Kaca:Cerita Panji Dalam Sastra Klasik Di Bali.pdf/22

Saking Wikisource
Kaca puniki kavalidasi

10


kata (semestinya delapan suku kata).

Terjadinya penyimpangan seperti itu dapat dikembalikan pada proses penulisan pupuh. Seorang pengarang menciptakan karya sastra geguritan (yang dibentuk oleh pupuh) sambil dinyanyikan. Dalam hal seperti itu dimungkinkan memanjangkan atau memendekkan pengucapan suatu suku kata. Sebagai contoh kata tiang, kema, muang, buin, muah, tuah, jua, liu, luir, dan gelis dapat berfungsi sebagai satu atau dua suku kata, sedangkan kata titiang, jelema, diapin, suargan, dibia, ngwayang, tresna, dan putra dapat berfungsi sebagai dua atau tiga suku kata.

Oleh karena dalam mentransliterasi "Geguritan Pakang Raras" diperhatikan dan diutamakan padalingsa pupuh yang dipakai, maka pemakaian ejaan tampak tidak konsisten, misalnya kata tiang, kema, muang, luir, diapin, tresna, putra, dan madue, pada tempat-tempat tertentu akan ditulis tyang, kema, muang, luir, dyapin, tresna, putra, dan madue. Jadi, hal itu menyimpang dari penulisan ejaan bahasa Bali yang disempurnakan. Hal itu dilakukan agar dapat memenuhi jumlah suku kata yang ditentukan oleh padalingsa pupuh. Dengan demikian, kutipan di atas akan ditulis seperti berikut.

1) Sang Perabu ring Jenggala, 8a

2) agunge manyakra werti, 8i

3) mabala ndatan paingan, 8a

4) madue putra aukud, 8u

5) mapsengan Mantri Koripan, 8a

6) anom alit, 4i

7) wau ida madwe mendra. 8a