89
Dalam mengangkat gaya bahasa tampaknya pengarang cerpen "Matemu
Ring Rumah Sakit" dan "Mategul Tan Patali" lebih berhasil jika dibanding-
kan dengan pengarang cerpen "Togog". Sebagai akibat miskinnya variasi
gaya bahasa dalam cerpen "Togog" itu, tampak bahwa penyajian masalah
yang disentuh dalam cerpen itu mendatar saja. Ini berarti tidak ada sesuatu
yang istimewa yang mewarnai dinamika gejolak pengungkapan permasa
lahan.
Apabila dilihat dari segi estetika, pengarang cerpen "Matemu Ring
Rumah Sakit" dan "Mategul Tan Patali" lebih mampu memperhitungkan
peranan gaya bahasa dalam usahanya memberi bobot hasil karyanya.
Kemampuan itu terlihat jelas pada pemakaian ragam bahasa Bali halus dan
kasar pada satu pihak dan penempatan variasi gaya bahasa metaforis pada
peralihan peristiwa yang menuntut adanya keseimbangan situasi dan kondisi
pada pihak lain. Dengan kata lain, kedua pengarang cerpen ini mempunyai
keterampilan menilai situasi serta penempatan gaya bahasa pada proporsi
yang sewajarnya.
Apa pun yang dibicarakan tentang hasil cipta sastra sebagai perwujudan
rekaan sudah barang tentu segi estetika memainkan peranan penting.
Keindahan dalam cerpen di samping ditunjang oleh keterpaduan unsur yang
membangun strukur cerita, juga ide yang diangkat oleh pengarang sebagai
tema cerita harus menunjukkan keseimbangan.
Dalam hubungan ini, pengarang cerpen, "Togog" kelihatan telah ber-
usaha menyusun dengan sebaik-baiknya. Namun, karena segi gaya bahasa
kurang mendapat perhatian, amanat yang dibiaskan kurang komunikatif.
Penalaran bahasanya memperlihatkan kecenderungan sebagai percakapan
biasa sehingga ide yang diangkat tampak belum ditopang oleh ramuan
bahasa yang sesuai dengan gejolak peristiwa. Pengarang cerpen ini dalam
menilai situasi dan kondisi masih membutuhkan tingkat keterampilan
tertentu. Misalnya, dalam tokoh utama dan tokoh pendamping belum
terlihat adanya warna gaya bahasa yang relevan untuk melukiskan keadaan
tokoh yang serba kekurangan dalam bidang materi. Begitu pula halnya
dengan tokoh pendamping Wayan Nerti dan Made Danta. Made Danta
sebagai tokoh antagonis tidak ditonjolkan, baik wujud lahiriahnya maupun
wujud rohaniahnya secara jelas.
Dalam hal penggayaan terhadap latar, rupanya belum tampak adanya
pengamatan yang cermat dan tajam dari pengarangnya. Kelihatan bahwa
penjabaran peristiwanya mendatar saja, misalnya, datarnya situasi ketika
Wayan Tamba melarikan Wayan Nerti. Situasinya kurang memperlihatkan