Cebur nuju daging

Geguritan Bagus Umbara

Saking Wikisource

Geguritan Bagus Umbara (1979)
by I
prev
33629Geguritan Bagus Umbara — prev1979I

[ 2 ]PPS/BI/3/78

Milik Dep. P dan K

Tidak diperdagangkan


GEGURITAN BAGUS UMBARA

Alih aksara dan alih bahasa:

Drs. I Gst. Ngurah Bagus

I Gst. Ngurah Oka Djelantik




DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PROYEK PENERBITAN BUKU BACAAN DAN SASTRA

INDONESIA DAN DAERAH

Jakarta 1979

[ 3 ]

Dari naskah Pustaka Lontar Fakultas Sastra Universitas Udayana

dengan ciri Kropak No. 119, Lontar No. 272.


Penerbit :

Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra

Indonesia dan Daerah

Hak pengarang dilindungi Undang-Undang

[ 4 ]

KATA PENGANTAR


Bahagialah kita, bangsa Indonesia, bahwa hampir di setiap daerah di seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya- karya sastra lama, yang pada hakikatnya adalah cagar budaya na- sional kita. Kesemuanya itu merupakan tuangan pengalaman ji- wa bangsa yang dapat dijadikan sumber penelitian bagi pem- binaan dan pengembangan kebudayaan dan ilmu, di segala bidang.

Karya sastra lama akan dapat memberikan khazanah ilmu pengetahuan yang beraneka macam ragamnya. Dan penggalian karya sastra lama, yang tersebar di daerah-daerah ini, akan meng- hasilkan ciri-ciri khas kebudayaan daerah, yang meliputi pula pandangan hidup serta landasan falsafah yang mulia dan tinggi ni- lainya. Modal semacam ini, yang tersimpan dalam karya-karya sas- tra daerah, akhirya akan dapat juga menunjang kekayaan sastra Indonesia pada umumnya.

Pemeliharaan, pembinaan, dan penggalian sastra daerah jelas akan besar sekali bantuannya dalam usaha kita untuk membina kebudayaan nasional pada umumnya, dan pengarahan pendidik- an pada khususnya

Saling pengertian antar daerah, yang sangat besar artinya bagi pemeliharaan kerukunan hidup .antar suku dan agama, akan dapat tercipta pula, bila sastra-sastra daerah, ·yang termuat dalam karya- karya sastra lama itu, diterjemahkan atau diungkapkan· dalam ba- hasa Indonesia. Dalam taraf pembangunan bangsa dewasa ini ma- nusia-manusia Indonesia sungguh memerlukan sekali warisan ro- haniah yang terkandung dalam sastra-sastra daerah tersebut. Kita yakin bahwa segala sesuatunya yang dapat tergali dari dalam- nya tidak hanya berguna bagi daerah yang bersangkutan saja, melainkan juga akan dapat menjelma menjadi sumbangan yang khas sifatnya bagi pengembangan sastra dunia.

Sejalan dan seirama dengan pertimbangan tersebut di atas, -kami sajikan pada kesempatan ini suatu karya sastra daerah Bali, yang berasal dari Fakultas Sastra Universitas Udayana, dengan [ 5 ]harapan semoga dapat menjadi pengisi dan pelengkap dalam
usaha menciptakan minat baca dan apresiasi masyarakat kita ter-
hadap karya sastra, yang masih dirasa sangat terbatas.

Jakarta, 1979

Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra

Indonesia dan Daerah












6 [ 6 ]Sinopsis Geguritan Bagus Umbara.

Konon ceritanya sang raja Jongbiru, mempunyai putri seorang diri yang sangat cantik cendekiawan, yang mempunyai bermacam-macam ajimat seperti; manik gelagah, manik api, manik atma dan segara madu gunung menyan.

Pada suatu ketika Galuh Jongbiru memimpikan Mantri Koripan, mantrinya bagus di Bali serta cakap cendekiawan. Karena rindunya Galuh Jongbiru kepada Mantri Koripan (nama samarannya Bagus Umbara), beliau minta kepada ayahnya Prabu Jongbiru (yang menjadi raksasa itu), untuk dibuatkan togog yang berupa Mantri Koripan beserta pengiringnya supaya tidak diketahui kerinduannya pada Mantri Bali itu.

Syahdan diceritakan Mantri Koripan (Bagus Umbara) telah lama mengembara ± 7 bulan diiringi I Semar. Di Metaum dia menghamba, kemudian disuruhnya mencari gunung menyan segara madu. Pun disuruhnya melamar putri Daha (karena muslihat dibilang hilang, karena duluan diminta oleh saudaranya).

Untuk mencari gunung menyan segara madu itu Bagus Umbara minta tolong kepada kaki Dedukuh, yang tempatnya dikatakannya jauh, di Jawa Iangsung datang di tamannya putri Jongbiru yang memimpikannya Mantri Koripan itu. Jongbiru letaknya berdekatan dengan Jemur Jipang, Penenggah dan Windu Tinggal Jamin Tora.

Prabu Jamintara mempunyai dua orang putri yaitu : I Nawang Tranggana dan I Nawang Taro. Di sana Bagus Umbara pura-pura sakit minta diobati oleh putri mahkota. Seketika sakitnya hilang dan ia berjanji akan kembali lagi ke Jamintara, karena merasa berhutang budi, tertarik karena bijaksananya I Nawang Tranggana dan cantik molek parasnya. Kemudian Bagus Umbara meneruskan perjalanan ke Jongbiru.

Nasehat Dedukuh dipraktekkan di Jongbiru langsung dia ke tamannya Galuh Jongbiru. Karena setianya Galuh Jongbiru itu, Bagus Umbara disembunyikan di taman. Kemudian ayahnya yang menjadi raksasa itu ditipunya, disuruhnya mencuci sutra hijau agar menjadi putih.

7

[ 7 ]Lalu sang Putri Jongbiru minta Sang Garuda datang mohon pada Dewa Wisnu, untuk menerbangkannya ke Bali bersama Bagus Umbara. Sampai di jalan diketahui oleh Sang Yaksa (ayah beliau), terjadilah perang antara ayah dan anak Jongbiru itu. Dilemparkan manik atma maka matilah Sang Yaksa (ayah Galuh Jongbiru itu). Sang Garuda disuruhnya berhenti putri Galuh Jongbiru membasmi ayahanda dan sukmanya disembahnya, sukma beliau berkata akan menitis ke Bali. Sehabis sabda demikian musnalah sukmanya ke Sorga.

Galuh Jongbiru dan Bagus Umbara berangkat ke Bali kemudian mampir di rumahnya Dedukuh. Galuh Jongbiru dititipkan di tempatnya Dedukuh.

Bagus Umbara menghadap raja Metaum membawa gunung menyan segara madu yang diminta itu. Karena telah berhasil, Sang Prabu Metaum memerintahkan seluruh rakyatnya beserta makanan dan minuman beramai-ramai ke Daha dengan segala perlengkapan kebesaran raja dan Bagus Umbara disuruh membawa tempat sirihnya.

Sampai di Daha karena pengecutnya baru dibuka manik segara madu gunung menyan itu, kelihatanlah segala binatang buas yang ada di hutan, maka raja Metaum berlari tunggang langgang karena takutnya meninggalkan calon temantennya di Daha.

Sekarang diceritakan Bagus Umbara minta pertimbangan kepada Galuh Daha dan Galuh Jongbiru (karena telah diketahui) untuk mencari Galuh Jamintara I Nawang Tranggana itu. Setelah setuju berangkatlah Bagus Umbara bersama patihnya I Rangga menyamar sebagai penari gambuh Bali. Ikut main di Jamintara. Di Jamintara minta tolong kepada Debekung untuk menghubungi raden Galuh. Kemudian keesokannya Raden Galuh dilarikan ke Bali dan dikejarnya, setelah diketahuinya bahwa Raden Koripan yang melarikannya kepungan dihentikan. Kemudian sampai di Bali atas perintah ayah baginda raja Koripan Bagus Umbara dijemput oleh rakyat dan kedua putri Galuh Daha dan Galuh Jongbiru serta dengan alat kebesarannya. Di sanalah ketiga putri raja tadi (Galuh Daha, Galuh Jongbiru dan Galuh Jamintara/I Nawang Tranggana) dikasihi silih berganti-ganti oleh Mantri Koripan alias Bagus Umbara itu di Koripan.


8 [ 8 ]
GEGURITAN BAGUS UMBARA


"Ung wigna mastu nama siddi"


1. Muah kocapan sang nata,

maring Jongbiru amanggih,

warnan ida bagus nom,

pamuktian nidane biuh,

balane tan kenahingan,

suka sugih,


2. Sing tinuku sarwa murah,

sing tinandur sarwa nadi,

gelising cerita reko,

sampun ida maduwe sunu,

istri ayu munggweng minura,

twah asiki,

di Jawa twara dapada.


3. Makakembang Nusantara,

maka dewaning diah luwih,

maka sarining kedaton,

papulan madu juruh,

maka pangalapan cita,

sor tang gendis,

akeh mantri mangarepang.


Puh Ginada


1. Diceritakan sekarang sang raja,

di Jongbiru beliau bertakhta,

rupa beliau bagus muda,

kerajaan beliau cukup besar,

rakyatnya tak terhingga,

tidak kurang suatu apa,

maka senanglah beliau.


Yang dibeli semuanya murah,

yang ditanam semuanya jadi,

konon ceritanya sekarang,

beliau sudah mempunyai anak,

putri cantik elok parasnya,

hanya seorang,

tiada tandingannya di Jawa.


Sebagai kembangnya Nusantara,

sebagai dewanya orang wanita,

sebagai kembangnya kerajaan,

kumpulan madu yang mahamanis,

sebagai penggantungan hati,

kalah manisnya gula,

banyak pegawai keraton tertarik.


9 [ 9 ]4. Nekayang jaruman katah,

prahita lawan pragusti,

kewangsul antuk sang katong,

dening sayange maputus,

kadi emas winten mirah,

munggweng peti,

keanggen sekar negara.


5. Sampun surup sanghyang surya,

dawuh tiga wengi mangkin,

anadoh ida sang katong,

lan okane raden galuh,

kalawan sri pramiswarya,

rantenaji,

sami ida wusanaah.


6. Sawusan mangkeya nadah,

kawuwusan raden dewi,

munggah ida ring paturon,

pawongan sampun aturu,

kaget sampun dawuh lima,

raden dewi,

tan polih ida anidra.


7. Buka ada mangrubeda,

mangarusak manyarisik,

luwir kena wincep dituron,

kadi kasurin biluluk,

buin turu-turu ayam,

raden dewi,

raris ida manywapena.



8. Sareng lan mantri Koripan,

mantrine bagus di Bali,

mapangku pangku dituron,

agegap atangia lungguh,



Banyak mendatangkan pinangan,

kaum brahmana serta kaum satria,

ditolak oleh raja,

saking sangat sayangnya,

bagaikan emas intan mirah,

di dalam peti,

dipakai bunga keraton.


Sudah terbenam matahari,

jam delapan malam sekarang,

santaplah beliau sang raja,

beserta anaknya Raden Galuh,

beserta permaisuri raja,

pegawai istana semuanya habis makan.


Sekarang sehabisnya makan,

diceritakan raja putri,

pergilah beliau ke tempat tidur,

penghuni semua tidur,

lekasan sudah,

sudah jam lima,

putra mahkota,

tiada beliau dapat impian.


Seperti ada menggoda,

seperti diinung-inung,

seperti kena ilmu pasangan,

seperti tempat tidurnya gatal,

baru tidur-tiduran ayam,

putra mahkota,

lalu putra mahkota bermimpi.


Bersama mantri Koripan,

raja yang bagus di Bali,

berpeluk-pelukan di tempat tidur,


10 [ 10 ]kapupungan nulia nyambat,

beli mantri,

dijaka beli magenah.


9. Beli menyangsara titiang,

buka mekane pebalih,

buwin pidan reko saroro,

ngayem ayemin salulut,

jani apa keman titiang,

buya beli,

mangicenin titiang wisya.



10. Ken Bayan Sangit atangya,

pada kagyat menyajagin,

lawut ya pada matakon,

sapa sira dewa ratu,

mirib i dewa marincang,

sinya nawi,

i dewa sareng wong lanang.


11. Rahaden galuh ngandika,

nirako bawu mangipi,

pindanya reko dituron,

pinang kwa dening wong bagus,

raden mantri ring Koripan,

dadi beli,

maipi tekening nira.


12. Yeningra twara katekan,

buka baan nira ne ngipi,

apata maane reko,

tanurung mamumpang laku,

sarwi anangis ngandika,

gantin kai,

jani ngemasin ipian.


kaget beliau terus bangun duduk,

serta mengigau memanggil-manggil,

kakanda,

di mana kakak berada.


Kakak menyengsarakan saya,

seperti cermin ditonton,

kapan kita kawin,

berkasih-kasihan,

apakah daya saya,

bahaya kakanda,

memberi saya kesusahan.


Bayan Sangit bangun,

semua kaget mendatangi,

lalu semua bertanya,

siapa tuan putri,

seperti tuan putri berkawan,

siapa tahu,

tuan putri bersama orang laki.


Tuan putri berkata,

saya baru bermimpi,

seperti di tempat tidur,

dipangku oleh orang bagus,

raja muda di Koripan,

kok kakanda,

saya mimpikan.


Kalau tiada kesampaian,

seperti mimpi saya bagaimana jadinya,

tak urung saya berduka,

sambil menangis bicara,

nasib saya,

menyedihkan impian.





11

[ 11 ]13. Ken Bayan alon angucap,

sampun dewa gung manangis,

menawi weruh sang katong,

sapunapi antuk matur,

saget sampun bangbang wetan,

raden dewi,

tumurun raris ke taman.


14. Sapraptane maririg taman,

malungguh ring batur sari,

yeh aksine pacerodok,

Condong Bayan sami ibuk,

mangranin katangehan,

yen betawis,

kenken baan mangaturang.


15. Rahaden dewi ngandika,

ujare dulurin tangis,

bayan mati kai reko,

makelap i beli bagus,

malinggih dini sasengan,

kudiang kai,

nyaruang apanga lila.


16. Bin pidan jodone teka,

buka banira ne ngipi,

saluwir bungane tonton,

katonang i beli bagus,

tambulilingane ngaras,

nagasari,

mirib i beli ngandika.


17. Sungengene bahu kembang,

mirib prarain i beli,

pusuk balunge mandelok,

mairib reriji rurus,

sandate kembang mayangan,



Kepada Bayan pelan berbicara,

janganlah tuan putri menangis,

supaya tiada di ketahui raja,

bagaimana bertanya,

lekasan pagi-pagi benar,

putri mahkota,

turun terus ke taman.


Sesampainya di taman,

duduklah di tempat duduk,

air matanya keluar,

Condong dan Bayan cemas semua,

mengetahui ketahuan,

kalau diketahui,

bagaimana caranya membilang.


Tuan putri berbicara,

berkata serta menangis,

Bayan mati saya rasanya,

seperti kelihatan kakak bagus,

duduk di sini bersama,

bagaimanakan saya,

menghibur supaya puas.


Kapan jodohnya datang,

seperti mimpi saya,

segala bunganya dilihat,

kelihatan kakanda,

kumbang mengisap nagasari seperti kanda berbicara.


Bunga matahari kembang,

bagaikan muka kakanda,

kuncup bakung terkulai,

seperti jarinya lurus,

bunga kenanga mengharum,


12 [ 12 ]wasin kai,

mairib i beli lupa.


18. Intaran tunggul ragas,

edonnyane makekalih,

mirib alis rengu katon,

bunkatirahe ndih murub,

kadi lambe nginang sedah,

tiying gading,

katon raga mangriyana.


19. Bun simbare masraweyan,

mairib cawet i beli,

lumute ngelanting katon',

upin angine di duwur,

kadi tangan matayungan,

ngolah tangkis,

tandange manjalantara.


20. Tunjunge akatih kembang,

katon di tengahing beji,

mairib i beli bengong,

ulat dane ditu mandus,

tempuh angin makitukan,

kadiya nolih,

mirib nagih enjuhin wastra.


21. Tuwu-tuwune maswara,

mirib dane ngasih-asih,

ulat mangrurum ituron,

kadi tangane cengok-cenguk,

mairib dane kebabas,

ngalih margi,

kayan matemu kenira.


22. Munggah dane gagelisan,

di bale pangari ngaling,

makudung sutra ijo,


saya lihat,

bagaikan kakanda lupa.


Daun intaran sebatang,

daunnya tinggal dua,

seperti kening merengut,

bunga katirah merah membara,

seperti orang makan sirih,

bambu kuning,

kelihatan badannya kuninglangsat.


Daun simbari berhamburan,

seperti celana dalam kakanda

lumut terkulai kelihatan,

diembus angin di atas,

seperti tangan menunjang,

menangisi,

gayanya terbayang-bayang.


Teratai setangkai mekar,

kelihatan di tengah taman,

seperti kakanda heran,

biasanya dia di sana mandi,

diembus angin bergerak,

seperti menoleh,

seperti minta diberi kain.


Tuwu-tuwu bersuara,

seperti dia mengasihani,

seperti merayu di tempat tidur,

seperti tangannya meraba-raba,

bagaikan dia keliru,

mencari jalan,

ingin bertemu dengan saya.


Naik dia cepat-cepat,

di balai tempat mengaso,

berselubung sutera hijau,


13

[ 13 ]raris malinggih matimpuh,

bengong yeh tingale buyar,

sarwi nangis,

lilayang tong dadi lila.


23. Rahaden galuh ngandika,

kenken baan kai jani,

mangalihang daya reko,

apanga ya dadi saru,

lamunya kene setatatwah tan polih,

i guru maputra nira.


24. Apa ja gawene suka,

sedihe twah sahi-sahi,

suba twara danene ejoh,

manggawe san ati ibuk,

Ken Bayan celetik daya,

riyet di ati,

ento pet jani aturang.


25. Ken Bayan matura nembah,

wenten dayan titiang mangkin,

margi pet mantuk kajro,

parek ring ajin i ratu,

tunas icane sang nata,

nene mangkin,

maputra cokor i dewa.


26. Ngaryanang i dewa plaliyan,

togog marupa twan mantri,

undagi sami trus panon,

anggen menungkulang ibuk,

apang dedayanin anak,

apang silib,

i riki raris linggihang.


serta duduk bersimpuh,

heran melihat air terurai,

sambil nangis,

dihibur tak terhibur.


Raden Galuh bicara,

bagaimana cara saya sekarang,

mencari daya upaya,

supaya bisa jadi tak kelihatan,

kalau begini selalu,

tentu tak dapat,

tuanku raja berputra saya.


Apa pekerjaan yang membuat suka,

susahnya setiap hari,

walaupun dia jauh,

membuat hati duka,

kepada Bayan bagaimana akal,

ingat di hati,

itulah sekarang dibilang.


Ken Bayan menghadap bicara,

ada akal saya sekarang,

mari tuanku pulang kekeraton,

menghadap kepada ayah tuanku,

dimintai sangat sang raja,

sekarang,

mempunyai anak tuanku.


Membuatkan tuanku putri permainan,

patung berupa tuan mantri,

tukang patung semua cari,

dipakai menghibur hati rindu,

supaya tidak diketahui orang,


14 [ 14 ] 27. Punika mongmong i dewa,

wedakin pandulangi,

aturin ajengan reko,

pikang laki i wawu,

anggen manglipurang lara,

sakit pingit,

mangda sampun katangehang.


28. Rahaden galuh ngandika,

beneh munyin bane jani,

keneh kaine twah keto,

belih san ica i guru,

jalan malu kapancoran,

madyus gelis,

cumarangcang sanghyang surya.


29. Rahaden galuh ngandika,

jalan mandus Bayan Sangit,

ka pancoran raris nyojog,

manglungsur busana,

alus,

tur asiram gegelisan,

wusan mangkin,

pada mangrangsuk payas.


30. Sawusan mangkin mapayas,

sagrehan mantuk ka puri,

serawuhing maring jro,

rahaden galuh amuwus,

amet petak kebabayan,

miwah suri,

Ken Bayan gupuh ngaturang.


31. Munggah ring padapa emas,

ngawoh rambut asusuri,


agar tak kentara,

di sini terus ditempatkan.


Itulah diemong tuankuputri,

dipupuri dan diberi makan,

dikasi makanan umpama,

umpamakan laki-laki yang tadi,

dipakai menghibur rindu,

sakit keramat,

supaya jangan ketahuan.


Tuan putri berkata,

benar katamu sekarang,

keinginan saya hanya demikian,

mudah-mudahan suka baginda,

mari dulu ke pancuran,

mandi cepat,

bersinar sang surya.


Tuan putri berbicara,

mari mandi Dayan Sangit,

ke pancuran terus datang,

membuka pakaian alus,

serta mandi cepat-cepat,

setelah berhenti serta berpakaian lengkap.


Selesainya berpakaian,

semuanya pulang ke keraton,

sesampainya di keraton,

tuan putri berkata,

ambil pupur kebayan,

serta sisir,

Bayan segera memberikan.


Naik di singgasana emas,

serta rambut disisiri,


15

[ 15 ]usane masuri reko,

kadi dedari anurun,

mangelektate kadi wayang,

mungwing ketir,

alise lancip malenyap.


32. Rambute nyelem turpanjang,

samah ngaras itik -itik,

betek batis nyapya montok,

bawune kasortaraju,

isite ngembang rijasa,

tur mamipis,

tulingan menjangga karsa.


33. Pamulume lumlum cenar,

rahine duren ajaring,

kenying manis pipi montok,

eseme lwir madu juruh,

susu nyangkih buka gilap,

kuning gading,

bangkyang ramping manugelang.


34. Cacingake buka kilat,

maka panjang kadi manik,

tangane lemes tur meros,

sapolahe nggawe linglung,

buka putrine di gambar,

ayu lewih,

akah mantri kahedanan.


35. Raris ida maseh wastra,

matapih bincatra sari,

masuntagi sutra ijo,

mawastra butkeling wungu,


selesai bersisir,

seperti bidadari turun,

menari seperti wayang,

di kelirnya,

keningnya tajam.


Rambutnya hitam serta panjang,

subur panjang,

sampai ke kaki,

betisnya seperti perut padi,

baunya jenjang,

gusinya ngembang rijasa,

serta merekah,

telinganya seperti sarang laba-laba.


Kulitnya kuning langsat,

dahinya bulan tiga hari,

senyum manis pipi montok,

senyumnya manis,

susunya nyangkih,

kuning langsat,

pinggangnya ramping.


Pandangannya seperti siraut jatuh,

kukunya seperti duri landak,

tangannya seperti liku di tiang,

lakunya membuat hati tertarik,

seperti putri di gambar cantik jelita,

pegawai keraton banyak edan.


Lalu beliau berganti kain,

bersinjang bincatra sari,

berujungkan sutera hijau,

berkain ungu buatan keling,


16 [ 16 ]matenaten mirah ratna,

tur manjeti,

mapending mas sinanglingan.


36. Maanteng ban siyang mayang,

pandasare sutra tangi,

sutra kuning sutra ijo,

sandingin sutra dadu,

umpalin parmas barak,

parmas wilis,

yas masundagi mirah.


37. Maperata wiyagata,

mapinggekana ratna adi,

simping memanisan katon,

emas ratna adi murub,

masubeng mas tulang muncar,

tur makendit,

lwir muksah kedapa kema.


38. Masekar cempaka petak,

matrangga kepudak minging,

samwus mapayas reko,

kawuwus ida sang prabu,

malinggih ring jaba tengah,

mangawasin,

sang prabu jamitaran.


39. Rahaden galuh kocapan,

tumurun raris mamargi,

mangojog mangkin ka jro,

pawongan pada umatur,

kadi dedari lumampah,

sampun prapti,

mangkin maring jaba tengah.


beranting-anting permata mirah,

indah sekali,

berikat pinggang emas yang baru disepuh.


Tutup dada dari siyang mayang,

dasarnya sutera ungu,

sutera kuning sutera hijau,

dibarengi sutera ungu,

ikat selimut parmas mirah,

parmas hijau,

dihias masundagi mirah.


Berprada semuanya,

bergelang kanapermata mulia,

penutup bau sangat serasi,

dari emas berpermata mulia,

bersubang gading

bertatahkan emas,

lalu berkendit,

seperti orang moksah kelihatan.


Berbunga cempaka putih,

memakai pudak harum,

sehabis berpakaian,

diceritakan beliau sang raja,

duduk di jaba tengah,

membicarakan,

sang raja dari Jamintara.


Raja putri diceritakan,

turun lalu berjalan,

menuju ke keraton,

dayang-dayang menyembah,

seperti bidadari berjalan,

sudah sampai,

sekarang di jaba tengah.


17

[ 17 ]40. Gurune amendak tinggal,

punapi karya masmanik,

raden galuh sawur asor,

wenten karyan titing guru,

duh malitiggih ka masmirah,

dong orahin,

guru guru punapi karyanang.


41. Rahaden galuh menembah,

malungguh bareng sang aji,

angembeng-ngembeng yeh panon,

manyumbah jrijine rurus patanganan kadi wayang,

tuhu manis,

gawak panjake ngatonang.


42. Raris matur ring nata,

ujare aruma manis,

duh dewa guru sang katong,

durusang icanini guru,

karyanang titiang plalian,

apang becik,

togog kekalih karyanang.


43. Marupa mantri Koripan,

mantrine bagus di Bali,

kocap byana pada reko,

apang titiang mangkin weruh,

genahang titiang ring taman,

maka kalih,

asiki pindayang Semar.


44. Sang prabu adan mengarah,

nedunang pada undagi,

tedun undagi mangelok,


Ayah beliau melihat,

apa kerja ananda,

putri raja menyahut merendah,

ada kerja hamba tuanku,

duduklah hai anakku,

coba beri tahu ,

ayah apa keperluanmu.


Putri mahkota menyembah,

duduk bersama ayah baginda,

berlinang-linang air matanya,

sembah jarinya lurus,

jeriji tangannya berjejer bagaikan wayang,

sungguh baik,

kagum rakyat melihatnya.


Lalu berbicara kepada raja,

bicaranya manis,

aduh ayahku raja,

teruskan pemberian ayahanda,

buatkan saya mainan,

supaya baik,

buatkan hamba dua buah patung.


Serupa dengan mantri Koripan,

putra mahkota yang tampan dari Bali,

katanya sudah terkenal,

supaya saya mengetahui,

saya akan tempatkan di taman,

keduanya,

yang sebuah berupa Semar.


Raja memanggil,

mendatangkan para undagi,

serempak undagi itu datang,


18 [ 18 ]segeneping prabot ipun, tur makarya gagelisang, pragat mangkin, togoge yen maka dadua.

45. Twi tuwe ye buka pola, parupa rahaden mantri, neahukud kadi Semar, perok matane maturuk, mapangawak lawan ditindak, twara panggil, antuk undagi makarya.

46. Rupane mantri Koripan. pamulune lumlum gading, nyanuang rade galuh gelot, langsing lanjar kenying muluk, sampun tinnrapi perada, raris kaambil, sampun katur ring rahadian.

47. Togoge sampun katanggap, lintang suka raden dewi, tan iwang luking pataron, tuwi sambagus sanulus, rupa kadi ring swapena, kabakta glis, togoge song-song ka taman.

48. Sepraptane maring taman, kalinggihang sampun becik, rahaden mantri ring ulon, i Semar mirib mamutru, sampun usan kalinggihang, raris mulih, antiya gumantung ning manah.

lengkap dengan peralatannya, lalu bekerja dengan cepat, sekarang sudah selesai, patung itu keduanya.

Memang cocok sekali, seperti raden mantri, yang sebuah seperti Semar, matanya cekung, badannya panjang kakinya pendek, memang pintar, undagi itu bekerja.

Rupanya mantri Koripan, kulitnya kuning langsat, pantaslah sang putri tertarik, tinggi semampai senyumnya menawan, sudah diprada, lalu diambil, sudah dipersembahkan kepada sang putri.

Patung itu sudah diterima, gembiralah tuan putri, tepat seperti yang diimpikan, sungguh bagus sekali, rupanya cocok seperti impiannya, cepat dibawa, patung itu dibawa ke taman.

Sesampainya di taman, ditempatkan dengan baik, Raden Mantri di atas, I Semar seperti menyembah, sudah selsai ditempatkan, lalu pulang, terbayang-bayang dalam hati.


19

[ 19 ]49. Sapraptane ring jro pura,

ngandika asemu tangis kaka,

bayan mati ingong,

beli mantri numegantung,

Ken Bayan asaur sembah,

dewa gusti,

togoge ratu ilingang.


50. Nika anggen ngelipur manah,

napi wikan sri bupati,

apang dekecidra reko,

titiang jerih dewa ratu,

ilidang bakase dewa,

lah puniki,

pagegandan atma jiwa.


51. Rahaden galuh ngandika,

alapang nira saruni,

arkaning pekar ergilo,

Ken Bayan ngaturang gupuh,

sampun rateng parangkatan,

dewa gusti,

i dewa tidong majengan.


52. Akikit tan kai ngamah,

aba to ka taman sari,

togoge aturin reko,

nira ditu bareng nyekul,

Ken Bayan gelis membakta,

sampun prapti,

raden galuh menanjinang.


53. Wus ngaturin togog dahar,

raris mara mangwadakin,

wus mara ngajengang reko,

Ken Bayan ngayahin gupuh,


Sesampainya di istana,

berkata seperti akan menangis,

sahayaku mati saya,

seperti kelihatan raden mantri,

sahayanya hormat menyahut,

tuan putri,

patungnya diingatkan.


Itu dipakai menghibur hati,

supaya tidak diketahui oleh raja,

supaya jangan didakwa,

amat takut sekali,

ingatkan perbuatannya,

ia inilah,

pergantungan hati.


Tuan putri berkata,

ambilkan saya bunga seruni,

untuk saya berhias,

segera Bayan mempersembahkan,

sampai selesai hidangan,

aduhai Tuan,

kanda tiada makan.


Sedikit pun saya tidak makan,

bawa itu ke taman sari,

patungnyalah diberi,

saya di sana bersama santap,

serta Bayan segera membawa,

sudah sampai,

tuan putri menawarkan makan.


Sesudah selesai memberi patung,

makan,

lalu saya memberi bedak,


20 [ 20 ]ngarepin togog majengang,

Bayan Sangit,

mangamah carik carikan.


54. Rahaden galuh ngandika,

teken togoge mapamit,

kantun ka i beli togog,

titiang mangkin pamit mantuk,

benjang titiang malih prapta,

ngalih beli,

raris mantuk sagerehan.


55. Sapraptane ring jro pura,

ngojog ka pamreman gelis,

winasunan dane alon,

tumulih raris maturu,

enengawengi wuwusan,

enjang mangkin,

rahaden galuh tangiya.


56. Gupuh mamargi ka taman,

pangayah sami mangiring,

rawuh ring taman narojog,

togoge raris kajujur,

saup sangkol yepandusang,

wusnyiramin,

linggihang tur diman-diman.


57. Sampingan madahar,

togoge aturin sagi,

usane nanjenin togog,

raris parid dahar ditu,

sampun usan mangajengang mangadakin,

lantas malinggih sarengang.


sesudah habis makan tadinya,

serta Bayan meladeni sibuk,

menghadap patung makan,

Bayan Sangit,

makan ayapan.


Tuan putri berbicara,

dengan patungnya pamitan,

masih saja kanda patung,

saya sekarang pulang,

besoknya saya lagi datang,

cari kanda,

serta pulang bersama.


Sesampainya di istana,

menuju ke tempat tidur,

merebah di tempat tidur,

serta terus tidur,

semalam suntuk,

serta pagi,

tuan putri bangun.


Cepat-cepat ke taman,

sahaya semua mengiring,

sampai di taman menuju patungnya segera dituju,

dipeluk diambil dan dimandikan,

selesai memandikan,

didudukkan serta dicium-cium.


Pada waktu makan

patungnya diberi santap,

selesai memberi patung makan,

sisanya dimakan di sana,

sudah selesai makan,

memberi pupur,

serta duduk berdua.


21 [ 21 ]58. Tong lalis ngalahin luas,

demak togoge tur abin,

pasihin guyuhin reko,

tan kocap polahe ditu,

ring Bali mangkin kocapang,

raden mantri, ring Koripan kawuwusan.


59. Ida lunga mangelelana,

pun Semar tansah mangiring,

satiba parane reko,

liwat alas liwat gunung,

tan wenten mamanggih desa,

lemah wengi,

tanpa turu tan panadah.


60. Kasuwen lunga ngumbara,

wenten sampun pitung sasih,

anusup ring alas reko,

anuwut jurang tuwun pangkung,

pun Semar sawang kangelan,

mangasihin,

sareng managih rerenang.


61. Pedalem panjake odah,

margi mararyan i riki,

raden mantri nurut reko,

lah mandeg ke kekaditu,

saget kuton jeron dewa,

jujur mangkin,

malungguh twah ajak dadua.


62. Kasuwen ditu mararyan,

mapraya mangkin mamargi,

saget ujane manggeloh,

katekan gentuhe agung,

saget ada anak teka,


Tak sampai hati meninggalkan,

diambil patung dan dipangku,

dirayu-rayu serta dicium,

tak diceritakan lakonnya di sana,

di Bali sekarang diceritakan,

raden mantri,

di Koripan diceritakan.


Beliau pergi mengembara,

Semar mengiringkan,

tiba di mana-mana,

lewat hutan dan gunung,

tak ada menemukan desa,

siangmalam,

tak tidur tidak makan.


Telah lama mengembara,

sudah ada 7 bulan,

masuk hutan,

menuruti sungai dan tebing,

sampai payah I Semar,

meminta,

berhenti sebentar.


Kasihani abdinya tua,

mari berhenti di sini,

raden mantri menurut,

berhentilah di sana,

serta ada rumah dewa/pura,

dituju sekarang,

duduk hanya berdua.


Lama berhenti di sana,

serta sekarang berjalan,

hujan datang sertak ilatnya besar,

serta ada orang datang,


12
[ 22 ]twah aditi,

mowani manegen saang.


63. Bawu marane mararyan,

saget katon anak pekik,

ne aukud liwat nocok,

wong punapi gusti bagus,

aduh nira wong Koripan,

nira paling,

nira i Bagus Umbara.


64. Punikate sapa sara,

Bagus Umbara nyaurin,

ento kakanira reko,

ne matakon kenyung bagus,

yen tembang kaliwat cuwat,

pantes uwil,

mirib tonya suba tuwa.


65. Bramah pun Semar angucap,

liyep-liyep delak-delik,

maite dini mangraos,

sing nyama manditu patuh,

maka dadua buka ira,

lengar sepit,

bungut bonjor kuping macan.


66. Mrasa marasne nakonang,

manyurere kirig-kirig,

kandugi maujan reko,

mandemak reonge ijo,

paliyate sarnpun rengas,

liwat rimrim,

munyin I Semare bangras.


67. Ne ngaba saang ngenggalang,

twara manolih ka uri,

pati kepug pati pohok,

saange engsutin ambung,

ampigang lawut manemah,


hanya seorang,

laki-laki memikul kayu api.


Baru sekali berhenti,

segera kelihatan orang ganteng,

yang satunya amat jelek,

dari tuan bagus,

saya dari Koripan,

saya bingung,

saya I Bagus Umbara.


Itu siapa,

Bagus Umbara menyahut,

itu kakak saya,

yang bertanya senyum bagus,

kalau dilihat amat tua,

pantas tua,

kiranya memang sudah tua.


Serta Semar berbicara,

kedap-kedip matanya,

di sinilah berbicara,

barangkali saudara rupa sama,

keduanya seperti saya,

kepala botak,

bibirnya besar kuping lebar.


Seperti takut berbunyi,

melirik mundur-mundur,

serta kehujanan,

mengambil pakaian hijau,

pandangannya liar,

amat takut,

omongnya I Semar keras.


Yang membawa kayu api segera,

tiada menoleh ke belakang,

terhantuk kiri kanan,

kayu apinya terhantuk


23 [ 23 ]teka jani,

di bancingah mangagahang.


68. Sedek tinangkil sang nata,

pinarek dening pra mantri,

mangrawosin de sang katon,

ring Daha putrane ayu,

kayun ida tuwah nglamar,

sirapatih,

sami jerih manjawuman.


69. Ne ngaba saange teka,

jumrojog ring seri bupati,

tumuli maatur alon,

duh dewa ratu pukulun,

titiang mamanggihan anak,

lintang pekik,

mawasta Bagus Umbara.


70. Ring pantilar maayuban,

liwat bocoke asiki,

sang prabu ngandika alon,

kema malipetan ruruh,

pra man tri raris mamarga,

muwah patih,

yenya tong nyak yunyakang.


71 . Geker patih pra mantri lunga,

mangruruh rahaden mantri,

katuwoni de sang katong,

makon mangruruh wong bagus,

ujan banget lakonana,

sampun mangkin,

sami manyupsupring alas.


72. Tanduprapta ring kayangan,


rumput-rumput,

dilepaskan serta mengumpat,

datang sekarang,

di luar istana gemetar.


Sewaktu raja dihadap,

dihadap oleh pegawai istana,

membicarakan oleh sang raja,

di Daha putri raja cantik,

kemauan beliau mengelamar,

paman patih,

semua takut membawa kado.


Yang membawa kayu api datang,

mendatangi sang raja,

serta menyembah berbicara,

paduka tuanku,

saya menemukan orang terlalu baik,

bernama Bagus Umbara.


Di pondok utara berhenti,

amat jelek seorang,

raja bersabda pelan,

ke sana cari kembali,

pegawai istana berjalan,

serta patih,

kalau tiada mau dipaksa.


Ribut pegawai istana pergi,

mencari raden mantri,

dituruti perintah raja,

disuruh mencari orang bagus,

waktu hujan terus jalan,

sudah sekarang,

semua masuk hutan.


Serta sampai di pura,


24
[ 24 ]pada jumrojog agelis,

kapanggih rahadian nyongkok,

tuwi bagus ne aukud,

ne awukud liwat ala,

aduh cai,

beli utusan sang nata.


73. Lamun cai jani suka,

pangandikan sri bupati,

jalan ka bancingah reko,

enggih sandikan sang prabu,

ujarne sagetan tirang,

lah dong margi,

jani sareng ka bancingah.


74. Sagrehan raris mamarga,

tan kocap mangkin ring margi,

rawuh ring bancingah reko,

jumrojog marek sang prabu,

sang prabu gawok menyingak,

nene jani,

sayan jejel di bancingah.


75. Egar kayune sang nata,

kapengin nyingak wong pekik,

mijil wecanane alon,

menekan cai malungguh,

dini cai masarengan,

teken beli,

nguda to cai betenan.


76. Bagus Umbara mamindah,

banggiyang titiang iriki,

agelis tumurun sang katong,

betenan sareng malungguh,

bubar patihe nuwunang de sang nata,

ngandika dane wong apa.


semua menuju cepat,

ketemu raden mantri jongkok,

sungguh bagus seorang,

yang satunya amat jelek,

hai kamu,

saya utusan raja.


Kalau kamu mau sekarang,

kata raja,

mari ke istana raja,

ia saya mau menurut,

hujannya hilang,

ayo jalan,

mari turut ke istana.


Semuanya lalu berjalan,

serta diceritakan di jalan sekarang,

sampai di muka istana,

menuju dekat raja,

raja heran melihat sekarang,

makin ramai di bancingah.


Senang hatinya raja,

ingin melihat orang bagus,

keluar sabdanya pelan,

mari naik,

duduk,

di sini kamu bersama,

bersamaku ,

mengapa kamu di bawah.


I Bagus Umbara tidak mau,

biarlah saya di sini,

serta segera turun raja,

di bawah bersama duduk,

bubar patih semua,

serta raja,

berkata saudara dari mana.


25

[ 25 ]77. Gurun cai sapa sira,

byanako yen beli uning,

manawiokan sang katong,

apang da beli salah nuduk,

kani cai ngandikayang,

teken beli,

dening beli katandruhan.


78. Bagus Umbara angucap,

titiang jadma kasih asih,

titiang mangumbara reko,

kalih titiang kawelas iyun,

taninawang meme bapa,

aduh cai,

dini pet cai manyama.


79. lnggih sandikan sang nata,

titiang kalintang mangiring.

lintang sukane sang katong,

nyingak ring rupane bagus.

ento nyen ne durian,

ajak cai,

inggih nika nyaman titiang.


80. Sang prabu kenyem nyayasang,

patih mantri pada kenying,

nyaruang pada mamengos,

sang prabu adana sekul,

ulam lawan sajeng kelang,

sampun mangkin,

sami sampun sananadah.


81. Kenak kayune sang nata,

manduduk jadma kalih,

bagus tur praptameng rawos,

sampun suwe ring Metaum,

ngawula teken sang nata.


Siapa ayahmu,

supaya aku tahu,

serta tanya,

sang raja,

supaya aku tidak keliru,

supaya kamu membilang,

padaku,

supaya jangan bertanya.


Bagus Umbara berkata,

hamba adalah orang biasa,

hamba mengelana,

serta saya kasihani orang,

tiada tahu ayah ibu,

hai kamu,

di sini kamu menghamba.


Daulat tuanku hamba menurut,

hamba amat menurut,

tiada terhingga sukanya raja,

melihat rupanya bagus,

itu siapa di belakang,

kamu bawa,

itu saudara hamba.


Sang raja beserta senyum,

pegawai istana semua senyum,

membuang muka menyembunyikan,

tuan raja memberikan makanan,

daging nira sekilang,

sudah selesai,

semua habis makan.


Puaslah hatinya sang raja,

memungut orang dua,

bagus beserta cekatan,

sudah lama di Metaum,

menghamba kepada raja,


26 [ 26 ]lumbrah mangkin,

sang prabu manuduk jadma.


82. Ratu Metaum ngandika,

yen cari suka ne jani,

beli ngutus cai reko,

manglamar okan sang ratu,

rahaden galuh Daha,

patih mantri,

sami jerih majauman.


83. Punika beli ngarepang,

beli ica sri bupati,

raden mantri sawur alon,

sandikan ida sang prabu,

bin pidan titiang majalan,

nene mani,

melah ambah cai luas.


84. Kocap dewasane melah,

wewarangan reko mani,

kocap dewariga keto,

ento twah dinane suwung,

tur ngaba raja panamah,

ratna adi,

ali-ali tali bangkiyang.


85. Emas lawan gelang kana,

lawan tasih satri ati,

miwah wastra limur ijo,

genep sapanganggon galuh,

subeng mas curiga bentar,

anteng gringsing,

sekar emas sesambaran.


86. Nengakena polah ira,

kawuwusan punang enjing,

acadang panomah reko,

saprateka sampun puput,

ingentos karianurat puput


semua orang tahu,

raja memungut orang.


Raja Metaum bersabda,

kalau kamu nian sekarang aku menyuruh kamu,

mengelamar putri raja,

putri raja Daha,

pegawai istana,

semua takut meminang.


Sekarang kamu kusuruh,

aku suka pada kamu,

raden mantri menyahut pelan,

mengiakan suruhannya,

kapan hamba berjalan,

sekarang hati-hati di jalan.


Katanya hari baik,

besok hari baik untuk meminang,

di almanak demikian,

di sana harinya selamat,

serta bawa oleh-oleh untuk tuan putri,

yang baik-baik perhiasan wanita.


Emas beserta gelang,

serta perhiasan wanita,

serta kain timur hijau,

lengkap perhiasan putri raja,

subang emas curiga bentar,

kain gringsing,

bunga emas aneka ragam.


Hentikan cerita lakunnya,

diceritakan sekarang pagi-pagi,

dipandang dengan segala perhiasan,


27

[ 27 ]mangkin,

ingulesan lungsir jenar.


87. Prabu Metaum ngandika,

bagus mamargine,

mangkin,

apang pratijnya di jero,

matur ring ida sang prabu,

sandikan ida sang nata,

titiang pamit,

pun Semar tansah ngiringang.


88. Sang nata tinuting tingal,

gawok wong Metaum sami,

sayang manjawuman konkon,

manggawa surat papucuk,

sawala patra ingulesan,

sampun prapti,

mangkin ring nagareng Daha.


89. Sedek sang prabu ring jaba,

tandwa raden mantri prapti,

jumrojog maring sang katong,

kagiat sang prabu andulu,

ngandika cai wong apa,

tumben cai,

dija cari madesa.


90. Bagus Umhara nyumbah,

titiang wong Metaum singgih

titiang utusan sang katong,

sri narendra ring Metaum,

ngaturang raja panomah,

ring puniki,

sewala patra punika.


sesampainya selesai,

hanya menunggu keputusan surat,

selesai sekarang,

dibungkus sutera hijau.


Raja Metaum bersabda,

bagus berjalan kamu sekarang,

supaya hati-hati di istana,

menghadap kepada raja,

dia mengiringkan perintah raja,

hamba pamit,

serta Semar mengiringi.


Raja mengiringi dengan pandangan,

heran orang Metaum semua,

sayang disuruh meminang,

membawa surat lamaran,

surat lamaran dibungkus,

sudah sampai,

sekarang di negara Daha.


Kebetulan raja di muka istana,

sampailah utusan raja,

menuju menghadap raja,

kagetnya melihat,

hai kamu orang dari mana,

baru kali ini,

di mana rumahmu.


Sembah Bagus Umbara,

hamba dari Metaum,

hamba utusan raja,

dari raja Metaum,

membawa perhiasan putri,

inilah surat dari beliau .


28
[ 28 ]91. Tinanggapan sang nata,

pupucuk jawuman iki,

ingulesan lungsir kawot,

manguri winaca sampun,

unining sewala patra,

suba witning,

pupu susunen pangeran.


92. Titiang aneda sancata,

anira agungan wingit,

durus icane sang katong,

manjakang maka Metaum,

Metaum kedepang Daha,

nene mangkin,

i dewa manjakang titiang.


93. Yening cai da sang nata,

kang istri suta dyah lwih,

titiang pacang kekara,

durusang ican i ratu,

mangkin titiang mantis pisan,

yen pasung tan pasung mangsula nomah.


94. Sang nata kekalih manah,

asuwe ngrasa ring ati,

wekasan ngandika alon,

dening ya kelamar malu,

mangkin dane sampun ilang,

cai mantri,

ring Koripan mangelahang.


95. Singnya teka mani pwan,

kenken baan mangrasanin,

apannya misannya reko,

tur dane manglamar malu,

eming baan maman mangrasa,



Diterima oleh raja,

semua pemberian suratnya dibungkus lungsir baik,

semua telah terbaca,

isi surat telah diketahui,

dari semula duduk menyusun paha.


Hidup hamba panas,

arine agungan wingit,

silakan pemberian raja,

menyetujui Metaum,

Metaum atau Daha,

sekarang tuan memperhamba saya.


Hai kamu utusan raja,

istri beliau orang istana,

hamba akan disiksa,

kalau jadi diberikan,

sekarang hamba cocok sekali

setuju tak setuju kembalikan mas kawinnya.


Raja pikirannya mendua,

berpikir di dalam hati,

kemudian bicara pelan,

karena ada yang mengelamar duluan,

sekarang dia yang mengelamar tak ada,

hai utusan,

di Koripan yang punya.


Kalau datang besok lusa,

bagaimana aku bicara,

karena sepupunya,

serta dia mengelamar duluan,

susah bagiku memikirkan,

sekarang begitulah kamu


29 [ 29 ]nene jani,

keto pet cai aturang.


96. Singgih sandikan sang nata,

kantun paduka nrepati,

lingira sang katong.

lah majalan cai mantuk,

asapunika aturang.

tur mamargi,

prapta tepining negara.


97. Pun Semar mangapak kapak,

andegang dewa mamargi,

nguda jawumang sang katong,

i dewa teka nyel tuyuh,

wireh tetakon i dewa,

raden dewi,

teka anak mambaanang.


98. Bagus Umbara ngandika,

deketo kaka mamunyi,

edeya kumandel reko,

mambeka tang raden galuh,

masa dane mambe anang,

mani-mani,

twa nye ira mambaanang.


99. I Semar alon angucap,

Jamun sapunika mangkin,

kangge yun i dewa reko,

saget sang prabu mamupu,

titiang nyurakin i dewa,

tandwa prapti,

mantuk ring ngayun sang nata.


100. Bagus Umbara ngaturang,


laporkan kepada raja.


Menyembah mengikuti sabda raja,

masih rapi di sana,

sabda raja,

kembalilah kamu utusan,

demikian dipersembahkan,

serta berjalan,

sampai di pinggir desa.


I Semar sekehendak hati,

berhentilah berjalan,

bagaimana mas kawin raja,

kenapa tuanku mau lelah,

karena calonnya tuanku,

tuan putri,

sudah dicalonkan.


Bagus Umbara berkata,

jangan demikian bicara,

jangan terlalu percaya kata orang,

mendapat putri raja,

tak mungkin beliau dapat (raja Metaum),

besok-besok memang dicalonkan aku.


I Semar berbicara pelan,

kalau begitu halnya,

terserah pada tuanku,

mungkin raja berhasil ,

hamba mentertawakan tuanku,

sampai datang, sampai pada raja.


Bagus Umbara


30
[ 30 ]pangandikan sri bupati,

mantri Koripan reko,

sampun nglamar raden galuh,

nanging dane kocap ilang,

sanya nawi,

benjang puwan dane teka.


101. Punika jerihin nida,

oka ring sameton jati,

ratu Metaum lingnya lon,

yennya teka memannuduk,

mapet mengalih majalan,

yennya tosing.

teka apang dane ica.


102. Jani buwin cai majalan,

matur ring ida sang aji.

aturang ja buka keto,

buka munyin mamane bawu,

Bagus Umbara mamarga,

sampun prapti,

ring Daha kalawan Semar.


103. Sedek sang prabu ring jaba,

Bagus Umbara yen prapti,

sang nata ngandika alon,

cai ko buwin rawuh,

Bagus Umbara manyumbah,

matur singgih,

titiang ko malih mareka.


104. Yen rawuh i dewa.

dane wangde seri bupati,

aminta sih ring sang katong,

yen tan rawuh dane durus,

manglamar anak i dewa.



mempersembahkan perkataannya kepada raja,

raja Koripan katanya,

sudah mengelamar tuan putri,

katanya beliau hilang,

mungkin barangkali,

besok atau dua hari beliau datang.


Itu yang ditakuti beliau,

putra pada saudara sungguh-sungguh,

raja Metaum sabdanya,

pelan kalau datang saya pungut.

ikut mencari jalan,

kalau tak datang,

supaya beliau izinkan.


Sekarang lagi kamu berjalan.

sembah kepada raja,

katakan demikian seperti kataku tadi,

Bagus Umbara berjalan,

sudah sampai,

di Daha beserta Semar.


Kebetulan raja di tempat penghadapan,

Bagus Umbara sampai,

raja bersabda pelan.

kamu lagi datang,

Bagus Umbara berkata.

daulat tuanku,

hamba datang lagi.


Kalau datang putra tuanku,

beliau batal tuanku raja.

minta dikasihani tuanku raja,

kalau tiada datang beliau


31

[ 31 ]sapunapi,

mangkin titiang mantes pisan.


105. Sang prabu angandika,

maman twara demenamplik,

kadi kayunne sang katong,

nduduk mantu ka Metaum,

lamun twara kebancana,

dening wargi,

apannya misannya katah.


106. Matur I Bagus Umbara,

nemangkin titiang mamasti,

yen durus ican sang katong,

pirawis titiange ratu,

tekening yen emas arta,

sawunggaling,

tekaning raja busana


107. Sidya jaga sarayata,

ratu ring Daha nyawurin,

maman twara nagih keto,

twara ko maman jumulut,

teken emas muwah arta,

maman mangkin,

mredi kedik teken ida.


108. Segara madu gunung menyan,

punika maman mamradi,

lamun suba ada ento,

jawatan prapuwan telun,

manggih ayau tujuwanga,

tur mabuncing,

maman ditu twah sukserah.



109. Keto cai jwa aturang,

pangiwidin mamane jani,

sandika nida sang katong,


jadi,

meminang putri tuanku,

bagaimana,

sekarang hamba minta putusannya.


Raja bersabda,

aku tiada menolak,

sebagai kehendak raja,

mencari menantu ke Metaum,

kalau tidak didahului,

oleh saudaranya,

karena saudaranya banyak.


Sembah Bagus Umbara,

sekarang hamba pastikan,

kalau jadi diberikan tuanku,

persyaratannya tuanku raja,

beserta harta emas,

hai patih beserta harta perhiasan.


Sekarang persyaratannya,

raja Daha menyahut,

aku tiada hendak itu,

aku tiada kepingin,

bersama emas serta harta,

sekarang permintaanku kepada beliau.


Lautan madu gunung menyan,

itulah kehendakku,

kalau ada itu walaupun besok lusa,

ketemu baik selamat,

segera dikawinkan,

aku serahkan putriku.


Demikian kamu persembahkan,

kemauanku pada beliau,


32 [ 32 ]titiang pamit ring i ratu,

tumuliglis mamarga ,

sampun prapti,

ring Metaum ring bancingah.


110. Sedek tinangkil sang nata,

I Bagus Umbara prapti,

sampun ida dasang katong,

memantu mangkin i ratu,

titiang sampunanantes pisan,

sri bupati.

wulat predi ring i dewa.


111. Ida sampun lintang ica,

tan wenten ida ngedepin,

nadyan temas arta reko,

tan wenten ida gumugut,

miwah ring raja busana,

sampun sami,

wenten reke ring sang nata.


112. Segara madu gunung menyan,

punika ida magwidi,

yen wenten punika reko,

ida ica ring i ratu,

idata lalis sukserah,

sapunapi,

mangkin pangrawos i dewa.


113. Sang prabu alon ngandika,

dijaha si maman ngalih,

cai petan ngalih reko,

buka kenken rupan ipun,

nah apang cai mabahan.

yening polih,

da cai mlali di jalan.


114. Tumuli yematur mamarga,



utusan menurut perintah raja,

hamba permisi tuanku,

segera kembali pulang,

sudah sampai,

di Metaum di istana.


Kebetulan raja dihadap,

Bagus Umbara sampai.

sudah beliau raja,

bermertua baginda sekarang,

saya sudah cocok,

tuanku rapi,

raja memerlukan sekali pada tuanku.


Beliau terlalu suka,

tidak beliau melarang,

walaupun emas dan harta,

tiada beliau memerlukan,

apalagi dengan pakaian kerajaan.

sudah semua ada pada beliau.


Lautan madu gunung menyan,

itu permintaan beliau,

kalau itu ada,

beliau suka dengan tuanku.

beliau akan serahkan bagaimana,

sekarang jawab tuanku.


Raja bersabda pelan,

di mana aku mencari,

kamulah mencari itu,

bagaimana rupanya,

ya biar kamu bawa,

kalau dapat,

jangan berbuat di jalan.


Serta sembahnya lalu


33

[ 33 ]I Semar tansah mangiring,

negarane sampun ejoh.

I Semar ature alus,

nguda misane webanga,

mani-mani,

dijaka olih i dewa.


115. Da i dewa milu ngwakang.

titiang tuwah purun miwalin,

msaceda i dewa lolong,

memotok mamanjak tahu,

Bagus Umbara ngandika,

mani-mani,

masih nira mamba hanang.


116. Ajwa ibuk kaka Semar,

ira nu manjeda bakti.

bwina tembe ulalunto.

apang liyu anak lulut,

lewih yen wong mangkana.

lanang istri,

apang enu kalulutan.


117. I Semar alon mangucap,

mangkin titiang dahat ngiring,

sisip antuk titiang reko.

ne mangkin titiang saturut.

nyeda bakti amiwikwan,

buwina polih,

apang titiang mangarurah.



118. Luh mwani olas ring titiang,

mwah dahane becik bedik ,

titiang manggalahang reko.

mang satus kepatsasur.

gumuyu Bagus Umbara,

tone ungsi,

milihin ne melah-melah.



berjalan.

I Semar mengiringi,

desanya sudah jauh,

I Semar sahutnya hormat,

kenapa sepupunya diberi.

besok-besok di mana dia dicari.


Tuan ku turut memberikan.

hamba berani melarang,

mencela tuanku bodoh.

terus mau mengabdi.

Bagus Umbara berkata,

besok-besok toh aku yang punya.


Jangan susah paman Semar,

saya masih bayar utang,

dan lagi baru melongong,

supaya banyak orang asih,

apalagi orang luaran,

putra-putri supaya masih setia.


I Semar bicara pelan,

sekarang hamba mengikuti,

salah hamba memikirkan,

seckarang hamba mengikuti,

empersembahkan bakti sedapatnya,

sampai dapat,

supaya hamba berkuasa.


Laki perempuan setia pada hamba,

serta pemuda-pemudanya baik-baik hamba bepergian,

sampai 135 hari,

ketawa Bagus Umbara,

yang dituju,

memilih yang baik-baik.



34
[ 34 ]119. Tumuli gelis mamarga,

jurang parung den lampahin,

hankeweh raga ke leson,

lit alas liwat gunung,

tumunggal manjinging alas,

sampun lami,

anusup ring giri wana.


120. Tan kocap Bagus Umbara,

ring Jawa wuwusan mangkin,

ana reko prabu kawok,

negara maring Jongbiru,

sang prabu dadi raksasa.

sampun bresih,

panjake sami katadah.


121. Cangkem kadi guwa menga,

irung kadi sumur kalih,

socane lwir surya roro,

siyunge ngasarang duwung,

byakta sang Kumbakarna,

samya serih,

tumon ring sang prabu yaksa.


122. Hokane mangkin kocapang,

raden galuh lintang sedih,

raris ka taman mangojog,

togoge jwa kukut-tukut,

wedakin raris pandusang,

jen wus dadi,

linggihang aturin dahar.


123. Henengakena ring Jawa,

ring Bali wuwusan mangkin,

sang prabu ring Daha reko ,

menari i nanak galuh,

nya i guru nunas ica,



Serta cepat berjalan,

jurang lembah dilalui,

serta payah dirinya dirasakan,

lewat hutan gunung,

serta masuk hutan,

sudah lama.

masuk di gunung·hutan.


Hentikan ceritanya Bagus Umbara,

di Jawa di ceritakan sekarang,

ada raja mahasakti,

negara Jongbiru,

raja menjadi raksasa,

sudah habis,

rakyatnya dimakan.


Mulutnya sebagai gua,

hidungnya sebagai sumur dua,

matanya seperti matahari dua,

taringnya mengalahkan surung (tajam ),

seperti sang Kumbakarna,

semua takut melihat raja raksasa.


Diceritakan anak beliau,

putri beliau amat susah,

lalu di taman menuju,

patungnya dielus-elus,

dibedaki dan dimandikan,

kalau sudah selesai,

didudukkan diberi makan.


Hentikan cerita di Jawa,

di Bali diceritakan lagi,

raja Daha diceritakan,

bertanya pada tuan putri,

ayah beliau mengharapkan


35

[ 35 ]nene jani ,

i dewa twah lebang bapa.


124. Ka Metaum ring sang nata.

nanak galuh sapunapi,

raden galuh matur alon,

wentenan hos titiang guru .

beli mantri ring Koripan.

dene ugi.

tan len wantah antos titiang.


125. Antuk dane durung teka.

nadyan swe titiang nganti.

sang prabu ngandika alon,

baang bapa boya rawuh ,

dane ilang sampun tawas,

boya dugi,

dane janten twara teka.


126. Raden galuh matura.

anembah angembeng tangis,

duh dewa guru sang katong,

kangge kayun i guru,

boya purun titiang piwal,

titiang pamit ,

tur mamargi ka pamreman.


127. Serawuhe di pamreman,

raden galuh ngandika aris,

Bayan agelara tilam,

winastuwan dena alus,

tur ida agagulingan,

sarwa nangis,

kangen tekening sang ilang.


128. Belli bagus ring Koripan,

boya dija beli malinggih,

dumadak i beli katon,

titiang kasrah ka Metaum ,



sekarang,

ananda akan dilepaskan.



Ke Metaum pada raja.

ananda bagaimana,

tuan putri menyembah,

perhatikanlah hamba tuanku.

kanda di Koripan,

hanya beliau yang hamba tunggu.


Karena beliau belum datang.

walaupun lama hamba tunggu ,

raja berkata pelan,

beri ayah bahaya datang,

beliau hilang sudah lama ,

tidak ketemu ,

beliau tentu tidak datang.


Tuan putri menyembah,

keluar air matanya,

duhai ayahanda tuanku raja,

sekehendak hati ayahku,

hamba tiada berani menolak.

hamba permisi,

serta pergi ke tempat tidur.


Setibanya di tempat tidur,

tuan putri berbicara pelan.

Bayan membuka tempat tidur,

disapu alus serta beliau,

mdnggulingkan diri serta menangis,

ingat kanda yang hilang.


Raden mantri Koripan ,

di mana kanda berdiam,

semoga kanda kelihatan . hamba diserahkan ke




36 [ 36 ]beli dingakin be titiang,

kene sedih,

boya wangde titiang pejah.


129. Nyabran dina sambat-sambat,

tantunamangangen kingking,

tan pendah padapan layon,

Bayan Sangit sami gupuh,

milu nangis alara,

sedih kingking,

raden dewi kusiya kusya.


130. Tan kocapannya ring Daha,

wuwusan rahaden mantri,

andarung lampahe reko,

liwat alas liwat gunung,

saget kapanggih pamrajan,

tur malinggih,

sareng kalawan pun Semar.


131. De Dukuh sagetan medal,

menyapa ature aris,

i ratu karawuh reko,

punapi karyan i ratu,

Bagus Umbara ngandika,

aduh kaki,

sun ingutus de sang nata.


132. Segara madu gunung menyan,

kapangandikayang,

ngalih,

dijaka ada reko,

bas kawidi baan sang prabu,

singnya kaki polih orta,

belih masih,

icangjani antuk sadya.



Metaum,

kanda lihatlah saya,

begini sedih,

tidak urung adinda meninggal.


Setiap hari menyebut-nyebut,

bertanya sampai sedih,

seperti orang mati.

Bayan Sangit semua sibuk.

turut menangis sedih ,

sedih susah,

Tuan Putri pucat pasi.


Sampai di sini diceritakan di Daha,

diceritakan sekarang Raden Mantri,

berlarut-larut jalannya,

lewat hutan dan gunung,

lalu bertemu pura,

serta duduk,

beserta I Semar.


De Dukuh keluar,

menyapa menyembah pelan,

tuanku datang,

apa kera tuanku,

Bagus Umbara berkata,

hai kakek,

saya diutus oleh raja.


Segara madu gunung menyan,

disuruhnya mencari di mana gerangan ada,

permintaan raja,

semoga kakek dapat berita,

kalau dapat saya sekarang mencari .


37

[ 37 ]133. De Dukuh masur manembah.

inggih titiang mamiragi,

wenten druwen putri kawot,

raden galuh ring Jongbiru,

nanging nadekane petan,

aduh kaki,

kenken baan madayanang


134. Ngulati apanga bakat,

juhke desannya kaki,

desane mahadan keto,

De Dukuh mesawur alus,

duh dewa ratu doh pisan,

selat pasih,

di Jawa genah punika.


135. Masandingan jemur jipang,

miwah panenggah masanding,

windu tingal jamin tara,

punika nyanding Jongbiru,

yen ida rawuh i rika,

lah tangarin,

sampun ugi ka bancingah.


136. Gurun dane yaksa kroda,

ring taman ratu marginin,

disuci madaging togog,

punika jujur i ratu,

togog mawarna i dewa,

ne asiki,

marupa ni ki Semar.

137. Yening dewa lespan prapta,

di suci raris malinggih,

gentosin togoge reko,

togoge kutang i ratu,

ilidang sampun benehang,

dewa gusti,

ilingang ja atur titiang.



De Dukuh menyahut sambil menyembah,

hamba dapat berita,

adalah kepunyaan putri sakti,

putri raja Jongbiru,

tapi bahaya sekali,

aduh kakek,

bagaimana akal agar dapat.


Mencari biar dapat,

jauhkah desanya kakek,

desa yang bemama demikian,

De Dukuh menyahut alus,

duhai tuanku jauh sekali,

lewat laut,

di Jawa tempatnya.


Dekat Jamur Jipang,

serta Penenggah berdekatan,

Windu Tingal Jamintara,

itu dekat Jongbiru ,

kalau tuanku sampai di sana,

hati-hatilah,

jangan ke istana.

Ayah beliau adalah raksasa akan marah,

di taman harus dilalui,

di situ berisi patung,

itulah yang dituju,

patung berupa tuanku,

yang satu berupa ini I Semar,

Kalau tuanku sudah sampai,

di situ terus duduk,

ganti patungnya itu,

patungnya dibuang.

sembunyikan yang baik,

aduh tuanku,

ingatkan pesan hamba.


38 [ 38 ]138. Tamurung didewa sadya,

manemu rahaden dewi,

nyabran mangangonin togog,

raden galuh sampun epuh,

ngayahin togog di taman.

Bayan Sangit,

tan tuna ngaturang tanah.


139. Bagus Umbara ngandika,

lamun tuwi keto kaki,

kantun kaki dini reko,

De Dukuh masahur alus,

inggih margi dewan titiang,

apang becik,

Bagus Umbara mamarga.


140. Andarung sampun rahadian,

I Semar andoh mangiring,

pamargine sampun adoh,

liwat alas liwat gunung,

prapta tepining segara,

katon mangkin,

pasar agung di pabeyan.


141. Manyujur prapta ring pasar,

gawok anake ninggalin pada mangrubung matakon,

wong punapi jrone rawuh,

yen pragusti yen pradewa,

cihna,

gusti ngandika ring titiang.


142. Duh dewa beli wong lara,

mangumbara uling cerik,

taninawang desa reko,

saget dini jani rawuh,

desa punapi adannya,

niki nyai,

masahut dagange dadua.




Tak luput tuan bahagia,

bertemu putri raja,

setiap hari memelihara patung,

sampai sibuk tuan putri,

meladeni patung di sana,

Bayan Sangit,

selalu mempersembahkan tenaga.



Bagus Umbara berkata,

kalau betul begitu kakek,

tinggallah kakek di sini dulu,

De Dukuh menyembah,

silahkan berjalan tuanku,

semoga selamat,

Bagus Umbara berjalan.


Menyeberang sudah raden mantri,

I Semar segera ikut,

jalannya sudah jauh,

lewat hutan gunung,

sampai di tepi laut,

pasar agung di Pabeyan.


Menuju ke pasar,

heran orang melihat,

semua berkerumun bertanya,

orang dari mana saudara datang,

apa bangsawan,

beritahukanlah kepada saya.


Aduh saudara saya orang miskin,

saya mengembara dari kecil,

tiada tahu nama desa,

sampai saya di sini sekarang,

desa apa namanya,

ini saudara,

sahut dagangnya berdua.


39

[ 39 ]143. Piyanak raden nene dadwa,

kenyung-kenyung ya mamunyi,

pabeyan lingsare reko,

I Bagus mangkin malungguh,

akeh dagang pada teka,

luh muani,

apan pinganan ngebekang.


144. Dauh telu sanghyang surya,

dagange kekalih paling,

I Bagus katuran reko,

tumben ngenot anak bagus,

akeh ngengsapin dagangan,

len pakisi,

ada bengong namping rawang.


145. Len teka sada pekas,

nyonyonnyane pagulabig,

lambine teked di batok,

matakon mepawang jujut,

cai wong apa,

ipan tumben dini,

nira wong ngumbara ipan.


146. Ne matakon manjujutang,

nikate punapin cai,

kakanira mirib reko,

manguda cangkeme biru,

teken cai nguda senglad,

bengkak bengkil,

matane masawang jenar.


147. I Semar masahut bangras,

melah bibi suba rawit,

nyonyonne entug ka bahok,

edeh galengang maturu,

dengaden awak melah,

kema mulih,

mekainawake jumah.



Raden mantri yang kedua,

senyum-senyum dia bicara,

Pabeyan daerahnya ini,

I Bagus sekarang duduk,

banyak dagang serta berdatangan,

putra-putri,

supaya sampai penuh.


Tengah 12 matahari,

dagangnya dua bingung,

I Bagus disuguhkan makanan,

baru pernah melihat orang bagus,

banyak lupa pada dagangan,

ada berbisik ,

ada heran menabrak kawan.


Berdatangan serba sembrono,

susunya mondar-mandir,

susunya sampai panjang,

bertanya bertopang dagu,

kamu orang dari mana,

baru ke mari,

aku orang mengembara.


Yang bertanya menegaskan,

yang pendek siapa,

itu kakakku,

mengapa mulutnya biru,

kenapa engkau lain,

bengkak-bengkok,

matanya seperti merah.


I Semar menyahut marah,

kamu sudah baik,

susumu panjang,

mari untuk bantal tidur,

jangan mengaku baik,

ke sana pulang,

bercermin dulu di rumah.


40 [ 40 ]148. Rame anake ngendekang,
ulaayune mahuntit,
nekepek makaade enjong,
pajengah-jengah nyarutcut,
melah kai manakonang,
tulah geleh,
iba Semar bungut ngedekang.


149. Ada malih tuwa,
mapunduh padanya cuplik,
subate icang hongoh,
atine nukadi ilu ,
mangedot sukane bajang,
senteng sugih,
kadi sruni wawu kembang.


150. Mabiyag pada nyatuwa,
nene daha-daha imbih ,
teka nene basang beyad,
mapeta nlektekang ditu,
katimun ya icang bangkag,
jenya kadi,
yaenyak icang enyak.


151. Sumingkinnya biyag-biyag,
di pabeyan kuma sisi ,
tan kocap punang gaguyon,
Bagus Umbara kewuwus,
tumurun raris mamarga,
ka pasisi,
manyorong jukung
panunggal.


152. Mabyur-byuran wong
pabeyan,
akeh anutuk ka pasisi,
ada labuh katempelok,
lendi bengawan macelempung,
rahaden mantri malayar,


Ramai orang mentertawakan ,
baik buruk berdampingan ,
segera pergi,
marah-marah segera pergi,
malah saya bertanya,
malah kaget,
karena Semar
mentertawakan.


Ada lagi yang tua-tua
berkumpul semua
bersesak-sesak,
walaupun saya tua,
hatiku seperti waktu muda,
kepingin hati waktu bujang,
sedang mekar,
seperti seruni mekar.


Berkerumun pada datang,
yang muda-mudi segera
tampil,
datang perutnya besar,
berkata memperhatikan,
walaupun saya jelek kalau
dia mau,
saya mau.


Semakin ramai,
di pesisir Pabeyan,
tiada hentinya lelucon,
Bagus Umbara tersebutkan ,
turun terus berjalan,
ke pesisir,
mendorong sampan
sendirian.


Heboh orang Pabeyan,
banyak turut ke pantai,
ada jatuh tersungkur,
ada jatuh di air,
raden mantri berlayar,
menoleh sampai jauh,


41

[ 41 ]tolih-tolih,

sayan ejoh lamat-lamat.

153. Luh mwani pada mangeang,
ada sedog ada nangis,
matambun pada
manyongkok,
mengulapin kauk-kauk,
ada mulih ada teka,
ka pasisi,
tan kocapa wong pabeyan.

154. Bagus Umbara kocapa,
liwat arungan mangkin,
sampun dane twara katon,
kesahihan Jawi sampun,
sampun tampek ring
pelabuhan,
mangkin prapti,
ring pasisi jamintara.

155. Tumurun dane ring paswan,
sedek De Bekung masisi,
ngaba pencar menyengkodot,
mamunyi teken ne eluh,
deh tampinane makejang,
kema mulih,
ira teduhane teka.

156. Ne luh mulih teked jumah,
ne mwani enu masisi,
manepukin anak roro,
De Bekung matakon alus,
gustine uli di jaha,
desan gusti,
baguse byanada pada.

157. Akeh mantri tawang titiang, byana kadi warnan gusti, asih hokan ratu kawot,

sayup-sayup.

Putra-putri semua mengingat,
ada tercengang ada menangis,
berkumpul serta jongkok,
melambai-lambai berteriak,
ada pulang ada datang,
ke pesisir,
demikian halnya orang
Pabeyan.

Bagus Umbara diceritakan,
lewat samudra sekarang,
sudah tidak kelihatan,
dekat Jawa sudah,
sudah dekat pelabuhan,
sekarang sampai,
di pantai Jamintara.

Turun dia di pelabuhan ,
sewaktu De Bekung di
pantai,
melemparkan jalanya,
berbicara dengan istrinya,
mari sirihnya semua,
ke sana pulang,
saya pergi ke sungai.

Istrinya sampai di rumah,
yang laki masih di pesisir,
melihat orang dua,
De Bekung bertanya halus,
tuanku dari mana,
desa tuanku,
bagusnya tak ada yang
menyamai.

Banyak putra mahkota saya kenal tak ada seperti rupa tuanku,

42 [ 42 ]mantrine di Bali bagus,
okan ratu ring Koripan,
kocap pekik,
byana ada kocap ada.

158. Nanging byana titiang
nawang,
raden mantri ring Bali,
sakewala orta reko,
tutur anak uli ilu,
Bagus Umbara ngandika,
tahu kaki,
yen ortane sapunika.

159. Matututan anak dadua,
gawokne lungiwasin,
nyen cai anake ento,
suka duka rupanipun,
de nyai keto mapeta,
sedah alih,
nenjahan nyai mapeta.

160. Sampun kaaturan sedah,
raden mantri ngajeng raris,
De Bekung elud di pawon,
mangawukin nene kakung,
maiki cai endenan,
nene mwani,
ka pawon raris manyogjog.

161. Nene eluh manteg paha,
lawut ya makisi kisi,
wong ngapa anake ento,
buka dewane tumurun,
ne mwani ngorahin kanda,
aduh nyai,
eda nyai jani wera.

162. Dane uli di Koripan,

musti anak raja,
utama,
putra mahkota di Bali bagus,
anak raja di Koripan,
katanya bagus,
tak ada yang menyamai.

Supaya saya tahu,
putra raja di Bali,
katanya berita,
ceritanya dari dahulu,
Bagus Umbara menjawab,
benar kakek,
kalau kabarnya demikian.

Diikuti orang dua,
heran orang melihatnya,
siapa orang itu,
suka duka rupanya,
jangan demikian bicara,
cari sirih sebentar kamu
bicara.

Sesudah diberi sirih,
tuanku terus santap,
istri De Bekung di dapur,
memanggil yang laki,
ke mari dulu segera,
yang laki,
ke dapur terus cepat.

Yang perempuan memukul
paha,
serta berbisik-bisik orang apa
orang itu,
seperti dewa turun,
yang laki memberi akal,
hai kamu,
jangan sekarang ribut.

Beliau dari Koripan,

43 [ 43 ]okan ratune di Bali,
pangandikan dane reko,
olih alit dane lampus,
ideh-idih mangumbara,
nene jani,
dane nagih duduk piyanak.

163. Ne luh sukane liwat,
ne mwani mamantes munyi,
eda nyai cacelodoh,
mangayahin okan ratu,
di daharan apang melah,
apang resik,
eda lemah magarapan.

164. Ne eluh alon mangucap,
sinya dane mambelasin,
tosing dane luwus reko,
ne eluh madewa ratu,
suka tuwah nira mamanjak,
mangayahin,
ira suka mejang karya.

165. Ne eluh epot manyakan,
bikase tuhu aresik,
lebeng raris nyagi epot,
daharanga sarwa alus,
nyandung nyandang ajengan,
wong menak,
sai-sai,
lemeng lemah kaaturan.

166. Sekate jani mangraksa,
manduduk rahaden mantri
sayan sugih jani reko,
twara kurang pangan
kinum,
lewih penganggone

putra raja di Bali,
menurut kata beliau,
dari kecil melarat,
minta-minta mengembara,
sekarang beliau minta
dipungut sebagai anak
angkat.

Yang perempuan amat suka,
yang laki memberi petunjuk,
jangan kamu sembrono,
meladeni anak raja,
makanan supaya enak,
agar bersih,
jangan kendor bekerja.

Yang perempuan pelan
bicara,
barangkali beliau berpisah,
tiada beliau pergi,
yang perempuan heran,
suka sungguh saya
mengajak,
meladeni,
saya suka menaruh
pekerjaan.

Yang perempuan repot
meladeni,
caranya sungguh bersih,
mateng terus menyiapkan,
makanannya serba halus,
meladeni orang bangsawan,
setiap hari,
siang malam disediakan.

Mulai dipondoki sekarang,
dapat pungut putra raja,
sekarang rasanya agak kaya,
tidak kurang makanan,
serta pakaiannya baik,
sudah sekarang dua bulan

44 [ 44 ]bungah,
sampun mangkin,
kalih sasih banya kraksa.

167. Gelis mentoh desa-desa,
kocapa De Bekung polih,
mandududuk pyanak reko,
buka dewane manurun,
ne asiki bocok pisan,
bengkek bingkik,
sampun kalumbrah di Jawa.

168. Akeh anak makisiyang,
luh mwani tedun
mangintip,
buduh pradahane reko,
De Bekung sampun tuyuh,
ngalihang pisaga sedah,
sai sai,
twara telah anak teka

169. Ada tali teken umah,
nene pongah mamaekin,
nene edalem manangejoh,
pakenehe sampun anyud,
katekan mangebus baang,
lawut paling,
molih tong katepuk marga.

170. Tan kocapa wong kedanan,
wenten sampun pitung
sasih,
De Bekung mangundul reko,
kaweka baan De Bekung,
lumrah jani ka jro pura,
kocap mangkin,
De Bekung manuduk
pyanak.

171. Sang prabu raris ngandika,
De Bekung lawut mariki,

memelihara.

Cepat terkabar ke desa-desa,
ceritanya De Bekung dapat,
memungut putra seperti
dewa turun,
yang satu jelek sekali,
amat jelek,
sudah tersebar di Jawa.

Banyak orang membisikkan,
putra-putri datang
mengintip,
gila perempuannya,
De Bekung payah
mencarikan masyarakat
sirih,
setiap hari tidak
habis-habisnya orang
datang.

Ada lupa dengan rumah,
yang tiada malu mendekati
yang malu menjauh,
tetapi pikirannya hanyut,
sampai sumuk keringatan,
serta bingung,
pulang tiada tahu jalan.

Banyak orang tergila-gila
ada sudah 7 bulan,
dipungut oleh De Bekung,
dipakai anak De Bekung,
terdengar ke istana,
diceritakan sekarang,
De Bekung memungut
putra.

Raja bersabda,
De Bekung dipanggil,

45 [ 45 ]lingira sang katong,
mai te iba De Bekung,
sig kaine dini negak,
ada munyin,
kai jani teken iba.

172. De Bekung matur
manembah,
punapi karyane nrapati,
ngandikayang titiang
reko,
sang prabu alon amuwus,
ada twahnya gawen nira,
sada gati,
kai yenya dingeh horta.

173. Iba nuduk pyanak daduwa,
bagus reka ne adiri,
ne aukud reko bocok,
De Bekung anembah matur,
wyakti ratu sapunika,
kema mulih,
ajak mai maka dadua.

174. Sandikan ida sang nata,
titiang ne mangkin
mapamit,
kema enggal-enggal reko,
De Bekung mantuk
nyarutcut,
tan kocapanya di jalan,
tampek mangkin,
ring yumahnya gagelisan.

175. Bagus Umbara kocapa,
sampun dane ati-ati,
nguda i kaki mekelo,
De Bekung mawuwus alus,
atin titiange makesyab,
mirib ganjih,
i dewa mangkin ring titiang.

176. Sagetan De Bekung teka,

sabdanya beliau raja,
ke mari kamu Bekung,
di sini ikut duduk,
ada pembicaraan,
aku kepadamu.

De Bekung menyembah
berbicara,
bagaimana kerja hamba,
menyuruh hamba sekarang,
raja pelan bersabda,
ada suruhanku,
agar segera,
aku mendengar berita.

Kamu memungut anak dua,
bagus seorang,
yang satunya jelek,
De Bekung menyembah,
benar demikian,
ke sana pulang,
bawa ke mari keduanya.

Sabda raja dituruti,
saya sekarang permisi,
kembali segera,
langsung De Bekung pulang,
tidak disebutkan di jalan,
sudah dekat,
di rumahnya ramai sekali.

Diceritakan Bagus Umbara,
sudah beliau berhati-hati,
mengapa kakek lama,
De Bekung menyahut pelan,
hati saya terkejut,
barangkali lepas,
tuanku dengan hamba.

Tiba-tiba De Bekung



46
[ 46 ]meluk ewan nyagjagin,

kenken kayune sang katong,
pasedeg sedegne kakung,
katunggahin tani hagya.
gustin nyai,
ajak reko ka bancingah.


177. Kandugi ngembeng yeh
mata,
De Bekung eluh muwani,
duh bibi maman da keto,
sadya nira ngalih prabu,
apang karwan ane kuma,
nene tani,
ento twah sadyang nira.


178. De Bekung luh mwuni
nyumbah,
sandikan gusti masmanik,
redah kaki mati ke roro,
sekepang mencar satuhuk,
sareng kaki polih katah,
sai-sai,
De Bekung luh mwani suka.


179. Lamun kaki ngantiyang
luwas,
mamencar iya butitit,
De Bekung manggap alon,
nunas titiang dewa ratu,
i dewa micayang bagya,
cihna mandi,
dumadak titiang manggelah.


180. Tumulih raris mamarga,
De Bekung mwani rumiyin,
ne eluh di jumah bengong.


datang,
serta didatangi istrinya,
bagaimana kehendak raja,
yang laki terengah-engah,
sepi rasanya ditinggal,
tuan kita,
diminta ke istana.


Sampai mengeluarkan air
mata,
De Bekung laki perempuan,
hai hibi janganlah demikian,
sebenarnya aku mencari
raja,
supaya jelas beliau
memperhatikan,
kepada rakyat,
itu aku harapkan.


De Bekung laki perempuan
menyembah,
hamba seturut sayangku,
gembiralah kakek
keduanya,
istilah penjagaan diri,
ikut kakek rejeki banyak,
setiap hari De Bekung laki
perempuan gembira.


Kalau kakek nanti
berangkat,
menjala barang itu dibawa,
De Bekung menerima pelan,
berilah hamba tuanku,
tuanku memberikan hamba
bahagia,
alamat baik,
semoga hamba kaya.


Mulailah dia berangkat,
De Bekung laki duluan,
yang perempuan di rumah


47

[ 47 ]kelap-kelap sang abagus,

tan kocapa nya ring umah

tampek mangkin,

bancingahe sampun ngenah.


181. Liu anake bepapag,

pada gawok maningalin,

benehke karsane keto,

De Bekung mapyanak bagus,

warnanne lwir sanghyang Semara,

manis bangkit,

Pantes pikul ban joli mas.


182. Sangkannya ortane lumrah,

ka jaba raris ka puri,

akeh anak pesu ninjo,

di margane mabiyayu,

kapikeneko rupania,

kudyang jani,

aneka ya pada gunap.


183. Sampun prapta ring bancingah,

sang prabu mendaking liring,

tumuli ngandika alon,

cai ko yen ban rawuh,

maimang raris menekan,

makakalih,

dini bareng teken bapa.


184. Bagus Umbara mamindah,

banggayang titiang i riki,

irika ida katong sang katong,

sang prabu gipih turun,

sareng malungguh ring


tercengang,

kian lama kian jauh,

tak diceritakan di rumah,

sudah dekat,

istana sudah kelihatan.


Banyak orang berpapasan,

semua heran melihat,

patutlah kehendaknya demikian,

De Bekung berputra bagus,

rupanya seperti dewa cinta,

bagus rupawan pantas

dipikul dengan singgasana emas.


Makanya kabarnya tersebar,

di istana terus ke keraton,

banyak orang keluar meninjau,

dijalan heboh,

beginilah rupanya,

diapakan sekarang,

semua orang serba heran.


Sudah sampai di muka istana,

raja mengikuti dengan pandangan,

serta bicara pelan,

hai datanglah kamu,

mari duduk di sini,

keduanya di sini duduk bersama.


Bagus Umbara menolak,

biarlah hamba di sini,

di sana beliau raja,

raja segera turun,

ikut duduk di lantai,

pegawai istana semua turun.


48
[ 48 ]natar,

para mantri,

pradewa sami tuhunan.


185. Lungguhe sami ring natar,

gawok mantrine ningalin,

pradewa lawan sang katong,

patih gawok padandulu,

sampun kaorta ka pura,

raden mantri,

sampun dane ring bancingah.


186. Akeh wong jro ka jaba,

jejel ring lawang ningalin,

selagan batis manengok,

ada menek tembok ulung,

tampihnyane singsal ngenah,

ada ilid,

tong mabaan

mangawasang.


187. Ada lawut maibukan,

saling suwal saling titig,

ketakes tangise reko,

saung getel saling suwuk,

pada ngulahang menawang,

ada ngeling,

ada labuh suwuk rowang.


188. Sang prabu lingira ngucap,

boya bapa ada uning,

eda Bagus nyalah raos,

bapa tuwah matakon tuhu,

cai te uli dijaha,

gurun cai,


Semua duduk di lantai,

heran pegawai istana melihat,

kaum bangsawan beserta raja,

semua patih heran,

sudah sampai berita ke istana,

putra raja sudah sampai di muka istana.


Banyak orang keraton keluar,

penuh sesak di pintu gerbang,

sampai di sela kaki menengok,

ada naik tembok jatuh,

sampai kain dalamnya kelihatan,

ada sembunyi,

tiada dapat melihat.


Ada yang bertengkar,

saling debat saling pukul,

menahan tangis,

berimpit-impitan,

semua ingin lihat duluan,

ada nangis,

ada yang ditabrak kawannya.


Raja bersabda,

supaya aku tahu,

terus terang ngaku,

aku bertanya sebenarnya,

kamu dari mana,

ayahmu barangkali


49

[ 49 ]singnya kari wargan bapa.


189. Bagus Umbara angucap,

boya titiang anak singgih,

ti tiang wong kelaran reko,

saking alit titiang lampus,

tani nawang meme bapa,

krama paksi,

sing jalan titiang petengan.


190. Lintang kangenne sang nata,

mangrungu ujar twan

mantri andegang nuturan reko,

kangen san bapa ngarungu,

balik lamun cai suka,

sane jati.

dening bapa putung pisan.


191. Cai anggon bapa pyanak,

minaka sekar negari,

apa ja kayunne reko,

cai manyakra negantun,

apaja yen cai kurang,

nadyan putri,

okan ratune utama.


192. Yen cai suka ken bapa,

bapa lamaranga cai,

putri okan ratu kawot,

melahe suba mamuput,

akeh pra mantri ngarepang,

tur mamadik,

brahmana muwah para dewa.


193. Ada sampun karo blah,

mangelamar tan katampi,

pemuput pencade reko,

rahaden galuh ring


keluarga aku.


Bagus Umbara berkata,

bukannya hamba orang bangsawan,

hamba orang menderita,

dari kecil hamba melarat,

tiada tahu ayah bunda,

sebagai burung,

di jalan-jalan hamba menginap.


Raja amat kasihan,

mendengar percakapannya,

berhentikan bercerita,

kasihan aku mendengar,

kalau kamu mau,

sungguh-sungguh aku tiada anak.


Kamu aku pakai anak,

sebagai bunga negara,

apa kehendakmu,

kamu memegang negara,

apa kekuranganmu,

walaupun jadi,

anak raja utama.


Kalau kamu mau menurut,

aku melamarkan kamu,

putri anak raja utama,

kebaikannya amat sempurna,

banyak pegawai istana mendekat,

serta meminang,

dan para bangsawan


Ada sudah seratus lima puluh,

melamar tiada diterima,

putri raja di Jongbiru .


50
[ 50 ]

Jongbiru, di Jawa byana depada, bawu aji. gurune dadi raksasa.

tiada ada menyamai pandai, ayahnya menjadi raksasa.

194. Bagus Umbara mangrasa, yen gucap maring ati, tuhu twah prabu kawot, pangandika darma alus, nyandang twah genah nyawita, lemah wengi, umatur Bagus Umbara.

Bagus Umbara merasa, berbicara dalam hati, sungguh raja utama, perkataannya sabar pelan, pantas hamba tempat mengabdi, siang malam, sembah Bagus Umbara.

195. lnggih ratu sri narendra, titiang jerih sri bupati, titiang wong tani kelaran, setata ko titiang lacur, kedep titiang mamisuna, ratu singgih, titiang daweg mindah pisan.

Ampun tuanku paduka raja, hamba takut paduka, hamba orang tani menderita , selalu hamba miskin, supaya hamba tiada berbohong, tuanku terhormat, hamba minta maaf sekali.


196. Putrane mangkin wuwusan, made taro aran neki, ring lawang angadeg reko, jejel wong jero supenuh, samya mangabih rahadiyan, sri bupati, saget ida macingakan.

Anak beliau diceritakan, bemama Made Taro, di pintu gerbang berdiri, penuh orang-orang istana, semua menoleh mendekati dia, tuanku raja tiba-tiba menoleh.

197. Tumulih raris ngandika, made taro kema mulih, matur gelisang ka jero, rakan nyai tunden nuburig, hokanne gelis ka pura, sampun prapti, kaaturang riang rahadiyan.

Lalu beliau bersabda, Made Taro ke sana pulang, menghadap ke istana, kakakmu disuruh ke mari, putrinya lekas ke keraton, sudah sampai, disampaikan kepadanya.

198. Made Taro matur nembah, rarika mwah pramiswari,

Sembah Made Taro, bundaku sang permaisuri,


51

[ 51 ]wenten tamyu diwang roro,

I Nawang Tranggana rawuh, sri pramiswari ngandika mirah gusti, ka jaba mambakta sedah.

ada tamu di muka dua orang, I Nawang Tranggana datang, permaisuri bersabda, hai anakku, keluar membawa sirih.

199. Guru haji ngandikayang, enggalang manubung mangkin, Nawang Tranggana hugnya lon, titiang mindah ring i guru, ka jaba membata canang, wyakti dening, titiang wawu katekayan.

Ayah baginda menyuruh, siapkan sirih segera, I Nawang Tranggana berkata pelan, hamba tiada mau disuruh ayahanda, keluar membawa sirih, sungguh benar, saya disuruh memberi tahu.


200. Inggih tiang bales pisan, byana titiang pacang mludih, iyadi jani petkonkon, titiang tuwah kelutang takut, kaketeye alapisan, yan twah mijil, tan urung manggih bancana.

Hamba membalas sekali, biar saya tiada baik, adik saya akan suruh, saya amat takut, kelihatan alam sekali, kalau keluar, tiada urung halangan.


201. Sami jerih ka bancingah, sang prabu manganti-ati, hokanne sami di jro, kocap di bancingah nungsur, pra mantri ngaturang canang, sri bupati, tumulih adan bawahan.


Semua takut keluar, tuanku raja menunggu-nunggu, Anakda semua di istana, ceritanya di muka istana ramai, pegawai keraton mempersembahkan sirih, tuanku raja, serta menawari sirih.


202. Lah ajengah bagus canang, nunas titiang sri bupati, wus ngajengang sedah reko,


Silakan makan sirih, terima hamba tuanku raja, sehabis makan sirih,


52
[ 52 ]bagus umbara kawuwus,

dane ngawe ekan-ekan,

tur ya siddi,

dadi yanya gring kadadak.


203. Dadi para jani sungkan,

raris matur ring nrapati,

duh dewa aratu sang katong,

penyakit titiange rawuh,

raris titiang ngutahang rah,

mangda sedih,

tambah-tambah titiang pejah.


204. Bayu tunas sabda ilang,

I Semar manjerat-jerit,

maguyang ya dahong-dahong,

rusak ko mangkin niratu ,

kija kaku ngalih baliyan,

jawat dini,

twara titiang nawang anak.


205. Katunggalin tani bagya,

titiang dewa namplak sakit,

yene selat pasih reko,

joh geringe masih nutug,

tahu anak di bancingah,

iba ge ring,

kema ke batune pakpak.


206. Lamun iba gering layah,

pipihianra menyakitin,

lamu n iba pati kolkol,

gulinge garangin ditu,

batune tegarin uyak,

ya sakitin,

sepalaning iba layah.


207. Cai mantri gustin titiang,

dumadak i dewa urip,


diceritakan Bagus Umbara,

dia membuat akal,

serta mandi/ampuh

membuat sakit mendadak.


Seketika sakit,

sembah kepada raja,

aduhai tuanku raja,

sakit hambba datang,

serta hamba mntah darah,

supaya sedih,

hampir-hampir hamba mati.


Tenaganya habis suaranya hilang,

I Semar ketolong-tolong,

berguling-guling di tanah,

bahaya tuanku,

ke mana minta cari dukun,

walaupun selir,

saya tiada tahu siapa-siapa.


Sendirian menderita,

hamba kedatangan sakit,

dari seberang lautan,

jauh sakitnya juga turut,

kebetulan di muka istana,

kamu sakit,

ke sana batunya digigit.


Kalau kamu sakit lapar,

pilihlah menyakiti,

kalau sembarang makan,

bantae gulingnya disakiti dulu,

batunya coba digarap

ia sakiti,

jangan -jangan kamu lapar.


Kamu hai junjungan hamba,

semoga tuan hidup,


53

[ 53 ]mangeling bungute ngetor,

akeh patih mantri kenyus,

nanging pada sasiliban,

pada jerih,

manawi wruh sang nata.


208. Sang prabu gusuh manyandang,

mengembeng waspa anangis,

mamacekin tangan karo,

manggarapin bayu agung,

bayun dane sampun susyah,

sri bupati,

ngandika nedunang balyan.


209. Akeh balyan pada teka,

ka bancingah luh mwani,

ada nglocok klesak-klesak,

ada ngadut ubi tunu,

pasepak-sepak majalan,

ada be1ing,

ada engos marantaban.


210.Sang prabu sruha ngucap,

enggalang mai garapin,

balyane hehep pajongkok,

ada telung dasa telu,

magehit mamecik tangan,

dewa gusti,

puniki gelisang sembar.


211. Puniki manahang titiang,

yan sisip antuk akidik,

batang titiang rusak reko,

kekayanan sendeh ratu,

bayu agung sawang tuna,

sri bupati,

gupung ngandikayang nyembar.


212. Liu ngalih pacang sembar,


komat-kamit mulutnya gemetar,

banyak pegawai keraton kasihan,

tetapi tiada kentara,

semua takut,

barangkali tahu raja.


Raja repot mengundang,

keluar air mata menangis,

memijit tangannya keduanya,

memberi tenaga besar,

hatinya sudah susah,

sang raja,

berkata memanggil dukun.


Banyak dukun datang,

ke istana putra-putri,

ada makan sirih,

ada bawa ubi panggang,

sambil makan berjalan,

ada bunting,

ada amis berkeliaran.


Raja repot bersabda,

segera kemari obati,

duduknya semua jongkok,

ada tiga puluh tiga orang,

ada mijit-mijit tangan,

duhai Tuhan ini cepat disembur.


Ini hamba tafsir,

kalau selip sedikit,

sakitnya keras,

bagaikan tumbuh-tumbuhan akan rebah,

tenaganya besar berkurang,

tuan raja segera menyuruh menyembur.


Orang banyak mencari obat,


54
[ 54 ]pranyaine akeh mijil,

ayu-ayu anom-anom,

sampun pada makpak simbuh,

Bagus Umbara ngandika,

nanging gigis,

wangdeyang mangkin menyembar.


213. I Semar matur manyembah,

wigih pisan sri bupati,

panyung kan danene reko,

yen wenten anak i ratu,

rahaden galuh utama,

nika mangkin,

nyembar nawi dane kenak.


214. Sang prabu raris ngandika,

Bayan enggalang ka puri,

marek raden galuh roro,

tunden pada mai pesu,

horahang kai kewehan,

ring sang putri,

ring pramiswari aturang.


215. Ken Bayan gupuh ka pura,

lahut ya malaib-laib,

sampun prapta ring jro pura,

parek ring rahaden galuh,

gelis angratu kajaba,

sri bupati,

ida kalintang kewehan.


216. Muwah biyang cokoridewa,

apang ida sareng mijil,

pangandikan de sang katong,

pacang reko manyembar tamyu,

panyungkane banget pisan.


putri-putri banyak keluar,

cantik-cantik muda-muda,

semua serba bawa obat,

Bagus Umbara berkata,

tapi kecil,

urungkan sekarang menyembur.


I Semar sembah bicara,

sibuk sekali tuan raja,

sakit dia katanya,

kalau ada putri tuanku,

tuan putri itu sekarang,

menyembur barangkali beliau sehat.


Tuanku raja lalu bersabda,

Bayan segera ke istana,

menghadap tuan putri keduanya,

suruh keduanya keluar,

bilang aku susah,

pada tuan putri,

kepada permaisuri bilang.


Bayan segera ke istana,

menyahut sambil berlari-lari,

sudah sampai di istana,

menghadap tuan putri,

segea tuan putri keluar,

tuanku raja,

beliau amat susah.


Beserta ibu tuanku,

supaya beliau turut keluar,

sabdu raja,

disuruh menyembur tamu,

sakitnya keras sekali,

dari tadi,

kaget berbulik-balik.


55

[ 55 ]uling tuni,

makcsyabe busan busan.


217. Nawang Tranggana ngandika,

mada Taro kema mijil,

matur ring i guru reko,

embok keteyan tamyu,

aturang embok mamindah,

poma nyai,

rahine gelis ka jaba.


218. Sapraptane ring bancingah,

Ken Bayan Sangit mangiring,

mamarek gurune reko,

gurune ngandika alus,

nyai mas dewan i bapa,

ngidep munyi,

apang nyai jwa manyembar.


219. Biyang nyai kaicalan,

rakan nyai tosing mai,

mangudiyang reko di jero,

nyai jani apang tuhu,

marerama teken bapa,

anak nyai,

kawidi pacang manyembar.


220. Yaning cai guru aji,

titiang mindah ring,

sang katong,

manyembar datengan bagus,

dening titiang kari daha,

sinya nawi,

anggen titiang mangkin salah.


Nawang Tranggana bicara,

Made Taro ke sana keluar,

scmbah pada tuanku raja,

kelak kedatangan tamu,

bilang kakak menolak,

adindalah,

adiknya cepat keluar.


Sesampainya di muka istana,

beserta Bayan Sangit mengiringkan,

mendekat sang raja,

ayah baginda berkata pelan,

anak kesayanganku

menurut bicara,

supaya ananda menyembur.


Ibu ananda kehilangan,

kakakmu tiada datang,

mengapa di istana,

supaya ananda tahu,

bertimbang dengan baginda,

hanya ananda diminta

supaya menyembur.


Kalau kamu guru pengajaran,

hamba menolak kepada raja,

mengobati untuk I Bagus,

karena hamba masih gadis,

barangkali,

menyebabkan hamba salah.


56
[ 56 ]221. Sang prabu sawang duka,

guru dini mangayunir,

sandin i guru reko,

raris makire manyimbuh,

Bagus Umbara mamindah,

sampun mangkin,

i dewa manyembar titiang.


222. Wau weruh rakan i dewa,

titiang suka mangawenin,

kema Ken Bayan ka jro,

made Taro nyembah matur,

embok dane katekayan,

mantri patih,

kenyus pada mangelinang.


223. Lamun buka keto saja,

kudyang bapa nunden mai,

baliyane matur alon,

tan liyan twah anak i ratu,

dane dapuri makenakan,

seri bupati,

ngandika dane pet cingak.


224. Engken ja mangkin kayunang,

misan mindon nya twah dini,

raden mantri sahur alon,

kadi nene dumun-dumun,

yan sang putri ngraja swala,

nika sidi,

sering pisan manacosang.


Raja seperti marah,

sudah ayahanda pikirkan,

dekat ayahmu pula,

lalu mulai mengobati,

Bagus Umbara tak mau,

teruskan searang,

tuan putri mengobati saya.


Baru tahu kakak tuan putri,

hamba mau menjalani,

ke sana Ken Bayan ke istana,

Made Taro sembah berkata,

kakek yang disuruhnya,

patik dan pegawai istana,

mesem penglihatannya jauh.


Kalau benar demikian,

bagaimana baginda menyuruh datang,

dukunnya sembah pelan,

tak lain hanya putri baginda,

yang di istana menyehatkan,

tuanku raja bersabda

di sini melihatnya.


Yang mana sekarang dikehendaki,

misan dan sepupunya sudah di sini,

tuan putra menyahut alus,

seperti dahulu -dahulu

kalau tuan putri akilbalig,

itu mandi,

kerap kali menyembuhkan.


57

[ 57 ]225. Kema Ken Bayan ka pura,

Nawang Tranggana aturin,

i Bayan gelis ka jero,

sapraptane raris matur,

gelisang dewa ka jaba,

sri bupati,

idane mangkin kewehan.


226. Nadyan sih i dewa ngraja,

tamyune lewating predi,

gensisi putri cute reko,

sambil gumuyu umatur,

punika siddi manyembar,

raden dewi,

semu kenyung wruhing cita.


227. Sang prabu masawang duka,

di jaba sekelilinghiking,

Nawang Tranggana lingnia lon,

endcp suba kai tahu,

bikas danene di jaba,

mangrawosin,

buwin ngalih juru sembar.


228. Dening ya tamyune sungkan,

sangkan kai twah kawidi,

liyu di bancingah reko,

misan mindon kai ditu,

masih twara kanggo nyembar,

anak kai,

suba tahu teken kanda.


229. Ken Bayan gawoke liwat,

bikase di jaba sami,


Ke sana ke istana,

I Nawang Tranggana dibilangi,

ibunya semua ke istana

sesampainya lalu matur,

cepat ananda keluar,

tuanku raja,

adikmu kesusahan.


Walaupun tuan putri akilbalig,

tamunya amat perlu,

putra penghubung katanya,

sambil tertawa matur,

ini mandi mengobati,

tuan putri,

mesem tertawa tahu akal.


Raja seperti marah,

di luar jengkel susah,

Nawang Tranggana katanya pelan,

diamlah aku tahu,

tindak-tanduk di muka istana,

membicarakan,

lagi mencari yang mengobati.


Karena tamunya sakit,

hanya aku yang diminta,

banyak orang di muka istana,

saudara sepupu banyak di sana,

tiada terpakai menyembur,

aku telah tahu akalnya.


I Bayan amat heran,

tindak-tanduk di muka


58
[ 58 ]kotonang uli di jro,

terus tinggale mapuput,

mirib ada mangorahang,

saking widi,

makrana makejang tawang.


230. Wuwusan sira sang nata,

sampun ida ati-ati,

nguda sangkannya mekelo,

kema nawang taro ruruh,

rakan nyai ne enggalang,

tunden mai,

okane gelis ka pura.


231. Sapraptane maring pura,

rakane manduwunin,

kapi nyai ngalih embok,

keneh embok jani pesu,

margi embok lah gelisang,

singnya nawi,

i guru gelisan duka .


232. Embok twara yen piwal,

embok matakon ring nyai,

nyai neditu makelo,

ken warnanya i ditu,

kalih embok polih orta,

teken nyai,

kenake baan nyai nyidra.


233. Subake nyai nakonang,

miwah ida guru aji,

wang ngapatamyune reko,

rahine maatur alus,


istana,

semua kclihatan dari istana,

terus akalnya sudah matang,

barangkali ada yang membilang,

dari Tuhan,

makanya semua diketahui.


Mudahnya sang raja,

sudah beliau hati-hati,

mengapa lama,

ke sana Nawang Tranggana cari,

kakakmu cari cepat-cepat,

suruh ke mari,

ananda cepat ke istana.


Sesampainya di istana,

kakak nya mendahului,

walaupun adinda mencari kakak,

memang kehendakku sekarang keluar,

mari kakak cepat-cepat,

barangkali,

baginda ayah lekas marah.


Kakak tiada berani nolak,

kakak bertanya padamu adinda,

kamu di sana lama,

bagaimana rupanya di sana,

biar kandamu mendapat berita,

pada adinda,

bisa adinda menafsir.


Sudahkah adinda menanyakan,

walaupun pada baginda raja,

orang apa tamunya itu,


59

[ 59 ]titiang jerih manakonang,

yen prabu bak sudra byanada karuwan.


234. Munyinnya anak ngumbara,

i guru nuni nakonin,

rakane ngandika alon,

prisangsan i nyai pesu,

embok kadi twara kema,

mangenotin,

embok maluwan manawang.


235. Embok ne jani ngorahang,

kandonnyane teka mai,

mantri Koripanne ento,

mamisan teken imlayu,

nyai depisan ngwerayang,

apang silib,

apang da anak manawang.


236. Eben mgaku umbara,

linyoknyane tidong gigis,

mengaku kelaran reko,

nganistayang okan ratu,

matetayon putri Daha,

nguda mahi,

ke Jawa mangelanglang karma.


237. Di Metaum ya ngaula,

ada suba tigang sasih,

kandannya ne nyai keto,

prabu Metaum mangutus,

manglamar putri ring Daha,

sri bupati,

ring Daha tur dane cihna.


238. Ento mula kagelannya,

bantanyune dewang sakit,


adiknya sembah bicara alus,

adinda takut menanyakan,

barangkali raja Bali,

orang kebanyakan agar terang.


Katanya orang mengembara,

ayahanda tadi menanyakan,

kakaknya berbicara pelan,

ragu-ragu adinda keluar,

kakak seperti tiada ingin ke sana,

melihatnya,

kakak duluan tahu.


Kakak sekarang membilang,

akalnya datang ke mari,

itu adalah putra raja Koripan,

sepupu dengan Imlayu,

adinda jangan meributkan,

supaya tak diketahui,

supaya tak ada orang tahu.


Mengakunya mengembara,

bohongnya amat besar,

mengaku melarat katanya,

menistakan anak raja,

disediakan putri Daha,

mengapa ke mari,

ke Jawa mencari jodoh.


Di Metaum dia mcngabdi,

ada sudah 3 bulan,

akalnya begitu ,

raja Metaum mengutus,

melamar putri Daha,

tuan raja,

di Daha memberi alamat.


Itu memang tunangannya,

yang tak dituju


60
[ 60 ]liyu san dayane reko,

dening ya irik mewiku,

dari sajanman anak buka tani,

kagelan gelah sukayang.


239. Segara madu gunung menyan,

sang prabu ida mangwidi,

keto kandannya reko,

lawut kaatur ke Metaum,

jani ia kabalikang,

tur mangatih,

segara madu gunung menyan.


240. Nyai depisan mangwerayang,

embok mengorahin nyai,

liyu anak pada gelas,

luh mwani pada lulut,

jalan pet jani ka jaba,

sanya nawi,

i guru gelisan duka.


241. Yen embok twara kajaba,

i guru ida jerihin,

ya mengalih karma reko,

wigih ngalih suru simbuh,

mangaku awake sungkan,

apa buwin,

ekayang ngalihan daya.


242. Suba twah mangalih karma,

tidong deketo mamunyi,

benek emengrawos,

masa kirang juru simbuh,

yen embok teked di jaba,

embok nyimbingin,

iyane bagus pratijnya.


menyebabkan,

sakit banyak sekali akalnya,

karena dia pandai berguru,

biasa menjajakan tunangan,

seperti tak berharga,

tunangan sendiri diberikan.


Segara madu gunung menyan (istilah),

permintaan tuanku raja,

begitu akalnya,

lalu dipersembahkan ke Metaum,

kembali dia disuruh cari,

terus mencari,

segara madu gunung menyan.


Kamu jangan membisikkan.

kakak memberi tahu kamu,

banyak orang pada tertarik,

putra-putri asih,

mari keluar,

barangkali,

ayahanda biar jangan marah.


Kalau kakak tiada keluar,

ayah beliau kita takuti,

dia mencari jodoh katanya,

alasannya mencari sembur,

mengaku dirinya sakit,

apalagi,

dibuatkan akal.


Walaupun mencari jodoh,

jangan demikian bicara

benar-benarlah bicara,

masakan kurang orang mengabdi,

kalau kakak sampai di luar,

kakak sindir,

dia bagus berakal.


61 [ 61 ]243. Yene ririh tur pratijnya,
pang saling pasilihan,
yen embok kuciwa reko,
apang nyai sukanggantung,
tonton anak abancingah,
pada deling,
pada twah gawok mepapa.


244. Sampun usan ngrangsukang
payas,
tan pendah dedari suci
mamargi pesu saroron,
nyake jani di malu,
i nawang taro mamindah,
titiang pamit,
apang embok twah maluan.


245. Titiang alon matindakan,
dening akeh pada mantri,
nah maike bareng embok,
Nawang Tranggana kadi malu,
pamargine
mangayang-ngayang,
kadi buncing,
warnane lwir bulan kembar.


246. Sapraptane ring bancingah,
pradewa prabekel mihid,
sang prabu mendaking
panon,
kari anyundang sang bagus,
sarwi ngusapin yen tinggal.
raden dewi.
kalih mesem ring sang nata.


247. Sang prabu alon ngandika,
mas dewannguda bapane
manik.
i mirah makelo,
pinck lingsir antin guru,


Kalau pandai dan berakal.
supaya saling gantian,
kalau kakak kalah,
supaya dinda menghukum
saya,
ditonton orang banyak,
semua memperhatikan,
semua heran memperhatikan.


Sudah selesai berpakaian
lengkap,
seperti bidadari suci,
berjalan ke luar berdua,
adinda duluan sekarang,
Nawang Taro menolak,
saya tiada mau,
supaya kakak harus duluan.

Hamba pelan berjalan,
karena banyak pegawai
istana,
ya marilah bersama kakak,
Nawang Tranggana duluan,
jalannya menarik sekali,
seperti orang buncing
rupanya seperti bulan
kembar.

Sesampainya di muka istana,
kesatuan perbekel,
memperhatikan,
raja memperhatikan,
masih memangku sang bagus,
sambil mengusap air mata,
tuan putri,
serta merengut pada raja.


Raja pelan bicara,
hai anakku sayang,
kenapa ananda lama,
sampai sore tunggu ayah,
Nawang Tranggana sembah,

62
[ 62 ]Nawang Tranggana

manyumbah, titiang sisip, anggen i guru putra.

248. Wiyakti tuhu titiang tunan, ring andikan guru aji. cihna i guru mangar. nadyan kari nadyan kayun. anggen i guru nyisipang. titiang ngiring. nah suba kuda menengang.

249. Lamun nyai kari tresna, mererama guru mangkin. telasang kayune reko, guru bas kalintang ibuk. yen tan i dewa nu icane. asungurip, sasát mangurip i bapa.

250. Guru nunas icane nyembar. anak nyai twah kawidi, twara kanggo anak seyos. manyembar dane i bagus. uli tuni kataguhang. raden dewi, lintang turidda ring manah.

Sasebenge ika. tuhu twah nya putri ririh, boya lintang ko titiang elong. marerama ring i guru, titiang ngiring pacang nyembar. diyastu mangkin. anggik titiang ngiring pisan.

ananda salah, dipakai tuanku putra.

Memang sungguh ananda lengah. kepada sabda baginda, kalahkanlah hamba. walaupun sekehendak menyalahkan. dipakai tuanku menyalahkan. hamba seturut. ya sekian berhentilah.

Kalau kamu masih setia, berayah pada aku. habiskan pusatkan perhatiannya. ayahnya amat bingung. kalau tiada anakda setia, menghidupkan seumpama menghidupkan ayah.

Ayahanda minta agar menyembur. karena ananda yang diminta, tiada kanggo orang lain, menyembur dia I Bagus. dari tadi dia mau/mengharap. kepada putrinda. amat curiga di hati.

Air mukanya amat marah. sungguh memang perempuan pandai, tiada hamba bohong. berayah pada ayahanda, anakda menurut akan menyembur. walaupun sekarang.

63 [ 63 ]252. I guru lintang icena, maweka ring titiang mangkin, titiang maatur matakon. i guru katiben tamyu, katekan i riki sungkan, genwong napi, sudra byana titiang nawang.

253. Kenike guru nakonang. teken tamyune puniki, wong punapi dane reko, dadi titiang bajang cluh, apang titiang bani nyembar. tur ngayahin, yen wong sudra titiang mindah.

254. Sang prabu sekeling manah, angrawos ragane sisip, dening putrane matakon, tamyune twara nyak ngaku, kenken jani baan ngorahang. sangkan mangkin. ida duka teken raga.

255. Hokane raris manyumbali, titiang nunas lugra mangkin, titiang pet mangkin matakon, sang prabu asahur kenyung. enah nyai pet nakonang, singnya nyai, nakonang dane ngorahang.

ya hamba mengiringkan sekali. Ayahanda amat sayang, berputra kepada hamba sekarang, hamba bertanya. ayahanda kedatangan tamu, sampai di sini sakit. orang apa orang biasa biar saya tahu.

Apakah ayah menanya. kepada tamunya ini, orang apa dia itu, karena hamba seorang perempuan. supaya saya berani menyembur. serta meladeni. kalau orang kebanyakan saya tak mau.

Raja hatinya masygul, mengatakan diri beliau salah. karena putranya bertanya, tamunya tiada mau mengaku, bagaimana caranya membilang sekarang. karena sekarang. beliau marah dengan diri.

Anakda serta menyembah, hamba minta permisi sekarang, hamba bertanya sekarang. sang raja menyahut senyum, ya ananda bertanya barangkali kamu, menanyakan dia membilang/ ngaku. 64 [ 64 ]256. Dipanglipur mangkin prapta,
ring bale pangari arih,
kasur sari mapepelok,
melangse magambar murub,
i rika maguling-gulingan,
raden mantri,
warnan dane kusyan.


257. Patih mantri lan pradewa,
sampun sami pada mijil,
Nawang Tranggana ka jro,
sampun prapti ring panglipur,
sang prabu raris ngandika,
mirah gusti,
icena nyai sinampura.


258. Dening guru twara nawang.
sri prameswari nyawurin,
mirah memene mas ingong,
sampun imarah gung sendu,
tekening guru i dewa,
balik nyai,
nakonin meme nugraha.


259. Nawang Tranggana
manyumbah,
sanikan sri prameswari,
sampun meme nyalah rawos.
raden galuh muwuh sendu,
sebenge twah suka pisan,
dening ririh,
tur menekan nampa sembar.


260. Nawang Tranggana manyapa,
kantenke sungkanang beli,
inggih titiang sakit ngohon,
Nawang Tranggana yen
kenyung
kudiyang dayane meblahan,


Di tempat tidur sekarang
sampai,
di balan bercumbu rayu
kasurnya tebal empuk,
kelambu bergambar indah,
di sana tidur-tiduran,
tuan mahkota,
mukanya makin pucat.


Pegawai istana dan
bangsawan,
semuanya serba ke luar,
Nawang Tranggana ke dalam,
sudah sampai di peraduan,
raja terus bersabda,
anakku sayang,
berilah maaf padanya.


Karena ayahanda tiada tahu,
sang permaisuri menyahut,
anakdaku mas sayang,
jangan ananda marah keras,
kepada ayahanda kembali
padamu,
menanyakan kunugerahkan.


Nawang Tranggana
menyembah,
menurut perkataan
permaisuri,
sudah ibunya percuma
bicara,
tuan putri hatinya susah,
mukanya kelihatan suka,
karena pandai.
serta naik bawa abat.


Nawang Tranggana menyapa,
kelihatan yang kakanda
sakitkan,
ya saya sakit payah,
Nawang Tranggana dan
senyum,


65

[ 65 ]sakit pingit,

aworin twah wewadon.



261. Wenten beli sapunika,

inggih wiyakti desang putri,

marganin titiang mangohaon,

taniwang antuk i ratu,

tutugang icanene mirah diyahari,

i ratu usadan titiang.


262. Yen icana i ratu nyembar,

sasat tiben banyu milir,

raden galuh sahur nyalon,

sandikan i beli bagus,

nanging pisan lata data,

prasantari,

istri papa samarawa.


263. Maka tutuk sucimuka.

dwijendra meweh ring nabi,

sintagona nering panon,

landep genahe ring irung,

harangka manjing kadutan,

cipta wolanti,

duhung manjinging karangka.


264. Suklapaksane ping sapta,

kalawan ping triwodasi,

tan milu ring tresna paksa,

punika yan beli hitung,

wirasan to tunas titiang,

ring i beli ,

nika tunas titiang pisan.



265. Bagus Umbara Kosekan,

dening munyi kata Jawi,



bagaimana akalnya menyembunyikan,

sakit pingit,

dikumpuli wanita.



Adakah kakanda demikian,

memang benar tuan putri,

menyebabkan saya payah,

tepat dakwaan tuan putri,

teruskan keikhlasannya,

tuan putri,

tuan putri obat saya.



Kalau tuan putri mau mengobati,

bagaikan kedatangan air mengalir,

tuan putri sahutnya pelan,

menurut kanda bagus.


Perkataannya yang dikeluarkan supaya suci,

utang sane kekalih meweh antuk mikayunin,

sinta letaknya dipandangan,

landep letaknya di hirung,

sarung keris dengan kerisnya,

sebagai pengikat hati,

keris masuk ke sarungnya.


Tanggal tujuh/almenak,

panglong ping 12 (tanggal 28 Jawa),

nenten memanah tresna,

kalau kanda hitung itu,

isinya saya minta,

pada kakanda,

itulah yang saya cari sekali.


Bagus Umbara tak bisa menjawab,


66
[ 66 ]meteng manahe reko,

raden galuh negteg matur,
icenenin titiang kanda,
nguda beli,
mrasa mangalihang daya.


266. Beli tansah ngwidi titiang,
buwina titiang mamasihin,
mangkin titiang ngwidi ento,
nguda beli kari sungsut,
ngandikayang teken titiang,
mirib jani,
layah manyapa.


267. Beli biayana kena congoh,
kadiyang delinge di Bali,
titiang manunasang keto,
beli ulat nyaru-nyaru,
kudyang bas tani sepala,
nemin beli,
munyin anak luh nambara.


268. Bagus Umbara mamindah,
ampura titiang diyah ari,
wirasan satwa punika,
titiang mindah ngiring i ratu,
raden galuh ica pisan,
tur guyonin,
kudyang bintang nyet kahula.


269. Bagus Umbara angrasa,
yen angucapa ring ati,
milihe micundang reko,
ksatriya lewih sang ratu,
jani masa kapicundang,


karena perkataan Jawa,
bingung pikirannya,
tuan putri menghujani
bertanya,
berikan saya akal,
bagaimana kanda,
seperti mencari akal.


Karena kanda meminta
hamba,
dan lagi hamba menghibur,
sekarang hamba harus minta
itu,
kenapa kanda masih susah,
mengatakan kepada saya,
barangkali sekarang,
hasrat menyapa.


Kanda tiada tahu malu,
diapakan calonnya di Bali,
saya menanyakan itu,
kanda hanya pura-pura,
kenapa separo-separo diladeni,
perkataan perempuan
iseng-iseng.


Bagus Umbara menolak,
minta maaf hamba tuan
putri,
arti bicara itu,
hamba menolak bersama
tuan putri,
tuan putri suka sekali,
serta dipermainkan,
bagaimanakah ketemu
belakangan.


Bagus Umbara merasa,
dan berkata dalam hati,
merasa mengalahkan,
kesatrianya raja terhormat,
sekarang merasa kalah,

67

[ 67 ]baan pawestri,

medal sakeng gulagelang.


270. Minabene gulagelang,
sematnya madu melati,
wirasa anggonang rasa,
madu juruh anggon tutuh,
rahaden mantri,
angucap,
nene mangkin,
titiang matur ring i dewa.


271. Putrane ring pranegara,
Janggala lan Singosari,
Jagaraga Kembang Jenar,
Gagelang lawan Metaum,
Cemara kalawan Pajang.
Lanus Sambi,
Pomotan lawan Mataram.


272. Pandansolas terate bang.
Megada punika sami,
Pajarakan Tuban reko,
Panebeng lawan Parungkul,
madaging putri makejang,
jento sami,
masa pada ingi dewa.


273. Nesiki kapanggih pada,
sang putri maring Kediri,
sami ring i dewa reko,
miwah ring carma satuhu,
mabundel yen kapregolan,
tuhu luwih galuh Ratnadwita.


274. Nanging dane kocap ilang,
mamburu wiyalah rukmi,
Nawang Tranggana lingnya
alon,
salwir dane nitig sanggup,


dengan wanita,
dari kelahiran Gulagelang.


Menimpa Gulagelang,
sematnya madu melati,
pikiran dipakai merasakan,
madu juruh dipakai tutuh,
raden mantri berkata,
sekarang,
hamba berkata kepada
adinda.


Putrinya di negara.
Janggala dan Singosari,
Jagaraga Kembang Jenar.
Gegelang dengan Metaum,
Cemara dengan Pajang.
Lanus Sambi,
Pomotan dengan Mataram.


Pandansolas terate hang,
Megada itu semua,
Negara Tuban katanya,
Panebeng dengan Pamungkul,
berisi putri semua,
kalau itu semua,
tiada sama dengan tuanku.


Seorang dilihat sama,
tuan putri di Kediri,
semua pada tuanku.
beserta di rupa sungguh,
beserta penjagaan diri
sungguh,
indah,
putri raja Ratnadwita.


Tetapi beliau hilang,
mencari perjalanan yang
indah,
Nawang Tranggana katanya
pelan,

68
[ 68 ]ngadeg maring babaturan,

sampun malih,

jani kerasa ring manah.


275. Tuhu twah beli widagda,

mengraksa lunbaking ukir,

makejang baridungang reko,

putrine domas katepuk,

adihi twara yen pada,

yentojani,

raden galuh Ratnad wita.


276. Bagus Umbara kuciwa,

tong bakat kojani silib,

pacang paling baan hero,

dayane ajagat gawuk,

rahaden mantri kewehan,

metu tangis,

bandugi ngasap yeh tingal.


277. Rahaden galuh ngandika,

wecana lwir madu gendis,

walingi titiang reko,

sayangan ke beli bagus,

punapi margan sedihan,

titiang ngiring,

laliyang sedihe dewa.


278. Bagus Umbara ngandika,

masdewa mirah dyah ari,

pupunen titiang mas ingong,

raden galuh sawur alus,

inggih lamun pada lemah,

titiang ngiring,

yen peteng titiang

mamindah.


279. Duhung manjinging orangka,

orangka manjining kris,

basayangja beli ento,

apang titiang enggal


semua beliau bisa mencari,

berdiri di tujuannya,

tidak usah diperbincangkan,

sekarang telah diketahui.


Sungguh kanda pandai,

menimbang dalam batin,

semua diperbandingkan,

putra-putri 800 diketahui,

satu pun tiada berkenan,

itu sekarang,

putri raja Ratnadwita.


Bagus Umbara kalah,

tiada dapat dari sembunyi,

akan dicari dengan akal,

akalnya sedunia dipegang,

putra raja habis akal,

serta nangis,

sambil menggosok air mata.


Putri raja bersabda,

katanya seperti madu manis,

kembalikan kepada hamba,

aku sayang kepada kakanda,

apa sebab kesedihan,

hamba menurut,

lupakanlah susahnya tuanku.


Bagus Umbara berkata,

adinda adikku sayang,

pungutlah hamba tuanku,

tuan putri menyahut alus,

ia kalau sama-sama siang,

hamba menurut,

kalau malam hamba menolak.


Keris masuk ke sarungnya,

sarung keris masukkan keris,

teijemahkan itu kanda,

supaya saya cepat


69

[ 69 ]nyimbuh,

beli gipil titiang imang,
sapunapi,
pun Semar matur ngengga-
lang.


280. Gading enggalang mangejag,
ih sedan dane bas ganjih,
demenke i dewa ngenot,
ih tingalin dewa ratu,
berikat sareng sayangang,
rekan gusti,
titiang sampun
manyayangang.


281. Yen i dewa sareng lunga,
titiang ngiring twah rimiyin,
yen i dewa kayeh reko,
titiang mungkurin dimalu,
patampain titiang sinjang,
nene angit,
titiang wantah byana karwan.


282. Enyak tekening tong enyak,
byana ko kena adnyanin,
raden galuh kalih mengos,
akch wang jro gumuyu,
pongah san jro mapeta,
jeneng mungil,
rupane twah jening punyah.


283. Nawang Tranggana ngandika,
sada semu-semu runtik,
beneh baan iba keto,
kai twahnya teked ditu,
bisa sja iba semar,
kai ngalih,
anak juru nampa sinjang.

menyembur,
kanda repot saya sibuk,
bagaimana,
I Semar menyembah dengan
cepat.


Cepatkan masak buah itu,
barangkali batinnya akan
cepat,
senangkah tuanku melihat,
aduh lihatlah tuanku,
ayolah ikut kasihani,
kakanda tuanku,
hamba sudah mengasihani.


Kalau tuanku ikut,
saya mengikuti lebih dahulu,
kalau tuanku mandi,

hamba akan mengiringi, berikanlah hamba sinjang,
yang baik,
saya sanggup mengiringi.


Mau dengan tiada mau,
supaya bisa diketahui,
tuan putri membuang muka,
banyak orang istana tertawa,
tiada malu kamu bicara,
rupamu kecil,
rupamu seperti gila.


Nawang Tranggana bicara,
seperti bermuka marah,
mengapa kamu bicara
demikian,
aku akan sampai di sana,
mengapa pandai kamu
Semar,
aku mencari orang tukang
bawa sinjang.

70
[ 70 ]284. Kai nggelah panjak katah,

adi iyen twara suddi,
Bagus Umbara lingnya lon,
eda kaka munyi liyu,
siraja suba kuciwa,
raden dewi,
mesem sarwi nglenang tingal.


285. Rakane mangambil sembar,
raine mangayahin,
sarwinya mabesik reko,
dinja embok menyimbuh,
tatuwon ida sang nata,
embok nyai,
tan yogya embok mamiwal.


286. Tumuli mamakpak sembar,
kenyus-kenyus memehekin,
manepak grijine meros,
kukune lwir manik banyu,
mangliyep kadi ring wayang,
muwuh manis,
sampun menyembar ping
tiga.


287. Bagus Umbara angucap,
nyare aruma manis,
tan sapira ratu titiang,
punapi titiang ngger mahur,
titiang mangaturang awak,
ring dyah ari,
ida ngawulayang titiang.


288. Durusang icanane mirah,
mamupu jadma kasyasih,
kalebu ring yana reko.
tan liyan twah i ratu,
udugdug anggen titiang
panembahan,
diyah ari,
i dewa ugi manjakang.


Aku punya abdi banyak,
kalau adik tiada mau,
Bagus Umbara katanya pelan,
jangan kamu banyak omong,
aku sudah kalah.
tuan putri senyum sambil
memandang ke arah lain.


Kakaknya membawa obat,
adiknya meladeni,
sambil berbisik katanya,
kanda di sini mengabdi,
mentaati perintah raja
kakakmu,
tiada pantas kakak menolak.


Sambil mengunyah obat,
mengunyah sambil
mendekat,
menekan jarinya lurus,
kukunya seperti duri landak,
nyep-nyep seperti bintang,
serta manis,
sudah menyembur tiga kali.


Bagus Umbara berkata,
perkataannya manis menarik,
aduhai adindaku,
apa saya pakai bayar,
hamba mempersembahkan
diri,
kepada adinda,
adinda memperhamba saya.


Tuanku ikhlasnya adinda,
memungut orang melarat,
tenggelam di neraka katanya,
tiada lain tuan putri
memungut,
hamba pakai kehormatan,
tuan putri tuanku
memperhamba saya.

71

[ 71 ]289. Apaja nto keto titiang,

wenten atur titiang nuni,

lamun pada lemah reko,

titiang ngiring sapekayun,

lamun peteng titiang mindah,

kantun beli,

i riki titiang ka pura.


290. Nawang Tranggana ngandika,

made taro jalan mulih,

pamit ring i guru reko,

kantun ke mangkin i guru,

putrane kalih manyumbar,

tur mamargi,

ring jro ring pamreman.


291. Nawang Tranggana ngandika,

inade taro mai mabin,

jalan pet malu kat reko,

jalan basmi wastra sabuk,

gedogan kalawan sinjang,

titiang ngiring,

negekena ring jro pura.


292. Bagus Umbara kocapa,

raris kenak para mangkin,

sekul ulam rawuh reko,

sang prabu a lon amuwus,

cai bagus lah ngajengang,

bapa mulih,

sampun cai sumangsaya.


293. Sandikan ida sang nata,

benjang titiang nunas pamit,

titiang n1anglangla kelangon,

kanggonya kayun i bagus.

mewantunya enggal-enggal,

sampun lali,

malih wenten kedep bapa.


Apalagi demikian halnya hamba,

ada perkataan hamba tadi,

kalau siang,

hamba mau sekehendak hati,

kalau malam saya menolak,

hanya kakanda.

di sini hamba ke istana.


Nawang Tranggana bicara,

Made Taronya pulang,

permisi pada ayahanda

masihkah sekarang ayahanda,

putranya keduanya

menyembah serta berjalan,

sampai di istana ke tempat tidur.


Nawang Tranggana bicara,

Made Taro mau dipangku,

mari membersihkan diri,

mari membakar pakaian,

semua pakaian,

hamba menurut.

hentikan di istana.


Diceritakan Bagus Umbara,

lalu sehat seketika,

nasi ikan datang,

raja bicara pelan,

anak bagus ayo makan,

ayah pulang,

jangan kamu cutiga.


Hamba menurut raja,

besok hamba minta permisi,

hamba pagi berjalan-jalan,

sesuka hatimu bagus,

kembalilah cepat-cepat,

jangan lupa,

karena ada keinginan ayah.


72
[ 72 ]294. Ia nyaman cai dadua,

engken kay unang cai,

nadyan ika maka roro,

bapa suka ring i bagus,

sakewala dini ngehang

titiang ngiring,

titiang gelis jagi tulak.


295. Tumuli raris ngajengang,

patih mantri mangayahin,

lumintula lawu reko,

brem arak lan sajeng budur,

tan kari ulam segara,

ulam bawi,

pun Semar sampun betekan.


296. Patih mantri begawokan,

ring polahe raden mantri,

mabisik dumadak reko,

sang prabu sadya memantu,

minaka skar negara,

uli dini,

di Jawa pacang memada.


297. Sawur manuk mangwayaktiang,

sang prabu wus prapteng puri,

tan ucepen ujaring wong,

raJ1aden mantri wus nyekul,

kalih kalawan pun Semar,

madya ratri,

sepi raden mantri lunga.


298. Sampun liwat jamntoro,

pun Semar sebeng malimid,

kenken baan jani reko,

mandayanan raden galuh,

mangda apang dane bakat,

dening celih,

wireh pageh ngaba raga.


Ia saudaramu keduanya,

yang mana disenangi,

walaupun keduanya,

ayah suka padamu,

akan tetapi di sini ditunggu,

hamba mengikuti,

hamba lekas akan kembali.


Serta terus makan,

pegawai istana meladeni,

minuman memerintula lawu,

brem arak dan nira budur,

tankari ikan laut,

daging babi,

Semar sudah kekenyangan.


Pegawai istana heran,

tindak-tanduk raja putra,

berbisik semoga jagi,

tuan raja memungut mantri,

sebagai bunga negara,

dari sini,

di Jawa tiada sama.


Sahut semua membenarkan,

tuanku raja sudah sampai di istana,

tiada terceritakan percakapan orang,

raja putra sudah habis makan,

bersama dia I Semar,

tengah malam,

sepi putra mahkota pergi.


Sudah liwat jamintara,

dia I Semar seperti berpikir,

bagaimana akal sekarang,

mengakali tuan putri,

supaya dia didapati,

karena sukar,

karena taat bawa diri.


73

[ 73 ]299. Rahaden mantri ngandika,

dijwa kaku liyu munyi,

jani yekalain reko,

ditu sakit nyane rawuh,

anak kento gugulaknya,

putri ririh,

lamun tong ja mangurarap.


300. Suwud jani matuturan,

jamur timah yen kapanggih,

tanana swabawaning wong,

di panenggah rawuh,

liwat prapteng windu tinggal,

saget prapti,

ring Jongbiru ring pakundan.


301. Putih timur abang wetan,

lampahe dulurin widi,

pada sepi sing jumojo,

rawuh suci angelangun,

angadeg pinggir telaga,

kantun mangkin,

togoge yen makembaran.


302. Gawok pun Semar ngatonang,

togoge kalintang rabik,

punika nene di ulon,

ringidewa sampun patut,

anging teken nene duluwan,

lwir ditangkis,

akedik tong ada iwang.


303. Mamuput anake bisa,

nggawe mowa miwah alis,

di tangan miwah di cokor,

di Iam be miwah di galung,

tata antutun idewa,

sampun pasti,


Putra mahkota bicara,

jangan banyak among,

sekarang ditinggal saja,

di sana sakitnya keluar,

orang demikian

perhitungannya,

putri pandai,

pasti ia mengharap-harap.


Berhenti sekarang bercerita,

ketemu jamur timah,

tak ada perbawa orang,

duduk di tempat pemberhentian,

liwat sampai Windu Tinggal,

seketika sampai di istana Jongbiru.


Putih timur abang wetan,

perjalanannya direstui Tuhan,

masih sepi dituju,

sampai di taman menghibur,

berdiri di pinggir telaga,

kelihatan sekarang,

patungnya berkembaran.


Heran I Semar melihat,

patungnya terlalu amat baik,

itu yang di hulu,

pada tuanku sudah pantas,

tetapi yang di mukanya

seperti dipotret sedikit pun tak salah.


Sempurna sekali orang yang pandai,

membuat muka serta kening,

di tangan serta di kaki,

bermulut serta di mahkota,

seperti dituntun Tuhan,


74
[ 74 ]kampuh wastra twara iwang.

304. Ne tebenan sapa sira,

Bagus Umbara ngedekin,

awas kaka jani ento,

urinin maluwin ditu,

ento patuh teken kaka,

suba pasti,

sapratingkahe tan iwang.


305. Tuwi i dewa sapunika,

saja keto kaka jani,

I Semar guyu mamengos,

benehke kedeke murug,

dumunduke ring pabeyan,

kene kapi,

mirib topeng katon titiang.


306. Gemes san titiang manabas,

dekes-dekes mamaekin,

dija undagine reko,

titiang ne mangkin mapasuh,

singnya ada wahwahannya,

ngutah getih,

manggawe papindan Semar.


307. Apang bagus raga wenang,

deketo kaka mamunyi,

twah widi adanya reko,

masih apang baskelawut,

bocoke twara gigisan,

baspabalih,

telektek mairib tonya.


sudah pasti,

selimut kain tak salah.


Yang bawahan siapa,

Bagus Umbara tertawa.

perhatikan kakek itu sekarang,

belakang mukanya di situ itu sama dengan kakek,

sudah pasti,

tindak-tanduknya tak salah.


Benar tuanku demikian,

benar sungguh kakek sekarang,

I Semar tertawa membuang muka,

patutlah tertawanya lebar,

di dataran di Pabeyan,

beginilah,

barangkali topeng saya ketahui.


Bengis hamba membuatnya,

dehem-dehem mendekati,

di mana tukangnya katanya,

hamba sekarang menyuruhkan,

barangkali ada perubahannya,

muntah darah,

membuat berupa Semar.


Supaya baik dibuatkannya,

jangan demikian bicara,

barangkali Tuhan mengadakan,

supaya terlalu pasti,

jeleknya tiada sedikit,

kalau ditonton,

diperhatikan barangkali setan.


Mal:Rigth [ 75 ]308. Tumuli togoge jemak,

sahubang yen apang ilid,

sahubang dilangan reko,

maka dadua lawut tahun,

lawut malinggih enggalang,

manggentinin,

sig togoge makalihan.


309. Kemerancang sanghyang surya,

ucapan,

rahaden dewi,

bayan amet pagegandan,

tumuli angajum gelung,

mawastra rembang jenar,

sinjang kecit,

magelung mas angeranyah.


310. Raris mamargi ka taman,

saka kaka kema ngiring,

sarawuhe nyjujur togog,

demak lawut ukut-ukut,

raris manganjugang wedak,

mangodakin,

togoge ngejuhang tangan.


311. Rahaden galuh mendika ngandika,

dane bisa bahu gigis,

raris mepasahin reko,

mani puwan margi mantuk,

mara mangalih I Semar,

mamborehin,

bahu ngebetang mandemak.


312. Togoge saget rengas,

tuhun Jawut kirig-kirig,

titiang boya ada togog,

titiang twah I Semar tuhu,


Serta patungnya diambil,

disembunyikan agar tak ketahuan,

ditaruh di bawah tempat tidur,

keduanya arta menggantikan,

serta duduk cepat-cepat,

menggantinya,

di patungnya keduanya.


Disinari matahari,

diceritakan tuan putri,

Bayan ambil tempat pakaian,

serta memakai mahkota,

berkain kembang jenar,

sinjang kecit (kain),

memakai gelungan emas.


Serta berjalan ke taman,

serta pelayannya mengiringi,

sedatangnya menuju patung,

diambil dielus-elus,

serta memberi pupur,

memupuri,

patungnya memberi tangan.


Tuan putri bicara,

dia bisa baru sedikit,

lalu merayu katanya,

besok dua hari mari pulang,

baru mencari I Semar,

memberi bedak ,

baru akan mengambil.


Patungnya amat liar,

serta mundur-mundur,

hamba bukan patung,

hamba Semar sesungguhnya,



76 [ 76 ]iringan i mantri Koripan,

mrika alih,

punika ko dane duluan.


313. Wedakke raris kaentungan,

rahaden mantri jagjagin,

manyaup mamekul wangkong,

sapa titiang beli bagus,

swe beli antos titiang,

buka ngipi,

beli kapanggih ring titiang.


314. Togog titiange dijaha,

punika engkebang beli,

kenyung rahaden muwus alon,

di beten longan metabun,

wikan beli marigengkebang,

makekalih,

sangkan titiang kapangguhan.


315. Raden galuh gelis munggah,

kalintang eres di ati,

mengeyen watu macepak,

kai ngebang beli bagus,

makregat mangeetang selo,

beli mantri,

Semar enggalang mulihan.


316. Sampun mahurub kang sela,

sang yaksa rawuh manjrit,

ah apa ambu wong roro,

teka tanana dinulu,

enak ngong amangan jadma,

nyai cili,

corah mangengkebang.


iringan putra mahkota Koripan,

ke sana cari di sana beliau di atas.


Pupurnya lalu dibuang,

putra mahkota didatangi,

memegang memeluk pinggang,

tuanku mengapa kakanda,

lama kanda adinda tunggu ,

bagaikan mimpi,

kanda ketemu pada hamba.


Di mana patung hamba,

itu disembunyikan kanda,

senyum putra mahkota menyahut pelan,

di bawah tempat tidur, keduanya,

pandai kakak menyembunyikan,

keduanya makanya saya terperanjat.


Tuan putri cepat naik,

terlalu takut hatinya,

menutup dengan batu kuat,

aku menyembunyikan kanda bagus,

makreyat menutup pintu batu,

kanda putra mahkota ,

Semar cepat ke dalam.


Sudah tertutup pintu batunya,

raja raksasa datang menjerit,

ada bau manusia,

datang tak diketahui dahulu ,

77

[ 78 ]

317. Ambune wong jadma dadua,

ambu bocok ne asiki,

raden galuh sahurnya lon,

titiang koyen durung mandus,

titiang petan mangkin tadah,

guru aji,

apang pisan titiang brasta.


318 . Sang prabu yaksa ngandika,

ahah sayang nyai cili.

mirah bapane deketo,

deni jwa dewa i guru .

bapa luas ngalih pangan,

tur mamargi,

sampun anusup ring alas.


319. Tali antene wuskenyang,

ngandika rahaden dewi,

mangeeko watumacepak,

maka reyot sela agung,

rahaden galuh ngandika,

beli mantri,

mariki mangkin ka jaba.


320. Raden mantri raris medal ,

sinambut raden dewi,

duh masmirah pangempon.

nawi ada jaksa rawuh,

rahaden galuh ngandika,

bayan dugi,

antene punika cingak.


321. Lamun sampun ipun limpang,

i guru mamargi mulih.

enak kumakan manusia,

hai anakku,

dursila menyembunyikan.


Baunya orang dua.

bau jelek yang satunya.

tuan putri sahut pelan,

hamba belum mandi.

hamba sekarang dimakan.

ayahanda supaya hamba lenyap.


Raja raksasa bersabda,

hai sayang kamu anakda,

jangan demikian anakku,

di sinilah diam anakku,

ayah pergi cari makan.

serta berangkat,

sudah masuk di hutan .


Tali antene wus kenyang (kode ).

disambut tuan putri,

duhai penjagaku adinda.

barangkali beliau raksasa datang.

tuan putri bicara,

belum sampai ,

kode itu dilihat.


Tuan putra terus keluar,

disambut dengan tuan putri,

aduhai adinda penjagaku ,

barangkali beliau raksasa datang,

tuan putri bicara,

tak mungkin antene ( kode) itu di lihat.


Kalau sudah ia limpang (kode),

ayahanda kembali pulang.

79

[ 79 ]punika tengeran reko.

rahaden mantri yen kenyung.

tansah meraring pamereman,

raden dewi,

pinangku ingaras aras.


322. Asung sepah di pabenan,

tinanmeng Jawa amrik.

ingicap usapan alon,

sama tanding istri kakung.

kadi emas sanding mirah,

raden mantri,

asung simsim ring rahadyan.


323. Puniki anggen imirah,

cihnaning titiange asih,

pinggapan tana alon.

rinangsukan simpit alus,

rahaden galuh ngandika,

nabdab manis,

eseme madu drawa.


324. Keriken sangkan beli teka.

laksana rawuh mariki,

dijaha beli manempong,

sangkan dadi nuju suwung,

jadma dini wedi pisan,

ring sang aji,

i guru dadi raksasa.


325. Rahaden mantri ngandika.

semargin titiange wengi ,

maorta ke Bali reko.

melah i dewa nemuput.

i dewa sadya yang titiang.

wenten molih,

predin titiang ring i dewa.


itu adalah suatu tanda,

raja putra lalu senyum,

mulai di tempat tidur,

tuan puteri,

dipangku cium-ciuman.


Cium-ciuman di pangkuan.

diterima Jawa harum,

dielus-elus pelan,

sebanding putra-putri.

seperti emas dengan mirah,

tuan putra.

memberi cincin kepada tuan putri.


lni dipakai adinda.

tandanya hamba setia,

diterima dengan pelan,

diikuti senyum ramah.

tuan putri bicara,

semua manis,

senyumnya seperti madu.


Bagaimana maka kanda datang,

makanya datang ke mari,

dimana kanda ngambil jalan.

kenapa waktu sepi.

orang di sini takut sekali,

pada raja ayahanda menjadi raksasa.


Putra mahkota berkata,

perjalanan hamba malam,

beritanya sampai di Bali,

baiknya adinda sempurna sekali.

adinda saya harapkan,

ada lagi permintaan saya pada adinda


80 [ 80 ]326. Segara madu gunung menyan,

kocap i dewa mamingit,

madruwe punika,

reko,

prabu Metaum mangutus,

titiang mangrereh punika,

mangde polih,

pacang aturang ka Daha.


327. Wiyakti beli titiang ngelah,

titiang ngaturang ring beli,

lewihta i beli reko,

maorta mariki kasub,

di Bali byana mamada,

anom apekik,

prajurit wiweka prajnyan.


328. Rawuh ka desa Wolanda,

Kahrum lawan Betawi,

ka Cina,

lawan ka Bojo,

sami sanegara agung,

tan lianne kucap-pucap,

twah i beli,

kasumbung-sumbung di Jawa.


329. Akeh preratu manyambat,

kerawosang sai-sai,

lewih dijaba dijero,

miwah putri ayu-ayu,

twah i beli ne kasambat,

lewih Wengi,

kanggenang tuturang satua.


330. Byana yen roro tetiga,

kaucap bagus di Bali,

Ken Bayan Sangit Ken


Segara madu gunung menyan (istilah),

katanya adinda menjaga,

punyakah adinda,

prabu Metaum menyuruh,

kanda mencari itu,

Supaya dapat akan dipersembahkan ke Daha.


Memang sungguh hamba punya,

hamba mempersembahkan pada kanda,

apalagi kanda katanya

berberita ke mari terkenal,

tak ada menyamai di Bali,

muda ganteng,

kesatria banyak akal dan pandai.


Sampai ke negeri Belanda,

Kahrum dan Betawi,

ke Cina,

beserta ke Bojo,

semua negara besar,

tiada lain yang diceritakan,

hanya kakanda,

tersebar di Jawa.


Banyak raja-raja membilang,

dibicarakan setiap hari

di jalanan dan di istana,

beserta putri cantik-cantik

hanya kakanda yang disebut,

siang malam dipakai cerita.


Tiada ada dua tiga,

katanya bagusnya di Bali,

bersama Bayan Sangit dan


81 [ 81 ]Condong,

pabisik pada gumuyu,

kudiyang baunya lumrah,

kene kapi,

warnane lwri Sanghyang Smara.


331. Rahaden galuh ngandika,

ewuh pisan mangkin beli,

mangolah ne buka keto,

apan byana cuah-cauh,

mariki kapeselang,

ring betari,

yawuwuh titiang ngaturang.


332. Bagus Umbara ngandika,

titiang manunas di gelis,

mangkin beli bwina bosbos,

sampun ipun ngantiyang rawuh,

tan dumade mangkin prapta,

makekalih,

segara magunung menyan.


333. Raden galuh mangungkab,

katon pasulibab mangkin,

macan warak singa barong,

detya danawa lan wiyung,

kumangmang lan tangan-tangan,

manuk beri,

nyejak pupu lawan laweyan.


334. Akeh sekare majajar,

ring taman luir gunung sari,

rawuh kang pawana alan,


Condong berbisik-bisik

serta tersenyum,

bagaimanakah patutlah terkenal,

beginilah rupanya seperti Dewa Asmara.


Tuan putri berkata,

repot sekali kanda sekarang,

mencari yang demikian,

tidak boleh salah bicara,

di sini terpinjam,

dari dewa,

kalau datang hambamempersembahkan.


Bagus Umbara berkata,

hamba minta cepat-cepat,

nanti dulu lagi sebentar,

sudah ia akan datang,

tiba-tiba sekarang datang,

keduanya, Segara madu gunung menyan (istilah).


Tuan putri membuka,

kelihatan berkeliaran sekarang,

harimau,

beruang,

singa barong,

detya denawa,

lanwiyung,

kemangmang (kepala-kepalaan),

serta tangan-tangan,manukberi nyejak pupu lawan laweyan.


Banyak bunganya berjejer,

di taman seperti gunung kembang,


82 [ 82 ]mambu wot gandanning santun,

miyik aman sekalangan,

raden dewi,

mabunga sekar mrik minging.


335. Tur mawas di pabinan,

buka dewa lawan dewi,

luir bunga apasang,

katon,

I Semar ngokok gumuyu,

katone i gunung menyan,

tani kikir,

patuliya maendahan.


336. Denden dewa mangubetang,

demen pesan titiang mabalih,

kisidang mangkin si kelod,

bakal aban titiang mantuk,

bagus umbara ngandika,

sebetrani,

anak yetwah bakal tunas.


337. Rahaden galuh ngandika,

kanggoke kayun i beli,

titiang telas mangaturang,

ne mangkin titiang umatur,

yen beli ngambil punika,

titiang ngiring,

mantuk ke Bali segrehan.


338. Sapunapi ja pangguh titiang,

kawonin i beli mulih,

panjak sampun telas reko,

tadah dane baan i guru,

kari titiang paluh luhan,

gering apit,

sapasira tumanggalang.


datangnya angin pelan,

berbaulah baunya bunga,

minyak wangi mengimbau,

tuan putri,

berbunga harum mewangi.


Serta dicium dipangku,

seperti dewa bersama dewi,

seperti bunga satu pasang,

I Semar tertawa gelak-gelak,

kelihatan si gunung menyan tidak sedikit,

berkeliaran beraneka ragam.


Nanti dulu dewa menutupnya,

senang sekali saya menonton,

singkirkan sekarang ke selatan,

akan saya bawa pulang,

Bagus Umbara berkata,

terus ditutup,

akan saya minta saja.


Tuan putri berkata,

sekehendak-kehendak kakak,

hamba ikhlas mempersembahkan,

sekarang saya berkata,

kalau mengambil itu,

hamba turut,

pulang segera ke Bali bersama.


Bagaimanapun saya lihat,

ditinggal kanda pulang,

penduduk sudah puda habis,

dimakan oleh ayah,

masih saya perempuan-perempuan,

sedih hati,


83 [ 83 ]339. Bagus Umbara ngandika,

kewehan titiang di margi,

gurun ida yakra kawot,

titiang kaliwatang takut,

nawi katadah di jalan,

raden dewi,

punika cmasnang titiang.


340. Dewek titiang ngalih daya,

mangapus i guru aji,

lah mangaba tumecepak,

mantukang gelisang dumun,

i guru ngantiyang teka,

raden mantri,

I Semar sampun meliyan.


341. Sampun mauneb kang sela,

sang yaksa sagetan prapta,

gelar-gelur swaran umar,

duh mas rnirah nanak galuh,

masidewa mambu janma,

kalih siki,

mantri lewih yen ambunya.


342. Bocok abesik ambunya,

sinyabetah nyai cili,

raden galuh matur alon,

jadma kenken bani rawuh,

balik mangkin titiang tampah,

mirah gusti,

nyai twah sayangang bapa.


343. Mangkin titiang nunas icana,

alihang ja titiang mangkin

satak liyunnyane reko,

pacang macuke panungkul,


siapa yang menghiraukan,


Bagus Umbara berkata,

sukar hamba di jalan,

ayah beliau raksasa sakti,

hamba amat takut,

barangkali dimakan di jalan,

tuan putri,

itu yang saya sayangkan.


Hamba mencari akal,

menipu ayahku,

menutup gedong batunya,

pulanglah cepatkan dahulu,

ayahanda akan datang,

tuan raja,

I Semar sudah masuk.


Sudah tertutup gedung batunya,

sang raksasa sudah datang,

berteriak-teriak suaranya besar,

hai anakku tuan putri,

hai anakda bau manusia,

dua orang,

raja mulia ini baunya.


Buruk seorang baunya,

tiada kerasan anakku sayang,

tuan putri menyahut pelan,

orang apa berani datang,

kembali sekarang anakda disembelih,

anakku sayang,

kamu yang kusayangi.


Sekarang hamba ada permintaan,

carikan saya sekarang,

200 banyaknya,


84 [ 84 ]iseng ko titiang di taman,

mirah gusti,

masa nyai tong katekan.


344. Dini ke nyai mas mirah,

guru mangolihang manik,

manyusup ring alas kulon,

akeh manike kaduduk,

polih yen manik gelagah,

manik api,

manik luklut manik toya.


345. Polih manik tigang ngatak,

mantuk kaican mu tuwan dewi,

raden galuh aturnya lon,

titiang ngaturin i guru,

wasuhang titiang ajahan,

sutra wilis,

apang ya dadi petak.


346. Gurune raris mananggap,

tumuli raris mamargi,

ka luwah agung mangojog,

pinundang panting winasuh,

dening tresnane maputra,

tong mesalin,

sutrane masih jwa gadang.


347. Nengakena prabu yaksa,

kocapa rahaden dewi,

manepak punanging sela,

mengo tetako sela agung,

rahaden mantri wus medal,

tur malinggih,

ring bok emas manempol.


akan saya kumpulkan,

iseng hamba di taman,

anakku sayang,

masakan kamu tiada dapat.


Di sinilah anakku sayang.

ayah mencarikan manik,

masuk di tengah hutan di barat,

banyak manik yang dipungut,

dapatlah manik gelagah (ajimat),

manik api,

manik luklut,

manik toya (manik air).


Dapat manik 600,

pulang diberi tuan putri,

tuan putri sembah pelan,

hamba mengharuti ayahanda,

cucikan hamba sebentar,

sutera hijau,

supaya menjadi putih.


Ayahnya terus menerima,

terus lantas berjalan,

ke sungai besar menuju,

dicuci dipontang-panting,

dari setianya berputra

tiada bersih-bersih,

suteranya masih saja hijau.


Hentikan ceritanya sang raksasa,

ceritakan tuan putri

membuka gedung batu,

terbukalah gedung batu agung itu,

tuan putra segera keluar,

serta duduk di balai emas.


85 [ 85 ]348. Rahaden galuh ngandika.

ujare aruma manis,

punika dingakin reko,

langite saget neruwung,

beli undang sang garuda ,

mangde de gelis,

apang da ya katangehan.


349. Titiang sandikan i dewa,

raris mangajap mamusti,

ida sang garuda reko,

dumadak ida gelis rawuh,

nora ida maler prapta,

raden mantri,

mametetis ngawang-awang.


350. Telas kayune nganyepang,

mamegeng bayu studi,

taler nora prapta reko,

rahaden galuh gumuyu,

ngauda beli sangkan sal-sal ,

nene mangkin,

titiang manunas lugraha.


351. Titiang mangkin undang ida,

durusang titiang mapamit,

boya rawuh ida reko,

twan galuh ngenyep hyang wisnu,

titiang nyelang palinggihan,

dewa aji,

pacang mambwat ka Koripan.


352. Batara Wisnu kocapa,

ngandika arum manis,

kema Hyang Narada reko,

ajak ida Sanghyang Bregu,

aturin Sanghyang Garuda,



Tuan putri bicara,

perkataannya manis menarik,

itu dilihat langitnya sangat mendung,

kanda mengundang sang Garuda,

supaya cepat,

supaya jangan ketahuan.


Saya menuruti adinda,

terus memohon mendoa,

mengundang sang Garuda,

semoga beliau cepat datang.

juga tidak beliau datang.

tuan putra,

membidiknya nyasar.


Habis ciptanya menyimpang,

bernafas mengharap,

juga tiada datang.

tuan putri tersenyum,

kenapa kanda kesasar,

sekarang hamba mohon padanya.


Hamba sekarang mengundang beliau,

teruslah hamba permisi,

tuan putra memohon kepada Hyang Wisnu,

hamba pinjam kendaraan,

tuanku,

akan dipakai ke Koripan.


Batara Wisnu diceritakan,

bersabda manis,

ke sana Hyang Narada katanya,

bersama beliau Sanghyang


86 [ 86 ]konkon mai, ida pacang kapeselang.


353. Hyang Narada sawur sembah,

titiang ajrih dewa aji,

nampekin Sang Gruda reko,

panunggun lawang kon matur,

Batara Wisnu ngandika,

kema alih,

patih gora manwikrama.


354. Muwah cai Kala Upa,

miwah cai Jogor Manik,

rawuh katiga pajongkok,

Batara Wisnu mamuwus,

kala jani nunden kita,

kema aturin,

ida Sang Garuda enggal.


355. Katiga gelis mamarga,

Sang Garuda yan kapanggih,

wus matur pada pajongkok,

pada nyumbah bilang bucu,

sang garuda lon angucap,

iba mai,

apa ada gawen iba.


356. Gora Wikrama nyumbah,

para ida Jogor Manik,

kawula pada lingnya lon,

utusan Batara Wisnu,

i dewa reko ka jaba,

gelis-gelis,

pangandikan sun batara.


357. Sandikan ida batara,


Bregu,

panggil Hyang Garuda,

suruh ke mari,

beliau akan dipinjam.


Hyang Narada menyembah,

hamba takut tuanku,

mendekati sang Garuda,

penunggu pintu suruh bicara,

Dewa Wisnu bicara,

ke sana cari,

Patih Gara bersemadi.


Serta kamu Kala Upa,

serta kamu Jogor Manik,

datang ketiganya jongkok,

Dewa Wisnu mengutus,

hamba sekarang menyuruh kamu,

ke sana dibilangi,

beliau sang Garuda cepat.


Ketiganya cepat berangkat,

sang Garuda telah ketemu,

jongkok bicara semuanya,

dengan hormat setiap pojok,

sang Garuda pelan bicara,

kamu ke mari,

apa ada kerjanya.


Gora Wikrama menyembah,

beserta beliau Jogor Manik,

kamulanpala katanya pelan,

utusan Dewa Wisnu,

tuan katanya keluar,

cepat-cepat,

sabda sri paduka.


Menurut sabda Tuhan,


87 [ 87 ]nira twah kemante jani,

utusane jejeh ngetor,

katiga sareng elup,

manglawut kebatan umah,

mampuh mangkin,

gulem gumine asibak.


358. Sampun rawuh ring bancingah,

Hyang Wisnu ngandika aris,

ida kapeselang reko,

sandikan ida Hyang Wisnu,

kantunke mangkin batara,

mampuh gelis,

prapteng Jongbiru ring taman.


359. Kaunduk mangkin I Semar,

lawut gelu mangguliling,

ingetpesu munyi letog,

nyai bagus titiang takut,

kai galuy titiang getap,

tulung jani,

mati tiang gusti dewa.


360. Pun Semar makorekan,

apa ngago titiang mangkin,

kane lepas kene tidong, rahaden galuh gumuyu,

Condong Bayan mangedekang,

raden mantri,

gumuyu raris ngandika.


361. Ene suba Hyang Garuda,

pacang mambuat ka Bali,

I Smara nyumbah manyingkok,

sisip titiang dewa ratu,

titiang mangaturang sembah,


aku ke sana sekarang,

utusannya takut gemetar,

ketiganya semua masuk,

terus ke bawah tempat tidur,

terbang sekarang,

mendung langitnya separo.


Sudah sampai di muka istana,

Batara Wisnu bicara pelan,

beliau dipinjam katanya,

sabda Dewa Wisnu,

masihkah sekarang beliau,

terbang cepat,

sampai di taman Jongbiru.


Ketemu dengan I Semar,

serta berseru mengguling-guling,

keluar suaranya ngawur,

hai bagus hamba takut,

kamu putri hamba pengecut,

tolong sekarang,

mati hamba tuan.


Dia I Semar bingung,

apa saya pakai sekarang,

begini lepas begini bukan,

tuan putri tersenyum,

Condong dan Bayan mentertawakan,

putra mahkota tertawa,

serta berkata.


Inilah Hyang Garuda,

akan membawa ke Bali,

I Semar mengambil jongkok,

salah hamba tuanku,

hamba memberi sembah,

pada betari,


88 [ 88 ]ring betari,

ampura panjake odah.


362. Meneng ida sang Garuda,

raden galuh ngandika ris,

mendep endep da umong,

kene nyan weruh i guru,

raden mantri ngandika,

mendep jani,

gawe gati masiliban.


363. Rahaden galuh ngandika,

tutugan sukane kaki,

titiang ngajak kaki ejoh,

benjang besok titiang nawur,

kaki pacang mambuat katah,

yen ka Bali,

puniki sedaging taman.


364. Sang Garuda lingnya ngucap,

sandikan inyai cili,

iyake bahu haketo,

yadiyan ipun dowang iwu,

kaki pondong ngapisan,

raden dewi,

asung wastra ring sang kaka.


365. Raden mantri masalinan,

wastra limar jenar asri,

akampuh mega bang ijo,

masekar tunjungg biru,

sabuk gringsing anyar petak,

muwuh pekik,

pun Semar mangkin dinadar.


366. Wastra petak pasulaman,

makampuh candana kawi,


maafkan hamba tua.


Diam beliau sang Garuda,

tuan putra berkata pelan,

diam jangan bicara,

supaya jangan datang ayah,

tuan putra bersabda,

diam sekarang,

berat cepat bersembunyi.


Tuan putri bicara,

teruskan pertolongannya kakek,

hamba mengajak kakek jauh,

besok lusa hamba membayar,

kakek akan membawa banyak,

kalau ke Bali,

seisi taman ini.


Sang Garuda katanya,

sekehendak kamu putri,

walaupun sekian,

walaupun dua ribu,

kakek bawa sekali,

tuan putri,

memberi pakaian pada kakaknya.


Tuan putra bersalin,

kain limar jenar

asri (nama kain),

akampuh mega bang ijo,

bersumpang teratai biru,

ikat pinggang gringsing baru putih,

amat baik,

juga Semar berdandan.


Kain putih yang disulam,

berselimut cendana kawi


89 [ 89 ]sabuk papakewan ijo,
sami mapenganggo murub,
Condong Bayan wus
mapayas,
pada pasti,
sam i dinadaran wastra.

367. Raden galuh
ngayang-ngayang,
kadi mastatur sinangling,
rahaden galuh lingnyalon,
mari beli ke tuhun,
mangkin munggah
gegelisan,
sinya nawi,
i guru gelisan prapta.

368. Manjerum Sanghyang
Garuda,
tumulih amunggah sami,
pun Semar jejeh mangetor,
mangrasanin awak labuh,
sang Garuda lingnya
ngucap,
lah masidi irika apang
sasajan.

369. Mampeh sira sang Garuda,
nyerasab teked di langit,
gulem segarane tinon,
kaget sang yaksa andulu,
tumuli kapendet tinggal,
katon mangkin,
nyai cili ngawang-awang.

370. Sang yaksa amuncal putra,
kapi beneh nyai cili,
lawut mulih mandaradas,
manyambut jambengesisu,
lawut ngipuh di

(nama),
Ikat pinggang pepakewan
hijau,
semua berpakaian indah.
Condong dan Bayan
selesai berhias,
semua pasti,
semua berganti pakaian.

Tuan putri cantik jelita,
seperti disinari,
tuan putri katanya pelan,
mari kakanda keluar,
sekarang naik cepat-cepat,
barangkali,
ayahanda lekasan datang.

Membungkuk sang Garuda,
beserta naik semua,
I Semar takut gemetar,
merasakan diri jatuh,
sang Garuda katanya,
kalau di pesisir di sana
supaya sungguh.

Terbanglah ia sang Garuda,
mendekati langit,
mendung lautnya kelihatan,
tiba sang Raksasa di muka,
serta dilihatnya,
kelihatan sekarang,
putranda sayup-sayup.

Sang raksasa meninggalkan
putra,
walaupun benar kamu ananda,
lalu pulang sambil marah,
mengambil senjata, [ 90 ]bancingah,

engeh jani,

kadi garudugan kilap.


371. lambenge bas mageng pisan,

panjange sya depa nyari,

lumbange dwang dasa belah,

usane ngipuh mamburu,

sayangang tong iya enyak,

kepung jani,

sampun tampek sang Garuda.


372. Twi twah pamburun wirang,

sang kambehan pada enti,

papas kayu agung reko,

sing malang malesat remuk,

paksi buron mababiyuran,

raden dewi,

amuncal manik gelagah.


373. Manik tiying sibarengan,

matemahan dadi gesing,

ategal tur mangerobrob,

sang yaksa sasru amuwus,

akehang iba mamasang,

abas jani,

matemahan sampun telas.


374. Laju sang yaksa lumampah,

tampek pisan nyai cili,

binuncal manik segara,

sibarengan manik lukluk,

inguyap dening sang yaksa,


lalu mengasah taring di muka istana,

kelihatan sekarang,

seperti halilintar menyambar.


Taringnya besar sekali,

panjangnya 90 depa,

lebarnya 20 depa,

selesai mengasah taring mengejar,

disayangkan dia tiada mau,

kejar sekarang,

sudah dekat sang Garuda.


Sungguh yang memburu marah,

yang ditabrak serba terpelanting,

nabrak kayu besar,

yang melintang habis remuk,

burung dan binatang-binatang mabur ramai,

tuan putri,

melempar manik gelagah.


Manik bambu bersamaan,

seketika menjadi lautan bambu,

terhampar luas rapat,

sang Raksasa merabas cepat,

banyak kamu memasang,

dirabas sekarang,

sampai habis.


Cepat jalannya sang Raksasa,

dekat sekali kamu anakku,

dibuang manik laut,

bersamaan manik lukluk,

diserap oleh sang Raksasa,

habis airnya sekarang,


91 [ 91 ]asat mangkin,

gelis sang yaksa lumampah.


375. Saget mangkin tampek pisan,

binuncal manik api,

ategal apine ngobor,

sang yaksa mangkin

manyumbuh,

redep apine ategal,

sampun mangkin,

sampun tampek sang Garuda.


376. Rahaden dewi kewehan,

manangis mengrasa mati,

sampun kahungkulan pedang,

eling ring manike kantun,

manik atma kang binuncal,

kanggek mangkin,

sang yaksa tumuli pejah.


377. Rahaden galuh ngandika.

lah rerenang titiang kaki,

mandeg sang Garuda nyingkok,

rahaden galuh tumurun,

sareng Ken Sangit,

Ken Bayan,

raden dewi,

sampun prapta ring

sang pejah.


378. Gelis ida kaberesihan,

rahaden dewi manangis,

mirah adi anggon monmon,

kereb sutra ratna kayuh,

sampun mangkin binasmiyan,

putus mangkin,

sang yaksa dadi batara.


cepat sang Raksasa berjalan.


Tiba-tiba dekat sekali,

dibuang manik api,

sekebun apinya membakar

sang Raksasa sekarang menyembur,

mati apinya semua,

sudah sekarang,

sudah dekat sang Garuda.


Tuan putri kesusahan,

menangis merasa mati,

sudah diambilkan pedang,

ingat dengan maniknya masih,

manik atma dibuang

seketika mandeg sekarang,

Sang Raksasa terus meninggal.


Tuan putri bersabda,

hai berhentikan hamba kakek,

berhenti sang Garuda jongkok,

tuan putri turun,

bersama Sangit dengan Kebayan,

tuan putri sudah sampai pada yang meninggal.


Cepat beliau dibersihkan,

tuan putri menangis,

mirah adi dipakai monmon (upacara),

pembungkus sutra 100 fis,

sudah sekarang dibasmi,

selesai sekarang,

sang Raksasa menjadi dewa.


92 [ 92 ]379. Rahaden galuh manyumbah,
batara ngandika aris,
nyen ngambil i mirah reko,
raden mantri nembah matur,
titiang i mantri Koripan,
lah mamargi,
apang melah mamanjakang.

380. Nyaman cai belog pisan,
ajak yaditu di Bali,
munyi tuna goba kawon,
tani nawang kangin kawuh,
makejang anggonnya tuna,
nah to jani,
demenyuak-nyuak iya.

381. Raden mantri semu waspa,
kangen kaselek manangis,
duh dewa sang
panembahan,
sandikan sanghyang sinuhun,
rahaden galuh manyumbah,
dewa aji,
punika swargan i dewa.

382. Merune matumpang sanga,
pangayahe widya dari,
sri batara ngandika lon,
mani puwan bapa rawuh,
mandumadi ring i nanak,
dini jani,
bapa mulih ka swargan.

383. Enengakena sang atma,
kocapa rahaden dewi,
tumon ning sang atma
maletah,
manangis sarwi malungguh,
kangen jani ring sang ilang,
raden mantri,
milet ida ngusap waspa.

Tuan putri menyembah,
dewanya bersabda pelan,
Siapa mengambil anakku,
tuan putra menyembah
bicara,
hamba mantri Koripan,
hai jalanlah supaya
baik-baik memperistrikan.

Saudaramu bodoh sekali,
ajaklah di sana di Bali,
serta kurang rupa kurang,
tiada tahu apa-apa
semuanya kurang,
ia itulah jangan memusti dia.

Tuan putra seperti sedih,
kasihan terisak menangis,
tuanku dewa hamba,
hamba mengikuti tuanku,
tuan putri menyembah,

Meru bertumpang 9,
peladennya bidadari,
sri batara berkata pelan,
besok lusa ayah datang
menjelma dengan anakda,
di sinilah ayah pulang
ke surga.

Hentikan sang sukma,
diceritakan tuan putri,
melihat sang sukma ke surga,
menangis sambil duduk,
rindu kepada yang hilang.
tuan putra,
ikut menangis mengusap
air mata.

93 [ 93 ]384. Rahaden mantri ngandika,
sampun mirah gung anangis,
elingang ugi mas ingong,
pangandikane sang lampus,
nika suwun lemeng lemah,
dengeng sapin,
raden dewi megatin citta.

385. liang sedihe rahadian,
pitu ture nekaesti,
makere mangkin mamarga,
tingkahang ke kaki malu,
titiang mangkin ngantiang
munggah,
sampun mangkin,
manjarumpang sang Garuda.

386. Sampun telas mangkin
munggah,
mampeh gulem jagat sami,
kawungkulan Bali reko,
mangajang umah dedukuh,
raris ngojog ka pamrajan,
saring minging,
tumurun mangkin telasan

387. Sang Garuda lingnya ngucap,
dini jani kaki mulih,
aywa malara mas ingong,
rahaden galuh mawuwus,
margi kaki aywa duka,
singgih nyai,
kaki jani manggagana.

388. Malesat Sanghyang Garuda.
prapteng sura laya agelis,
De Dukuh saget mendelok,
kenyung tumuli maatur,
sadya ko mangkin i dewa,

Tuan putra bicara,
jangan tuan putri menangis,
ingatlah pesan beliau,
sabdanya yang meninggal,
itu dijunjung siang malam,
jangan lupa,
tuan putri memutuskan perhatian.

Hilang sedihnya beliau,
nasihatnya diingat,
mulai sekarang berjalan,
olahlah kaki dahulu,
hamba sekarang akan naik,
sudah sekarang,
membungkuk sang Ganuda.

Sudah semua sekarang naik,
terbanglah mendungnya dunia semua,
di atas Pulau Bali menuju
rumahnya De Dukuh,
terus menuju ke tempat
sembahyangannya,
di bawah harum, semuanya turun sekarang.

Kata sang Garuda,
di sinilah kakek pulang.
jangan sedih anakku sayang,
tuan putri menyahut,
berjalanlah kakek jangan
marah ya anakku,
kakek sekarang terbang.

Terbanglah sang Garuda,
sampai di surga,
De Dukuh terus menjenguk
senyum beserta berkata,
selamatlah tuanku, [ 94 ]sapunapi, yakti kadi atur titiang.

389. Tuwi kaki sapunika, kaliwat kuwehe kaki, De Dukuh maatur alon, margi simpang ratu dumun, margi kaki tur lumampah, raden mantri, sagrehan raris mantukan.

390. Malungguh di bale kembar, De Dukuh suka tan sipi, tumuli maatur alon, boya twah dwen. doning adoh dahet sangka, tuwi kaki, baskagengan dewa cihna.

391. Lamun kaki jani suba, cihna makingsan ke kaki, kutus dina suwennya reko, mundut dini raden galuh, sandikan ida rahadiyan, sampun ugi, i ratu mangkin sangsaya.

392. I riki tan wenten durga, rahaden galuh anangis, raden mantri mojar alon, tur pinekul raden galuh, duh dewa gusti mas mirah, purweng sari, titiang parek ring sang nata.

393. Segara madu gunung menyan, apang katur nene mangkin,

bagaimana sungguh seperti kata hamba.

Sungguhlah kakek demikian, sungguh-sungguh susahnya kakek, De Dukuh berkata pelan, mari mampir dahulu, ayo kakek beserta berjalan, tuan putra, semuanya terus pulang.

Duduk di balai kembar, sukanya hati De Dukuh tak terhingga, beserta bicara pelan, sungguh bahaya tuanku, amat jauh dan sukar, sungguh kakek, sungguh besar karunia Tuhan.

Kalau kakek sekarang suka, saya akan menitip kakek, delapan hari lamanya menjaga di sini tuan putri, hamba bersedia menurut tuanku, janganlah tuanku sekarang curiga.

Di sini tak ada penyakit, tuan putri menangis, tuan putra berkata pelan, serta memeluk tuan putri, duhai adinda kusayang, permataku, hamba menghadap raja.

Segara madu gunung menyan, supaya dipersembahkan

95 [ 95 ]ka Metaum ring sang katong,
puniki simsim pangayu,
kedep titiang masarengan,
lemah wengi,
i riki ngemban i mirah.

394. Miriki mabin mas mirah,
raris inginggenan simsim,
raden galuh nanggap alon,
tur asung sepah mrik rum,
malinggih ugi mas mirah,
titiang pamit,
sampun sangsaya ring titiang.

395. Yening mirah masarengan,
buka banih sri bupati,
De Dukuh umatur alon,
sampun sareng ke Metaum,
kacingak antuk sang nata.
urung kambil,
i dewa margin yudda.

396. Inggih lamun sapunika,
banggayang titiang i riki,
marga ke beli debengong,
sengguh titiang beli ngapus,
rahaden mantri mamarga,
tolah tolih,
kaki Dukuh lan elingang.

397. De Dukuh masahur sembah,
sandikan rahaden mantri,
lewih satus dina reko,
yadiyan asasih atahun,
titiang suka andadama,
raden dewi,
sampun i dewa sangsaya.

sekarang.
ke Metaum kepada raja,
ini cincin pengantar,
a nggaplah hamba ikut,
siang malam,
di sini menjaga tuan putri.

Mari dipangku adinda,
terus dipakaikan cincin,
tuan putri menerima,
tuan putri menerima pelan,
serta berciuman baunya
harum,
duduklah adikku sayang.
hamba permisi,
jangan curiga dengan hamba.

Kalau adinda ikut, seperti marah tuanku raja, De Dukuh berkata pelan, jangan turut ke Metaum, dilihat oleh raja, tak jadi diambil, tuanku jadi jalannya perang.

Ya, kalau demikian, biarlah hamba di sini, jalanlah kanda jangan melongo, saya kira kanda menipu, tuan putri berjalan, menoleh-noleh kakek Dukuh ingatkan.

De Dukuh sahut sembah, hamba menurut tuan putra, lebih dari 8 hari, walaupun sebulan setalun, hamba suka menjaganya, tuan putri, jangan Curiga. [ 96 ]398. Rahaden mantri mamarga,

I Semar tansah mangiring,

pamrajane sampun ejoh,

tan kocapanya ring enu,

ring Metaum sampun prapta,

sri bupati,

sedek katangkil ring jaba.


399. Tandua raden mantri prapta,

sinwa gata den nrepati,

polih ko cai reko,

inggih polih titiang ratu,

dijaha cai mabahan,

sadya polih,

inggih adoh saking Jawa.


400. Titiang matur ring i dewa,

sampun mangungkab i riki,

ring Daha ungkab sang katong,

sang prabu suka menurut,

duh cai yen jani ngaba,

apan cai,

mambakatang yogya ngaba.


401. Duh yayi patih prasama,

punggawa lan pra mantri,

pangrah awadwan ingong,

nudas lemah nepak klukul,

maisepada serahang,

pitung siki,

bawi anang tigang benang.


402. Ne maaji panyiuwan,

lawan beras pitung tali,


Tuan putra berjalan,

I Semar tak luput menurutkan,

tempatnya De Dukuh sudah jauh,

diceritakan sekarang di jalan,

di Metaum sudah sampai,

tuanku raja kebetulan

dihadap di istana.


Kebetulan tuan putra datang,

Siwagata dan Nrepati

(cepatlah kamu datang),

apakah dapat kamu,

ya hamba dapat,

di mana kamu mendapat,

bahagia dapat,

Sungguh jauh dari Jawa.


Hamba sembah kepada baginda,

Jangan membuka di sini,

di Dahalah dibuka tuanku raja,

raja suka menurut,

hai kamulah membawa,

Karena kamu,

yang mendapat membawa.


Hai kamu patih semua,

punggawa,

dan manca-manca,

perintahkan rakyatku semua,

pag-pagi membunyikan kentongan,

Ke mari semua datang

tujuh orang,

babi 75 ekor.


Yang berharga ribuan,

serta beras 7000,


97 [ 97 ]kambing solas tunden ngorok,

kidange serahang satus,

kulesihe tigang dasa,

ulam pasih wangjani

kenehing ebat.


403. Nigeh embaken sedahan,

genepin ja ento jani,

suba ada pada ento,

ken patih sawur manuk,

sandikan ida sang nata,

puput sami,

pangrawose di bancingah.


404. Ne mani pisan puputang,

karyane lawut mabuncing,

lawut manedunang egong,

nem barung raris matabuh,

sampun maswara ring jaba,

gambuh inijil,

joget legong maigelan.


405. Muni gambuh lan prawasa,

gending luang kumalili,

kekelaran wayang wong,

wong nonton seksek sepenuh,

solah bedil baris jangkang,

kala wengi,

pakang raras wayang parwa.


406. Tanabuh gender angraras,

kang pragina wong pawetri,

ayu-ayu anom-anom,

gawok sama wong andulu,

ida ngistri ring jro pura,


kambing 11 suruh menyembelih,

rusa 200 ekor,

kulesih 30,

ikan laut,

sekarang dimasak.


Mintalah kepada penyangkat,

lengkap itu semua,

semuanya telah ada,

semua pegawai sembah matur,

mengiringkan perintah raja,

selesai semua,

perundingannya di istana.


Besok semuanya diselesaikan,

pekerjaan raja kawin,

terus menurunkan gong,

6 barung semuanya,

semua telah ditabuh,

di istana,

tari-tarian gambuh,

joget legong main semua.


Bunyi gambuh dan prawasa,

gending luang kumahli (nama gending),

kekelaran wayang orang,

orang menonton penuh sesak,

tarian bedil baris jangkang,

waktu malam,

pakang raras wayang parwa (nama-nama tarian).


Dipukul gender pelan-pelan,

penarinya orang-orang putri,

cantik-cantik muda-muda,

heran semua orang yang lihat,


98 [ 98 ]manukangin, ban ten saluiring karya.

407. Undang undange katah,
mebat pratiyaksa sami,
tekap pragina nabuh egong,
swarane mangalun-alun,
mamunyi ya cumbang
kirang,
mangrerengih,
solahe katah to ntonan.

408. Pinah sanyja mangkin usan, peteng ana wayang kelir, dalang saking pajang anom, muwah ring pamotan rawuh, ento dalang kasub pisan, swara manis, babenyon manduga citta.

409. Wengi sampun dawuh lima,
maswara heneng kang latri,
rahina kocapa reko,
sang prabu ka jaba sampun,
jaranne sampun mapayas,
sri bupati,
sampun wusan maktramas.

410. Mawastra yen cakra biwa,
makampuh candana kawi,
macota patola ijo,
asabuk taluki alus,
magelang kana puspu pak,
nyungklit keris,
landeyan togog kencana.

411 . Ali-ali windu sara,
sekar tunjung biru asri.
munggah ring kudane alon.

beliau mengerjkan di istana,
menjadi tukang,
semua sesajen pekerjaan.

Undangannya banyak,
membuat makanan semua
semangat,
beserta penari dan tukang
tabuh,
suaranya sayup-sayup,
bersuara gong cumbang kirang, suaran ya nyaring, gerakn ya banyak tontonan .

Tariannya sekarang berhenti,
malamnya ada wayang,
dalang Pajanganom,
serta dari Pamotan datang,
dalang itu terkenal sekali
suaranya manis lucunya
menyenangkan hati.

Malam sampai pagi,
bersualah sampai pagi,
sekarang sudah pagi.
tuanku raja keluar sudah,
kuda nya sudah dihias,
tuanku raja,
sudah berhenti cuci rambut.

Pakai kain cakra bawa, berselimut candana kawi, macota patolo hijau, ikat pinggang ta luki alus, magelang kana puspupak, pakai keris, hulu keris togog emas.

Cincin mata winten sara, kembang teratai biru cari, naik ke kudanya pelan,

99 [ 99 ]mairingan duwang iwu ,
Bagus Umbara mamarga,
sada nyamping,
ida makta pacananga.

412. Tampek ring negareng
Daha,
panjake akeh pabisik,
ento ne ngaba wisawahan,
pantesan ida di duhur,
sang prabu ngaba pabwahan,
keto asin,
sang prabu saget
ngrunguwang.

413. Sang prabu alon ngandika,
Bagus Umbara kasengin ,
cai pet manunggang jaran,
depang maman jani tuhun,
Bagus Umbara mamindah,
titiang pamit,
ring idewa nunggang kuda.

414. Bagus Umbara mangrasa,
awetu sabda ring ati,
kenken kayunne sang katong.
dadi awake katuduh,
pacang manegakin jaran.
keto jani,
pakayunanne sang nata.

415. Sang prabu tumedun enggal.
deh pacanangane cai,
kema cai nunggang kuda,
duh dewa ratu sang prabu,
titiang ndaweg mindah pisan,
sri bupati.
sareng si beten mamarga.

416. Tan kocapannya ring marga.v prapta ring daha agelis,
ngaba rempyek ngaba

diiring orang dua ribu,
Bagus Umbara berjalan,
agak nyamping dia bawa
tempat sirih raja.

Dekat negara Daha,
rakyatnya banyak berbisik,
yang membawa tempat sirih ,
patutnya dia di atas,
raja bawa tempat sirih,
pantasnya begitu,
raja sangat memperhatikan.

Tuanku raja bersabda pelan,
Bagus Umbara dipanggil,
kamulah naik kuda,
biarlah aku turun,
Bagus Umbara menolak,
hamba tiada mau,
baik tuanku naik kuda.

Bagus Umbara merasa,
ke luar kata dalam hati,
bagaimana hatinya raja,
kenapa kita yang dituduh,
akan menaiki kuda,
demikian sekarang,
hatinya sang raja.

Raja turun segera,
mari tempat sirihnya,
ke sana kamu naik kuda,
aduhai tuanku raja,
hamba maaf sekali-kali,
tuanku raja,
turut di bawah berjalan .

Ceritakan di dalam
perjalanan,
sampailah di Daha cepat.

100 [ 100 ]repyok,

sang nateng ida kajujur,

sedek katangkil ring jaba,

pangrawosin,

hokane sedih tanpasah.


417. Ken Bayan alon angucap,

sampun mirah gung manangis,

apan widi manggenahang,

apirudda dewa ratu,

masabina jalan mangguwan,

iring mangkin,

kayune ajin i dewa.



418. Kudiyang nira nyaruwang,

urung kai mati sedih,

ndiken i beli nongos,

juang titiang beli bagus,

ajak pisan titiang pejah,

beli lalis,

matetagon ring titiang


419. Ratu Metaum wuwusan,

sampun prapteng Daha mangkin,

kabancingah raris ngojog,

sang prabu Daha kawuwus,

kari pepek penangkilan,

patih mantri,

pada tumon garawalan.


420. Lewih tawang jaba-jaba,

pacta kemenangan sami,

Bagus Umbara lingnya lon,

duh dewa ratu sang prabu,

titiang mangkin mengaturang,

ring nerapati,

segara madu gunung menyan.



membawa bermacam-macam,

menuju tuanku raja Daha,

kebetulan dihadap di muka istana,

membicarakan,

putranya susah tak henti-hentinya.


Kepada Bayan bicara pelan,

janganlah ananda menangis,

karena Tuhan menghendaki,

biar bagaimanapun,

tiada lain yang akan ditemui,

mari sekarang,

turutkan kehendak ayahanda.


Bagaimanakan melipurnya,

terpaksa aku mati sedih,

di mana kanda berdiam,

ambil hamba kanda bagus,

ajaklah adinda mati,

kanda sampai hati,

membiarkan hamba.



Ceritakan raja Metaum,

sudah sampai di Daha,

ke istana terus menuju,

sang raja Daha diceritakan,

masih tetap dihadap,

pegawai istana,

serta melihat semuanya.


Apalagi rakyat jelata,

semua kepergok,

Bagus Umbara katanya pelan,

aduhai tuanku raja,

hamba sekarang mempersembahkan,

kepada tuanku raja,

segara madu gunung menyan.


101

[ 101 ]421. Ratu Metaum ngandika,

kemake aturang cai,
Dagus Umbara jumrojog,
sang prabu Daha kejajur,
tumuli ngaturang sembah.
duh puniki,
segara madu gunung menyan.

422. Sang ratu Daha ngandika,
Patih Kepunta ka puri,
aturin twan galuh reko,
telasang sapuri pesu,
Patih keepunta ka pura,
matur ring sira
prameswariya.

423. Segara madu gunung
menyan,
punika yen sampun prapti,
pangandika de sang katong,
telasang sapuri metu ,
raden galuh prameswarya,
Bayan Sangit,
Condong sagrehan ka jaba.

424. Sapraptane ring bancingah,
sang pra bu nyingak twan
dewi,
gurune ngandika alon,
nguda nyai
simprang-simprung,
raden galuh nyrit lara,
guru aji,
wurung pejah awak ingwang.

425. Sarwi anangis ngandika,
aduh dewa guru aji,
angan twah pada manganggo,
mawastra miwah masabuk,
titiang sampun twah

Raja Metaum bersabda,
ke sanalah dipersembahkan.
Bagus Umbara menuju
menghadap sang raja Daha
dituju,
serta menyembah,
duhai inilah segara madu
gunung menyan.

Raja Daha bersabda ,
Patih Kepunta ke istana,
diaturi tuan putri,
semuanya keluarga istana
keluar,
Patih Kepunta ke istana,
menghadap kepada sang
permaisuri.

Segara madu gunung
menyan,
itu sekarang sudah datang,
sabda raja maka sami medal,
tuan putri dan permaisuri,
Bayan Sangit.
Condong,
semua ke muka istana.

Sesampainya di muka istana,
raja melihat tuan putri.
raja bersabda pelan,
kenapa kamu kurang cantik,
tuan putri menjerit susah ,
tuanku raja tak luput hamba
akan mati.

Sambil menangis bicara,
aduh tuanku ayahanda,
kasihani serta semua
berpakaian,
memakai kain serta

102 [ 102 ]mawastra,
matuwutin,
sabikas-bikas anak.


426. Gurune angrasa-rasa,
kudiyang bas malajahin,
beneh bannya jani keto,
pesu manganggo kusut,
suba ia ja turutang,
genpiduwin,
tan urung menggawe sara.


427. Lah mai pada paekang,
guru nunden mangungkabin,
para istrine maekang,
pada ngabih raden galuh,
demang demung mantri pada,
tampek sami,
Bagus Umbara kocapa.


428. Alungguh sareng sang nata,
Metaum tampek malinggih,
pra mantri ajajar-jajar,
kadean ratu Metaum,
sami marep ring segara,
sri bupati,
ring Daha ngandika bungkab.


429. Gunung menyane kaungkab,
katon macane mandelik,
lawyan lan singa barong,
kumangmang mungsur
kukutu,
deres lawan tangan-tangan,
tendas buntit,


bersetagen,
hamba sudah pakai kain,
menuruti kebiasaan orang.


Ayahanda telah merasa
bagaimanakan membilangi,
kenapa sekarang demikian,
keluar berpakaian kusut,<
br> sudah dia dituruti, kalau diduakalikan tak
urung membuat sengsara.


Hai ke mari semua mendekat,
ayahanda menyuruh
membuka,
semua putri-putrinya
mendekat,
semua mencari tuan putri,
demang-demung bersama
mantri,
dekat semua,
Bagus Umbara diceritakan.


Duduk bersama raja,
raja Metaum dekat duduk,
para pegawai istana
berjejer-jejer,
banyak raja,
Metaum,
semua menghadap ke segara,
tuan raja,
dari Daha menyuruh
membuka.


Gunung menyan dibuka,
kelihatan harimau mendelik,
laweyan dan singa barong,
kumangmang mungsur
kukutu,
deres dengan tangan-tangan,
tendas buntit,

103

[ 103 ]matane lwir surya kembar.


430. Nagapasahe manyebak,
pasuliah ngrasangati,
sang nateng Metaum ngetor,
takute sampun mamuput.
kantun ke Bagus Umbara,
maman mulih,
malaib sadanya jayang.


431. Tan panolih ring bancingah,
pun Semar manutug gelis,
sinambut tanganne karo,
sumingkin sang prabu takut,
pun Semar kedeh
ngandegang,
dewa gusti,
manguda i dewa rengas.


432. Nguda tetagone kutang,
i dewa kayun mabuncing,
punapi timpalin reko,
sang prabu tan kena sahur,
ngetor tangane ampigang,
tanpa nolih,
pun Semar ditu ngelakang.


433. Sajayang malaib dewa,
punika katah di uri,
manutug ida sang katong,
de mabalik dewa ratu,
kenang pungguta i dewa,
pabecatin,
malaib dewa angsehang.


434. Sang prabu sumingkin
sengap.
malaib jani gigisin,


matanya sebagai matahari
kembar.


Nagapasah menganga,
berkeliaran menakutkan hati,
raja Metaum gemetar,
takutnya luar biasa,
masih Bagus Umbara,
aku pulang,
lari serta cepat-cepat.


Tiada melihat ke istana,
serta Semar mengikuti cepat
, diambilnya tangannya
keduanya,
bertambah raja takut,
Semar keras hati
menghentikan,
tuanku raja,
mengapa tuanku liar.


Kenapa calonnya ditinggal,
tuanku mau kawin,
bagaimana tiada menyahut
katanya,
tuan raja tiada menyahut,
gemetar tangannya
menamplik,
tiada menoleh dia Semar
di sana menjenguk.


Sungguh beliau lari.
itu banyak di belakang,
mengikuti dari belakang,
jangan kembali duhai tuan,
yang mana diikuti tuanku,
sepatkan,
larilah tuanku kuatkan.


Tuanku raja semakin liar,
lari sekarang dikurangi.
tulang kering kakinya dan


104
[ 104 ]lulud batis onya kelor.

palaib beh ebah bangun,
suba teked di bancingah,
padidii,
ka jero ngancing lawangan.


435. Iringanne pakuliya,
mamrih awak pada mulih.
bubar di bancingah
gongsor,
suba teked di Metaum,
ada mapeta di jalan,
tawang jani,
kene tong makita luas.


436. Dane ngawe jengah raga.
apa ne yen palaibin.
suba twah te dane getap.
ngagenang mabuncing
buwung.
tetagone jani kutang.
palaibin,
tuwi manakutin lawat.


437. Bala ring Metaum telas,
mantuk prapta ring negari,
ada brangti ada bengong.
ada nguwilada guyu.
ada erangang bebayan.
nyambut brangti.
patih mantri mamangenang.

438. Ring Metaum tan kocapan.
ring Daha kocapan malih.
akeh wong ageguyon.
matutur prabu Metaum.
suba twah dane getap.
apa alih.


betisnya luka.
lari tunggang-langgang,
sudah sampai di istana.
sendirian.
ke kamar mengunci pintu.


Iringannya kocar-kacir.
mengingatkan diri pada
pulang.
bubar di istana ambyar,
sudah sampai di Metaum.
ada bicara di jalan.
tahu sekarang,
beginilah tiada ingin
bepergian.


Beliau membuat diri malu.
apa itu ditakuti,
memanglah beliau pengecut,
maunya kawin batal,
calonnya sekarang ditinggal.
melarikan diri.
sungguh menakutkan
bayangan.


Rakyat di Metaum habis.
pulang ke desanya
masing-masing.
ada marah ada melongo.
ada menjerit ada tertawa.
ada diikuti tak karuan.
pulang marah.
pegawai istana
mengomongkan.


Tak terceritakan di Metaum,
sekarang diceritakan di Daha.
banyak orang tertawa.
menceritakan raja Metaum.
memang beliau pengecut.
untuk apa ke mari.

105

[ 105 ]mai mengaduang raga.

439. Sang prabu Daha ngandika.
Bagus boya cai polih,
jalan pet cai ke jro,
baya widin bapa rawuh,
lantas saroro ka pura,
sampun prapti,
sang prabu ngucaping
manah.


440. Emang jani baan mangrasa,
yen wong sudra yen wong
lewih,
mirib i mantri Koripan,
tatagone nanak galuh,
wong jero pada kernengan,
nyet di ati,
singnya mantri Koripan.


441. Raden galuh prapting pura,
penganggon balene lewih,
sangsangan pitola ijo,
leluwur manjeti alus
, tugeh emas manguranyab,
kasur sari,
maules geringsing wayang.


442. Wengi sampun dawuh lima
, raden mantri amaranin,
raden galuh oneng turon,
rahaden mantri anambut.
pinangkuwi ngaras-aras,
raden dewi,
mdasang manyakar-nyakar.


ke mari merugikan diri
sendiri.

Raja Daha berbicara,
Bagus jangan kamu pulang,
marilah kamu ke istana,
barangkali tuanku datang,
lalu berdua ke istana,
sudah sampai,
raja berkata dalam hati.


Bimbang sekarang
memikirkan,
apa orang kebanyakan atau
orang bangsawan,
barangkali tuan putra
Koripan,
calonnya tuan putri.
orang-orang istana semua
bingung/ragu-ragu,
ingat dalam hati,
barangkali tuan putra
Koripan.


Tuan putri sampai di istana,
perhiasan balainya amat
indah.
sampiran petala ijo,
atasnya menjadi halus,
tiang di atas daripada mas
katur sari,
dibungkus geringsing wayang.


Sudah malam jam 7.30,
tuan putra memanggil,
tuan putri di tempat tidur,
disambut tuan putra,
dipangku dicium-cium
tuan putri,

memperhatikan melihat-lihat.


106
[ 106 ]443. Gumuyu rahaden mantriya,

gawuk titiang dewa malih,
apang titiang onya kelor,
rahaden galuh tumurun,
sah sakeng pamreman,
raden mantri,
manggabel mangaras-aras.

444. Raden dewi sayan lara,
asambat-sambat anangis,
mungkul mandapa alon,
yeh aksine deres metu,
beli mantri Koripan,
nguda beli,
jani lalis ngutang titiang.

445. Raden dewi anyrit,
lara kapati-pati anangis,
meling idaring tetagon,
petekan titiang beli bagus,
ajak titiang Koripan,
nguda beli,
las matetagon ring titiang.

446. Raden mantri ngandika,
ujare aruma manis,
duh tandruh mangkin mas
ingong,
titiang niki sampun rawuh,
titiang amantri Koripan,
sampun lami,
titiang luas mangumbara.

447. Titiang manglanglangin
buwana,
ngantenang ratune luwih,
mangda titiang tatas reko,
engken kuma engken dudu,

Tersenyum tuan putra,
heran hamba sekarang,
supaya hamba payahnya
hilang,
tuan putri turun,
pergi dari tempat tidur,
tuan putra,
memegang mencium-cium.

Tuan putri makin susah,
memanggil-manggil menangis,
tunduk mendatangi pelan,
air matanya deras keluar,
kanda tuan putra Koripan,
kenapa kakanda,
sampai hati sekarang
meninggalkan hamba.

Tuan putri menjerit susah,
menangis setengah mati,
ingat dengan calonnya,
perhitungan hamba kanda
bagus,
ajaklah hamba ke Koripan,
kenapa kakanda,
sampai hati mencalonkan
hamba.

Tuan putra berbicara,
perkataannya sedap manis,
kenapa adinda menanyakan
manisku,
hamba ini sekarang datang,
hamba tuan putra Koripan,
sudah lama hamba pergi
mengembara.

Hamba pergi berkeliling,
melihat rajanya utama,
supaya hamba tahu yang
mana tiada yang mana
sungguh,

107

[ 107 ]punika kantenan titiang,

ne kapanggih,
ratu ring Metaum alpa.


448. I rika titiang magenah,
wenten sampun tigang sasih,
wenten kayune sang katong,
manglamar i dewa dumun,
titiang sampun menjaman,
dumum mriki,
tur mbakta raja panomah.


449. Segara madu gunung
menyan,
ajin i dewa mangwidi,
teken ida sang katong,
titiang ko lungha angruruh,
rawuh titiang saking Jawa,
raden dewi,
ring Jongbiru macihnayang.


450. I rika titiang mabahan,
rahaden dewi lingniya aris,
inggih beli lamun keto,
malah san titiang
manggawuk,
ampura nentugi titiang,
lintang sisip,
tandruh saja mangkin titiang.


451. Ilenengakena sapunika,
raden mantri mamaranin,
sahnin sinjang madya meros,
marawate kuning lumlum,
asawang ta anguluh danta,
raden mantri,
nungbenin angaras madya.


itulah hamba lihat,
yang kelihatan raja Metaum.


Di sana hamba berdiam,
ada sudah tiga bulan,
ada keinginannya raja
melamar tuanku dahulu,
hamba yang meminangnya,
dahulu ke mari,
membawakan mas kawin.


Segara madu gunung
menyan,
permintaan ayah tuanku
putri,
kepada beliau sang raja
Metaum,
hamba yang mencarikannya,
sesampainya hamba dari
Jawa,
tuan putri di Jongbiru
memberikan.


Di sana hamba diam,
tuan putri katanya pelan,
ya kalau demikian kanda,
malah hamba memeluk,
minta maaf hamba,
amat salah,
baru menanya sekarang
hamba.


Diamkanlah dahulu.
demikian,
tuan putra mendatangi,
berganti kain madya meros,
berwarna kuning muda,
seperti keputih-putihan,
tuan putra,
serta mencium-cium di dada.

108
[ 108 ]452. Sayan lesu raden dewiya,

angrungu ugar angrengih,
tulusakena masingong,
pupunan manira masku,
tolihan titiang sakedap,
sang dyah ari,
sungsungan manira sepah.


453. Sang diyah tutut
narimayang,
saking lambe ananggapin,
tumuliya mupu kalengon,
wusdenya mupu pinupu,
wusannya mupu kelangwan,
kocap enjing,
sekaka-kaka wus medal.


454. Kumerancang sanghyang
surya,
raden mantri lingnya aris,
titiang mapamit mas ingong,
titiang ke umah De Dukuh,
titiang mangambil pakingsan,
dwang wengi,
maklonya titiang luwas.


455. Rahaden dewi ngandika,
kangge te kayun i beli,
anging sampun beli elong,
masa maya mriki rawuh,
sandikan ida rahadian,
titiang pamit,
pun Semar tansah ngiringang.


Makin payah tuan putri,
mendengarkan perkataan
yang lemah lembut,
teruskanlah adinda sayang,
puaskanlah hatimu adinda,
lihatlah kanda sebentar,
tuan putri dipeluk dan
diciumnya.


Tuan putri ikut
menerimanya,
dari bibir menyampaikan,
beserta mengisap kesenangan,
selesai saling memuaskan
hawa nafsu,
selesainya memuaskan hawa
nafsu,
sampai pagi,
terlaksana sepuas-puasnya.


Bersinarlah sang surya,
tuan putra katanya pelan,
hamba permisi adinda
sayang,
hamba ke rumahnya De
Dukuh,
hamba mengambil titipan,
dua hari,
lamanya hamba pergi.


Tuan putri berkata,
sekehendak tuanku kanda,
hanya jangan berbohong,
kanda,
masakan hamba tiada datang
ke mari,
hamba menurut adinda,
hamba permisi,
dan Semar tak lupa mengikut.


109

[ 109 ]456. Makire mangkin mamarga,

raden galuh semu tangis,
rakane jagjagin alon,
mariki mabin sangayu,
asung sepah sarwiya ngaras,
sang diah ari,
titiang mapamit mas mirah.


457. Kari i dewa mirah,
titiang mapamit ne mangkin,
sampun sangsaya mas ingong,
titiang ngawenin i ratu,
ping sapta titiang manjadma,
pang kapanggih,
i dewa malih ring titiang.


458. Raden dewi sayan rena,
mamargi ke beli mangkin,
eda beli bengang-bengong,
depang titian deriki kantun,
rahaden mantri mamarga,
prapteng desa,
sampun anusup ring alas.


459. Tan kocapa nya sang lunga,
wuwusan sri nara pati,
atangi raris ka jero,
mangalih nanak galuh,
miwah sira pramiswariya,
rantenaji,
raden galuh wus medal.


460. Sapraptane seri narendra,
okane tumurun gelis,
sarwi manembah sang
katong,
kapa tandruh titiang guru,
kaden titiang dane anak,
beli mantri,
dane sampun ngambil titiang.


Akan berjalan sekarang,
tuan putri seperti menangis,
kandanya mendekati pelan,
ke mari saya pangku adinda,
dicumbu rayu dan
diciumnya,
tuan putri,
hamba permisi adinda
sayang.


Di sinilah adindaku sayang,
hamba permisi sekarang,
jangan curiga adindaku,
tujuh kali hamba menjelma,
supaya ketemu tuanku
bersama hamba.


Tuan putri makin senang,
berjalanlah kanda sekarang,
jangan kanda melamun,
biar hamba di sini tinggal,
tuan putra berjalan,
sampai di desa,
sudah masuk ke hutan.


Tak terceritakan yang jalan,
diceritakan sang raja,
bangun lemas di istana
mencari tuan putri,
beserta beliau tuan putri,
pantemaja,
tuan putri telah keluar.


Sesampainya tuanku raja,
putrinya turun segera,
sambil menyembah tuanku
raja,
malah hamba bertanya.
tuanku,
hamba sangka beliau orang lain,


110
[ 110 ]461. Segara madu gunung

menyan,
i beli reke mangalih,
polih di Jongbiru reko,
yen ida reke twan galuh,
dane reke maicawang,
ring i beli,
sang prabu kalintang suka.


462. Yan pelih ban bapa narka,
rupane twara masalin,
dening ya ilang makelo,
sangkan bapa enung tandruh,
jani katujunya teka,
baya widi,
condong bayan pada suka.


463. Sang prabu alon ngandika,
dane kijeha sijani,
raden galuh sawur alon,
dane ka umah De Dukuh,
kocap mangambil pakingsan,
yan punapi,
dane tan wenten ngorahang.


464. Rahaden mantri kocapang,
mangantun-antun mamargi,
prapta ring alasta kulon,
mamenggal ka
gunung-gunung,
katon jani kakayonan,
tur angrawit,
bungkane majajar-jajar.


465. Kayu puring,
kayu emas,

kandaku,
beliau sudah mengambil
hamba.


Segara madu gunung
menyan,
kanda katanya mencari
dapat di Jongbiru katanya,
dikira tuan putri,
beliau yang memberikan
kepada kakanda,
tuan raja amat suka.


Tiada salah terkaan ayah,
rupanya tiada berubah,
karena ia hilang lama,
makanya ayah agak keliru,
sekarang dia sudah datang,
kehendak Tuhan,
Condong.
Bayan,
semua suka.


Tuanku raja bersabda pelan,
ke mana dia sekarang,
tuan putri menyahut pelan,
dia ke rumah De Dukuh,
katanya mengambil titipan,
entah apa,
dia tiada membilang.


Diceritakan tuan putra,
termangu-mangu di jalan,
sampailah di hutan di Barat,
masuk ke gunung-gunung,
kelihatan kayu-kayuan,
amat indah,
bunganya berjejer-jejer.


Kayu puring kayu emas,
andong bang dan bambu

111

[ 111 ]andeng bang lan ampel

gading,
telagane sada jimbar,
madaging tunjunge biru,
tunjung putih tunjung barak,
panjar dewi,
ukur telaga angraras.

466. Bungane saluwirang bunga,
nedeng kembang mrik
sumirit,
lawan naga sarwya ngayon,
ento pamrajan dedukuh,
tan kocapa ring dadalan,
sampun prapti,
sedek De Dukuh,
tan kocapa ring dadalan,
sampun prapti,
sedek De Dukuh ring jaba.

467. Raden mantri saget prapta,
kawehan kapendak lising,
De Dukuh raris maserot,
tuwun manyapa sang bagus,
cokor i dewa koprapta,
dong mangraris,
jalane kaki mulihan.

468. Sareng De Dukuh mulihan,
rahaden galuh kapanggih,
raden galuh nyapa alon,
duh i beli koyan rawuh,
rahaden mantri,
manyajag,
nyawut abin,
tan warsi ingaras aras.

469. De Dukuh nabdabang sedah,
ring lalepermas angrawit,
katur ring rahadiyan karo,

kuning,
telaganya luas,
berisi teratai biru,
teratai putih dan merah,
panjar dewi,
di atas kolam bertaburan.

Bunga bermacam-macam
bunga,
sedang mekar harum
mewangi,
beserta pohon nagasari,
itu suara De Dukuh,
tak diceritakan di jalan,
sudah sampai,
kebetulan De Dukuh di luar.

Putra mahkota tiba-tiba
datang,
diikuti dengan perhatian,
De Dukuh segera turun,
turun menyapa sang Bagus,
tuanku datang segera,
silakan masuk,
marilah kakek pulang.

Diikuti De Dukuh masuk,
tuan putri ketemu,
tuan putri menyapa pelan,
aduhai kandaku datang,
tuan mahkota mendekati,
dipeluk terus dipangku,
beserta dicium-cium.

De Dukuh mengambilkan
sirih di balai permas yang
asri,

112 [ 112 ]raden mantri nginang suruh,
raden galuh sinarengan,
muwah pangiring,
sami wusan dahar sedah.

470. Rahaden galuh ngandika,
titiang matur ring i beli,
De Dukuh ganyjarin reko,
bungkung lawan kemben
saput,
salimpet kalawan bapang,
ento jani,
pacang panganggo mapiya.

471. Rahaden mantri ngandika,
wiyakti patut dewa gusti,
ganjuman ngenduh i dewa,
yan dane kaki Dukuh,
malu mitu juhing titiang,
bayan dugi,
titiang sadiya ring i dewa.

472. Niki kaki bungkung dadua,
lan saput jele kekalih,
wastra petak lawan bapang,
salempete putih alus,
jalan kaki mapuja,
anggon kaki,
bungkungang mapatanganan.

473. De Dukuli raris menyembah,
nunas titiang dewa gusti,
rahaden galuh lingnya lon.
niki pada aba pesu,
iringane pada teka,
pada ngambil,
sampun telas ka bancingah.

dipersembahkan kepada
beliau berdua,
tuan putra memakan sirih
beserta tuan putri bersamaan,
beserta pengikut,
semua habis menginang.

Tuan putri berkata,
hamba berkata pada
kakanda,
diberi De Dukuh oleh-oleh,
cincin beserta kain dan
selimut,
slimpet dan bapang,
itu semua untuk dipakai
memuja.

Tuan mahkota bicara,
sungguh benar tuanku,
oleh-oleh untuk mendekati
tuanku,
kalau tiada kakek Dukuh,
ikut menunjukkan hamba,
tiada sampai,
hamba bahagia bersama
kanda.

Ini cincin dua,
dan selimut jelek dua.
kain putih beserta bapang,
selimutnya putih alus,
mari kakek mendoa,
kakek pula,
dipakai mendoa.

De Dukuh terus menyembah,
hamba minta tuanku,
tuan putri katanya pelan,
ini semua bawa keluar,
pengiringnya semua keluar,
semua ngambil sudah habis
ke istana.

113

[ 113 ]474. Rahaden mantri ngandika,

sungsungan manira raris,
sarpa i dewane reko,
maka tamban titiang lesu,
mariki ngambil i mirah,
raden dewi,
tututan ri mayang sepah.

475. Rahaden mantri ngandika,
kantun ke i kaki dini,
De Dukuh nembah lingnya
lon,
margi ratu apang ayu,
raden mantri wus mamarga,
nuhut pinggir,
manunggal gunung mwah
alas.

476. Akeh burone kapapas,
di alas pada padingkrik,
pada labuh pacepolpol
buron alit buron agung,
macane teka mangerak,
pada rimrim,
panjake mandingeh macan.

477. Tan kocapa aneng marga,
sampun prapting daha
mangkin,
sagrehan raris ka jro,
rahaden galuh katemu,
tumulih kapendak tingal,
raden dewi,
ring Daha asemu kemengan.

478. Sri pramiswari ngandika,
sapa sira ajak cai,
kaliwat wyune reko,
pada ring i nanak galuh,

Tuan putra berkata,
diikuti kesayangan serta,
jantung hatinya beliau,
sebagai obat hamba payah,
ke mari mengambil adinda
sayang,
tuan putri dibimbing dan
diciumnya.

Tuan putra berkata,
masuklah kakek di sini,
De Dukuh sembah katanya
pelan,
berjalanlah tuanku
baik-baik,
tuan putra telah berjalan,
mengikuti pinggir,
menerobos gunung dan
hutan.

Banyak binatang berpapasan,
di hutan berkeliaran,
semua jatuh terjungkir,
binatang besar kecil,
harimau datang meraung,
semua takut,
rakyatnya mendengarkan
harimau.

Tak terceritakan di jalan,
sudah sampai di Daha
sekarang,
semuanya terus ke istana,
tuan putri ketemu,
beserta dilihatnya,
tuan putri di Daha hatinya
heran.

Permaisuri bersabda,
siapa yang diajak olehmu,
amat cantiknya,
sama seperti nanak tuan


114 [ 114 ]rahaden mantri matura,
ibu aji,
putrane sang ratu Jawa.

479. Anaking ratu utama,
ring Jongbiru seri bupati,
kang anduwe gunung
menyan,
sangkan dane mangkin
lampus,
gurun dane dados yaksa,
bala sami,
sampun telas tadah ida.

480. Kari dane paluhpuhan,
doning sampun lampus para
mangkin.
gurune kaapus reko.
antuk ida raden galuh,
mamaschin sutra gadang,
ireng putih,
sang yaksa raris mamarga.

481. Sampun prapta maring Iwah,
lampah titiange manilib,
negakin reko sang garuda,
raris makebur,
nyarasab prapteng akasa,
sira yaksi,
tumon raris mejang sutra.

482. Raris mantuk ngambil
pedang,
kaburu raris mamargi,
binuncal manik gelagah,
pamargine raris kantu,
sampun mangliwat gelagah,
sira yaksi,
malih mamburu nyajawang.

putri,
tuan mahkota berkata,
ibu aji,
putranya sang ratu Jawa.

Putra raja utama,
raja di Jongbiru,
yang mempunyai gunung
menyan,
makanya beliau sekarang
meninggal,
ayahnya menjadi raksasa,
semua rakyat,
sudah habis dimakannya.

Masih dia sendirian,
karena mati,
seketika,
ayahnya ditipu oleh putranya
tuan putri,
mencuci sutra hijau,
hitam putih,
tuan raksasa lalu berjalan.

Sudah sampai di sungai,
jalannya hamba
bersembunyi,
menaiki burung garuda,
sang Garuda terus terbang,
terbang tinggi melangit,
sang raksasa,
melihat terus menaruh
sutra.

Terus pulang mengambil
pedang,
memburu terus mengikuti,
dilemparkan manik gelagah,
perjalanannya terus buntu,
sudah liwat gelagah,
sang raksasa,
lagi memburu mendekat.


115

[ 115 ]483. Atolih dene nampak pisa,

binuncal bang manik gesing,
manik api manik segara,
sabarengan manik lukluk,
inuyup dening sang yaksa,
telas sami,
malih dane tampek pisan.

484. Titiang kaungkulan pedang,
drika titiang ngrasa mati,
binuncal kang manik atma,
raris pejah yaksa agung.
ketug linuh kang prabawa,
aya guling,
malih surya makalangan.

485. Sampun kabasmi sang pejah,
sawuse mangkin kebasmi,
sang suksma dadi batara,
batara ngandika alus,
ida rgandika pungkuran,
manumitis,
mariki yen ka Koripan.

486. Batara raris malecat,
sampun prapteng swarga
Iwih,
maring meru tumpang sanga,
raris titiang gelis mantuk,
ring De Dukuh titiang teka,
raden dewi,
irika kingsanan titiang.

487. Sri pramiswari ngandika,
miwah sira sri bupati,
mirah bapane mas ingong,
kalingne piyanak tuhu,
winten mirah ko i dewa,
eda nyai,
bari binen teken bapa.

Dan lagi dekat sekali,
dilemparkan manik bambu,
manik api manik segara,
bersamaan manik lukluk,
diisap oleh sang raksasa,
habis semua,
serta dia dekat sekali.

Hamba dipapag dengan
pedang,
di sana hamba merasa mati,
dibuang manik atma,
lalu matilah raksasa besar,
perbawanya gempa,
teja guling,
serta matahari mekalangan.

Sudah dibakar yang
meninggal,
sehabis diaben,
suksmanya menjadi dewa,
dewanya berkata pelan,
kemudian beliau berkata,
akan menjelma,
ke mari ke Koripan.

Suksmanya terus
menghilang,
sudah sampai di surga utama,
di meru tumpang sembilan,
terus hamba pergi pulang
menuju De Dukuh di sana,
tuan putri,
di sana hamba taruh.

Permaisuri bersabda,
beserta tuanku raja,
anakda kusayang,
apalagi anakku sungguh,
anak kesayanganku,
jangan anakda berbeda-beda
kepada ayahanda.


116 [ 116 ]488. Sri pamiswari ngandika,
kawukin ke adin nyai,
rakanen jagjagin alun,
mariki sareng malungguh,
menekan ka bale mas lwir
dedari,
buka bungane apasa ng.

489. Rahaden galuh ring
Daha,
ujare aruma manis,
debari din mirah ngong,
rahaden galuh Jongbiru,
matur pakinkin lwir drawa,
titiang ngiring,
boya titiang purun piwal.

490. Liwat sukane wong Daha,
wongjaba miwah wong puri,
manonton twan galuh roro,
kadi winten emas tatur,
katon lwir bulan kembar,
Bayan Sangit,
Condong Semar jajar-jajar.

491. Kancit prapta sekul ulam,
brem arak sajeng tan kari,
anadah tuan galuh roro,
rahaden mantri kawuwus,
anadah ring wiyas ping rwa,
sri bupati,
anadah ring jaba tengah.

492. Sampun wus sami manadah,
rahaden mantri ka puri,
wengi dawuh tiga reko,
tansah ngamongpuang
kelangun,
nyabran dina maka sukan,
kalih sasih,
amundut putri ring Daha.

Tuan putri bersabda,
panggillah adikmu,
kandanya didekati pelan-pelan,
di sini duduk di atas
di balai emas,
seperti bidadari.
seperti bunganya sepasang.

Tuan putri di Daha.
berkata senyum simpul,
jangan lain-lain sayangku,
tuan putri di Jong Biru ,
berkata senyum mesra,
hamba mengikut hamba
tiada berani tolak.

Orang Daha amat suka,
rakyat dan golongan istana,
melihat tuan putri keduanya,
seperti winten emas tatar,
kelihatan seperti bulan
kembar,
Bayan Sangit Condong Semar
berjejer-jejer.

Mulai datang nasi dan ikan,
brem arak nira tak masih,
santaplah tuan putri berdua,
putra mahkota berkata,
makin diwoyas dua kali,
tuanku raja,
santap di muka istana.

Sudah selesai semua makan,
tuan putra ke istana,
malam 11.30,
tiada lupa berkasih-kasihan,
setiap hari bersenang-senang,
dua bulan,
mengambil putri di Daha.

117

[ 117 ]493. Tan kocapanya ring Daha,

ring Jawa wuwusan malih,
I Nawang Tranggana reko,
sekel manahe tur ibuk,
meling duke di bancingah,
yen kewidi,
manyembar Bagus Umbara.

494. Mapengrawos di jro pisan,
Made Taro mai mabin,
Nawang Taro manyelempoh,
maabin sarwi makutu,
Nawang Tranggana ngandika,
aduh nyai,
sekel emboke tansah.

495 . Meling embok duke
nyembar,
di bancingah tani kikit,
anake anom ton embok,
jengah emboke tan surud,
jani kenken baang nglilayang,
singnya nyai,
polih daya embok bangdika.

496. Sapunapi antuk titiang,
dening pakon guru aji,
dadinya titiang belog,
katakutan ring i guru,
mwah Ian ibu pramiswarya,
titiang jerih,
Nawang Tranggana ngandika.

497. Jalan pet jani ka taman,
penganggone onyang basmi,
gelang pending lawan ronron,
subeng bapang lawan

Tak diceritakan di Daha,
di Jawa diceritakan sekarang,
I Nawang Tranggana susah
hatinya dan gelisah,
ingat waktu di muka istana,
kalau didolat,
menyembar Bagus Umbara.

Berbicara di istana sekali,
Made Taro mari dipangku,
Nawang Taro duduk
bersimpuh,
dipangku sambil mencari
kutu,
Nawang Tranggana bersabda,
aduh adinda,
susah kandamu tak hilang.

Ingat kanda sewaktu
menyembar,
di muka istana tiada sedikit
orangnya,
anak yang muda kakak
lihat,
marah kanda tiada hentinya,
sekarang bagaimana akan
melupakan,
tiadalah adinda dapat,
akal kanda diberikan.

Bagaimana saya ngakali,
karena disuruh ayahanda,
kenapa hamba bodoh,
takut pada ayahanda,
danlagikepada ibunda,
hamba takut,
Nawang Tranggana bicara.

Ayo sekarang ke taman,
pakaiannya semua dibakar,
gelang pending beserta ronron,


118 [ 118 ]bungkung,
sabuk kamben da ngenuang,
sekar taji,
tur mamargi prapteng taman.

498. Nawang Taro masarengan, panganggone tani kikit, jalan jani suba borbor, mengadakang jani agung, masaang ban cendana, mrik sumirit, kumutang teka ring swarga.

499. Geger pra watek dewata,
miwah pra watek dewati,
malayu sami matinjo,
prabawa teja
kuwung-kuwung,
teken surya makalangan,
teja guling,
ketug linuh magenjotan.

500. Panggiyatning kilat
agantiyan,
baret limut ujan rajia,
gereh umini wetan lor,
ujan rajane tumam bur,
watek dewata ngandika,
raden dewi,
Nawang Tranggana alara.

501. Seksek jejel tepin suarga,
ingicap-ingicap sami,
marmaning kebuse reko,
kumutug ring suarga rawuh,
raden galuh mamintora,
iya sedih,
membasmi wastra ring

subang bapang beserta
cincin,
ikat pinggang dan kain
semuanya,
sekar taji,
serta berjalan sampai di
taman.

Nawang Taro bersamaan,
pakaiannya tiada sedikit,
ayo sekarang dibakar
membuat api besar,
pakaian kayu api cendana,
harum semerbak,
baunya sampai di surga.

Ribut para dewata,
beserta para dewata,
semua lari meninjau,
perbawa teja dan
kuwung-kuwung serta
matahari mekalangan,
teja guling gempa bergegar.

Halilintar
bersambung-sambungan
, disertai hujan angin,
guntur berbunyi di langit
timur utara,
hujan raja turun berhambur,
para dewa bersabda,
tuan putri,
Nawang Tranggana susah.

Penuh sesak di tepi surga,
berkata-kata semua apa
sebab asapnya itu.
menghimbau sampai di
surga,
tuan putri Jamintara,
dia susah,

119

[ 119 ]taman.

502. Geni ika sampun melang,
mantuk prahiyang-hiyang
agelis,
sampun mangelingin enggon,
ring lemah mangkin
kawuwus,
raden galuh Jamintara,
maka kalih,
Nawang Tranggana ngandika.

503. Jalan nyai kayeh endenan,
lampuhang ragane mangkin,
raris ka pancoran ngojog,
ring pancoran emas adiyus,
usane mangkin masiram,
raden dewi,
raris mantuk pakalihan.

504. Sapraptane maring pura,
ngojog ka pamreman gelis,
mantra-mantra,
buka kahon,
raden mantri buka kenyung,
sarwi maguling-gulingan,
wulat jani,
pakenehe mapangenan.

505. Eling duke di bancingah,
awak eluh paksa mwani,
anak twah tan wenang keto,
bas manguciwayang guru,
ento jani kapangenang,
mrasa sedih,
yeh paninggalane buyar.

506. Jani kene temahania,
sangkan sai mandulami,


membakar pakaian di taman.

Api itu telah pudar,
kembali cepat ke tempat
asalnya,
sudah mengingatkan tempat,
di dunia sekarang
diceritakan,
tuan putri Jamintara,
keduanya,
Nawang Tranggana bersabda.

Mari kita ke pancuran
sekarang,
membersihkan diri sekarang,
serta ke pancuran menuju,
di pancuran emas,
mandi,
selesainya mandi,
tuan putri,
lalu pulang keduanya.

Sesampainya di istana,
menuju ke tempat tidur
cepat,
seperti rasa-rasanya
kelihatan,
tuan putra seperti tersenyum,
sambil tidur-tiduran,
makanya sekarang hatinya
menyesal.

Ingat waktu di muka istana,
kita wanita dipaksa laki-laki
seharusnya tiada demikian,
terlalu mengalahkan ayah,
itulah yang diingat-ingat,
merasa susah,
air matanya bercucuran.

Sekarang beginilah hasilnya, makanya tiap hari

120 [ 120 ]nah jani suba tahanang,
bane mamiwal i guru,
meling dugase manyembar,
raden mantri,
pesune enu sengsara.

507. Embok liwat mapangenang,
bandata dini sakit,
nawi kapirengan reko,
antuk bibi muwah guru,
di Bali tur wargi basa,
bascong polih,
dane ring sang prabu Jawa.

508. Sami dane ngodepira,
lokane di selat pasih,
katekan sungkane kawon,
dadi embok tan pasemu,
mirib embok dumadakang,
sangkan jani,
sedih emboke tan pasah.

509. Embok jani mangorahang,
munyin embok teken nyai,
nanging da ngwerayang
reko,
nawi weruh de sang prabu,
embok teked mani puwan,
ring i beli,
dane pacang gelis teka.

510. Nawang Taro sahur sembah,
inggih embok titiang jerih,
byana titiang blebeh reko,
nawi embok selang kayun,

memanggil-manggil,
ia sekarang hamba rasakan,
maka menolak ayahanda,
ingat sewaktu menyembar,
tuan putra,
kelihatannya masih sengsara.

Sesudah liwat kanda
menyesal,
karena dia di sini sakit,
barangkali kedengaran
katanya,
bersama ibu dan ayah,
di Bali banyak tetangga
tahu,
kebetulan dapat,
beliau pada raja di Jawa.

Semuanya beliau menjual
kita,
lakonnya antara samudra,
kedatangan sakitnya berat,
seperti kakak kurang ajar,
barangkali kakak yang
menyebabkan,
makanya sekarang,
susahnya kanda tak
berhingga.

Kanda sekarang membilang,
kataku pada adinda,
tapi jangan membilang,
barangkali datang tuanku
raja,
kakak sampai besok lusa,
pada kakanda,
beliau cepat akan datang.

Nawang Taro menyahut
sembah,
ya kakanda hamba takut,
kalau hamba membilangnya,

121

[ 121 ]rakane alon angucap,

semu tangis,
anak ken temahanya.

511. Anak twahnya embok tulah,
sangkan embok sai sedih,
jani honya aba pondong,
sakit sedihe mamuput,
sandangin pandidiyan,
ya emasin,
twah nyak kene ganjarannya.

512. Dumadak ja dane teka,
mani puwan buin mai,
embok ngaturin ka jero,
apang i guru manuntun,
sareng malinggih di pura,
sai-sai,
embok suba mejang karya.

513. Tan kocapan Nawang
Tranggana,
ana ta kocapa malih,
mantri Windu Tingal reko,
kayun manglamar tuwan
galuh,
Nawang Taro kakayunang,
duke mijil,
daweg rakane manyembar.

514. Rahaden mantri manyembah,
ring gurune seri bupati,
raden mantri matur alon,
durusang cihna i guru,
mangkin ceputra ring titiang,
wenten putri,
pemade ring Jamintara.


barangkali kanda curiga,
kakaknya bicara pelan,
seperti menangis,
beginilah jadinya.

Sebenarnya kanda salah,
makanya kanda selalu sedih,
sekarang penyakitnya hamba
bawa,
sakitnya susah cukupan,
hamba pikul sendirian,
hamba derita,
memang begini pahalanya.

Mudah-mudahan ia datang,
besok lusa ke mari lagi,
kanda menyuruli ke istana,
supaya ayahanda menuntun,
bersama duduk di istana,
setiap hari,
kanda mau meladeni.

Tak diceritakan Nawang
Tranggana,
ada cerita lain lagi,
putra mahkota Windu Tingal,
mau mengelamar tuan putri,
Nawang Taro dikehendaki,
baru ke luar,
sewaktu kakaknya
menyembar.

Putra mahkota menyembah,
kepada ayahnya tuanku raja,
putra mahkota bicara pelan,
teruskan sukarya ayahanda,
sekarang bermenantu pada
hamba,
ada wanita,
putri kedua di Jamintara.


122 [ 122 ]515. Nawang Taro arahina,
cihna guru ngamarginin,
ling ira ida sang katong,
sandikan i nanak bagus,
patih mantri,
tatiga manggawa surat.

516. Patih mantri kema luwas,
ka Jamintara ne jani,
anggawasa namah reko,
parek ring ida sang prabu,
tedas kayune sang nata,
yento jani,
asung tan asung mawaliya.

517. Sampun mamargi utusan,
tigang siki nggawa tulis,
mwah raja panomah reko,
tan kocapanya ring enu,
sampun prapta ring negara,
dawuh kalih,
jumrojog maring bancingah.

518. Sedek tinangkil sang nata,
utusan tatiga prapti,
parek ring ida sang katong,
lang surat sampun kaatur,
sang prabu raris mamaca,
tur manguri,
winaca jroning wradiya.

519. Unining sewala patra,
saha pratekaning tulis,
sang prabu emeng tur
bengong,
meneng tan kena amuwus,
antuk ida ne nyanggupang,
mantri Bali,
raden galuh maka dadua.


Nawang Taro dibilangi,
diberi ayahanda menjalani,
demikian sabda raja,
menuruti putranya i bagus,
pegawai istana,
membawa surat tiga.

Patih mantri ke sana pergi,
ke Jamintara sekarang,
membawa mas kawin,
menghadap beliau tuanku
raja,
bersih hatinya raja,
demikian sekarang,
suka tak suka kembalilah.

Sudah berjalan utusannya,
tiga buah membawa surat,
mempersembahkan mas
kawin,
tak terceritakan di jalan
sudah sampai di istana
sembilan pagi,
menuju di muka istana.

Kebetulan raja dihadap,
utusan ketiganya datang,
menghadap kepada raja,
surat telah dipersembahkan,
raja terus membaca,
serta ke belakang,
dibaca dalam hati.

Diketahui isi surat,
dan segala yang ditulis,
raja berpikir dan melongo,
diam tiada bicara,
karena beliau
menganggapkan,
putra mahkota Bali,
tuan putri keduanya.

123

[ 123 ]520. Wekasan ida ngandika,

ujare arum amanis,
lah aturang ring sang katong,
kadung munyin maman
sawuh,
malu maman
manyanggupang,
mantri Bali,
daweg dane dini sungkan.

521. Jani dane dereng teka,
dane masemaya mai,
kranan maman takut
nanggap,
utusane matur alus,
duh dewa ratu sang nata,
mantri Bali,
sampun mantuk ka Koripan.

522. Dane mantuk disiya dina,
tan wenten menampek gumi,
dane makta putri kawot,
raden galuh Jongbiru,
Sanghyang Garuda
mambakta,
mwah pangiring,
sami wenten kalih dasa.

523. Tan dwa dane ketututan,
antuk sang yaksa di margi,
tur dane mayuda reko,
ring okane galuh,
ambakan manik atma,
sira yaksi,
pejah sampun binasmiyan.

524. Sang prabu alon ngandika,
lamun tuwi keto cai,
maman nanggap hyan sang


Kemudian beliau bersabda,
sabdanya halus manis,
hai bicarakan kepada raja,
kadung perkataan paman
sanggup,
dulu paman menyanggupkan,
putra mahkota Bali,
waktu dia sakit di sini.

Sekarang dia belum datang,
dia berjanji datang,
ke mari,
makanya paman takut
menerima,
utusannya sembah matur,
aduhai tuanku raja,
putra mahkota Bali sudah
pulang ke Koripan.

Beliau pulang sudah sembilan
hari,
jauh dari sini,
beliau membawa putri
utama,
tuan putri Jong Biru,
dibawakan oleh sang Garuda,
serta pengiringnya,
semuanya dua puluh orang.

Serta beliau dikejar,
oleh sang raksasa di jalan,
serta beliau berperang,
dengan putranya raden galuh,
membuang manik atma,
sang raksasa,
meninggal dan dibakar.

Tuanku raja bersabda pelan,
kalau sungguh demikian,
aku menerima kehendak raja,


124 [ 124 ]katong,
utusane pamit mantuk,
sampun prapteng Windu
Tingal,
sri bupati,
anganti ring wijil pisan,

525. Sareng putrane ring jaba,
utusan prapta tur bakti,
sang prabu ngandika alon,
kenken andikan sang prabu,
inggih ida lintang cihna,
tur katampi,
surat lan raja panomah.

526. Sang prabu ring Windu
Tingal,
mwah okane raden mantri,
kalintang sukane reko,
patih nglamar tuwan galuh,
anging putrane alitan,
lemah wengi,
nyabran mangingonin panjak.

527. Tan kocapan ring Jawa,
ring Bali wuwusan malih,
mantri ring Koripan reko,
ngemong putri roro ayu,
sawatara yen lawasnya,
kalih sasih,
marupa suka tan suka.

528. Raden mantri sayan kusiya,
sawang semu sedih,
tur ngembeng-ngembeng
yeh panon,
meling ring raden galuh,
raden galuh Jamintara,


utusannya kembali pulang,
sudah sampai di Windu
Tingal,
tuanku raja,
menunggu sampai utusan
datang.

Bersama putra mahkota
di muka istana,
utusannya sampai dan
menyembah,
raja bersabda pelan,
bagaimana sabda beliau,
beliau amat suka,
serta diterima,
surat bersama mas kawin.

Raja di Windu Tingal,
beserta putranya tuan
mahkota,
amat suka hatinya,
dapat meminang tuan putri,
tetapi putra yang kecilan,
siang malam,
selalu memelihara rakyat.

Hentikan cerita di Jawa,
di Bali diceritakan
sekarang,
putra mahkota di Koripan,
memelihara putri dua
cantik-cantik,
barangkali lamanya,
dua bulan,
berupa suka duka.

Tuan putra mahkota makin
sedih,
kelihatan bermuram durja,
sampai keluar air mata,
ingat dengan tuan putri,
tuan putri Jamintara,

125

[ 125 ]lemah wengi,

sai kaesti ring manah.

529. Gambuh miwah tetabuhan,
anggon manglipurang sedih,
tan kena sarining reko,
rahaden galuh Jongbiru,
asemu kagiat tumingal,
semu gipih,
raris matur ring rahadian.

530. Tur malinggih pakalihan,
titiang matur ring i beli,
nguda beli bengong-bengong,
mirib durung pepek kayun,
pangandikayang ring titiang,
sampun beli.
mangkin mangubda ring
titiang.

531. Rahaden mantri sukseken,
ewuh di jroning ati,
nanging tetakut ngorahang,
raden galuh neteg matur,
sareng raden galuh Daha,
ngasih-asih,
ujare mangresang manah.

532. Yening beli durus cihna,
mamanjakang titiang
mangkin,
ngandika ngiring titiang,
nawi wenten molih kayun,
dijaha putri kagunang,
nene ririh,
nedegang mangaba awak.

533. I Beli sampun manawang,
putri di Jawa di Bali,
engken ja kayunang reko,
ratna dwita titiang takut,


siang malam selalu diingat
dalam hati.

Gambuh beserta gamelan,
dipakai menghibur duka,
tak bisa dihibur,
tuan putri Jong Biru,
seperti heran melihat,
serta repot,
serta bertanya pada kakanda.

Duduk berdua-duaan,
hamba bertanya pada kanda,
kenapa kanda melamun,
barangkali belum puas,
katakanlah pada hamba,
jangan kanda,
menyembunyikan pada
hamba.

Putra mahkota bimbang,
susah dalam hati,
tapi takut membilang,
tuan putri terus
mengurus,
bersama putri Daha,
sayup-sayup,
perkataannya mengiris hati.

Kalau kanda memang setia,
memakai adinda istri,
berkatalah pada hamba,
barangkali ada lagi keinginan,
di mana wanita yang mulia,
yang cocok,
yang pintar membawa diri.

Kanda sudah tahu,
putri di Jamintara di Bali,
yang mana disenangi,
ratna dwita hamba takut.


126 [ 126 ]denen deluh tur maguna,
boya emir,
pengaruh tur iyaskarang.

534. Liyanan teken punika,
titiang nyandang
mangrasanin,
di Jawa putrine kawot,
akeh mantrine ulangun,
mawasta Nawang
Tranggana,
ayu lewih,
maduwe cacarang dadua.

535. Nika delinge di Jawa,
biyana kabeh baan mantri,
punika emanang titiang,
raden mantri raris kenyung,
punika ne aptin titiang,
sapunapi,
mangkin antuk
mangrawosang.

536. Kenyung raden galuh Daha,
ujare ngenyudang ati,
sampun ko titiang matakon,
i beli twara nyak ngaku,
lamun tuwah beli nyadiyang,
dina becik,
buwin telun beli ka Jawa.

537. Punika dinane melah,
marginin beli mamaling,
budaning wayange reko,
tanggal ping ro nene ayu,
kajeng kepkepan rahadian,
doyan polih,
tur biyana polih sangkala.

538. Rahaden mantri ngandika,
duh dewa wikan diyah ari,
kenyung raden galuh roro,


Lain dari itu,
hamba mau menemani di
Jawa putrinya tersohor
banyak pegawai yang
tertarik,
bernama Nawang Tranggana,
cantik bijaksana,
mempunyai saudara dua.

Itu tersohor di Jawa,
direbut oleh pegawai,
itu yang hamba harapkan,
putra mahkota terus senyum,
itu yang hamba perlukan,
bagaimana,
sekarang bagaimana
membicarakan.

Senyum tuan putri Daha
, perkataannya menarik hati,
sudah tak hamba bertanya,
kanda tiada mau mengaku,
kalau hamba mampu,
hari baik,
lagi tiga hari kanda ke Jawa.

Itu hari baik,
untuk jalan mencari,
rebu uku wayang,
tanggal duanya yang baik,
kajeng kepkepan tuanku,
seringan berhasil,
serta tak dapat halangan.

Putra mahkota berkata,
aduhai adinda pandai
manisku,

127

[ 127 ]tatamiyan uli ilu,

raden mantriya dan
pangarah,
para mangkin,
nedunang pada baita.

539. Sampun usan mapengarah,
prabu akeh ring pasisi,
kocap raden galuh roro,
kari ngrawos ring kakung,
asung sepah ring pabinan,
ganti-ganti,
buka dewi lawan dewa.

540. Sampun i dewa sangsaya,
ngawenin titiang di puri,
boya titiang pacang elong,
ngawula ring beli bagus,
yadian suwe beli lunga,
titiang ngesti,
ping sapta jadma kapanggiya.

541. Rahaden mantri ngandika.
sarwi ngusap-usap gigir,
swecana saja ko i dewa,
titiang pamit ne buwin telun,
sangkan titiang biayana
lupa,
yen menilib,
raden galuh Jamintara.

542. Daweg titiange i rika,
sakit katekan das mati,
gurun nyane nyandang reko,
Nawang Tranggana
manyimbuh,
raris titiang merasa elang,
nanging ketil,


tersenyum tuan putri
keduanya,
peninggalan dari dulu,
tuan mahkota
memberi tahu,
seketika menurunkan perahu.

Sudah selesai membilangi,
perahu banyak di pantai,
diceritakan tuan putri
keduanya,
masih bicara pada kandanya,
dicium di pangkuan,
ganti-ganti,
seperti dewi dan dewa.

Jangan adinda curiga,
meladeni hamba di istana.
kanda tiada bohong,
menghamba pada kanda,
walaupun lama kanda pergi,
hamba menunggu,
tujuh kali menjelma biar
ketemu.

Putra mahkota bicara,
sambil mengusap-usap
punggung,
sungguh ikhlas adinda,
hamba permisi lagi tiga hari,
supaya hamba jangan lupa,
akan mencuri tuan putri
Jamintara.

Waktu hamba di sana,
sakit hampir mati,
ayah beliau memegang
katanya,
Nawang Tranggana
mengobati.
lalu hamba merasa sembuh.


128 [ 128 ]medale uli di pura.

543. Raris titiang kasimbingan,
antuk dane kata Jawi,
biyana titiang resep reko,
wiyakti wrihe mamuput,
sami ring i ratna dwita,
boya panggil,
makarona titiang kuciwa.

544. Raden Jongbiru ngandika,
eseme ngenyudang ati,
ne mangkin tuyuhin reko,
apang dekalah mangepung,
mandeg beli kawon satwa,
nene mangkin,
ragan danene bakatang.

545. Yen mangde mangkin
tutuhang,
Jawa Bali mangguyonin,
ne mangkin durusang reko,
marginin apang katepuk,
raris munggah ring baita,
raden mantri,
sambilang mangaras-aras.

546. Sinambut rahaden dewiya,
sang putri kalih ginanti,
tan pegat ingaras-aras,
munggah ring jinem merik
arum,
malangse asusun tebah,
kasur sari,
maules gringsing wayang.


tetapi sukar,
keluarnya dari istana.

Lalu hamba disindir,
oleh beliau dalam bahasa
Jawa,
hamba tiada mengerti,
sungguh pandainya
sempurna sekali,
semuanya ada pada ratna
dwita,
bahaya didatangkan itu
sebabnya hamba kalah.

Tuan putri Jong Biru berkata,
senyumnya menarik hati,
sekarang diberi tahu,
supaya jangan kalah percuma,
tiada kanda kalah cerita,
sekarang,
dirinya (Nawang Tranggana)
diambil.

Kalau sekarang harus
diceritakan,
Jawa Bali mempermainkan,
sekarang terus jadikan,
dijalani agar ketemu,
terus naik di perahu,
tuan mahkota,
sambil mencium-cium.

Disambut tuan putri,
tuan putri keduanya
berganti-ganti,
tak putus-putus dicium,
naik di tempat tidur yang
berbau harum semerbak,
pakai kelambu bersusun,
kasur sari,
sarungnya gringsing wayang
(sprei bergambar).

129

[ 129 ]547. Sinare aken ning tilam,

tumuli tatangkeb semir,
tansah aneka ken langon,
tumuli apulang lulut,
rasming madiya pupu sama,
susu rupit,
katon nyuh gading kembar.

548. Rosning tangan kuku petak,
angipuk-ipuk karasmin,
kadi surya candra tinon,
graha di sasih kecatur,
kadi emas soca mirah,
wus sinagling,
boya ratih lawan semara.

549. Malah sampun dawuh sapta,
putih timur ya nto jani,
durung tuwa ring paturon,
rame ayam makakruyuk,
sampun mangkin tatas galang,
barak kangin,
mijil sira sanghyang surya.

550. Rahaden mantri awungwa,
lan rahaden galuh kalih,
alunggwing dedampar kawot,
sama sinocan mrik arum,
alungguh sanding sang rabis,
sarwi mabin,
buka dewi lawan dewa.

551. Mangkin purnamaning kapat,
wus makuramas masuci,
angrangsuk busana kawot,


Tidur bersama di tempat tidur,
serta berpeluk-pelukan,
merasakan berkasih-kasihan,
serta menikmati kepuasan,
saling berimpit paha,
susunya mungil,
seperti kepala gading kembar.

Tangan lurus kuku putih,
menyebabkan hati tertarik,
seperti matahari dan bulan kelihatan,
seperti mendung di bulan.
keempat (Bali),
seperti emas permata mirah,
disinari seperti bulan dan semara (dewa cinta).

Sudah sampai jam empat pagi,
putih di timur sekarang,
belum bangun dari tempat tidur,
banyak ayam berbunyi,
sudah hampir terang merah di timur,
terbit mataharinya.

Putra mahkota bangun,
dan tuan putri keduanya,
duduk di dampar yang indah,
beserta berpermata harum semerbak.
duduk bersanding dengan kandanya,
serta dipangku,
seperti dewa dan dewi.

Sekarang bulan keempat Bali purnama,
sudah habis kramas dan cuci

130 [ 130 ]magelang lawan mabungkung,
mas émasan kumeranyab,
sarwi alinggih,
makalihan ring bale emas.

552. Rahaden mantri ngandika,
ujare angasih-asih,
sinambut sang putri roro,
inaras-aras pinekul,
lah anten atma juwita,
titiang pamit,
ginanti-ganti ingaras.

553. Durusang icane mirah,
ngicenan titiang sepah
manging,
tutut raden galuh roro,
anginanga sedah arum,
asung sepah sabrug latiya,
raden dewi,
tan pegat angawe raga.

554. Rahaden galuh ring Jawa,
akure angresang ati,
niki cirin titiang reko,
tuhu ring i beli bagus,
puniki sabuk saliwah,
pecak riyin,
kapiturun ring pamerajan.

555. Nuwah niki manik banta,
kalih sekepang di pasih,
yadiyan entasanne kawon,
sampun ja beli pakewuh,
puniki manik segara,
boya nganti,
tigang dina prapteng Jawa.


muka,
memakai pakaian indah,
pakai gelang dan cincin,
serba emas berkilauan,
serta duduk,
keduanya di balai emas.

Teruskan cintanya adinda,
berikan hamba ciuman
harum,
menurut tuan putri keduanya,
memakan sirih arum,
berciuman ketiganya,
tuan putri,
tak habisnya membuat
senang.

Putra mahkota berkata,
perkataannya menarik hati,
disambut tuan putri
keduanya,
dipeluk dan diciumnya,
di sinilah adinda sayang,
hamba permisi,
berganti-ganti dicium.

Tuan putri Jawa,
perkataannya menarik hati,
ini tanda hamba turut,
sungguh dengan kanda bagus,
ini ikat pinggang sliwah
(silang),
jaman dahulu warisan di pura.

Dan ini manik banta (jimat),
untuk penjagaan di laut,
walaupun jalannya jelek,
jangan kanda susah,
ini manik maut,
tidak sampai,
tiga hari sudah sampai di
Jawa.

131

[ 131 ]556. Miwah niki manik atma,

nawi beli manggih kali,
tibanin manik punika,
sakweh ing satrune gempung.
biyana beli sor mayuda,
sareng langit,
ratu tani kalah deniya.

557. Rahaden mantri ngandika,
manunas titiang diyah ari,
wus ingangge sabuk reko,
miwah manike tatelu,
tumurun raris mamarga,
nolih-nolih.
tansah pendak-pendaking
tingal.

558. Sang diyah anuting tingal.
kaya tan awaliya malih,
lewat lawang nganti alon,
tan kacerita ring anu.
sampun prapta ring bancingah.
kuda asti,
sampun sanuwus cumadang.

559. Raris ida nunggang kuda.
makekapa mas rinukmi,
saha busana mas kawot,
macemeti marah murub,
sampun ngudan ring
bandingah.
tur mamargi.
pangiringe tuwah limolas.

560. Tan kocapa ring bancingah,
sampun tampek ring pasisi,
pun Semar ngiring tan adoh,
punika tateken agung.


Beserta ini manik atma,
barangkali kanda menemui
perang,
lemparkan manik ini.
semua musuhnya habis,
supaya tiada kanda kalah di
peperangan,
di bawah kolong langit ini.
ratu tiada kalah di
mana-mana.

Putra mahkota bicara.
hamba minta ini adinda.
sesudah selesai berikat.
pinggang,
beserta manik ketiganya turun
terus berjalan.
melihat-lihat tak luput
dilihatnya.

Tuan putri mengikuti dengan
pandangan,
seperti tiada kembali lagi,
di muka pintu lama melongo.
tak diceritakan di jalan.
sudah sampai di istana,
kuda dan gajah sudah semua
tersedia.

Terus beliau naik kuda.
dengan perhiasan emas.
beserta pakaian emas lengkap,
cemetinya merah membara,
sudah siap di muka istana,
segera berjalan,
iringannya hanya lima belas
orang.

Tak diceritakan di muka
istana,
sudah dekat di pesisir.
Semar mengikuti dekat.


132 [ 132 ]sampun mangkin dawuh pisan,
kancit prapti,
aneng labuwan gagelisan.

561. Akeh wong pasisi teka,
pada anembah sang mantri,
pada ya matur patakon,
punapi karya i ratu,
mangkin munggah ring baita,
gendoh tani,
palungan cokor i dewa.

562. Ira luwas mangunbara,
ka Jawa mangendon jurit,
dening ada satru reko,
ne maatur sada kenyung,
ya suba mabaan kanda,
raden mantri,
sedaweg dumun ka Jawa.

563. Rahaden mantri wus
munggah,
telasan lan patih mantri,
lan I Semar munggah reko,
raris ngebut manggariju,
ngebah bidak gagelisan,
teka angin,
mambaruwang lan utara.

564. Lawut manabuh gambelan,
mala anyjar nyedut bedil,
raris mabebawos alon,
kaya tan manggih pakewuh,
tumuli ambabah layar,
tan panolih,
perahune laju pisan.


itu pengawal besar,
sudah jam 6.00,
sudah sampai di pelabuhan
cepat.

Banyak orang pelabuhan
datang,
semua mengharap tuan putra,
semua bertanya,
apa kerja tuanku sekarang
naik perahu,
barangkali jauh,
perjalanan tuanku.

Aku pergi mengembara,
ke Jawa mengadu yuda,
karena ada musuh katanya,
yang sembah bermuka
senyum,
dia sudah tahu akal,
tuan putra,
waktu ke Jawa dahulu.

Tuan mahkota telah naik,
semuanya bersama patih dan
pengiring,
pelan-pelan I Semar naik,
terus cepat-cepat memasang
bidak,
terus mengambil manggar,
datang angin seketika
perahunya jalan.

Terus menabuh gamelan,
menjedar membunyikan
senapan,
terus menuju ke barat,
seperti tak ada kesusahan,
serta menurunkan layar,
tak menoleh,
perahunya cepat sekali.

133

[ 133 ]565. Mahadan Ni Tanjungpura,

mabendera baan kecit,
mesawang kembang tigaron,
akeh perahune mungsur,
mapapas-papas di jalan,
pengkah-pengkih,
bandega pada nakonang.

566. Prahu uli di Semarang,
tiang telu prahu keci,
dagangane sarub kawot,
mirah winten lawan tatur,
lakmesan sarwa mulya,
lan Betawi,
pada sula kaliwatan.

567. Tan kocapa ring dadalan,
prabu rahayu mamargi,
iyak gede angin sayong,
raris kocak keku agung,
rasannya buka ngenggalang,
kancit prapti,
ring pasisir Jamintara.

568. Heneng akena sang lunga,
ring Daha wuwusan malih,
raden galuh maka roro,
malungguh ring bale lunyjuk,
nglila lilayang manah,
aninggalin,
sang lunga munggah ring
manah.

569. Rasanya tan malih teka,
lunga ring taman seksari,
yeh aksine pacerotcot,
prapta raris ngalap santun,
sampun akeh kapuponan,
tur malinggih,
raden galuh pekalihan.


Bernama Ni Tanjungpura,
berbendera dengan sutra
tipis,
mirip bunga kembang
tegaron,
banyak perahu yang minggir,
berpapasan di jalan,
basak-bisik tukang perahu
menanyakan.

Perahu dari Semarang,
tiang tiga perahu keci,
dagangnya cukup indah,
mirah intan dan tatur,
barang-barang serba indah
dan Betawi sudah pada
kelihatan.

Tak diceritakan di jalan,
perahunya selamat berjalan,
arus besar angin kabut,
terus oleng perahu itu,
rasanya seperti naik turun,
sudah sampai di pinggir
Jamintara.

Hentikan yang pergi,
di Daha diceritakan lagi,
tuan putri keduanya,
duduk di balai istana,
menghibur-hibur hati,
ditinggali,
yang pergi menjadi pikiran.

Rasanya tak akan kembali,
pergi ke taman beksari,
air matanya berjatuhan,
sesampainya memetik bunga,
sudah banyak mendapat,
serta duduk,
tuan putri keduanya.


134 [ 134 ]570. Sambilang manganggit sekar,
sing tingalin kanten kenying,
rasanya nyawup menyangkol,
bon bungane merik arum,
rasanya i kasur anyar,
rasa mabin,
ngungjuh sepah di pabinan.

571. Rahaden galuh ring Jawa,
ujare ngenyagang ati,
sarwa ring bungane kawot,
iwas titiang kawon kenyung,
guyu raden galuh Daha,
suba nyai,
kedepang dane di pura.

572. Dija pati nyambat-nyambat,
apang rahayu di margi,
jalan pet mulih ka jero,
lawut mulih makedudung,
sagrehan lawan pawongan,
prapteng puri,
raris nabuh gagenderan.

573. Tinabuh gending ambara,
aniba gending diyah mantri,
wong jrone pada gawok,
durung ngemanggih kayeku,
sada cepet anibayang.
wruhing wangsit,
tinabuh kang tetangisan.

574. Swarane ngenyudang manah,
akeh wong jro manangis,
angrungu kang gagenderan,
gendinge buka
mangonwerum,


Sambil memetik kembang,
yang dilihat kelihatan
tersenyum,
rasanya memeluk merangkul,
bau kembangnya harum
semerbak,
seperti di kasur baru,
terasa dipangku,
dipeluk cium di pangkuan.

Tuan putri di Jawa,
katanya menarik hati,
segala kembang yang
indah-indah hamba lihat
seperti tersenyum,
tersenyum putri Daha,
sudah adinda,
umpamakan kanda di sini.

Jangan menyebut-nyebut,
supaya selamat di jalan,
ayo pulang ke istana,
terus pulang berkerubung,
berbarengan bersama
pengiring,
sampai di istana terus
memukul gamelan.

Dibunyikan gending ambara,
melajukan gending tuanku
raja,
orang istana semua heran,
beliau diketemukan,
agak cepat menyampaikan,
tahu dengan tanda,
dibunyikan tetangisan.

Suaranya menarik hati,
banyak abdi yang menangis,
mendengarkan suara gender,
lagunya seperti merayu,
sampai sore matahari,

135

[ 135 ]pinah lingsir sanghyang

surya,
usan mangkin,
raris nyojog ka pamreman.

575. Mangambil lontar wiwaha,
makaronan makekawin,
duk sang Arjuna matapa,
ring Indrakila punika,
akeh dadari mangoda,
to basanin,
anggon manglipurang manah.

576. Raden Jongbiru mamaca,
rakane ditu midenin,
pawongan miwah wong jro,
pada ya gawok mangrungu,
babasane ngenjek sastra,
nora panggil,
iya anggen nyelimurang.

577. Tan kocapanya ring Daha,
polahe sang putri kalih,
sai tuwah rame di jro,
sangkannya ya dadi lipur,
sang lunga mangkin
wuwusang,
ring Betawi,
durung turun ring pelabuhan.

578. Sampun mangkin surup
surya,
anakene di pesisi,
pada mantuk ngungsi enggon,
miwah dagang pada mantuk,
sampun suwung di
pelabuhan,
sampun wengi,
rahaden mantri ngandika.


sekarang berhenti,
terus menuju ke tempat
tidur.

Mengambil lontar
perkawinan,
keduanya nembang,
waktu sang Arjuna bertap
a, di Gunung Indrakila,
banyak bidadari menggoda,
itu diartikan untuk
menglipur lara.

Putri Jongbiru membaca,
kakaknya di sana
mengartikan,
penonton beserta peladen,
semuanya heran mendengar,
mengepasnya sangat tepat,
tiada lupa,
itu dipakai menglipur hati.

Tak terceritakan di Daha,
tingkah laku tuan putri
keduanya,
setiap hari ramai di istana,
makanya bisa lupa,
yang pergi sekarang
diceritakan,
di Betawi,
belum turun dari pelabuhan.

Sudah terbenam matahari,
orang di pantai semua
pulang,
menuju rumahnya,
beserta dagang semua
pulang,
sudah sepi di pelabuhan,
sudah malam,
tuan mahkota berkata.


136 [ 136 ]579. Amet sampan kaka Semar,
pun Semar amet agelis,
tumurun mangkin analon,
patih Cempa atetunggu,
den binawang rowang ira,
sira patih,
sampun kesanguwin beras.

580. Tuhu ki patih pratiyaksa,
nyabran angamong banawi,
raden mantri rawuh reko,
ring labuan sor kayu guyu,
sagrehan mantri pra sama,
tur malinggih,
pinarek dening bedehan.

581. Sanghyang wulan bawu
endag,
tanggal pisan andadarin,
kumenyar ka jagat tinon,
rahaden mantri amuwus,
jalan jani kaka pada,
mungpung sepi,
sagrehan raris mamarga.

582. Sampun mangajanang,
twara yen anak kapanggih,
buka patuduhin winang,
tampek ring umah
De Bekung,
jelanane suba ngenah,
dauh margi,
sepi anake makejang.

583. Sampun prapta ring
lawangan,
asune mangongkong tarik,
rahaden mantri manogtog.
De Bekung nerajang pesu,
matakon enyen diwangan,


Turunlah Semar kakek,
I Semar turun cepat,
turunlah dia pelan-pelan,
patih Cempa menunggu,
di perahu kawannya,
dia sang patih,
sudah dibekali beras.

Sungguh patih amat
berhati-hati,
setiap hari menjaga perahu,
putra mahkota sudah sampai,
di pelabuhan di bawah kayu
tersenyum,
semua bersama pegawai,
serta duduk,
menghadap serta seluruhnya.

Terbitlah sanghyang bulan,
sudah tanggal satu mulai,
bersinar di dunia kelihatan,
putra mahkota berkata,
marilah kakek bersama,
mumpung sepi,
semuanya terus berjalan.

Sudah kentara,
tiada ada orang dilihat,
seperti diantar orang,
dekat rumahnya De Bekung,
jalannya sudah kelihatan,
di sebelah barat jalan,
semuanya sepi.

Sudah sampai di pintu,
anjingnya menggonggong
keras,
putra mahkota mengetuk
pintu;
De Bekung keluar segera,

137

[ 137 ]eda mai,

kenang anyjaan katumbak.

584. Raden mantri tan pangucap,
sada gumuyu di hati,
ingungkab lawangan reko,
De Bekung numbak ban
sadu,
kena dada twara kelas,
raden mantri,
gumuyu raris manyogjog.

585. Tandruh bapa tekan icang,
icang yen i mantri Bali,
kasarungan wengi reke,
De Bekung ngawukin ne luh,
mai enggal-enggalang,
ngaba sundih,
pakenehe suba maras.

586. Ban nyane suba manumbak,
masih mandayanin maling,
enggalang sundihe reko,
masih mandelik ditu,
ne eluh lantas ngenggalang,
ngaba sundih,
gendeyanga kobar-kobar.

587. Ne eluh mangayeng prakpak,
pedas mangkin raden mantri,
ne baan manuduk reko,
dawege mamencar malu,
jani dane pedas pisan,
tur nyagjagin,
sadune pejar enggalang.

588. Duh dewa ratu pirengang,
i pidan ratu meriki,


bertanya siapa di luar,
jangan ke mari,
nanti saya tumbak.

Putra mahkota tak bicara,
seperti tertawa dalam hati,
beserta membuka pintu,
De Bekung menombak
dengan tombak,
kena dadanya tidak apa-apa,
putra mahkota,
tersenyum serta mendekat.

Butanya lagi bapak pada aku,
akulah putra mahkota Bali,
karena malam,
De Bekung memanggil yang
perempuan ke mari
cepat-cepat,
bawa lampu,
hatinya sudah gentar.

Karena sudah menombak,
barangkali disangka pencuri,
cepat diberi lampu,
masih melihat di sana,
yang perempuan terus
mencepatkan,
bawa lampu,
serta diterangi.

Yang perempuan
menyodorkan lampu,
terang sekali putra mahkota,
yang dapat dipungut dahulu,
waktu menjala dahulu,
sekarang dia ingat betul,
serta menuju,
tombaknya ditaruh cepat.

Duhai tuanku sayang,
kapan tuanku ke mari,


138 [ 138 ]sarwi nya mamekul
wangkong,
ampura panjake pelud,
boya keni antuk titiang,
mangelingin,
dening peteng titiang
buta.

589. Engken dewa keni tumbak,
manawi i dewa kanin,
masa belur icang reko,
balahin sadune malu,
De Bekung ewa mandemak,
mambalihin,
bongkol sangkute milutan.

590. De Bekung eluh nerajang,
manyaup tur mambalihin,
duh dewa ratu mas mirah,
rawuh saja ko i ratu,
manjenukin,
titiang lara,
lah mariki,
mantukan malinggih mirah.

591. Duh nyai kema enggalang,
kasur gelang pada alih,
encongang ngalekes reko,
nene mwani ngalih gupuh,
ngaba ka duluan,
ngebatang,
wusnyapuhin,
langsene sami magambar.

592. Lah malinggih gusti titiang,
tumuli raris malinggih,
rahaden mantri ring alon,
debekung ne eluh rawuh,
nampa sedah tigang wadah,
mangaturin,


sambil memeluk pinggang,
maafkan rakyatnya tak
melihat,
tiada tahu hamba,
mengingatkan kalau malam.
hamba buta.

Yang mana kena tombak,
barangkali tuanku luka,
tak mungkin aku luka,
coba lihat tombaknya,
De Bekung ribut melihat,
memeriksa tangkai
tombaknya bengkok.

De Bekung perempuan
menyapa,
segera serta
memegangnya,
aduhai tuanku sayang.
kok datang tuanku,
menengok hamba sengsara,
silakan ke mari,
ke dalam duduk tuanku.

Hai kamu ke sana cepat,
kasur bantal semua cari,
lekas sediakan sirih,
yang laki sibuk mencari,
membawa ke kamar
menyiapkan,
sudah menyapu,
kelambunya semua
bergambar.

Aduhai duduk tuanku,
serta terus duduk,
putra mahkota dulu,
De Bekung perempuan
datang,
membawa sirih tiga tempat,

139

[ 139 ]raden mantri kadehan.

593. Sampun san dahar sedah,
De Bekung mwani gipih,
ne eluh nyakan ka paon,
beras ulam suba liyu,
ulam mijiling segara,
sampun sami,
puput pratekaning dahar.

594. Puput masagi macacara
muwah katur ring raden
mantri,
De Bekung ngayahin epot,
raris ngaturin manyekul,
sampun maguyon-guyonan,
punang linggih,
tumuli mangkin manadah.

595. Detan kati sekul ulam,
enak dinya nadah mangkin,
arak manis lawan berem,
kocapa usan manyekul,
wus mawajik makekurah,
sampun mangkin,
sami wusan nginang sedah.

596. De Bekung eluh manyagjag,
matur ring rahaden mantri,
titiang tuwah jati matakon,
punapi karyan i ratu,
meriki malih ka Jawa,
lah orahin,
ne mangkin panjake odah.

597. Endep bibi eda wera,
icang ngalih raden dewi,
I Nawang Tranggana reko,


memberikan,
tuan putra di Koripan.

Sudah selesai makan sirih,
De Bekung lagi. sibuk,
yang perempuan masak ke
dapur,
beras dan daging sudah
banyak,
ikan dari laut,
sudah semua,
matang semuanya.

Sudah selesai menyiapkan,
serta diaturkan kepada tuan
mahkota,
De Bekung repot meladeni,
terus menyuruh santap,
sudah dihadap di tempat
duduk serta sebarang santap.

Tak terhingga ikan dan nasi,
enak olehnya makan
sekarang,
arak manis dan berem,
telah selesai makan,
telah selesai mencuci tangan,
sudah selesai sekarang,
semua selesai makan sirih.

De Bekung mendekat,
sembah pada putra mahkota,
hamba hendak bertanya,
apa kerja tuanku,
ke mari lagi ke Jawa coba
bilangkan kepada rakyatnya
yang tua.

Diam bibi jangan ribut,
aku mencari tuan putri,
I Nawang Tranggana,


140 [ 140 ]melah iriki bas kasub,

bibi bakel tunden icang,

dadi ceti,

De Bekung matur anembah.


598. Sandikan gusti mas mirah,

nadiyan titiang pacang mati,

titiang suka tuwah ka jero,

mamarek ring raden galuh,

sambil titiang ngadol bunga,

nene mangkin,

ne mwani mesem angucap.


599. Gambuhe sai masolah ,

nyai kema ja ka puri,

da nyai wedi ring abot,

nadi yan nora nyai puput,

lansuba ida rahadiyan,

nunden nyai,

saketil nyai sadiyang.


600. Rahaden mantri ngandika,

yan bibi teked di puri,

lamun rame kang guguyon,


kapirengan ring jro agung, icang suba di bancingah,

lah aturin,

rahaden galuh ke jaba.


601. Sandikan gusti mas mirah,

merika merem mas manik,

nawi i ratu kakaon ,

nah kema bibi maturu,

nanging ke ajak i maman,

patih mantri,

gumuyu twara gigisan.

602. Dewa ratu titiang tua,

sampun wusan karya sami,

De Bekung ya ka paturon,


cantik pandai amat tersohor bibi akan saya suruh,

menghubungkan,

De Bekung matur sembah.


Hamba menurut tuanku ,

walaupun hamba akan mati ,

hamba suka ke istana ,

menghadap tuan putri,

sambil hamba menjual bunga ,

sekarang yang laki tersenyum berkata.


Gambuh setiap hari menari,

ke sanalah kamu ke istana,

jangan takut salah ,

walaupun kamu bersama aku selesai dan sudah beliau tuan putri,

menyuruh kamu,

sesukamya kamu jalankan.


Tuan putra bersabda ,

kalau bibi sampai di istana,

kalau ramai orang bersenda gurau,

kedengaran di istana ,

aku sudah di muka istana,

bilang kalau tuan putri keluar.


Hamba menurut tuanku ,

ke sanalah tidur tuanku ,

barangkali tuanku payah ,

ya ke sanalah bibi tidur ,

dan ajaklah paman,

patih mantri tertawa tiada terhingga.


Aduhai hamba tua,

sudah selesai pekerjaan semua,


141

[ 141 ]tan kocapa nya De Bekung,

Bagus Umbara kocapan,

raris meling,

teken sabuke seliwah.


603. Pasunge rahaden Jawa,

dawege kari di Bali,

raris mangenyepang ento,

kedepang rahaden galuh,

raden Nawang Tranggana,

twah kaesti,

wengi sampun dawuh lima.


604. Heneng akena rahadiyan,

wuwusan rahaden dewi,

wus munggah maring paturon,

sareng raine aturu,

wawu aturu-turu ayam,

kaget mangkin,

Nawang Tranggana nyempena.


605. Raden mantri kaswapena,

jumrojog rawuh ka puri,

saksana mangendon turon,

sapraptane sarwiya ngrumrum,

wecanane awelas arsa,

ngasih-asih,

lwir sapan delengan tingal.


606. Atangi tang gagas-gagas,

manangis lawut ngalimid,

kene lepas kene tidong,

pesu munyine jelamut,

tumulih anyambat-ambat,

sambil ngeling,

nguwut entud manteg



De Bekung dia ke tempat tidur,

tak terceritakan de Bekung,

Bagus Umbara diceritakan,

terus ingat dengan ikat pinggang wasiat.


Pemberian putri Jawa,

sewaktu masih di Bali,

terus mengingatkan itu,

menanti tuan putri,

putri Nawang Tranggana,

diingat malam telah jam 7.50 malam.


Hentikan menceritakan tuan putra,

diceritakan tuan putri,

sudah naik di tempat tidur,

turut adiknya tidur,

baru tiduran ayam,

dan sekarang,

Nawang Tranggana mimpi.


Memimpikan raden mantri putra mahkota,

menuju ke istana,

perlu mencari di tempat tidur,

sesampainya terus merayu,

perkataannya menarik hati,

merayu seperti memikat:


Bangun kaget tergesa-gesa,

nangis sambil memanggil-manggil,

begini tidak begitu bukan,

keluar bicaranya ngawur,

serta mengigau,

sambil menangis,


142. [ 142 ]tangkah.


607. Yen beli dini wang Jawa,

mula mamurwaning mantri ,

diyastun desan beli ejoh ,

yeke lakonin atahun,

duwang tahun titiang teka ,

ngalih beli,

nadiyan menegakin palwa.


608. Mangkin beli sampun luas,

mrasa titiang mati sedih,

anak twahnya titiang tulah,

abet mula budi delut,

kawurine twara tawang,

dong ke jani,

makelo-kelo rasayang.


609. Mirib twara sakitang,

sangken awake dulangi,

dusan awak enyen konkon,

manyjuwangin negen nyuwun,

yadian bakat wenang iwak,

manyandingin,

diyastu mati da nyelselang.


610. I Nawang Taro matangia,

ngrungu rakan e menangis,

tumuli raris matakon,

kenkene mbok konden ipun,

andikayang teken titiang.

aduh nyai .

tandruhke nyai ring kanda.



mengelus kaki memukul dada.


Kalau kanda di sini orang Jawa.

memang putra mahkota utama,

walaupun rumah kanda jauh.

walaupun dilaksanakan setahun,

dua tahun hamba datang,

mencari kanda walaupun naik perahu.


Sekarang kanda sudah pergi,

terasa adinda mati susah,

memang adinda salah,

seperti tingkah laku liar,

kemudian tiada tahu,

tapi sekarang,

lama sekali dirasakan .


Seperti tiada yang disakitkan ,

makanya diri sengsara,

dosa hamba siapa suruh,

mengambili memikul jenjang.

walaupun dapat wajib dirasakan,

membandingkan walaupun mati jangan menyesal.


I Nawang Taro bangun.

mendengar kakaknya menangis,

serta terus bertanya .

bagaimana keadaannya.

coba bilang dengan adinda,

aduhai adinda tiada tahukah kamu dengan halnya.


143

[ 143 ]611. Embok twah nyangsara

anak,

sangkan jani mandulangi.

mbok pisan taananga ,

apang embok pisan matambun,

ia saja sai angenang,

amah sedih,

nyai ben salimurang.


612. Embok jani maorahan.

nene mani dane mai.

dane twah manuang embok ,

tur embok ipiang sampun.

nene mani enbok ilang.

nyai dini,

eda pisan mangwerayang.


613. Nawang Taro sawur sembah,

inggih titiang liwat wedi.

pacang ngwerayang embok.

suwe ban makruna ditu.

putih timur abang wetan.

muni paksi ,

tuhu-tuhu lawan ayam.


614. Sampun mangkin telas galang.

tumurun mangkin mangararis,

ka pancoran raris ngojog.

masisig raris maambuh.

tur masiram gagelisan.

usan mangkin.

mantuk mara ring jro pura.


615. Kumerancang sanghyang


Kanda hanya menyengsarakan diri.

makanya sekarang menderita.

kanda hanya makan derita,

supaya kanda bisa berkumpul.

dia saja yang dipikirkan .

dimakan duka,

kamulah yang melipurnya.


Kanda sekarang membilang,

besok dia datang ke mari.

dia akan mengambil kanda.

makanya kanda memimpikan nya,

besok kanda hilang.

dinda di sini.

jangan meributkan .


Nawang Taro menyahut.

ya kanda dinda amat takut.

akan menghilang kanda.

lama kanda berunding disana.

putih timur,

merah utara.

berbunyi burungnya.

tuhu-tuhu dan ayam.


Sudah terang sekarang,

bangunlah sekarang terus ke pancuran menuju.

berkumur dan berkeramas dan mandi cepat cepat.

sudah selesai pulang kembali ke istana .


Bersinarlah matahari .


144 [ 144 ]surya,

ngowah rambut asusuri,

negak ring dedampar kawat,

cacingake sada bengul,

laad ngeling nyabran dina,

ngaja mweni,

masekar saruni gubah.


616. Tan kocapnya ring pura,

De Bekung kocapan malih,

akeh polih bunga kawat,

mewadah wakul aluwung,

dawuh telu sanghyang surya,

semu gipih,

meseh kamben ngantyang luwas.


617. Duh dewa gusti mas mirah,

nemangkin titiang ke puri,

raden mantri sawurniya alon,

De Bekung raris lumaku,

sampun rawuh ring jro pura,

tur mangraris,

parek ring rahaden dewiya.


618. Padangan tiang ke bancingah,

mabalih gambuhe sami,

tan kocapanya di jro,

di jaba malih kawuwus,

gagambelanne maswara,

ngalik-kalik,

Bagus Umbara kocapa.


619. Sampun wusan ngrangsuk payas,

warnane bagus ngrawit,

kade ane anom-anom,


menyisir rambut duduk di dampar yang indah,

matanya agak bengkak,

bekas menangis setiap hari ,

mangu-mangu ,

bersumping bunga seruni.


Tak terceritakan di istana,

diceritakan De Bekung lagi,

banyak dapat bunga baik-baik,

ditempatkan di bakul yang baik,

setengah sebelas siang agak sibuk ganti kain akan pergi.


Aduhai tuanku ,

sekarang hamba ke istana,

putra mahkota katanya pelan,

De Bekung terus berjalan,

sudah sampai di istana ,

serta terus,

menghadap pada tuan putri.


Semua akan ke muka istana,

menonton gambuh semua,

tak diceritakan di istana,

di balairung sekarang ceritanya gong bersuara,

suaranya mutus,

Bagus Umbara ceritakan.


Sudah selesai berganti pakaian,

rupanya bagus menarik,

beserta yang muda-muda


145

[ 145 ]sami rupane abagus,

rahaden mantri mamarga,

mwah pangiring,

sampun tampek ring bancingah.


620. Liyu anake mapapas,

pada gawok maningalin,

pakisi pada matakon,

teken rowang pada uyut,

duh cai nto te wang apa,

basang beli,

mani puwan mangrubeda.


621. Cai pet jani nganehang,

lamun dini natar jawi,

sagenahing prabu kawos,

maduwe yanto kabagus,

batang beli boya ada,

mang lewihin,

padateya masa ana.


622. Pada masawur nuwiyang,

kaiingke anake istri,

awak muaru tuwah gelot,

tan kocapa wang nyunyambung,

mantri Umbara kocapang,

sampun mangkin,

tampek pasare merarian.


623. Rahaden mantri ngandika,

ira ngalih daya jani,

ira ngelid ditu nyongkok,

kema kaka samar malu ,

mebeli baas aji dadua,

aba mai,


semua rupanya bagus,

tuan mahkota berjalan beserta pengiring sudah sampai di muka istana.


Banyak orang berpapasan ,

semua heran melihatnya ,

pada berbisik bertanya,

kepada kawannya semua menekankan,

aduhai kamu itu orang apa,

kanda heran,

besok lusa membawa sebab.


Coba kamu sekarang pikirkan,

kalau di sini tanah Jawa,

letaknya raja utama,

mempunyai sebegitu bagus,

barangkali tiada ada,

melampaui menyamai saya tak ada.


Semua menyahut membenarkan,

apalagi anak perempuan,

kita laki juga tertarik ,

tak terceritakan orang memuji,

Mantri Umbara ceritakan,

sudah sekarang,

dekat pasar.


Putra mahkota berkata,

hamba mencari jalan sekarang,

hamba pergi di sana jongkok ,

ke sana kamu Semar dulu .

beli beras dua kepeng,


146 [ 146 ]i Semar gelis manumbas.

624. Polih baas aji dadua,
katur ring rahaden mantri,
nemenin tuara nak tumon,
dimalu diduri suwung,
ene bakal ira pakpak,
nggawe silib,
dini liyu nawang ira.

625. Raris mangunggahang beras,
dekdek dicangkeme
mangkin ,
iya jani bakal anggon
mamejangin soca irung,
kama pajangin pakpakan,
yan to jani,
mirib pilek curek paad.

626. Tuwi twah katon tawah,
warnan danene mangkin,
raris ka margine ngojog,
liyu anake ketepuk,
pada matakon ken
rowang,
wong punapi,
ne adihi suka duka.

627. Dipengawak bagus pisan,
plek cureke ngenyehin ,
ada makepleh mamengos,
rawuh dipasare agung,
heler memarga ngajanang,
sampun prapti,
tepin pasare ne kaja

bawa ke mari,
I Semar cepat membeli .

Dapat beras harga dua
kepeng,
dihaturkan putra mahkota ,
kebetulan sedang sepi.
di belakang di muka
kosong,
yang dia kunyah ,
untuk menyamar di sini
ban yak tahu aku.

Terus mengunyah beras,
sudah remuk di mulut,
sekarang akan dipakai
ditaruh di mata ,
di hidung,
telinga ditaruhi kunyahan
beras,
itu sekarang,
barangkali pilek dan
curek telinganya.

Seperti kelihatan model,
rupanya sekarang,
terus m e nuju ke jalan.
banyak menemui orang,
semuanya bertanya dengan
temannya,
orang apa,
yang seorang sakit.

Badannya bagus sekali,
pilek cureknya menakutkan . ada jijik memalingkan muka, sampai di pasar besar, terus berjalan ke utara, sudah sampai. di tepi pasar utara.

147 [ 147 ]628. Mararian sor naga puspa,

alungguh ring sila asri,

liwat kalangen manonton,

jadma katah pasar agung,

yen wegah nene memasar,

tigang tali,

dagangane sarwa endah.


629. Yen carita kuangan tanah,

gunaling ne katon sami,

teka make manggalok,

luh muani pada mungsar,

pada ngungsi kabancingah,

ya mebalih,

gagupekane maswara.


630. Akeh anake mapeta,

dimargane Juh muani,

jani ogenang manonton,

lampahan gambuhe luhung,

disakit panjine kocap,

raden dewi,

ami singgih predi pisan.


631. Kengang twah Bagus Umbara,

ring kadeon dane sami,

jalan pet jani mangojog,

sig nyane menyaluk gambuh,

benehannyane mapayas,

patih mantri,

angiring kahiyan rahadian.


632. Tumulih mangkin mamarga,

sayan akeh wong kapanggaih,

tampek ring bancingah reko,


Berhenti di bawah pohon nagasari,

duduk di batu rata amat

heran menonton,

orang banyak di pasar besar,

barangkali orang di pasar,

tiga ribu dagangannya

baik bermacam-macam.


Barangkali kurangan tempat,

tempatnya kelihatan semua,

datang orang

berduyun-duyun,

putra-putri semua masuk,

datang kemuka semua

istana menonton,

gendangnya bersuara.


Banyak orang berkata,

di jalan putra-putri sekarang

spesial menonton,

lakon gambuhnya baik,

waktu sakit panjinya,

tuan putri,

mencari lowongan sekali.


Tersenyumlah Bagus Umbara,

dari jauh dia mengajak,

mari sekarang menuju ke sana,

di tempatnya minta gambuh,

pakaiannya diperbaiki,

patih dan mantri,

mengiring putra mahkota semua.


Beserta sekarang berjalan,

makin banyak orang dilihat

dekat di muka istana sudah,


148 [ 148 ]rame sasendon karungu,

ngalik-kalik di bancingah,

raden mantri rawuh genahe mapayas.


633. Gambuhe mangkin maluwaran,

uli di bancingah sami,

kapayasan ya mangojog,

pacang ya mesahu gelung,

rahaden mantri kapendak,

nugi margi,

ingiring dening kadehan.


634. Wonga gambuh manakonang,

wong apa sih ento beli,

pada ya mandeg manonton,

saking balijeneng ipun,

ada pra Bali natasang,

niki gusti,

saking yen punapi prapta.


635. Ken Rangga alon angucap,

titiang puniki wong Bali,

nanging wong papa tan panggon,

milu anak milu aku,

mangrojongan mangelelawang,

antuk miskin,

tan madruwe gagelungan.


636. Sami ipun dereng praktiaksa,

nawi cihna sri bupati,

nampi dening gambuh

kawon,

wang atakon sawur alus,

inggih i riki antosang,

tur mamargi,

sang prabu kari di wedal.


ramai nyanyian kedengaran,

mengalun di istana putra

mahkota sampai di tempat orang berhias.


Gambuhnya berganti babak,

dari muka istana semua

menuju tempat berhias,

akan berganti gelung,

tuan mahkota didatangi,

mengikuti jalan diiringi dari jauh.


Penari gambuh menanyakan,

orang apa itu kakak,

semua mandeg menonton,

dari Bali rupanya,

ada orang Bali kebanyakan,

ini pangeran,

dari mana datang.


Ken Rangga berkata pelan,

hamba ini orang Bali,

tetapi orang miskin tiada

punya rumah,

turut orang turut aku,

ikut-ikut menari hanya

miskin tiada punya pakaian penari.


Semuanya tiada lengkap,

barangkali ikhlas tuanku raja,

menerima walaupun gambuh jelek,

yang bertanya menyahut halus,

di sinilah ditunggu,

terus berjalan,

tuanku raja masih dihadap.


149 [ 149 ]637. Wong matur medek anembah,

titiang matur ring nrepati,

yan cihna ida sang katong,

nampi paragina gambuh,

kocap reke mangelelawang,

saking Bali,

naranggawa gegelungan.


638. Duwene mangkin kaselang,

krayan gambelane sami,

sang prabu ngandika alan,

liwat sukane ring kayun,

keneh ira nusuk ayang,

tunden mai,

katepuk tekening ira .

639. Kudang diri to jadmania,

nem belas inggih nerepati,

ne asiki pelek cerek,

gamnyu ida sang prabu,

wong matur amit anembah ,

sampun prapti,

ma ndawuhang pangandika.


640. Pangandikan sri narendra,

ida mekayunan nampi,

sadruwen ida sang katong,

gegambelan miwah gelung,

sami ida icen nyelang.

nanging mangkin,

merika reke munggahan.


641. Tumuli sami mamarga,

prapta ring ajeng nrepati,

sang prabu ngandika alon,

caike mangonkon bau,

maatur teke ning maman,

wong tetamwi,

sami ya maatur sembah.


Orang yang menghadap menyembah dekat,

hamba sembah kepada tuanku,

kalau tuan ku izinkan,

menerima penari gambuh,

katanya ke mari main,

dari Bali,

tiada membawa pakaian.


Kepunyaan tuanku dipinjam,

semua bersama gamelannya,

tuanku raja bersabda pelan,

amat suka dalam hati,

keinginanku memberikan,

suruh kemari,

menghadap padaku.


Berapa orang jumlahnya,

16 tuanku raja,

yang satu pilek curek,

tertawa beliau tuanku,

orang yang menghadap permisi,

sudah sampai menyampaikan titah raja.


Sabda paduka raja beliau

berkeinginan menerima,

segala kepunyaan beliau

gamelan dan perhiasan,


semuanya dikasih meminjam,

tapi sekarang,

ke sanalah menghadap.


Serta haus berjalan,

sampai di muka raja,

tuanku raja bersabda pelan,

kamu yang menyuruh tadi,

menghadap kepadaku ,

yang menghadap semuanya

sembah menyahut.


150 [ 150 ]642. Titiang singgih sri narendra,

nanging sititiang wong miskin,

titiang nunas ring sang katong,

nyelang gamelan mwah gelung,

titiang wawu manawika,

sri bupati,

ngandika nah suba ada.


643. Rahaden man tri kocapang,

manyongkok tur manyangklib,

matilesang raga bocok,

akeh wong tumon aguyu,

dening jejel dibancingah,

luh muwani,

para nyai para menak.


644. Ada mapeta ngigisang,

ento nene adihi,

bakal nyaluk apa ento,

pelek curek nganges liyu,

singnya te bakal manuras,

suba asin,

tan kocapa wong anyambat.


645. Sang prabu alan angucap,

dijaha si desan cai,

Ken Rangga amatur alon,

inggih ring Tohjiwa ratu,

kenake ke pepayasan,

ajak sami,

praginane dini pada.


646. Tunden cai ngawilangang,

lelampahan nene becik,

di sakit Panjine reko,

nene bawu tonden puput,


Hamba paduka tuanku,

hanya hamba orang miskin,

hamba minta pada tuanku,

meminjam gong bersama pakaian lengkap,

hamba baru belajar tuanku

raja bersabda beliau ia sudah ada.


Putra mahkota diceritakan,

jongkok serta bersembunyi,

merendahkan dirinya jelek,

banyak yang-melihat ketawa,

karena ramai di muka istana,

putra-putri,

orang kebanyakan dan bangsawan.


Ada yang bicara mengecil,

itu yang seorang,

akan mengapa dia,

pilek dan curek telinganya,

tidaklah itu akan menular,

tiada pantas,

tak terkatakan orang membilang.


Tuanku raja pelan bersabda,

di mana rumahmu,

Patih Rangga matur alon,

ya di Tohjiwa tuanku,

ke sanalah ke tempat orang berhias,

semuanya,

penarinya di sini juga.


Suruh kamu mencarikan,

lakon yang baik,

pada waktu sakit panjinya,

yang tadi belum selesai.


151 [ 151 ]bakat ban cai ngelampahang,

maman mredi,

yen tong bakat eda juwa.


647. Inggih titiang manegarang,

dereng titiang mamanggihin,

nawi iwang antuk titiang,

sampun i ratu yen bendu,

enah lamun nagih ajah,

ring ne dini,

anak iya pada bisa.


648. Tumuli amit lumampah,

kapepayasan mangraris,

akeh praginane tumon,

pada ya maserod tuwun,

durusang gusti munggahang,

inggih raris,

malinggih sami sarengan.


649. Raden mantri ngaluwan,

akeh anake pabisik,

ento ya mangudiyang dinto,

tinaka malinggih di hulu,

endep da jaliu peta,

dong iwasin,

petene gati runguwang.


650. Pragina Jawa angucap,

durusang embaning mangkin,

Ken Rangga sumawur alon,

punapi medal ibawu,

inggih bawu kambil titiang,

duke ngambis,

ring gunung duk acangkrama.


apakah dapat kamu melakonkan,

aku mengharap,

kalau tidak bisa janganlah.


Daulat tuanku hamba mencobanya,

belum pernah hamba melihatnya,

kalau salah oleh hamba,

janganlah tuanku murka,

ya ke sanalah minta peladenan,

pada yang di sini orang

dia semua bisa.


Beserta permisi terus berjalan,

ke tempat orang berhias,

dilihat orang penari di sana,

semuanya pada turun,

ke marilah tuanku naik,

ya terus,

duduklah ikut bersama.


Putra mahkota di atas,

banyak orang berbisik,

itu mengapa dia di sana,

malahan dia duduk di atas,

diamlah jangan banyak

bicara,

lihat dulu,

perhatikan dulu bicaranya.


Penari Jawa berkata teruskan sekarang lakonnya,

patih Rangga menyahut pelan,

apa lakonnya tadi,

ya baru hamba lakonkan,

sewaktu berada di gunung

bercengkerama.


152 [ 152 ]651. Mangkin pangananya medal,

digantin Panjine sakit,

pangwidi ida sang katong,

miwah putrane twan galuh,

keni antuk gusti nika,

yen wong keni,

wangdeyang nawi da duka.



652. Titiang sampun lawas pisan,

mauruk masih magigit,

siyig agigis kapongor,

mantig tur mabalenggu,

miwah masengker abulan,

melus tali,

gusti sampun peke-peka.



653. Sampun gusti kudu pangkah,

kenangen magawe sisip,

sarunya benjangan reko,

di jumah dumun awruk,

mangkin dening gati pisan,

nawi polih,

kenang manggawe arahang.


654. Kenyung pun Kebo Praksa,

Kebo tan mundur bisikin,

bajigar anake ento,

yen mangdenya dini suwung,

kita angasab candana,

raden mantri,

kenyung tumuli ngandika.


655. Kema malu kaka Semar,

mangalih gih akikit,

pun Semar ngalih tan alon,

iya suba wruhing smu,



Sekarang sampai pada waktunya Panji sakit,

permintaan beliau tuanku raja,

beserta putranya tuan putri,

apakah tuanku bisa melakonkan itu,

kalau 'bisa,

kalau dibatalkan barangkali beliau murka.


Hamba lama sekali,

belajar hanya sedikit,

kalau salah sedikit dimarahi,

memukul serta bawa kayu,

serta berbatas bulan pakai tali,

tuanku sudah lupa-lupa.


Janganlah tuanku sembrono,

supaya jangan membuat salah,

sahutnya lain kali katanya,

di rumah dahulu belajar,

sekarang karena perlu sekali,

barangkali dapat,

kalau membuat bilangkan.


Tersenyumlah Kebo Praksa,

Kebo tak mundur sedikit,

sombong orang itu,

supaya di sini sepi,

kita menggosok cendana,

tuan mahkota senyum serta bicara.


Ke sana duduk kakek Semar,

mencari air sedikit,

Semar mencarikan cepat-cepat,


153

[ 153 ]sampun polih tur ngaturang,

raden mantri,
ngandika mai ke aba.


656. Raris dane mailidan,
pun Semar gupuh ngayahin ,
dipegok ternboke nyongkok,
pelek carek sami sutsut,
pragina Jawa kocapan,
nene jani mapeta tekening


657. Bali liwat jerih pisan,
manyarnpahin gambuh Bali,
anak ada orta reko,
gambuh Bali -liwat luwung,
so ring 1angit biyana pada,
ento jani,
krana Bali takut nyampah.


658. Ento dane bas bajigar,
abehe masuwang munyi,
lagute paling bisanya,
pesu munyine bas gangsuh,
awak tonden mangatonang,
gambuh Bali,
tur dane dereng masolah.


659. Bali jani ka todowang,
kanggo ja anake ririh,
anak Bali tuhu belog,
beli tosing tuhu-tuhu,
rahaden mantri kocapan,
wusan mangkin,
menelahin ngesang kama.


dia sudah tahu isyarat,
sudah dapat terus diaturkan,
putra mahkota,
berkata mari bawa.


Terus dia sembunyi,
Semar repot meladeni,
di sebelah tembok jongkok,
pilek curek semua
dibersihkan,
penari Jawa diceritakan,
sekarang berkata kepada
temannya.

Kakak terlalu takut sekali,
menghina gambuh Bali,
karena ada betita katanya,
gambuh Bali amat baik,
di bawah langit tiada
menyamai,
karena itu makanya kakak
takut menghina.

Itu yang amat sombong,
caranya mengeluarkan
bicara,
walaupun paling pandai,
keluar bicaranya
membubung,
kamu belum melihat,
gambuh Bali,
dan beliau belumn menari.


Sekarang kakak
memperlihatkan,
terserahlah orang yang
pandai,
kakak sudah tahu bodoh,
kakak tidak tahu menahu
putra mahkota ceritakan,
sudah selesai sekarang,


154
[ 154 ]

660. Sampun telas winasehan,

kadi emas wawu sinangling,

raga langu ping tangan meros,

wedanane melok lumlum,

jeriji rurus mangancan,

naka gading,

sapolahe buka dewa.


661. Tumuli kepemahiyasan,

tengkejut anake sami,

mabiyayuhan pati takon,

pada teken roang ipun,

ada ngintip ane busan,

to ngorahin,

ane pelik ento iya.


662. Gawok anake ngtonang,

wamane rahaden mantri,

ada nabing ada nelok,

para Bali ayu-ayu,

para gusti para menak,

tani kikit,

ada mamenekin ejan.


663. Rahaden mantri ngandika,

kema ke mapayas jani,

pada mapayas tan alon,

Semar pada kema nyaluk ,

sam pun sami ngrangsuk payas,

raden mantri,

sampun ida ngrangsuk payas.


664. Sayan jejel ring bancingah,

dening gambuh saking Bali,

tan liyan lawange tonton,


melepaskan membersihkan telinga.


Sudah selesai membersihkan,

seperti emas disinari,

badannya ganteng tangannya seperti lilin dituang,

pandangannya seperti siraut jatuh,

jarinya seperti duri landak,

kuku kuning,

tindak-tanduk seperti dewa.


Serta ke tempat berhias,

terkejut orang semua,

bingung pada bertanya,

kepada teman-temannya,

ada yang mengintip tadinya,

itu membilangi,

yang curek itu apa.


Heran orang melihat,

rupanya putra mahkota,

ada mengincer ada melongo,

penari Bali cantik-cantik para kaum bangsawan,

tiada sedikit ada naiki tangga.


Putra mahkota berkata,

ke sana ke tempat berhias sekarang,

berhias cepat cepat,

beserta Semar kesana berhias,

selesai semua putra mahkota,

selesai semua berhias.


Tambah sesak di muka istana,

karena gambuh dari Bali,


155

[ 155 ]masih tonden ada rawuh,

sinah ati-ati pada,

ne ,abalih,

gambuhe ngantiang medal.


665. Gawok pragina ring Jawa,

tumon ring rahaden mantri,

gambuhe pesu marerod,

soring ancak saji rawuh,

kagiat anake tumingal,

buka ngipi,

ada ya bengong manyebak.


666. Buwud mangkin di bancingah,

pada melihat ka sisi,

akuda ya jani pongor,

mabiyuran saling suwuk ,

gambuhe mangkin munggahan,

wong mabalih,

kadi ombak maalunan.


667. Kebuangan-angan prakasa,

angres warnane ngrawit,

rawise nyulingker katon,

rasanya buka manyaup,

tuhu mangeresang cita,

sing ningalin,

gawok tan kena angucap.


668. Ranggane alus angraras,

rupane kadi ring tulis,

ragane ngarangka meros,

eseme lwir madu juruh,

pawulate nggawe raga,

kaduk manis,

rasanya di pangipian.


tiada lain menonton tenda,

masih tiada ada yang datang,

tentu hati-hati sekali ,

yang menonton gambuhnya akan keluar.


Heran penari di Jawa,

melihat putra malikota ,

gambuhnya keluar beriring,

di bawah pagar keraton datang,

kaget orang melihat,

seperti mimpi,

ada karena menganga.


Ambyar sekarang di muka istana ,

pada melihat keluar,

beberapa sekarang disalahkan,

berkerumun saling dorong,

gambuhnya naik ,

orang menonton bagai ombak mengalun.


Rupanya bagus perkasa,

rupanya asri menakutkan ,

kumisnya melingkar

kelihatan rasanya seperti menyergap,

sungguh mengerikan hati,

yang melihatnya heran tak ingin bicara.


Badannya alus lumlum ,

rupanya seperti di tulis,

badannya langsing dan ganteng,

senyumnya manis madu ,

penglihatannya seperti siraut jatuh ,

memang menarik .


156 [ 156 ] 669. Panjine pungkurin Semar,

kadi emase sinangling,

mekejang anake gawok,

sang prabu ngucap ring kayun,

yen banding mantri Koripan,

twah ya sami,

yen timbang twara enceta.


670. Sampun manglepas pessaman,

gegamelane mesahin,

Panji Rangga pada nyendon,

kadi mangrumrum di kasur,

karungu lwir di pangipian, ngasih-asih,

gawok pragina ring Jawa.


671. Gawok anake ajagat,

seksek jejel tan petepi,

luh muwani seleng segok ,

maduk adukan masuwuk,

sing adapetan kena ngawas,

saling jepit,

saling getel saling jambak.


672. Ada kadung kablangtengan,

maninjo selaning batis,

kadung kampetan tongos,

petane-mangkin mabugbug,

ngakuwin Panji kagelan,

ada imbih,

ada mangemuk bungutnya.


673. Semare sagetan bidag,

dadi mabungut di samping,



rasanya di impian.


Panji di belakangnya Semar,

seperti mas disepuh ,

semua orang heran,

raja pun berkata dalam hati,

kalau dibandingkan putra

mahkota Koripan barangkali sama,

kalau ditimbang tiada beda.


Sudah ganti lakon,

gamelannya berganti,

Panji Rangga mengikuti dengan nyanyian,

seperti menghibur di tempat tidur,

kedengaran seperti dalam mimpi,

mengelu-elu,


heran penari Jawa.

Heran orang semuanya,

penuh sesak tak terhingga,

putra putri saling dorong,

bertaburan berkerumun,

tiada lepas-lepasnya

memandang,

saling jepit saling cubit saling demok.


Ada yang tiada kebagian tempat,

menengok di sela-sela kaki,

karena terhalang tempat,

perkataannya keluar ngawur,

mengaku Panji itu suaminya,

ada mengigau,

ada ngawur mulutnya.


Semarnya membuat lucu, jadi mulutnya di samping,


157

[ 157 ]matane putih malohpoh,

ditu kedeke matuwug,

karungu lwir ombak pasang,

para nyai,

pesu panyuh pakanciyat.


674. Sang prabu kalintang ica,

manggulalang mangguliling,

kadurus gamuyu reko,

parekan kasruhan guyu,

pesu tahi tani nawang,

penah pengit,

malaib ngolih pancoran.


675. Akeh pra putri ring jaba,

mwang pra menak Jan wong tani,

ada ngeling ada bengong,

mangenot Panjine bagus,

ada ngakuwin wanmah,

pada paling,

manglaku laku ka tengah.


676. Tuwura karungu panyepat,

ada marebot matitig,

pada eluh sating cogroh ,

ada menek tembok labuh,

mangalih ambah-ambahan,

twara peilih,

ancak saji melah rusak.


677. Ada pasleng jujungang,

ada sengat kalajengking,

sengi-sengi nyaru nyongkok,

pecik limane manguyuk,

tan kocapanya ring jaba,

kocap malih,


matanya putih sayu,

di sana tertawanya terbahak-bahak,

seperti ombak samudra,

para wanita sampai keluar kencing tertawa.


Tuanku raja amat suka,

tertawanya terpingkal-pingkal,

terus tertawa saja,

hamba sahaya kekerasan tertawa,

keluar tahi tiada tahu,

baunya pengit,

lari mencari pancuran.


Banyak para putri di muka istana,

beserta para bangsawan dan orang kebanyakan ,

ada menangis ada melongo,

melihat Panjinya bagus,

ada mengaku suaminya,

semua paling,

berjalan-jalan ke tengah.


Tiada kedengaran lakonnya,

ada berkelahi saling pukul,

bersama-sama perempuan

saling dorong,

ada naik tembok jatuh,

mencari jalan masuk,

tiada dapat pagar keraton baik rusak.


Terlalu berjejal orang nonton,

ada yang disengat kalajengking,

terisak-isak pura-pura jongkok,


158 [ 158 ]rahaden galuh ring pura.

678. Nemonin di jero sela,
De Bekung maatur aris,
pirengang ratu geguyon,
di bancingah mangkin
cuwug,
rakan i dewa,
raden mantri,
ida mangambuh di jaba.

679. Di Bali kedepang Jawa,
di Jawa kedepang Bali,
ica i ratu mangrawos,
pinunas rakan i ratu,
sangkan dane nedungkap
palwa,
tan panolih,
tekening raja negara.

680. Duh bibi endepang suba,
kenang liyun dingeh jani,
anak nu liyu di jro,
nyaan-nyaan lamun suwung,
ira ndangingin rahadian,
ring i beli,
bibi nyaan bareng medal.

681. De Bekung ran manyumbah,
sandikan i ratu singgih,
kema bibi ditu ngejoh,
kenang ada anak tahu,
i bekung ewa makalah,
sada ngelid,
nu rame di jero pura.

memijit tangan sambil
mengantuk,
tiada terceritakan di muka
istana,
diceritakan lagi,
tuan putri di istana.

Kebetulan di istana sepi,
De Bekung sembah pelan,
dengarkan lelucon tuanku,
di muka istana ramai,
kanda tuanku putra
mahkota,
beliau menari gambuh di
muka istana.

Di Bali biar di Jawa di Jawa
biar di Bali,
sukalah tuanku berkata,
permintaan kanda tuanku,
makanya beliau naik perahu,
tiada menoleh sampai di
kerajaan ini.

Duhai bibi diamkan sudah,
biar tiada orang dengar,
orang masih banyak di
istana,
nanti kalau kosong,
aku menurutkan beliau,
pada kakanda,
bibi nanti turut keluar.

De Bekung terus
menyembah,
ya hamba menuruti,
ke sana bibi di sana diam,
biar tiada orang tahu,
I Bekung cepat sembunyi,
tak kelihatan,
masih ramai di istana.

159 [ 159 ]682. Akeh pra putri ring pura,
pra ida miwah pra gusti,
anaking manca punggawa,
angrungu punang gumuyu,
kuwug-kuwug di
bancingah,
para putri,
sami matur ring rahadian.

683. Nunas ke ratu ka jaba,
durung ko titiang miragi,
wong gumuyu buka keto,
Nawang Tranggana amuwus,
lah margi ida dumunan,
miwah nyai,
ring ida ka bancingah.

684. Titiang kari nyidra brata,
ida ayu manggut kenying,
titiang pamit dumun reko,
raris ida mangkin pesu,
sang putri ring Windu Tingal,
pada ngiring.
miwah sang putri panunggah.

685. Manggeloh mangkin ka jaba,
telasan uli di puri,
tekad di bancingah reko,
di jro pura sampun
rahaden dewi ngandika,
mai bibi,
enggalang dini mapeta.

686. Kurang ada anak teka,
i bekung mamarek gipih,
duh bibi kenken di reko,

Banyak pegawai istana,
kaum bangsawan dan
kesatria putra pegawai
keraton,
mendengarkan lelucon,
terbahak-bahak di
muka istana,
para wanita,
semua sembah pada tuan
putri.

Ayo tuanku ke muka istana,
hamba belum mengetahui
orang tertawa demikian,
Nawang Tranggana berkata
ya jalanlah duluan,
beserta kamu,
dengan beliau ke muka
istana.

Hamba masih berpuasa,
beliau mengangguk dengan
senyum,
hamba permisi duluan,
terus beliau sekarang keluar,
tuan putri di Windu
Tinggal, semua mengiring,
beserta putri Panenggah.

Berduyun-duyun ke muka
istana,
semuanya dari istana,
sampai di muka istana,
di istana sudah sepi,
tuan putri bersabda,
ke mari bibi cepat
sekarang bicara.

Tiada orang datang,
I Bekung cepat-cepat datang,
bagaimana ceritanya bibi,

160 [ 160 ] pangandikan beli bagus, jani telasang ken ira, dewa gusti, titiang mangkin mangaturang.

katanya kanda bagus, bilang semua padaku, duhai tuanku, hamba sekarang mempersembahkan.

687. Yan i ratu durus sweca, ne nyahan i ratu mijil, titiang meriki ka jero, pacang mendakin i ratu, sapunapi hyun i dewa, nene mangkin, pangandikayang ring titiang.

Kalau jadi tuanku suka, nanti malam tuanku ke luar, hamba ke mari ke istana, akan menjemput tuanku, bagaimana kehendak tuanku, sekarang dibilang kepada hamba.

688. Rahaden galuh ngandika, lamun keto bibi jani, menyahan mai ka jero, sedek anake manyekul, bibi pacang engkebang ira, apang ilid, i beli aturin di pasar.

Tuan putri bersabda, kalau demikian bibi sekarang, nanti malam ke mari ke istana, sewaktu orang makan, bibi saya sembunyikan, supaya tak kelihatan kanda suruh diam di pasar.

689. Ditu dane antos ira, penalikan anggon ciri, mamunyi ping pat reko, i guru sampun aturu, sedek sepi di jego pura, nene jani, ambul to jwa aturang.

Di sana beliau menunggu aku , bedugnya dipakai tanda, berbunyi empat kali, ayahanda sudah tidur, sedang sepi di istana sekarang, sekian dibilang.

690 . Mulih jani bibi suba, aturang teken i beli, i bekung maatur alon, titiang vunas ring i ratu, cirin rakan i dewa, mak a jati , enah ene bibi aba. 691 . Bungkung maji limang laksa, masoca mirah ratnadi, aturin i beli reko,


Pulanglah bibi sekarang, sampaikan pada kakanda , I Bekung sembahnya pelan , hamba minta pada tuanku tanda pada kakanda, yang sungguh ya ini dibawa. Cincin berharga 50 ribu, bermata mirah ratnadi persembahkan kepada


161 [ 161 ]

maka cirin ira tuhu, apang eda dane sangsaya, kema mulih, i Bekung amit lumampah.

kakanda, tandanya aku sungguh, supaya jangan beliau curiga, ke sana pulang, I Bekung berjalan pulang.

692. Nawang Tranggana ngandika, rahine mangkin kawukin, mai tomas mirah embok, pirengang anake guyu, rame jani di bancingah, ento nyai, i beli dane di jaba.

Nawang Tranggana bersabda, adiknya sekarang dipanggil, marilah adikku sayang, dengarkan orang tertawa, ramai di muka istana, sekarang, itulah kakanda beliau di muka istana.

693. Malinggih ring dedampar emas, ngowah rambut asusuri, mawastra permas ijo, mabapang garuda mungkur, mapetitis mirah ratna, sekar taji, masubeng mas tulak muncar.

Duduk di dampar emas, menyisir rambut berhias, berkain permas hijau, berbapang garuda mungkur (nama pakaian) berpetitis mirah ratna, sekar taji, bersubang emas tulak muncar.

694. Sampun wusan ne mapayas, warnanne kadi hyang ratih, ucapan I Nawang Taro, amepek kang payas sampun, pada nganggo emas ratna, kuma rining, lwir muksaha dapa kena.

Sesudah habis berhias, rupanya seperti bulan purnama, ceritakan Nawang Taro lengkap dengan perhiasan, semua pakai emas dan permata, berkilauan, seperti berkemilauan.

695. Raris medal ka bancingah, condong bayan pada ngiring, tan kocapa nya di jero, rawuh ring lawange agung, tur angadeg makembaran, raka rai,

Terus keluar ke muka istana, Condong Bayan semua mengiring, tak terceritakan di istana, sampai di pintu gerbang, berdiri berduaan,

162 [ 162 ] Nawang Taro soran rupa.

kakak adik, Nawang Taro kalah rupanya.

696. Gawok anake ajagat, tumon ring rahaden dewi, kadi bulan kembar tinon, sarwi ida nonton gambuh, tumuli kapendak tingal, raden dewi, sayan lengleng kewangsitan.

Heran orang semuanya, melihat tuan putri seperti bulan kembar kelihatan, sambil beliau menonton gambuh, terus mengiringi dengan pandangan, tuan putri, makin risau diisyarati.

697. Ake pra mantri ne edan, tumon ring rahaden dewi, twara pada taen tumon, mangerep di jro agung, tembe mangkin ida medal, saking puri, manonton gambuhe tawah.

Banyak pegawai yang tertarik, melihat tuan putri, tiada pernah kelihatan, di muka istana, sekali ini beliau keluar dari istana, menonton gambuh model.

698. Panji Rangga manyendonang, karungu mangasih-asih, buka pangrumrum di turon, ada ngeling pineh bungul, elen mangeling sigsigan , mwah wong tani, mangeling mangyeng pianak.

Panji Rangga menyanyikan, kedengaran berkumandang, seperti merayu di tempat tidur, ada menangis sampai bengkak matanya, ada yang menangis terisak -isak, disertai orang kebanyakan, nangis menggoyangkan anak.

699. Liyu anake mapeta, pada eluh pada muani, biana te beli yen tinon, lamunnya ene mangambuh, atemwang to bannya nyandang. yen mabalih, kanduga twah mejang karya .

Banyak orang berkata, putra-putri kalau ini, lagi kelihatan kalau dia gambuhnya lagi lama, akan kita ingat, kalau menonton ikhlas menaruh pekerjaan.

163 [ 163 ]700. Ada to ne enu jumah,
tong kena pesu mabalih,
manggelah pianak i puwan,
mandingeh gambuhe luwung,
malaib ngutang pianak.

701. Tatelu nedunang balian,
ewehan pada nulungin,
bebeng rarene reko,
mangrungu gambuhe luwung.
gambuh Jawa twara pada,
gambuh Bali,
nene ngigel di bancingah.

702. Biana manglinguwang baya,
malaib baliane sami,
pada ka bancingah ngojog,
nene manyakit mamisuh,
tan pagenah iba pada,
mambelasin,
gambuhe ditu lah bayar.

703. Kai ja tongosin iba,
tong empugan ngutah getih,
jangkan pipis slae reko,
miwah berase acatu,
banten taksu kai nggelah.
burat wangi,
bakal mangelolodok iba.

704. Taksun ibane maiyang,
kai uraba ban tai,
sakit sanja kai reko,
makejang ngalahin pesu.
jani nyang mangulangsah,

Ada yang masih di rumah,
tiada dapat menonton,
yang mempunyai anak dua
hari,
mendengar gambuhnya baik,
lari meninggalkan anaknya.

Tiga mendatangkan dukun,
sukar semuanya menolong.
disembunyikan bayinya,
mendengar gambuhnya baik,
tiada menyamai gambuh
Jawanya,
gambuh Bali yang menari
di muka istana.

Ada yang meninggalkan
bahaya,
semua lari dukunnya,
semua menuju ke muka
istana,
yang akan melahirkan
mengumpat tiada pantas
semuanya,
meninggalkan gambuhnya
yang dikejar.

Aku kan tunggu,
tiada berhenti mengeluarkan
darah,
ukuran uang 25 beserta
beras I liter,
sajen taksu dia punya beras
wangi akan menyalahkan
kamu.

Ampuhmu bawa ke mari.
akan aku bubuhi dengan tai,
sungguh sakit sekali aku
katanya,
aku panggil kamu

164 [ 164 ]nene mwani,
kadung lanes di bancingah.

705. Tan kocapa wong manakan,
pun Semar mara nyelanin,
bungutnyane kadi bonjor,
matan nyane aneh biru,
wong gunannya kadi surak,
wong arejit,
raden galuh lintang ica.

706. Pra putri para ida,
rame gumuyu i riki,
sami masuwang yeh panon,
pada kadurus gumuyu,
ada ngangkas sakit basang,
ida istri,
maid manyuh ida ica.

707. Gambuhe wus manyerita,
Panjine mangkin manangis,
manyerit mara manyendon,
manyelempoh makerubung,
kadiane padang lawad,
jerat-jerit,
Semare makoreyakan.

708. Kasor gambuhe sang nata,
Panjine mangasih-asih,
tur mapesuwang yeh panon,
akeh wong pada kepangluh,
ada ngeling manuwutang,
sri bupati,
gawok tan kena ngandika.

meninggalkan ke luar,
sekarang gelisah resah,
yang laki,
di muka istana keheranan.

Tak terceritakan orang
mengabdi,
I Semar baru menyela,
bibirnya seperti lobang
bambu,
matanya separo biru,
orang tertawa bersorak,
orang menjerit,
tuan putri amat suka.

Para putri dan brahmana
ramai tertawa di sini,
semuanya mengeluarkan air
mata,
tertawanya melantur,
ada sampai perutnya sakit
tuan putri keluar kencing
beliau tertawa.

Gambuhnya sudah selesai,
Panjinya sekarang menangis,
menjerit baru menyanyi,
bersimpuh berselimut,
disangka padang lawad,'
jerat-jerit/memanggil-manggil
I Semar berteriak.

Kalah gambuhnya tuanku
raja,
Panjinya merayu-rayu,
serta mengeluarkan air mata
, banyak orang pada kasihan,
ada yang menangis

menirukan tuanku raja
heran tak berkata-kata.

165 [ 165 ]709. Akeh dagange beten,
di margane ngadol nasi,
dagang jajalan woh-wohan,
mangrungu wong agaguyu,
pada ngaloin dagangan,
ye mabalih,
dagangane amah cedar.

710. Sambeh dagange sambrag,
dagange masih mabalih,
katungkub nyapa de
bengong,
nasi jaja pinah lepug.
amah bangkung basang
ngamah,
pada ngeling,
suwung sekenane pada.

711. Sinah lingsir sanghyang
surya,
dereng gemih wong mabalih,
sayan jejel wong manonton,
twara pada ngorang seduk,
alah buwin mani kayang,
luh muani,
wong windu tingal
panenggah.

712. Ada tong polih menekang,
betenan pating keribit,
pipis nyane onya ilang,
ka bancingah nonton
gambuh,
rahaden galuh kocapan,
nu mabalih,
tan pegat maring tingal.

713. Tanuh pendek
kependek tingal,
kemanis-manisan liring,
rahaden mantri manyendon,

Banyak dagang di bawah,
di jalan jual nasi,
dagang buah-buahan di jalan,
mendengar orang tertawa,
semua meninggalkan
dagangannya,
menonton,
dagangannya dimakan anjing.

Terserak dagangannya,
pedagangnya terus
menonton,
terpikat heran terpaku,
nasi jajan buyar habis,
dimakan babi perutnya
besar,
semua menangis sunyi sepi
semuanya.

Sampai sore hari,
tiada berhenti orang nonton,
tambah banyak orang
menonton,
tiada ada merasa lapar,
malah lagi menambah
putra-putri orang Windu
Tingal Panenggah.

Ada tiada dapat naik,
di bawah bolak-balik,
uangnya semua hilang ke
muka istana nonton gambuh,
tuan putri diceritakan
masih menonton,
tak putus memperhatikan.

Terus berpandang-
pandangan,
berpandangan senyum
simpul,

166 [ 166 ]dumadak bungane luwung,
menjahan di tengah pasar,
madia ratri,
titiang nyangga baan palwa.

714. Wong Jawa pada tan wikan,
sesendone kata Bali,
I Nawang Tranggana wikan,
manggut sarwi awor
kenyung,
puput sami di pawulat,
sampun lingsir,
gambuhe sami maluwaran.

715, Katon sepi di bancingah,
Nawang Tranggana ka puri,
kalih I Nawang Taro,
jerone katonton suwung,
sesanya nu kelap-kelap,
sang apekik,
malungguh
mamepangenan.

716. Kocap mangkin di bancingah,
sang prabu kari malinggih,
akeh anake pasango,
mangenang gambuhe suwud,
dening mangkin sampun
sanja,
wong mabalih,
pada mantuk sowang-sowang.

717. Sang prabu alon ngandika,
kema patih tanda mantri,
malih ya tamiune reko,
kola jani asung sekul,
tunden mai ka bancingah,

putra mahkota menyanyi,
semoga bunganya baik,
sebentar nanti di tengah
pasar,
tengah malam,
hamba menunggu dengan
perahu.

Orang Jawa semua tak tahu,
nyanyiannya bahasa Bali,
I Nawang Tranggana tahu,
mengangguk beserta senyum
semua sudah selesai di
pandangan,
sudah sore,
gambuhnya sudah selesai.

Kelihatan sepi di muka
istana,
Nawang Tranggana ke
istana,
beserta Nawang Taro,
istananya dilihat sepi,
rasanya seperti kelihatan.
yang ganteng,
masih berpikir-pikir.

Diceritakan sekarang di
muka istana,
tuanku raja masih duduk,
banyak orang melongo,
memikirkan gambuhnya
berhenti,
karena sekarang sudah senja,
orang menonton,
semua pulang semuanya.

Tuanku raja berkata pelan,
ke sana patih pegawaiku,
cari dia tamunya,
aku akan kasi nasi.
disuruh ke mari ke muka

167 [ 167 ]patih mantri,
mamargi tur gagelisan.

718. Sampun prapta ring
rahadian,
mangucap tuhu amanis,
margi reke ka bancingah,
pangandikan de sang prabu,
ida mangkin asung tadah,
raden mantri,
mamepes tur mangandika.

719. Inggih aturang ring ida,
titiang ne mangkin mapamit,
yan durus icen sang katong,
nene benjang titiang nuwut.
nunas paica ring ida,
sira patih,
mawali prapteng bancingah.

720. Matur ring ida sang nata,
dane mamindah ne
mangkin,
benjang reke dane nunas,
paican ida sang prabu,
sang nata alon ngandika,
nah to jani,
mani kaka ja ngitungang.

721. Sandikan cokor i dewa,
titiang manunas mapamit,
sang prabu raris ka jero,
kapanggih ring nanak
galuh,
sang prabu alon angucap,
nene mani,
bapa buwin mangadayang.

722. Apang ya ngigel selidan,

istana,
pegawai dan patih berjalan
serta cepat-cepat.
Sudah sampai padanya.
berkata sungguh manisnya,
ayo ke muka istana,
sabdanya tuanku raja,
beliau akan memberi makan,
putra mahkota,
hormat dan berkata.

Ya sampaikan pada beliau,
hamba sekarang permisi,
kalau jadi diberi tuanku
raja,
besok hamba pulang,
meminta pemberian pada
beliau,
patih raja,
kembali ke muka istana.

Sembah kepada sang raja,
dia tiada mau sekarang.
besok katanya dia minta,
pemberian tuanku raja,
tuanku raja bersabda pelan,
ya itulah sekarang,
besok kamu menyelesaikan.

Mengikuti sabda beliau,
hamba minta permisi.
tuanku raja terus ke istana,
bertemu dengan anaknya
tuan putri,
raja bersabda pelan,
besok ayah lagi
mengadakan.

Supaya menari masih siang, [ 168 ]dauh ero ia mijil,

panjake kadung adandan,

raden galuh nembah matur,

duh dewa titiang tan piwal,

nadian sai,

titiang ngiring hyun i dewa.


723. Tan kocapa nya di pura,

wuwusan rahaden mantri,

ka jumah De Bekung ngojog,

De Bekung luh mwani gupuh,

puput pretekaning dahar,

ulam bawi,

ulam pasih ulam ayam.


724. Tumuli aglis majengan,

sareng lawan patih mantri,

pun Semar nadah tan alan,

brem arak sajeng lumintu,

sampun sami wusan nadah,

pinih wengi,

De Bekung eluh manembah.


725. Titiang matur ring i dewa,

pangandikan raden dewi,

keni i dewa mangantos,

di pasar tengahing dalu,

muni panalikan ping pat,

dane mijil,

nika pirengang i dewa.


726. Puput maorah-orahan,

sampun mangkin madia

ra tri,

sang prabu sampun


jam sembilan biar sudah menari,

rakyatnya biar menonton,

tuan putri sembah berkata,

duhai tuanku hamba tiada menolak,

walaupun setiap hari hamba

mengiringkan kehendak tuanku.


Tak diceritakan di istana,

ceritakan putra mahkota,

ke rumah De Bekung

menuju,

De Bekung putra putri repot,

selesai persiapan makan,

daging babi ikan laut

daging ayam.


Serta cepat santap,

bersama patih dan pegawai

istana,

Semar makan cepat,

beremarak nira luminten,

sudah semua selesai makan,

tengah malam De Bekung

perempuan berkata.


Hamba berkata pada tuanku,

perkataan tuan putri

supaya tuanku menunggu,

di pasar tengah malam

berbunyi bedugnya empat kali,

beliau keluar,

itu tuanku dengar.


Sudah selesai laporan,

sudah sekarang tengah malam,

tuanku raja sudah beradu,


169 [ 169 ]maturon,
sirep sami di jro agung,
Nawang Tranggana kocapa,
nene ngiring,
pawongan sami lalima.

727. Nawang Tranggana mapayas,
mangrangsuk busana lwih,
mawastra permas kawot,
mabapang magruda
mungkur,
masubeng emas tulak
muncar,
tur makendit,
mapinggel emas matatah.

728. Mabungkung sastra rudira,
mapatitis mirah adi,
maanting sutra bang ijo,
masabuk sutra wunawun,
matepi emas mangranyab,
lwir dedari,
warnane mangayang-ngayang.

729. Pawongan sami mapayas,
pada nganggo luwih-luwih,
ayu-ayu anom-anom,
panalikan ping pat
sampun,
rahaden mantri kocapa,
mamiragi,
swaran panalikan ping pat.

730. Tumuli raris ngandika,
kebo tan mundur tinangi,
sami wus matangi reko,
amupu sangkalang suwung,
tur mijil prapteng dedalan,
suwung sepi,


tutur semua di istana,
Nawang Tranggana
ceritakan yang ikut abdi
lima orang.

Nawang Tranggana berhias,
memakai pakaian baik,
berkain permas indah,
mebapang magruda munglen,
mesubeng mas tulak
muncar,
dan mecendit mepinggel
emas metatah (penutup
pelipis mas diukir).

Bercincin sastra rudira,
mepetitis mirah adi,
meanteng sutra merah
hijau,
bersabuk sutra wunawun
matepi mas mangranyab/ kemilau, seperti bidadari,
rupanya cantik jelita.

Pengiring semua berhias
serba berpakaian
baik-baik,
cantik-cantik muda-muda,
bedugnya be, bunyi
empat kali,
putra mahkota ceritakan,
mendengarkan suara bedug
empat kali.

Serta bersabda,
kerbau tidak mundur
dibangunkan,
semua bangun memanfaatkan
waktu sepi,
serta keluar sampai di jalan


170 [ 170 ]mamargine gagelisan.

731. Tan kocapa ring dedalan,
rawuh di pasare mangkin,
di bongkol temboke
nyongkok,
pinah emas pinah tuyuh,
buka twara matra teka,
raden dewi,
jani mrasa kabiseka.

732. Malah sampun dawuh
sapta,
masih dane twara prapti,
ayame maswara umar,
sinawuran tuwu-tuwu,
rahaden mantri ngandika,
kaka patih,
ulat selang atinira.

733. Marawat abang wetan,
jalan kekaka kalalahin,
sinya ada anak ngenot,
tumuli mamarga asruh,
sampun adoh maring pasar,
tan panolih,
ingiring dening kadehan.

734. Tumuli raris mamarga,
prapti ring pasisi mangkin,
batan ketapange nyongkok,
rame ayam makek ruyuk,
rahaden galuh kocapa,
nu di puri,
dereng polih margi medal.

735. Pakewuh dane mangrasa,
sing babar pada maisi,
gebagan bilang lelampong,
Ken Bayan aglis lumaku,
nawi dane sampun munggah,


sepi sekali,
jalannya cepat-cepat.

Tak diceritakan di jalan,
sampai di pasar sekarang,
di pinggir tembok jongkok,
sudah lama menunggu,
tak ada yang datang,
tuan putri sekarang merasa
dipermainkan.

Malahan sudah jam empat pagi
juga beliau tiada datang,
ayamnya ramai bersuara,
disahuti bunyi burung,
putra mahkota bersabda,
kakak patih malah curiga
hatiku.

Merah di timur,
ayo ditinggalkan barangkali
ada orang melihat,
serta segera berjalan cepat,
sudah jauh dari pasar,
tiada menoleh diiringi dari
jauh.

Terus serta berjalan,
sampai di pesisir sekarang,
di bawah ketapang jongkok,
ramai ayamnya bersuara,
tuan putra diceritakan,
masih di istana belum dapat
jalan ke luar.

Kesusahan beliau.
menyebabkan,
semua jalan semua dijaga,
penjagaan setiap pojok,
bersama Bayan jalan cepat,

171

[ 171 ]ring benawi,

margi ke dewa gelisang.

736. Banges sami bilang dangka,
tani yen marga meludih,
ia jani ambah nempong,
buwug banget tan kaitung,
suka duka apang tawang,
sarwi nangis,
mangimur-imur majalan.

737. Kapanggih longlongan pudak,
munyine masih ngelimid,
bedeg bohol sondol,
marebwak lawut macebur,
dibuwuge ambagada,
sayan angit,
nyekjek bacine tan telag.

738. Tulung kai Kaka Bayan,
sami panjake enyagjagin,
pacang manyaup
manyangkol,
suba ngeliwatan buwug,
sampun rawuh ring lawangan
saget sepi,
gebagane pajulimpang.

739. Sampun rawuh ring
bancingah,
mamargi dulurin wedi,
ring alun-alun mangojog,
lawut amunggah tangluk,
sampun mangkin kaliwatan,
sampun prapti,
di pasare macingakan.

740. Marep kelod marep kaja,
marep kauh marep kangin,
tumulih tangkejut bengong,


barangkali beliau sudah naik,
di perahu hijau tuanku
cepat-cepat.

Berlapis-lapis penjagaan,
tiada jalan lolos,
di mana jalan ke luar,
becek keras tak dihitung,
suka duka supaya tahu,"
sambil nangis menghibur
diri berjalan.

Diketemukan jalan sempit,
perkataannya masih meringis,
gedeg bolong ditabraknya,
terus turun meloncat,
turun di tempat becek,
baunya pengit,
menginjak kotoran
berhamburan.

Tolong aku Kakak Bayan,
semua abdinya mendatangi
akan merangkul
menggendong,
sudah lewat beceknya,
sudah sampai di pintu,
lantas sepi,
penjagaannya semua tidur.

Sudah sampai di muka istana,
berjalan direstui Tuhan,
di tanah lapang menuju,
terus membuka pagar,
sudah ketinggalan sudah
sampai,
di pasar melihat-lihat.

Menghadap ke selatan dan
utara,
ke barat dan menghadap


172 [ 172 ]menyodog diduhur batu,

soring kayu mandiraksa,

semu tangis,

tumulih dane ngandika.


741. Mati kai Kaka Bayan,

i beli suba mebelatin,

di dija ja dane ngantos,

dumadakja dane kantun,

di margi diwang,

aduh bibi,

Bekung mulih ke enggalang.


742. Sinya dane singgah kema,

glisang bibi delo kin,

De Bekung malaib,

reko,

rahaden galuh manutug,

De Be kung teked di jumah,

tuhu sepi,

ne muan i medem julempang.


743. Teumahe jani opag,

kadiya oyeg pan tegin,

ne muani gelu makesiab,

mirib anak ngantiang de luh,

ne iluh mangopak-ngopak,

tulung jani,

raden galuh kablasikan.


744. Ne muani bangun mambabar,

makepug gidate sakit,

mai pesunelenan reko,

ateh ida raden galuh,

rakan dane suba ilang,

mambelatin,

kenang yen enggalang lemah.


ke timur,

serta terkejut melongo

berdiri di atas batu ,

di bawah kayu mandiraksa,

bermuka masam,

terus beliau bicara.


Aduh mati aku Kakak Bagus,

kanda sudah pergi,

di mana beliau diam,

semoga dia masih,

di jalan di sana,

aduh bibi,

Bekung pulang kamu segera.


Barangkali beliau singgah disana, cepat bibi ditengok, De Bekung Jari berjalan , tuan putri mengikuti , De Bekung sampai di rumah , sungguh sepi, yang laki tidur terlentang.


Suaminya sekarang dimarahi,

didamprat,

dan dipukul,

yang laki sangat kaget,

barangkali men unggu dahulu,

yang perpmpuan marah-marah,

tolong sekarang tuan putri ditinggalkan.


Yang laki bangun bergegas,

terhantuk dahinya sakit,

kemari keluar dulu,

antar beliau tuan putri,

kanda beliau sudah hilang,

meninggalkan,

supaya jangan lekas siang.


173 [ 173 ]745. Luh muani lawut pesuan,
rahaden galuh kapanggih,
biyana ko dane marika,
di jumah titiange suwung,
yen patut atur titiang,
margi mangkin,
kapesisi gaglisan.

746. Manawi dane irika,
sampun dewa barak kangin,
menawi i rika ngantos,
rahaden galuh kepingluh,
manangis manyelsel raga,
anak jani,
kene ya twah temuang.

747. Yen tong jani katutugan,
ban ira nutug i beli,
nira mati dinto-dinto,
jengah san ka ira idup,
daya buin ira malipetan
, buin ka puri,
maka jagat mangadekang.

748. De Bekung muani anembah,
sapunapi ja ne mangkin,
makrana saronta reko,
rahaden galuh amuwus,
ira tusing mbaan marga,
sangkan jani,
ira dadi kabelasinan.

749. Mamargi jani sagrehan,
gaglisan kapesisi,
kelabuan raris mangojog,
sing manggremeng ya jujur,
enggal kuda beli ngenah,
dong papagin,
titiang mangkin sampun
ngenah.
750. Rahaden mantri kocapan,

Putra-putri keluar,
tuan putri diketemukan tiada
ada beliau ke sana,
di rumah hamba sepi,
kalau benar kata hamba,
ayo sekarang,
ke pantai cepat-cepat.

Barangkali beliau di sana,
sudah hampir pagi,
barangkali di sana ditunggu,
tuan putri lesu,
menangis menyesali diri,
begini sekarang,
demikian diketemukan.

Kalau tiada dapat dikejar,
kandaku sekarang,
hamba mati saja,
malu aku masih hidup,
walaupun aku kembali lagi
ke istana,
semuanya menertawakan.

De Bekung laki sembah,
bagaimana akal sekarang,
menyebabkan senang hatinya,
tuan putri berkata,
aku tiada ada jalan,
makanya sekarang,
aku jadi ketinggalan.

Jalan sekarang semuanya,
cepat-cepat ke pantai,
ke pelabuhan terus menuju,
masih remang-remang pagi
cepat kanda kelihatan,
jemput adinda,
hamba sudah kelihatan.

Putra mahkota ceritakan,

174 [ 174 ]mangrungu anak manangis.
batan ketapange nyongkok,
ento rungu kaka walu,
anak ngeling dingeh ira,
lah takonin,
Patih Rangga gelis
lumampah.

751. De Bekung luh kapondok,
pun Rangga raris nakonin,
sapa sira mai reko,
saget ya pedas De Bekung,
dadi pada nelektekang,
pedas jati,
De Bekung alon angucap.

752. Duh dija gustin titiang,
mangkin ida raden mantri,
rain dane rawuh reko,
sangkaning seronta pesu,
dane sareng teken titiang,
biyana polih,
margi gebagane katah.

753. Tan wenten ko dane temon,
mijil biyana polih margi,
enah lamun buka keto,
dinike endenan malu,
icang matur ring rahadian,
tur mamargi,
De Bekung luh sarengan.

754. Sampun prapta ring
rahadian,
kema ke aturang bibi,
kalang enu peteng reko,

mendengar orang menangis
di bawah pohon ketapang.
itu dilihat kakek dahulu,
orang menangis saya dengar,
hai tanyakan,
Patih Rangga cepat berjalan.

De Bekung perempuan
dijemput,
Patih Rangga terus
menanyakan,
siapa ke mari,
lalu terang De Bekung,
jadi sama-sama
mengamat-amati,
sudah terang,

De Bekung pelan bicara.
Di mana tuanku junjungan
hamba,
beliau putra mahkota,
adik beliau datang ke mari,
makanya serentak keluar,
beliau turut bersama
hamba,
tiada dapat jalan
penjagaan banyak.

Tiada ada yang menemui,
keluar tiada dapat jalan,
ya kalau demikian di sinilah
dahulu,
hamba sembah pada beliau,
serta berjalan,
De Bekung perempuan
bersama.

Sudah sampai pada
tuanku,
ke sana dipendak bibi,
masih malam kelihatan,

175 [ 175 ]dereng sang prabu arungu,
dini tonden anak teka
inggih mangkin,
De Bekung matur
anembah.

755. Raden mantri lawut
mandemak,
manggelut lantas
manangis,
duh dewa gusti mas mirah,
titiang mangkin matur
luput,
biyana titiang temon-temon.
ngalih margi,
kalih ta rahin di dewa.

756. Gebagan mapanta-panta,
karo belah tunggal wengi,
empet buyana laku
nempong.
riin gusti sering labuh,
ngamarginin mamlagada,
sami angit,
rahaden mantri ngandika.

757. Anak nira twah madaya,
marganing saronta mijil ,
marika gelisang reko,
pendakin rain i ratu,
nawi glisan rahina.
titiang jerih,
nawi urungu de sang
nata.

758. Raden mantri mamargi.
kapanggih rahaden dewi.
punapi marginin elong,
tan wenten i dewa rauh.

belum tuanku raja bangun
. di sini belum orang
datang,
ya tuanku,
De Bekung nyahut
menyembah.

Putra mahkota serta
merangkul,
memeluk sambil menangis,
duhai adikku sayang,
hamba sekarang
menceritakan,
tiada hamba berteman.
mencari jalan bersama
adik tuanku .

Penjagaan berlapis-lapis, seratus lima puluh tiap-tiap malam, dapat tiada ada tempat lolos, adik tuanku sering jatuh . menjalani rintangan, semua berbau amis, putra mahkota bicara.

Aku memang mencari akal, akalnya jalan keluar, ke sana cepatkan menjemput adik tuanku. supaya jangan cepatan siang, hamba takut, barangkali bangun tuanku raja.

Putra mahkota berjalan , diketemukan tuan putri bagaimana tidak tepat dengan janji.

176 [ 176 ]suwe ban titiang memadar, ayub dingin, tan wenten i dewa medal.

tiada tuanku datang, lama saya tunggu , sampai dingin, tiada tuanku keluar.

759. Rahaden galuh sigsigan, tan pegat-pegat manangis , kangen ring ragane elong, tong dadi jani mesahut, sinambut ingusap-usap , tur mangabin, sampun dewa agung lara,

Tuan putri terisak-isak, tak putus-putus menangis, ingat dengan diri bohong, tiada bisa menyahut, diambil dielus-elus, dan dipangku jangan adinda

760. Bagus Umbara ngandika, ibu Bekung bapa mulih, de bekung maatur alon, kantun ka cokor i ratu, glisang i dewa munggah, ring benawi, niki sampun ngantiang galang.

Bagus Umbara berkata, bapak Bekung ke sana pulang, De Bekung sembah pelan, masih tuanku di sini, cepatlah tuanku naik ke perahu, ini sudah hampir terang.

761. Dumadak galang apadang, rahayu gusti di margi, De Bekung mulih sa roran, manolih-nolih kapungkur, kangen tekenang sang lunga, pidan jani, dane rawuh makembaran .

Semoga terang selamat, tuanku selamat di jalan, De Bekung pulang berdua, menoleh-noleh ke belakang, kasihan dengan yang pergi, kapan Jagi beliau datang berdua.

762. Teked dijumah kocapa, raden mantri ngasih-asih, sang dewaning saklangen, nunas munggah mungpung suwung, nika paswana petambunan, jadma tani, kikit mariki mapasar.

Sampai di rumah, putra mahkota halus bicaranya, tuan putri jangan melongo, mari naik mumpung sepi, ini kumpulan perahu, orang tiada sedikit kemari ke pasar.

763. Sampun sami telas munggah, mangabut ngangara gelis,

Sudah semua naik, mencabut manggar cepat,


177 [ 177 ]mangebah bidak tan alon.

perahune raris ngayuh,

teka angine ngenggalang,

tan panolih,

sampun doh ring palabuhan.


764. Sarnpun mangkin tatas galang,

katon pelabuhan Jawi,

akeh wong madya katon,

ada negen ada nyuwun,

luh muani pada madya,

pada ngungsi,

mameken kejamintara.


765. Akeh wong Jawa ngantenang,

prabune rahaden mantri,

murub kadi teja tinon,

ada manegak makumpul,

ada manyingal pianak nya,

ana malih,

nunggang jaran caringon.


766. Pada manteg mangatonang,

baitane raden mantri,

murub muncar sayan ejoh.

ada mapetane weruh,

ento ibi macangcang,

prabu Bali,

raden mantri manduweyang.


767. Yan to jani kija,

aku wau beli mabalih,

liu anak pada gawok,


cepat-cepat membuka bidak,

pcrahunya terus berlayar,

datang angin cepat.

tiada menoleh.

sudah jauh dari pelabuhan.


Sudah sekarang hampir terang,

sudah jauh dari pelabuhan Jawa,

banyak orang perahu kelihatan,

ada yang mikul ada menjinjing,

putra-putri semua orang perahu,

semua ngungsi ke pasar Jamintara.


Banyak orang Jawa melihat,

ke padanya putra mahkota,

bersinar seperti teja ke lihatan,

ada duduk berkumpul,

ada memangku anaknya,

ada yang melihat,

naik kuda bersamaan.


Semua berhenti melihatnya,

perahunya putra mahkota,

bersinar perbawanya makin jauh,

ada yang berkata mengetahui,

itu yang kemarin di pelabuhan,

perahu Bali,

putra mahkota mempunyai.


Yaitu sekarang sebentar,

baru mau kanda menonton,

orang pada heran,



178
[ 178 ]maorta basliwat luwung,

beli twara yen mabaan, mangiwasin, jani ya enggalan luwas.

768. Awak bas ka johan desa, sepanan mai mabalih, jani apa kema tonton, suba jani baya lacur, luh muani malipetan, tan panolih, akeh-akeh wawu malipetan.

769. Tan kocapanya di Jawa, sang mantuk wuwusan malih, di joli-joli yen ngojog, pamremane miyik arum, makasur langse mangambar, sarwa lewuh, galenge matukub emas.

770. Ken Bayan Sangit di rongan, patih mantri pada nyisi, sampun masewosan tongos, rahaden mantri kawuwus, rahaden galuh ingaras, mapulilit, buka dewi lawan dewa.

771. Rahaden mantri ngandika, tan pendah titiang mangipi, baan i dewane elong, sangkan titiang ngrasa lampus, makalah uli di pasar,

berkabar terlalu baik, konon tiada melihat, menontonnya sekarang ia terus pulang.

Kita telah jauh dari desa, terlambat ke mari menonton, sekarang apa ditonton ke sana, sudah sekarang lacur bahaya, putra-putri kembali, tiada menoleh banyak yang kembali.

Tak diceritakan di Jawa, yang pulang diceritakan sekarang, menuju ke istana, tempat tidurnya harum semerbak, berk asur dan berkelambu bergambar, semua baik, bantalnya ditutup emas.

Bayan Sangit di kamar, patih dan mantri semua dapat, sudah semua berlainan tempat, putra mahkota diceritakan, tuan putri diciumnya, berpelukan seperti dewi dan dewa.

Putra mahkota bicara, seperti kanda bermimpi, karena adinda bohong, makanya kanda merasa mati, pergi dari pasar, kelihatan di timur,

179 [ 179 ]katon kangin, putih timur abang wetan.

772. Sapunapi antuk titiang, dahat sisip titiang mangkin, yen titiang kari di jero, biana polih margi pesu, kalain i beli linga, titiang pamit, masa bina marga pejah.

773. Diastun titiang polih medal, nadian lemah lewih wengi, di beli sampun makawon, tong bakat baan titiang nutug, masa titiang malipetan, titiang mati, sing jalan-jalan mapasah.

774. Masa mebangke ategal, masa atukad magetih, diastun pacang paid basong, apad da i guru tahu, masa bangke nagih beya, yen tan cicing, mamaid olas mangamah.

775. Raden mantri awelasan, ujare mangasih-asih, duh sang dewa ning kelangen, sampun mirah agung sendu, asih temen atma jiwa, ring wong miskin, setata amara desa.

putih timur merah timur.

Bagaimana akal hamba, amat salah hamba sekarang, kalau hamba masih di istana, tiada dapat jalan keluar, ditinggal kanda pergi, hamba permisi, tiada bedanya jalan meninggal.

Walaupun hamba dapat keluar, walaupun siang apalagi malam, kanda sudah pergi, tiada dapat adinda mengejar, masakan hamba kembali, hamba mati, di jalan-jalan ditanam.

Masakan bangkainya sekebun, masakan sekali berdarah, walaupun akan ditarik anjing, supaya jangan ayahanda tahu, masakan bangkai meminta biaya, kalau tiada anjing kasihan memakan.

Putra mahkota kasihan, katanya merayu-rayu, duhai dinda yang kehilangan, jangan dinda amat susah, kasihan sekali dinda juwita, seperti orang miskin, selalu ke desa-desa.

180 [ 180 ]776. Durung tilar maring
pangkwan,
mapulalat mapulilit,
buyar romane mangrobong,
sayan manguwuhin ayu,
buka putrine digambar,
centeng rungih,
rarase ngenyudang manah.

777. Buka emas sanding mirah,
raden mantri ngasih-asih,
margi ke ratu maturon,
i dewa mapinda lesu,
ayub i mirah magadang,
lah iriki,
di pabinan sareyang.

778. Raden galuh manjulempang,
lawut sirep premangkin,
dening dane baas kaleson,
raden mantri ngukut-ukut,
tur amisik suku nira,
raden dewi,
twara uning kapulesan.

779. Dinelung kang ayu liwat,
kadi emase sinangling,
pipine lempung tur montok,
lambene manggis karumpuh,
alise ngedon in taran,
susu nyangkih,
kadi nyu gadinge kembar.

780. Ingaras tur sinungkuman,
raden galuh matangi,
nganjuh uri sada bengong,
sang bagus tumuli amekul,
ingusap-usap kang dada,

Belum turun dari pangkuan, berpeluk-pelukan, berhamburan rambutnya kusut, malah menambah cantik seperti putri digambar, ayu mungil, gelagatnya menarik hati.

Seperti mas dengan permata, tuan mahkota merayu-rayu, ayo tidur adinda, adinda kelihatan lesu, dingin adinda melek, hai ke mari, di pangkuan ditidurkan.

Tuan putri menggeletak, terus tidur seketika karena beliau amat lesu, putra mahkota mengelus-elus, serta memijit kakinya, tuan putri, tiada tahu ditidurkan.

Dipandang yang cantik lalu, seperti mas disinari, pipinya seperti pauh dilayang, bibimya seperti delima merekah, keningnya bentuk taji, susunya mungil padat, bagaikan kelapa gading kembar.

Mencium serta menundukkan kepala, tuan putri bangun, mendekatkan diri sambil melongo,

181 [ 181 ]miwah gigir, asung sepah di pabinan.

putra mahkta lantas memeluk, meraba-raba dadanya dan punggung, dicium di pangkuan.

781. Enengakena rahadian, di Jawa kocapan malih, sang prabu eweh angrawos, sailange raden galuh, sedek jejel di bancingah, patih mantri, bala tani tan paingan.

Hentikan ceritanya putra mahkota, diceritakan di Jawa sekarang, tuanku raja bicara susah, kehilangan tuan putri, pcnuh sesak di muka istana, patih dan pegawai keraton, rakyat tak terhitung.

782. Panengah lan Windu Tingal, tedun sami prabu patih, angiring kaula reko, winten jadma pitung ngiwu, patih mantri muwah punggawa, pada ngiring, sampun prapteng jamintara .

Penengah dan Windu Tingal, semuanya turun raja dan patih, diiring rakyat, ada tujuh ribu, patih mantri dan pegawai bawahan, sudah sampai di Jamin tara.

783. Sumangkin jejel di jaba, pakuleham tumbak bedil, keh wadua lwir alas tinon, kulkule rame madragdut, suarane mangeresang manah, kuma itig, dingeh tani dingeh paran.

Bertambah ramai di muka istana, berkeliaran tombak dan senjata, banyak rakyat seperti hutan dan kentongan bersuara bertalu-talu, suaranya mengalun-alun menakutkan, terus dipukul suaranya menggaurkan.

784. Nene manepak tengeran, kocap janggotnyane putih, bris kumis nyedeng kotot, rambute inggel mabelun , matannyane ada barak, kuping piyung cunguhe

Yang memukul kentongan , jenggotnya katanya putih , bris kumishitam kotos, rambutnya berikal jejal, matanya merah, telinganya kecil,

182 [ 182 ]manyambu rakta.

hidungnya merah.

785. Tetelu kulkule belah , bas keras baan manigtig, ada mangidem manoktok , manarikang tan paunduk, biyar kelod biyur kaja, uli kangin. uli kauh kadi alas.

Tiga kentongannya pecah, terlalu keras memukulnya, ada yang memejamkan mata memukul, memukul tiada karuan, di utara selatan orang berhamburan, dari timur dari barat seperti hutan.

786. Tumurun cendek lan mamas, tamiang kolem tumbak bedil, sinapa ngeka pangarang, dadap panah kantor bregu, suligi Jemat lan pedang, sama atik, tulup lawan cenaga ra.

Diturunkan tombak bermacam-macam, perisai tombak dan senapan dan disambut dcngan senjata-senjata senapan mcgeka pange rong dadap panah kontar brega, suligi lemat, dan pedang sama atik , tulup dengan cinagara .

787. Sang prabu asruh angucap, kaka demang-demung patih, ruruh raden galuh reko. saenggon-enggon linuruh , sorogjukunge kelangwan. singa jani , mantri Bali mambaanang.

Tuanku raja bersabda segera , kamu patih-gumatih/para laskar cari tuan putri , di mana-mana dicari kejar dengan perahu, barangkali putra mahkota Bali melarikan.

788. Yen mantri dini di Jawa, tong duga i galuh kalih, yen mantri Koripan reko. manyuang i nanak galuh, ento sadiang kola , kadung munyin, kola malu misukayang.

Kalau putra mahkota di sini di Jawa, tiada mau putri keduanya, kalau putra mahkota Koripan, mengambil tuan putri itu harapanku. kadung perkataanku dahulu memberikan .

789. Lamunnya anak lenan ,

Kalau orang Jain,

183 [ 183 ]da kaka mai matari, katepuk bancanen reko, manah kola suba suwud, mangganggo i galuh pianak, lamun jani, mangidepang munyin kola.

jangan kemari bertanya, ketemu terus diterjang saja, hatiku sudah berhenti memakai tuan putri anak , kalau sekarang mengikuti perkataanku .

790. Yan pedas mantrin Koripan, budalang panjake sami, sinya keenggalan ejoh , kema enggalang tarugtug, sawur manuk pra punggawa, mamisinggih' bubar patihe makejang.

Kalau tuan putra mahkota Koripan, kembalikan rakyat semua, supaya jangan lekas jauh, ke sana cepat dikejar serempak menyahut laskarnya, mengikuti bubar pegawai semuanya.

791. Kulkule malih madengdang, nene belah malih titig, mangidem-idem manoktok, samia waduane mangrungu, bilang negara dinungkap, tan kapanggih, len ka gunung mwah ka alas.

Kentongan lagi dipukul, yang pecah Jagi dipukul, memejamkan mata memukulnya, semua rakyatnya mendengar, setiap negara dijajagi , tak diketahui ada yang ke gunung dan ke hutan .

792. Ada manyujur ka labuan , mamargi ya prawu koci, limolas katahe reko, kapale luas tetelu, ada nyorog pandewakang, ngundang angin, teka mbaret embaruang.

Ada yang menuju ke pelabuhan, berjalanlah perahu koci , lima belas banyaknya , kapal pergi tiga, ada yang baru mendorongnya, menarik angin, datang angin kencang menghembuskan.

793. Mampeh praune malayar, katiben pwana gati, mangliwat arungan reko, tong katutugan ban nutug.

Berjalan perahunya berlayar, diikuti angin buri tan telah, Iewat samudra, tiada dapat dikejar,

184 [ 184 ] akeh praune mapapas, wong Betawi, miwah prau Surabaya.

banyak perahu berpapasan orang Betawi serta perahu Surabaya.

794. Prau Bugis miwah Mandar, yan ento pada takonin, adake yen maman tumon, prau mapapasne bawu, prau Bali ngamulihang, mbuat putri, okan ratu Jamintara.

Perahu Bugis serta mandar, semua itu ditanya, adakah paman melihat, perahu berpapasan tadi perahu Bali kembali membawa putri, putra raja Jamintara .

795. Dane ilang ibi sanja, singnya dane mantri Bali , ngambil raden galuh reko, pangandikan mawantun, dane daat misukayang, wong Betawi, sada takut mangorahang.

Beliau hilang tadi malam , barangkali putra mahkota Bali, mengambil tuan putri, disuruh beliau kembali, karena beliau memberikan , orang Betawi seperti takut membilangnya.

796. Eda maman mangilidang, kayun ida sri bupati, ngangge putra maka roro, pangandikan ida sauh, yen pedas mantri Koripan, jani ngambil, Jawa Bali katunggalang.

Jangan paman menyembunyikan, kehendak raka memakai putra keduanya, sabda beliau terjerumus, kalau putra mahkota Koripan, sekarang yang mengambil Jawa Bali disatukan.

797. Sang takonin ngorahang, lamun asapunika mangkin, kayun ida sang katong, titiang purun mangkin matur, dane sampun adoh pisan , tampek Bali, boyan dugi katutugan.

Yang ditanya membilang, kalau begitu sekarang, kehendak tuanku raja, hamba berani sekarang membilang, beliau sudah jauh sekali, dekat Bali, tiada dapat dikejar.

798. Keni ko titiang natasang, wiyak ti dane ngajak pu tri,

Jelas hamba melihat, sungguh beliau dengan

185 [ 185 ]okane ida sang katong, ring Jamintara kaundut, sangkan titiang jerih ngaturang, ring i gusti , nawi titiang katangehan.

799. Dija titiang magenah, tan priwangde titiang mati, lamun raden mantri reko, bas kaloka ririh bagus, teguh wanen tur maguna, sami jerih, prabu Bali mwah di Jawa.

800. Tuhu buka keto maman, inggih wiyakti dewa gusti, biana titiang matur linyok, enah lamun suba tuhu , titiang sukane maman, jalan jani, parek ring ida sang nata.

801. Apang maman mitawiang, inggih titiang nunus ngiring, mabalik praune reko, padewakang miwah jukung, pada sisu manggelisang, ngungsi malih , wang Betawi masarengan.

802. Tan kocapa maring segara, sampun rawuh di pasisi, telasan tumurun reko,

putri, putra tuanku, yang di Jamintara dibawa, makanya hamba takut membilang, pada tuanku, barangkali hamba ketahuan.

Di mana hamba berdiam, tiada luput hamba mati, kalau putra mahkota katanya, terlalu tersohor pandai bagus, kebal berani dan berwibawa, semua takut, raja Bali dan Jawa.

Betul demikian paman, ya sungguh tuanku raja, supaya hamba tiada membohong, ya kalau demikian, teruskan setianya paman, ayo sekarang menghadap kepada raja.

Supaya paman membenarkan, ya hamba mengikuti kembali pedewakang beserta jukung semua berusaha cepat-cepat kembali bersama orang-orang Betawi.

Tak terceritakan di laut, sudah sampai di pantai, semuanya turun,


186 [ 186 ]wong Betawi sampun ruwun, sagrehan mangkin mamarga, sampun prapti, ring bancingah gagelisan.

803. Sang prabu kari di odal, tandua rauh patih mantri, miwah wong Betawi roro, amarek ida sang prabu, sang prabu lingira ngucap, kaka patih , mantri kenken jani pada.

804 Patih mantri saur sembah, boya katutugan mangkin, kocap sampun reke edoh, kasanehan beli sampun, niki mapapas di jalan, wong Betawi, ipun mawarah ring titiang.

805. Aturang kejani maman , ring ida sri bupati, sakanda-kandane reko, wong Betawi raris matur, duh dewa ratu sang nata, nene mangkin , titiang mangaturang kanda.

806. Putrane cokor idewa, mantri Koripan mangambil, doning titiang purun reko, matur ring cokor i ratu, sedek titiang ngamantukang, nene ibi,


orang Betawi sudah turun, Semuanya berjalan bersama, sudah sampai di muka istana.

Tuanku raja masih dihadap, tiba-tiba laskar dan prajurit datang beserta orang Betawi dua orang, menghadap tuanku raja, raja katanya, kakak patih, mantri bagaimana sekarang.

Patih dan mantri sembah menyahut, tiada terkejar sekarang tuanku, katanya sudah jauh, hampir sampai di Bali ini berpapasan di jalan, orang Betawi, ia membilang pada hamba.

Persembahkan sekarang paman, kepada tuanku raja, keadaannya semua, orang Betawi membilang, aduhai tuanku raja, sekarang, hamba mempersembahkan akal.

Putra tuanku, diambil putra mahkota Koripan, makanya hamba berani bilang, menghadap pada tuan ku, waktu hamba kembali

187 [ 187 ]dane mapapas di jalan.

pulang, kemarin, beliau berpapasan di jalan.

807. Polih titiang manatasang, ring ida raden mantri, pangandikan dane reko, dane ngambil raden galuh, putrane cokor i dewa, titiang keni, marika menekan palwa.

Dapat hamba memperhatikan, pada beliau putra mahkota perkataan beliau, beliau mengambil tuan putri, putra paduka tuanku, hamba kebetulan ke sana naik perahu.

808. Raris titiang maaturan, batik dastas yen kabalih, lelima kelawan dodot, putrane cokor i ratu, raris dane gipih medal, titiang uning, krayan pawongan lelima.

Terus hamba mempersembahkan, kain batik dastas dua helai, lima lembar dengan kain, putra tuanku, terus cepat-cepat keluar, hamba tahu, beserta pengiring lima orang.

809. Enah lamun keto saja, kola jani ngugu cai, anak sadian kola reko, narimayang ring i bagus, munyin kola ulih suba, ya kekalih, nyama-nyama pang piliha.

Ya kalau begitu benar, aku mempercayai kamu, aku harapkan demikian, menerimakan pada I Bagus, katakan dari dahulu, ya keduanya, saudaranya biar dipilih.

810. Suba keto munyin kola, teken dane nanak mantri, nah to suba yadin keto, masa endah anggon semu, suksmanya twah di manah, nanak mantri , apan dane suba pradnyan.

Sudah demikian kataku, kepada dia putra mahkota, jikalau demikian, lebih baik dipakai putra, kuharapkan di hatiku , anak putra mahkota, karena dia sudah pandai.

811. Wong Betawi saur sembah, yan kapatut ne mangkin ,

Orang Betawi menyembah dan menyahut,

188 [ 188 ] atur titiang ring sang katong, patutang ratu di kayun, dening kalih gustin titiang, raden mantri, kedep batara ring lemah.

sebenarnya sekarang, sembah hamba pada tuanku raja, benarkah di dalam hati, karena dua pimpinan hamba, putra mahkota, terserah kehendak tuanku.

812. Sang prabu alon ngandika, kaka patih tanda mantri, munyin wong Betawi keto, sahyun anake matur, mai teka teken kola, twah kakalih, kesambat-sambat baan anak.

Tuanku raja bersabda pelan, hai pejabatku semua, kata orang Betawi demikian, semuanya yang berkata kemari, kemari menghadap padaku, hanya dua yang disebut-sebut orang.

813. Di Bali mantri Koripan, di Jawa rahaden dewi, sebenam ya sekarang, sembah hamba pacta tuanku raja, benarkan di dalam hati, karena dua pimpinan hamba , putra mahkota, terserah kehendak tuanku.

Di Bali putra mahkota Koripan, di Jawa tuan putri ketemu semuanya di sana, pegawai istana sahut kompak, ad uhai tuanku raja sekarang berani hamba berkata.

814. Sang prabu ring Windu Tingal, ujarearum amanis, sang prabu Panengah reko, sumawur ujare alus, miwah ratu Jamur Jipang, saur paksi , waruan dane acrcng pisan.

Raja di Windu Tingal sabdanya halus manis, juga sang raja Panengah berkata, perkataan pelan dan halus, serta raja Jamur Jipang, sahut kompak, rupa bediau berwibawa sekali.

815. Ujare.mangresang manah, duh dewa sri nara pati, yen kapatut atur titiang. liangang kayun i ratu , dening kalih gustin titiang, raden mantri.

Sembahnya meuakutkan, aduhai baginda tuanku raja, kalau benar sembah hamba , senangkan hati baginda kanrena keduanya pimpinanku.

189 [ 189 ]kalih anak sri narendra.

putra mahkota serta putri tuanku raja.

816. Di Bali kedepang Jawa, di Jawa kedepang Bali, samapta ature reko, sang prabu asahur alus, lamun keto patut pisan , kaka patih , budalang panjake pada.

Di Bali biarlah di Jawa, di Jawa biar di Bali , sed singkat sembahn ya, tuanku raja menyahut halus, kalau demikian benar sekali , patihku , kem balikan rakyat semua.

8I7. Ki patih adan pangarah , mambudalang bala sami, budal panjake manggelah, Iimang laksa katah ipun, pacta mulih sowang-sowang, wong Betawi, sampun pamit ring sang nata.

Ki Patih terus perintah , memu langkan rakyat scmua, pulang rakyatnya terb ondong-bondong, lima puluh ribu banyaknya pacta pula ng smuanya , orang Betawi sudah minta diri pada raja.

818. Medal prabu Windu Tingal, budal sami prabu patih; prabu Jamur Jipang reko, tandange luir angun-angun, prabu parenggah wus budal, patih mantri , karenan pada wus budal.

Pula ng raja Windu Tingal, pulang semua raja dan panglimanya, raja Jamur Jipang, gayanya seperti termangu-mangu, raja Panengah sudah pulang, prajurit dan pegawai, pulang dengan senang.

819. Tan kocapa nyaring Jawa, sang prabu karo agelis, kapanggih I Nawang Taro, alungguh ring batur santun, semu mangu tan pangucap, sri bupati, malinggih ring bale kembar.

Tak terceritakan di Jawa, tuanku raja segera cepat, melihat I Nawang Taro, duduk di balai sari, termenung tiada bersuara, tuanku raja, duduk di balai kembar.

820 . Binarsa wong Jamintara., di jaba Iawan di puri, karenan polahe reko, mapeta mapunduh-punduh,

Diceritakan orang Jamintara, di istana dan di masyarakat , tindak-tanduknya senang, merembug

190 [ 190 ]di peken di marga-marga, luh muani, tan lian kaucap sang ilang.

bergerombol-gerombol , di pasar dan di jalan-jalan , putra-putri, tak lain membicarakan yang hilang.

821. Sambrah di pra gumin Jawa, sailange raden dewi, tiba ring Koripan reko , rahaden mantri mamandung, ayu ucapeng wong Jawa, baya jara, idep i rabi batara.

Kondang di negara Jawa, mulai hilangnya tuan putri , sampai di Koripan, putra mahkota mencari, baik cerita orang di Jawa, sekarang seperti beristri dewa.

822. Tan kocapannya di Jawa, wuwusan rahaden mantri , kasanehan Bali reko, Nawang Tranggana andulu, bumi Bali rawit rawot, nika beli, bumi punapi, bumi punapi adanya.

Tak terceritakan di Jawa, ceritakan putra mahkota, berlainan di Bali, Nawang Tranggana heran, pulau Bali indah sekali, ini pulau apa namanya kanda.

823. Rahaden mantri ngandika, nika sampun bumi Bali, nanging desan titiang kawon , biana wenten anak tuhu, katuwon kadung gelahang, yen twah polih , milih-milihin ne becikan.

Putra mahkota bicara , ini sudah pulau Bali, tapi desa hamba jelek, tiada ada orang tahu, terlanjur kadung dimiliki, kalau dapat, memilih yang lebih baik .

824. Biana wenten lakun titiang, seyosan malih i riki, salwiring terak sing ojog, atut cukat sampun sungsut, pabecatin baan majalan, masih ketil, sangsara di jalan-jalan .

Tiada ada tempat lain untuk hamba, selain di sini, semuanya tandus yang dituju , semuanya gersang jangan susah, hanya diupetkan berjalan saja, juga susah , sengsara di jalan-jalan.

191 [ 191 ]825. Nawang Tranggana merasa , teken raga kasimbangin , mungkul tumuli bengong dada, lwir apulang awu, tur ida sakeling manah , ngemu tangis, kena genjaran manumpang.

Nawang Tranggana merasa , dirinya disindir, tunduk beserta melongo , dadanya berdebar-debar, serta hatinya susah, seperti menangis, kena perkataan sindiran .

826. Rahaden mantri makewa , sinambut rahaden dewi, duh dewa sang pangempon , to lihan titiang mas kalung, pangrumrume amlas arsa , ngasih-asih, buka manglipurang manah .

Putra mahkota repot , mengam bil tuan putri, aduhai juwitaku sayang, lihatlah kandamu dinda, penghibumya mengasihani, minta dikasihi seperti menglipur hati.

827. Tur masih payudara, asung sepah ngasih-asih , ing arasa pipine karo , romane buyar tur gempuk , mangeram byah di pabinan , buka dewi, kawon lwir putri di gambar.

Meraba susunya , dicium dan dikasihani, dicium pipinya kedu anya, rukmanya terku lai dan halus, terurai di pangkuan , seperti dewi mengalahkan putri di gambar.

828 . Puma sendu mwang turida , meh tampek pasisin Bali, pclabuane sampun katon , akeh panjake andulu, baitane pedas iya, teka jani, luh mwani mabyayuhan.

Senang, susah, dan syak, barangkali hampir pesisir Bali, pelabuhannya sudah kelihatan, banyak rakyatnya melihat , pe rahunya jelas ia, datang sekarang, putra-putri berebutan .

829 . Mapunduh-punduh di bangsal, luh mwani saleng awungin , mai ya enggalang reko, baitane suba rauh ,

Berkumpul-kumpul di bangsal, putra-putri ngo brol, kemari cepat-cepat katanya. perahunya sudah datang,

192 [ 192 ]subandar Cina cumadang, kasur asri, tikeh lante ian kelasa.

dipapag subandar Cina, kasur sari, tikar lantai dan tikar plasa.

830. Papedek matutub emas, malangse mangambar sari, leluur subaji kawot , sangangan paos amurub , pabuatan mas mangranyab, wus sinanggling, masesocan winten mirah.

Bantal bertutup mas, korden bergambar sari, perhiasan tempat tidur indah , sangsangan paos kemilan , tcmpat sirih mas kcmilau, seperti berkilauan bermata intan mirah.

831. Dauh tiga sampun prapta, acangcang tekang benawi, raris nyed ut bedil reko, endeh wong Dahane pesu, ada mam endak rahadian , luh muani, pada manggelo ka labuan.

Jam sebelas sudah sampai, perahu diikatkan , terus membunyikan scnapan , berkerumun orang Daha keluar, ada menyambut putra mahkota , putra-putri , berbondong-bondong ke pelabuhan.

832. Raden mantri wusaniba, pangarah matur ka puri , utusan mamargi roro, manegakin kuda luwung, sampun prapta ring bancingah, sri bupati, ring Daha di odal.

Beliau putra mahkota, menghadap menuju istana , utusannya berjalan dua orang, naik kuda indah , sudah sampai di muka istana , tuanku raja , di Daha kebetulan dihadap.

833. Utusan kekalih prapta, amarek sri bupati, duh dewa rawuh sang katong, anak ida sampun rawuh, pangandikan daring titiang, raden dewi, keni ida ka pelabuhan .

Utusan keduan ya sampai, menghadap raja, aduhai datang tuanku raja, putra tuanku beliau sudah datang, sabda beliau pada hamba, tuan putri, masih beliau di pelabuhan.

193 [ 193 ]834. Ubaan kenken putri Jawa , suba dane bareng mai, inggih sampun sareng reko , pawongan patpat tumutur, sang prabu kalintang suka, kema patih, mantri pendakin i nanak .

Bagaimana putri Jawa, sudah beliau ikut kemari, ya katanya sudah ikut, penduduk empat orang sembah, tuanku raja amat gembira ke sana patih, pegawai istana, jemput putra mahkota.

835. Bubar sami penangkilan , menedunang kuda asti, miwah pamikulan reko , kram aning wong amundut; sang prabu gelis ka pura, sampun prapti, rahaden galuh kocapan.

Bubar semua yang menghadap, menurunkan kuda dan gajah beserta tandu raja , alat orang memikul , tuanku raja cepat ke istana, sudah sampai tuan putri ceritanya.

836. Alungguh ring bale danta, pinareking Bayan Sangit, sang prabu raris tumorojog, tumulih ngandika alus, duh dewa gusti mas mirah , rakan nyai, cai mantri suba teka.

Duduk di balai danta, dihadap Sayan Sangit, tuanku raja terus menuju, beserta bersabda halus , aduhai putraku sayang, kakakmu, kamu pegawai istana sudah datang.

837. Raden galuh anembah, kalih amarek nrepati, titiang pamit ring sang katong, nene mangkin titiang rawuh, merika raris kalabuan, mamendakin, sareng ida pramiswarya.

Sembah tuan putri, beserta menghadap raja, hamba permisi pada tuanku raja, sekarang hamba datang, ke sana terus ke pelabuhan, menjemputnya bersama beliau permaisuri.

838 . Kemaja dewan i bapa, pendakin sameton nyai, apang nyai nawang reko, dening dane kari tamiu , raden galuh Jamintara,

Ke sanalah kesayangan ayahanda, jemputlah saudaramu, supaya kamu tahu juga, karena dia masih tamu,

194 [ 194 ]kasub luwih, ngiring nyai suba katah.

tuan putri Jarnintara, terkenal hebat, yang mengiringmu sudah banyak.

839. Rawuh ida pramiswarya, miwah sarerantenaji, sampun kasewatra reko, sarawuhe sang abagus, sami suba war jro pura, para mangkin, raris pada ngrangsuk payas.

Sampai beliau permaisuri, beserta permaisuri yang lain sudah berkabar katanya, kedatangan putra mahkota, semua bersatu suka di istana, seketika, serta memakai busana.

840. Sami angrangsuk busana, Semua memakai busana, mas-masan masih, tuan putri keduanya, busananya kilau-kemilau, mapinggel (tutup pelipis) mas bersinaran , cincin berpermata intan mirah.

emas-emasan kari, raden galuh makaroro, panganggone endih murub, mapinggel emas mangranyab, ali-ali, asesocan winten mirah.

841. Sama sekar canigara, warnane luir dewi ratih, wus mapayas sawonging jro, mapolpol bunga mrik arum, pada nganggo cacirupan , sutra kuning, sutra gadang lawan barak.

Beserta kembang canigara (nama), rupanya seperti dewi ratih, sudah selesai berpakaian kebesaran, terjejal bunga harum semerbak, serba memakai cacerupan sutra kuning, sutra hijau dan merah .

842. Sampun usan ngrangsuk payas, raden galuh kalih mijil, sagrehan sawonging jero, mangiring rahaden galuh, ranten nyai pramiswarya, sampun mijil, sagrehan prapteng bancingah.


Sudah selesai berbusana, tuan putri keduanya keluar, seluruh isi istana , mengiringkan tuan putri, tuan putri permaisuri sudah keluar, semuanya, sampai di muka istana.

195 [ 195 ]843. Tamiang lawan kapurancak, sampun cumadang di margi, raden galuh munggah reko, mapikulan endih murub, raden galuh Jawa munggah, pramiswari, sampun munggah gagelisan.

Perisai dan joli sudah tersedia di jalan, tuan putri naik keduanya, diusung kemilauan tuan putri Jawa naik, permaisuri sudah naik cepat-cepat.

844. Para ranten aji munggah, ring pedati Bayan Sangit, pada ring pedati reko, para man tri munggah sampun, sami manglinggihin kuda, sampun sami, pada cepet ring wehana.

Para permaisuri naik, di dokar Bayan Sangit, semua di pedati, pegawai istana sudah naik, semua naik kuda, sudah semua, amat cepat di perjalanan .

845. Tumuli mangkin mamarga, pagredeg panjake ngiring, ingeh swaran palinggihan, pedatine manggarudug, pagrowung asti lan kuda, ngresin ati, gredegan jadma lumampah.

Segera sekarang berjalan, berbondong-bonclong rakyat mengiringi, kede ngaran suara kendaraan , pedatinya mendengung , bunyi gajah dan kuda, menakutkan, gemuruh suara orang berjalan.

846. Tan kocapa sang lumampah, wuwusan rahaden mantri, panjake makarya pondok, di pasisi limang bungkul, masuter matembok bata, mwang makori , mapepelok piring sutra.

Tak terceritakan yang berjalan, ceritakan tuan mahkota , rakyatnya membuatkan penginapan , di pesisir lima buah , dikelilingi tembok batu merah , serta berpintu gerbang, berisi hiasan piring sutera.

847 . Ukir-ukiran angraras, magenteng dure batabin, magapura ngrawit tinon, togog ngapit lawang ipun,

Ukirannya rawit sari, pakai atap genteng, gapuranya keliha tan asri, patung kiri kanan gapura,

196 [ 196 ]majendela ring gambar, batur sari, wong cina atur pamreman.

pakai jendela dan tembok bergambar, batur sari, persembahan orang Tionghoa.

848. Kasure maules sutra, ukup-ukupan mrik minging, geneping pamreman reko, malangse malaluwur, lelangitan kurang-kurang, seprateka, sampun puput sapratingkah.

Kasur dilapisi dengan sutra, diukup dengan wangi-wangian, tempat tidur lengkap, pakai kelambu lengkap, perlengkapan minyak wangi pupur, selengkapnya, semuanya sudah dilengkapi.

849. Raden mantri ingaturan , tumurun saking benawi, kalih raden galuh reko, sami pada wus tumurun , sampun telas ring baita, patih mantri, Bayan Sangit sampun telas.

Dipersembahkan putra mahkota, turun dari perahu,, bersama tuan putri, semua sudah turun , sudah habis di perahu, pegawai istana, Bayan Sangit semuanya.


850. Sapraptane maring darat, gawok panjake ngilingin, I Nawang Tranggana reko, kalintang wamane ayu , kadi wulan wawu medal, saking giri, pada tan kena angucap.

Sesampai di darat, heran rakyat melihat , melihat Nawang Tranggana, terlalu amat cantik, seperti bulan baru timbul , dari gunung, semua heran tak berkata-kata.

851. Rasanya buka di gambar, kadulu wamanne lewih, rahaden mantri kajero, kali ida raden galuh, sampun prapta ring pamreman, mrik sumirit, raris rnaguling-gulingan.

Seperti di gambar, terlalu baik rupanya, putra mahkota ke istana, bersama beliau tuan putri, sudah sampai di tempat tidur, harum semerbak, serta tidur-tiduran,

197 [ 197 ] 852. Rahaden galuh ring Daha, miwah raden galuh Jawi, prapta maring labuan reko , para ranten aji rawuh, pramiswari sami prapta, ring pasisi, gongsor miid punang wadua .

Tuan putri Daha , beserta tuan putri Jawa, sampailah di pelabuhan, permaisuri datang, semua permaisuri tiba, di pesisir, beserta membawa rakyat .

853. Patih mantri malaradan, malebu ring bangsal mangkin, rahaden galuh ka jero, makekalih sampun rawuh, ranten aji pramiswarya, Bayan Sangit, pasiran lan pangonengan.

Pegawai istana dan patih berhenti , masuk di bangsal sekarang, tuan putri ke istana , keduanya sudah sampai , permaisuri semua, Bayan Sangit dan pembantu-pembantunya.

854. Tumuli kapendak tingal, gawok wong Daha ningalin, tan kene inucap reko, kaliwat warnane ayu, raden Anawang Tranggana, ayu lewih, kasoran Nawang Tranggana .

Serta dilihatnya, heran orang Daha melihatnya, tiada dapat bicara, teramat cantik rupanya, Raden Anawang Tranggana, cantik utama, dikalahkan Nawang Tranggana.

855. Nawang Tranggana angucap, ujare arum amanis, boya tuhu mirah embok, sang kakung asemu kenyung, rahaden galuh ring Daha, ngandika aris, baya tuwah pada mantang.

Nawang Tranggana berkata, katanya senyum simpul, bahaya sekali kandaku sayang, putra mahkota mukanya tersenyum, tuan putri di Daha, berkata ramah, bukankah pada berhutang.

856. Sampun mirah embok panjang, mula panataking widi, nyai kalih miwah embok , balik asti nene ayu,

Jangan panjang bicara kakak sayang, memang dijodohkan Tuhan , adinda keduanya bersama kanda,

198 [ 198 ] sami pada liwat suka, saur paksi, nuting raden galuh Daha.


baiklah dipelihara hal-hal yang baik , semuanya amat suka, sehat bersamaan, bersama tuan putri Daha .

857. Nunggang gunung sanghyang surya, raden Jong Biru lingnia aris, dong aturin dane embok, mangkin mantuk kajro agung, kni i adi ka negara, nene mangkin, nguda dini di bangsal.

Matahari telah naik gunung, tuan putri Jong Biru katanya ramah, disuruhlah beliau kanda, sekarang pulang ke keraton, ayolah sekarang ke keraton, sekarang mengapa di sini di bangsal.

858. Raden galuh ring Daha, ujare arum amanis, margi mangkin mirah embok, mantuk sareng ka jro agung, Nawang Tranggana ngandika, titiang pamit , benjangan titiang manunas.

Tuan putri Daha, katanya ramah pelan, ayo sekarang kanda sayang, pulang ke istana, Nawang Tranggana bicara, maafkan hamba, besok hamba ke sana.

859. Titiang mangkin kari ngraja, gung mamindah titiang mangkin, balik mantuk sampun embok, sampun embok salit kayun, titiang dahat liang pisan, mwah i beli, merika beli ka pura.

Hamba sekarang masih haid, hamba tiada mau sekarang, kembalilah kanda duluan, jangan kakak kecil hati, hamba amat senang sekali, beserta kanda, ke sana kanda ke istana.

860. Raden mantri semu kagiat, Putra mahkota amat kaget, katanya sayu pelan , mengapa demikian adikku sayang, kenapa tiada hasrat, barangkali memisahkan perasaan, kehendak kakanda,

ujare ngasih -asih, nguda mirah sapunika, kramane ulame bayu, mairib masalin rasa, yun i gusti , mangkin mamanj akang titiang.

199 [ 199 ] sekarang mengabdikan hamba.

861. Epuh rahaden galuh Daha, raden Jong Biru anangis, wijil pangandikane alon, punika cingak i ratu, rakan i dewa sebehan, raden dewi, ring Daha mesem mangucap .

Sibuk tuan putri Daha, putri Jong Biru menangis, keluar perkataan pelan, itulah tuanku lihat, kakak tuanku kesedihan, tuan putri, di Daha senyum berkata.

862. Suba beli sampun panjang, iring k ayun dane mangkin , iriki mangkin mangentos, kalih aden Jong Biru, sareng kari ring labuan, raden mantri, ngandika neduang bala.

Janganlah kanda panjang cerita, ikuti kehendaknya sekarang, disana sekarang menunggu, bersama tuan putri Jong Biru, bersama masih di pelabuhan , putra mahkota, bersabda menurunkan laskar.

863. Egong gambuh samia medal, baris tanggul baris bedil, solah kepet solah jengkang, joged lawan satulup, wayang wo ng sami ka labuan, sampun sami, gandrunge ngigel ka bangsal.

Gong gambuh semua menari, baris tanggul baris bedil, tarian kepet dan jengkang, joget dan setutup, wayang wong semua ke pelabuhan, sudah semua, gandrung menari di bangsal.

864. Rame punang tetabuhan , igelan masolah sami asukan suka punang wong. manampah celeng akutus, tekaning maisa dadua, celeng guling. roras lan ulam segara.

Ramailah gong menabuh, tari-tarian semua menari , bersuka-sukalah orang, menyembelih babi delapan ekor, kerbau putih dua ekor, babi guling dua ekor dan ikan laut.

865. Mabe abatumi pratiaksa, pranyai sami ngayahin,

Ketika sedang sibuk nya suasana memasak.

200 [ 200 ] tan ucapane maebat, wuwusan rahaden galuh, raden Anawang Tranggana, liwat sedih, sai tuwah mapangenan.

yang dibantu oleh gadis-gadis, raden galuh masih tetap dalam suasana kesedihan.

866. Dane baas kalintang tresna, ring raine ne di Jawi , ento twah sai pangenang, rasanya teka manutug, kelap-kelap ya di netra, teka mai, sarwi dane nganggit sekar.

Beliau terlalu setia, dengan adiknya dari Jawa, itu yang sering dikenang, rasanya datang mengikut, terkenang-kenang di mata, datang ke mari, sambil ia memetik bunga.

867. Raden mantri ngandika, punapi awanan sedih, i dewa masawang bengong, lawut dereng nemu kayun, punapi yen iwang titiang, dewa gusti, sampun i dewa mangubda.

Raden mantri berkata , apa sebabnya dewa sedih , dan kenapa dewa termenung seperti ada sesuatu yang dipikirkan. Kalau hamba yang salah, maafkanlah hamba gusti, janganlah hal itu dipikirkan.

868. Punapi dewa kayunang, pangandikayang nene mangkin, raden galuh meneng bengong, tong dadi dane masaut, osek antuk mangorahang, raden mantri , anyambut ingaras-aras.

Apa yang dewa pikirkan , katakanlah sekarang, raden galuh duduk termenung, tak dapat ia menjawab, berat baginya untuk mengemukakan, raden mantri menjawab dengan tegasnya.

869. Punika raris wuwusan, rnaebat wus puput sami, sampun wusan ya memangkon , puput mangaturang lelawuh, ki patih matur anembah, dewa gusti, i dewa durung ngrayunang.

Hingga pada akhirnya, semua masakan yang akan dihidangkan sudah siap, nasi tumpeng, dan persiapan sesajenan yang lain juga telah siap, lalu si Patih mohon bertanya kepada dewa gusti, i dewa belum makan?.

201 [ 201 ] 870. Rahaden galuh ring Daha, miwah raden galuh Jawi, sami kaaturan reko , Nawang Tranggana umangu, raris dane ka pamreman , sarwi nangis, raden mantri semu kagiat.

Rahaden galuh di Daha, beserta raden galuh Jawa sekalian dijamu dengan masakan yang disediakan, scsudahnya lalu dia ke tempat tidur sambil menangis, sampai raden man tri kaget.

871. Raden dewi kamenengan, makekalih manyagjagin, Nawang Tranggana di turon, rahadcn galuh Jong Biru, sareng raden galuh Daha, ngasih-asih, margi sareng mangajengang.

Raden dewi terdiam, keduanya datang menjemputnya, tahu dengan suasana yang diliputi kesedihan, raden galuh Daha dengan raden Jong Biru, diliputi juga perasaan sedih, berjalan bersama-sama untuk menikmati hidangan yang tersedia.

872. Nawang Tranggana nyaruang, ngalipu rang kayun sedih, makcmbulan mangajengang, sareng tatiga manyekul, sada maalon alonan , mula solah, anak istri mangajengan.

Tahu dengan suasana sedih , merekapun berusaha bagaimana caranya agar suasana itu menjadi gembira, dengan bertiga dia serentak makan dengan lambatnya , memang begitulah sifat seorang wanita kalau lagi makan.

873. lringane sami nadah , tan kari rahaden man tri ngajengang miwah pra manca. lelawuh pada lumintu, mekadi inum inuman, arak brendi, ginewer anggur mawarna.

Pengawai semua menunggu , raden mantri dan para patih sudah selesai makan, semua hidangan sudah habis, termasuk: minuman arak brcndi, jenewer anggur berwama.

874. Saking gelising kocapa, wusane manadah sami ,

Berhubung katanya cepat , selesainya menunggu semua,

202 [ 202 ]pada masawang ka turon,.
raden mantri alon amuwus,
kaka patih pangalasan,
nah dabdabang,
wahanane pacang budal.

875. I patih gelis angarah,
pagradab saregep sami,
joli gayot lan undakan,
makadi joli garebung,
genah sang putri katiga,
munggah mangkin,
raden mantri angandika.

876. Ratu ayu nunas budal,
sangkalang teduh di margi,
raris munggah masarengan,
tatiga maring garebug,
raden mantri maundakan,
kuda putih,
mawus apurna masabda.

877. Tan kocapanya di marga,
sampun rawuh di jro puri,
iringane pada budal,
sowang sowang pada mantuk,
painganan surup surya,
saling genti,
sanghyang sasih bawu medal.

878. Wenten genah di gegana,
api naga bulan nyanding,
dasa desa ngenah galang,
gawe purna manah dulu,
mawa buka mawukiran,
sahya becik,

semuanya telah siap-siap,
raden mantri berkata,
kakak patih,
marilah kita bersiap-siap
untuk berangkat pulang.

Si patih cepat-cepat
memberitahukan agar semua
siap untuk berangkat.
Kursi tempat duduk sang
putri bertiga supaya
disiapkan,
silakan naik ke kursi
gerembung,
perintahnya raden mantri.

Ratu ayu minta pulang,
karena panasnya di jalan,
lalu dia naik bertiga
bersama-sama di atas kursi,
ia sambil bersenda gurau,
raden mantri naik bersama
kuda putihnya,
lalu berangkatlah semua
rombongan.

Tak diceritakan di jalan,
sudah sampai di istana,
pengiringnya semua pulang,
semuanya masing-masing
pada pulang,
sampai terbenam matahari,
diganti,
sang bulan terus bersinar
ke luar.

Ada tempat di udara/di langit,
api naga didampingi bulan,
sepuluh desa tempat
diterangi,
membuat hati puas gembira,
perbawa seperti

203