Kaca:Struktur Novel Dan Cerpen Sastra Bali Modern.pdf/99

Saking Wikisource
Kaca puniki kavalidasi

88

'Wayan Tamba duduk di warung kopi, tempat biasa mengebon. Karena ia selalu membayar, berapa pun ia mengebon dipercaya saja.'

... Saling tuludang, ia dot teken kenyem manis nanging yen suba paaki­-
na ia mlaib ... '(T, hal. 2).
'Saling dorong ia ingin pada senyuman manis, tetapi bila sudah didekati,
ia 'lari.'

... Laut ia ka bale banjare, tutuga teken Wayan Tamba uling duri ... (T,
hal. 2)
'Lalu ia ke balai masyarakat diikuti oleh Wayan Tamba dari belakang.'
... Ia bangun negak di samping Wayan Tambane. Laut ia musungang
bokne tur menain kamene.(T, hal. 3).
'Lalu ia duduk dekat Wayan Tamba. Kemudian, ia membenahi konde
dan membetulkan kain.'
... 'Ia bareng masi bangun'. (T, hal. 3).
Ia ikut juga bangun.
Ia masuk tur masuluh di meka cenik. (T, hal. 3).
Ia menyisir rambut dan bercermin pada cermin kecil.

Apabila dilihat dari aspek gaya bahasa yang lain, pada cerpen "Togog" itu pengarang tidak begitu banyak memasukkan kata-kata bahasa Indonesia. Pengarang lebih senang menampilkan kata-kata bahasa Inggris. Hal ini sejalan dengan masalah yang disentuhnya, yaitu mengenai penjjualan barang
kesenian pada seorang turis luar negeri. Dalam hal ini contoh yang dapat
dikemukakan ialah adanya penggunaan kata-kata art shop, guide, sir, good,
you, will sell ... how much the price, how much, come on, dan please sit
down.

Penampilan gaya bahasa yang bersifat metafor, personifikasi, repetisi,
hiperbol, dan lain-lain tampak kurang sekali dalam cerpen "Togog" ini.
Contoh yang dapat diketengahkan di sini hanya satu saja, yakni Kileng­-
kileng cara siap sambehin injin (T, hal. 11) 'Molongo seperti ayam ditaburi
beras pulut hitam.'

Dengan bertitik tolak dari petunjuk di muka, dapat dinyatakan bahwa di
antara ketiga cerpen di atas, pengarangnya mempunyai cara sendiri untuk
menampilkan gaya bahasanya. Cerpen sebagai hasil cipta sastra, penjabaran
peristiwanya dilakukan dengan cara analitik atau cara langsung. Dengan
kata lain , pengarang dalam menentukan sebuah cerita menggunakan cara
langsung atau analitik, terutama tampak sekali dalam hasil cipta sastra
rekaan. (Bandingkan, Djusen, 1978: 18 dan Saad , 196: 123).