50
yang diharapkan sebagai penghibur meninggal dunia setelah lahir. Dalam
keadaan itu sebenarnya ia terlalu berat menolak lamaran Made Ambara. Hal
itu jelas dari kutipan di bawah ini.
"Beli tiang tusing nyidayang mekelin beli, ne anggon gagapan adine
kauh jaja duang besik. Majalah Beli apang melah, dumadak ... " "Duma-
dak Beli enggal nyidayang matemu matunggalan ngajak adi," Made
Ambara gelis nglanturang lengkaran Luh Sunarine. Pramangkin Luh
Sunari barak biing, paningalanne ngembeng-ngembang, tan sida nglan
tarang pajar tumuli makiles ka sisian. (Sunari, 48).
"Beli, saya tiada mampu membekali Beli; bawalah jajan ini sekedar
oleh-oleh untuk adikmu. Berangkatlah Beli, baik-baik, semoga .... " "Se-
moga Beli segera dapat bertemu kembali dan bersatu dengan Adinda."
Made Ambara cepat memo tong kalimat Luh Sunari. Seketika Luh
Sunari wajahnya merah padam, matanya berlinang-linang, tiada mampu
melanjutkan kata-katanya sambil mengelak ke samping."
Kedatangan Wayan Duria yang bermaksud menatap kembali di desanya
merupakan babak baru bagi Luh Sunari. Bermacam cara digunakan oleh
Wayan Duria untuk mengutarakan isi hatinya, tetapi selalu ditolak. Suatu
hal yang wajar dilakukan oleh seorang yang pernah dikecewakan.
Dengan melalui sebuah surat yang disampaikan oleh Wayan Duria kepada
Luh Sunari, hubungan cinta kasih kedua tokoh itu kembali dijalin oleh
penulis. Akhirnya, Luh Sunari mengerti akan isi hati Wayan Duria yang
sebenarnya. Penghapusan dosa Luh Sunari, yang hanya dapat dikerjakan
oleh pembuat dosa itu sendiri, mulai mendapat tempat di hatinya meskipun
hal itu digarap terlalu cepat oleh pengarang. Lebih-lebih kedatangan Wayan
Duria untuk bertemu dengan ayah Luh Sunari, hal itu segera dapat
mengubah pendirian kedua orang tua Luh Sunari. Dalam hubungan inilah
latar belakang pendidikan keluarga itu mendapat tempatnya; sifat menyerah
demi keselamatan keluarga, memaafkan orang lain yang telah sadar
mengakui kesalahannya, dan datang sendiri bertobat di hadapannya.
Tokoh Wayan Duria perlu mendapat perhatian lebih jauh. Jika dipan
dang dari sudut sosial ekonomi, ia termasuk orang kaya, sudah biasa hidup
dengan RX-100, dan menghabiskan uang Rp 5.000,00 hanya untuk minum
di warung kopi. Suatu hal yang sangat jarang terjadi di desa. Untuk
melanjutkan sekolahnya ia pergi ke Yogyakarta dengan maksud pamer
kemampuan dalam bidang ekonomi.
Kebiasaan hidup mewah Wayan Duria di kampung halaman, berpengaruh
terhadap keadaannya di Yogyakarta. Ia menghabiskan waktunya hanya