yang kecil.

berhasil kena daya upaya.

memakai jaring,


1. Wayan Satwā diage mañaurin,

sěngka pisan,

yadyastu kaucap,


47a. tigkah dadi mānusane,

katah pangupayan ipun,

mawisesa maring gumi,

sakala daginging jagat.

smi padha nungkul,

kañcan mina maring toya,

sidha pějah,

kaupaya antuk pancing,

antuk sawu miwah pěñcar.


2. Sarwwa miběr makadinnanne paksi

sidha bakat majalaran papikat,

miwah tulup lan njaringe.

sarwwa sato kañcan ipun,

jawat agung yadin alit,

sidha kěna pangupāya,

majalaran rajut, [ 119 ]

111


diburu srigala itu, sangat banyak, bila semuanya diceritakan
Adik, daya upaya manusia.

3. Meskipun sudah kebanyakan
tipu muslihat, yang meyebabkan kematian
mahluk yang lain , namun ada konon yang belum, mestikanya daya upaya yang
dijumpai, yang menyebabkan segera
tunduk,

47b. kekuasaan kelima indra itu, rajah tamah itu, keenam musuh di dalam
pikiran, semakin banyak, daya upayanya dijumpai, untuk dapat mengalahkan
semua isi dunia,

4. Semakin besar kekuasaannya
Adik, kelima indra itu, Rajah tamah itu, lagi diceritakan di dalam
parwa itu, semua kejahatan itu, pemberitahuan Hyang Uma
Dewi , kepada Prabu Caya Purusa,
sungguh sangat sulit,

binuruning sragala, liyu pesan. yen ucapang sami Adi,

naya upayan manusa,


3. Dyastu sampun kabekan upaya sandhi, ne nalarang ala patining, lian, nanging wenten durung reke, mustikaning naya pangguh,

ne makrana nungkul gelis.

47b. wisesaning pancendriya, rajah tamah iku, i sad ripu maring citta,

sumingkin katah, naya upayane panggih, pangalah daginging jagat,


4. Ngancan ageng wisesanna Adi, I Pancendriya Rajah tamah iku, malih mungguh ring parwwane, singala ala punika pawarah Hyang Uma Dewi,

ring Prabhu Caya Purusa,

tuhu dahat ewuh, [ 120 ]

112

menghilangkan kekotoran

yang terdapat di dalam pikiran,

Walaupun bisa.

setelah melakukan tapa,

berjasa bersedekah di dunia.


5. Konon belum bersih ke­ kotoran itu Adik.

di dalam pikiran,

lagi diceritakan,

meskipun dapat membangun konon,

istana yang agung dan luhur,

dengan batu yang putih bersih,

berisi segala macam area,

Brahma dan Dewa Wisnu,

Prameswara yang teristi-­ mewanya,

dan dipuja,

setiap hari Tilem dan Purnama.

konon kekotoran itu belum hilang,

6. SingkatnyaAdik sabda beliau batari,

Sanghyang Uma.

beliau memperlihatkan,

semua jenis kekotoran itu konon,

tidak bisa hilang itu.

dengan lima pengorbanan (panca yajnya) Adik,

meskipun pandai dalam ilmu sastra.


ngěntas malane ring citta,

yadin sidha,

sāmpun mangawangunang kerthi.

mayasapūnya ring jagat.


5. Durung kocap ěntas malane Adi,

maring manah,

malih kabawongsang.

jawat sidha ngawangun rěke,

prasadhā agung luwur,

antuk watu sěntak putih,

misi sakañcan pratima,

Brāhma miwah Wisnu

Prameśwara makadinña

tūr kapūja.

ring Tilěm Purnnama sari,

kocap mala durung ilang,

6. Cutět Adi bawos ida buhtari,

Sanghyang Uma

lda mañinahang.

sakañcan malne rěke,

boya sidhā ilang ipun,

antuk pañca yajna udi,

jawat prajñān maring śāstra, [ 121 ]

113

parwa dan kidung.
kakawin filsafat sloka,
tapa brata.
banyak mempunyai murid di
para raja dan para rakyat.

7. Adi ada lagi tercantum dalam
filsafat ilmu pengethuan,
diumpamakan.
perilaku menjelma,
seperti batu gudem itu,
satu persatu dicincang ,
dibuang di tengah samudra,
kapan lagi dapat dientaskan,
kembali ke asal mulanya,
demikian Adik sesungguhnya,
sulit sekali,
tingkah laku menjadi manusia
di bumi ini.
tenggelamdalam lautan maya.

8. Kapankah akan dapat di­-
entaskan Adik ,
jelas sekali,
namun. memaafkanlah,
tidak bisa dipenuhi harapan
Adik,

48a. meminta perjalanan yang
benar,
kepada kakak saal ini.
karena sesungguhnya,
kakak kekurangan pene­-
rangan.
bila kakak mengumpamakan,
tidak berbeda,


parwa miwah kidung.
kakawin tatwa sloka
tap bharata
katah śisya maring gumi,
para ratu para jana ' 7. Buin adi mungguh ring tatwa
aji,
kaimbayang.
tingkahe mañadmā,
waluya batun gudeme,
sasiki ulig ipun,
pulang ring těngahing pasih,
malih pidan sidha entas,
wali kawit ipun,
kento Adi sujātinña.
ewuh pisan,
tingkahe dadi dini di gumi,
kalěbu ring pasih maya.

8. Buin pidan pacang sidha ěntas
adi,
jāti pisan,
nanging ampurayang
. tan sidha kaptin adine,


48a. ngědih pajalane patut.
těken beli kali jani,
sawireh pituinna,
beli tuna suluh,
yaning běli ngupamayang.

twara bhina, [ 122 ]

114


sesungguhnya Kakak ini adik,
bagaikan si sapi dan kuda.


9. Berat sekali menarik pedati siang hari.
berjalan menanjak.
sapi itu terlalu kepanasan,
jalan berat berkelok-kelok.
Kakak umpamakan pedati,
diri Kakak sesungguhnya sebagai isinya,
Kakak selalu tertarik.
sangat mengharapkan men­dapatkan isi bumi.
tidak berani melepaskannya.


10. Kesimpulannya cerita ini sekarang,
meskipun sulit,
janganlah menghentikan nasihat Kakak kepada Adik.
jangan malu jangan takut.
di sapa dengan tidak serius di tengah jalan.
semoga akhirnya berhasil.


48b. sang Guru beliau berkenan.
memberikan petunjuk jalanyang benar.
dan terang.
yang patut adik jalani.
keberhasilan menjadi ma­nusia.


11. Nah selesai ceritanya sekian Adik.


sujātin běline Adi,
waluyu i sampi jaran.


9. Baat pisan mengĕdĕng pedati,
tajĕg sūryya,
marggi ngamunggahang,
kaliwat panĕs bantenge,
margga rukĕt kilak-kiluk,
pinakang bĕli padati,
awak bĕli sujātiñnā,
maka isin ipun,
ĕdot bĕlini satata,
sarat pĕsan prih tĕken isin gumi,
twara bani manglesang.


10. Pacutĕtang satwane jani,
yadyan sĕngkā,
ĕda mañurudang,
patitis bĕli adine,
ĕda kimud ĕda takut,
kaguyonin tĕngah jalan,
dumadak wĕkasan sidha.


48b. dane guru rawuh,
mituduhin marggi antar,
miwah galang,
ne sandang ambahin adi,
siddhaning dumadi jadmā.


11. Nah carikang satwane monto Adi