82
'Matahari sudah condong ke arah barat, barangkali sudah menjelang
pukul dua, udara pun panas sekali. Akan tetapi, tidak begitu terasa
panas itu karena angin bertiup sepoi-sepoi. Begitu pula pohon angsana
yang ada di tempat pemujaan, berlenggak-lenggok, seolah-olah menjaja
kan bunganya yang sedang mekar.'
Dengan penampilan ragam gaya bahasa seperti ini tampaknya pengarang
ingin mengajak pembaca untuk menghayati apa yang terjadi pada lingkungan kehidupan keluarga Pan Sunari. Agak berbeda dengan cara
penampilan oleh pengarang novel Lan Jani dan Buah Sumagane Kuning
kuning. Pada novel Lan Jani pengarang kelihatan langsung mengajak
pembacanya pada masalah. Hal itu diungkapkan pada kutipan berikut ini
Murid-murid pada pagrunyung magompyokan nyugjagang soal-soal uji ane. Ujian basa Indonesia ane sada aluh nanging keweh ...
'Murid-murid berkerumun berkelompok-kelompok memperbincangkan soal ujian. Ujian bahasa Indonesia kelihatannya saja gampang, tetapi sebenarnya sukar .. .'
Pada novel Buah Sumagang Kuning-kuning, pengarangnya langsung
mengajak pembaca pada pengamatan sikap tokoh utama dalam cerita ini,
yaitu mengenai sikap tokoh utama yang dikatakan berprinsip lebih
mengutamakan apa yang diwariskan oleh nenek moyangnya dalam menyem
buhkan penyakit yang dideritanya. Warisan yang dimaksud di sini ialah cara
pengobatan tradisional. Pada bagian ini pengarang belum berminat meramu
bahasanya dengan warna gaya bahasa. Baru kemudian pengarang dengan
setia menampilkan aneka variasi gaya bahasa.
Dalam hubungan ini jelas bahwa pengarang novel Sunari tampak lebih
berhasil menempatkan gaya bahasa pada kedudukan yang sebenarnya, yaitu
kedudukan yang mengacu pada penempatan gaya bahasa yang sesuai dengan
terjadinya peralihan situasi ke situasi yang lain. Kelihatan penuturan
peristiwa berjalan penuh dinamika sesuai dengan tingkat gejolak peristiwanya. Ditambah lagi dengiln ramuan bahasa Bali halus yang mantap yang
lebih mewarnai jalannya cerita.
Alunan peristiwa dalam novel Lan Jani itu tidak banyak ditopang oleh ragam gaya bahasa sehingga tampak penjabaran ceritanya agak mendatar. Watak tokohnya pun tidak diberi napas gaya bahasa yang memadai. Oleh karena itu, dalam menggambarkan identitas tokoh utamanya, dalam hal ini Luh Rasmi. serta tokoh pendampingnya, yaitu Wayan Nendra, keliliatan sangat dangkal. Belum tampak pengarang mengungkap perbedaan tokoh utama secara paradoksal dengan tingkah laku tokoh yang lain.