Kaca:Cerita Panji Dalam Sastra Klasik Di Bali.pdf/14

Saking Wikisource
Kaca puniki kavalidasi

2


tama akan dipakai sebagai pegangan dalam meneliti kedudukan dan peranan cerita panji dalam masyarakat Bali dan pendapat kedua akan dipakai dalam memilih cerita panji yang akan digarap dalam penelitian ini, khusus memilih cerita panji dalam bahasa Bali karena mengingat keterbatasan kemampuan yang ada.

Berdasarkan pendapat kedua di atas, cerita panji itu dalam bentuk sastra terikat (tembang) yang disebut geguritan dan bentuk prosa yang disebut satua.

Geguritan dibentuk oleh pupuh, dan pupuh diikat oleh beberapa syarat yang disebut padalingsa, yang terdiri dari tiga hal sebagai berikut.

1) jumlah baris(carik) dalam tiap bait(pada);

2) jumlah suku kata (kecap) dalam tiap hms(carik); dan

3) bunyi akhir tiap-tiap (carik).

Dalam kesusastraan Bali ditemui tidak kurang dari 45 bentuk pupuh. Di antara jumlah itu ada sepuluh yang populer, yaitu sinom, pangkur, ginada, ginanti, maskumambang, semarandana, dangdang, durma, pucung, dan mijil. Pupuh-pupuh itulah yang dipakai untuk membentuk karya sastra geguritan. Jumlah geguritan yang telah dicatat oleh Gedong Kirtya Singaraja tidak kurang dari dua ratus buah.pupuh-pupuh itu dipakai pula untuk membentuk karya sastra parikan. Bentuk sastra parikan tidak berbeda dengan geguritan, tetapi ceriteranya pada umumnya diambil dari karya sastra Kawi, baik yang berbentuk parwa maupun kakawin. Dengan demikian, parikan dapat dikatakan sebagai karya sastra saduran. Sebagai contoh, dalam sastra Bali klasik terdapat "Parikan Boma" dan "Parikan Sutasoma."

Bentuk satua (dongeng) dalam masyarakat Bali disebut juga satua pagantian yang berart dongeng yang diturunkan secara lisan. Beberapa di antara cerita panji yang berbentuk satua ini telah dikumpulkan oleh Ketut Lama (1977).

Pengertian yang dipegang tentang apa yang dimaksud dengan cerita panji yaitu keterangan yang pernah diberikan Robson (1971) dan Zoetmulder (1974). Dikatakan bahwa inti cerita panji berupa kisah cinta antara Raden Mantri dari Koripan dengan Raden Galuh dari Kediri. Cerita itu mempunyai pelbagai variasi.

Penelitian cerita panji yang ada di Bali itu sesungguhnya bukan hal yang baru, yaitu berbentuk tembang tengahan (kidung), pernah diteliti oleh Brandes (1901-1926), Poerbatjaraka(1940), Pigeaud (1967), Robson (1971), dan Zoetmulder (1974). Penelitian cerita panji yang berbentuk geguritan itu pernah dikerjakan oleh R. van Eck(1875 dan 1876), dan Hooykaas(1968), serta