Kaca:Geguritan Sewagati Analisis Struktur & Fungsi.pdf/59

Saking Wikisource
Kaca puniki kavalidasi

Pada waktu sembahyang di pura Rambutnaga, Ni Sewagati bertemu dengan seorang pemuda yang bernama I Ratnasemara. Pemuda itu berasal dari Puspanegara, anak janda Sumampir. I Ratnasemara adalah seorang pemuda yang tampan, pandai dalam sastra, bijaksana, dan halus budi pekertinya. Hal itu menyebabkan banyak wanita atau gadis yang berusaha merebut hatinya, tetapi ia tidak tertarik kepada mereka semua. Pada waktu bertemu pandang pertama kali di pura Rambutnaga, Ni Sewagati dan I Ratnasemara sudah saling jatuh cinta, tetapi mereka belum sempat berbicara. Sejak pertemuan itu, mereka berdua selalu gelisah karena mereka ingin bertemu. I Ratnasemara memohon kepada ibunya agar mau melamarkan Ni Sewagati untuk dijadikan istrinya. Ibunya memenuhi keinginan anaknya itu. Lamarannya tersebut diterima dengan baik oleh Ni Sewagati. Untuk melepaskan kerinduan mereka berdua, mereka sering berkirim surat melalui perantara ibunya I Ratnasemara. Terakhir Ni Sewagati mengirim surat kepada I Ratnasemara agar ia mau menemuinya pada malam hari karena ia sanggup untuk melayaninya sesuai dengan keinginan mereka berdua. Apabila I Ratnasemara benar-benar mencintainya dan berani mati demi cinta, ia harus berani datang memenuhi permintaannya itu.


Pada malam yang telah disepakatinya, I Ratnasemara pun datang memenuhi permintaan Ni Sewagati. Mereka berdua saling melepaskan rindu sesuai dengan keinginan mereka tanpa seorang pun mengetahuinya.


3.2 Tema

3.2.1 Tema Pokok

Persoalan, pikiran, gagasan, dan ide pokok yang terkandung dalam cerita GS adalah tentang cinta, yaitu cinta antara Ni Sewagati dan I Ratnasemara. Tema ini begitu sederhana, tetapi merupakan akumulasi dari realitas yang dihadapi manusia. Tema itu diaktualisasikan melalui tokoh cerita, yaitu Ni Sewagati, I Mudalara, dan I Ratnasemara. Dengan dukungan latar yang berupa suasana di suatu desa, tema itu semakin terasa damai tanpa adanya konflik di antara tokoh cerita yang terlibat. Tanpa adanya konflik tersebut di sisi lain menimbulkan kesan kurang terjadinya greget dalam memunculkan tema tersebut ke permukaan. Hal itu dapat dimaklumi karena secara umum sastra tradisional tidak