Kaca:Dongeng Panji Dalam Kesusastraan Bali.pdf/123

Saking Wikisource
Kaca puniki kavalidasi

" Bu, saya minta tolong agar Ibu melumatkan terasi, nanti akan kujadikan bedak!" Menjawab Men Tiwas dengan terkejut,

"Mngapa kamu berbedak terasi, sudah tentu orang tidak akan tahan mencium baunya."

"Buatkan saja!" ujar Luh Gading. Men Tiwas segera melumatkan terasi. Sesudah selesai Luh Gading membedaki dirinya, lalu berangkat. Setibanya di istana semua orang ribut dan menutup hidung. Mereka memperbinncangkan bahwa Luh Gading berbau terasi .

"Ah, Men Tiwas tidak tahu malu , menyuruh anak kecil yang berbau terasi dan lagi anak itu membawa alu dari sepotong bambu kecil . Pergilah kamu ke sebelah sana, aku tidak tahan mencium bau busuk!" Luh Gading berpindah mencari tempat kosong. Ditempat itulah dia menumbuk padi seorang diri. Sebentar kemudian datanglah Siramadewi karena mendengar orang ribut.

"Apa yang kauributkan? Bekerjalah giat, jangan banyak bicara!" katanya . Kemudian ada orang yang menyahut,

"Janganlah marah! Coba lihat orang yang disuruh bekerja bakti oleh Men Tiwas! ia membawa alu dari bambu kecil dan lagi anak itu berbau terasi".

"Ah, cantik benar rupanya !" Luh Gading diam saja. Siramadewi bertanya,

"Hai, Nak, benarkah kamu berbau terasi? Apakah kamu tidak pernah mandi?"

"Tidak pernah", sahut Luh Gading sambil menundukkan kepala karena malu.

"Apakah kamu sendiri yang menghasilkan tumbukan sebanyak itu?" demikian pertanyaan Siramadewi kepada Luh Gading.

"Hai, mari kita lihat bersama! Janganlah kalian menertawakan dia! Ternyata hasil kerjanya menumbuk padi sama dengan hasil kerja tiga orang. Teruskan kamu bekerja, jangan menghiraukan berandal-berandal itu! Ah, cantik benar anak kecil ini! Siapa namamu, Nak?" Menyahut Luh Gading sambil menumbukkan alunya,

"Nama saya Luh Gading". Berkatalah Siramadewi,

"Wah, bagus benar namamu, Luh Gading" Diceritakan setelah selesai bekerja menumbuk pagi, Luh Gading paling dahulu pulang. Setiba di rumah, Luh Gading bercerita kepada ibu bapanya bahwa dia menjadi tertawaan dan ejekan orang-orang di istana.

117