Puji, syukur merupakan sebuah ungkapan yang paling pantas kami ucapkan di awal pengantar buku ini. Rasa syukur itu lahir dari kesadaran akan limpahan spirit yang diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa kepada pegiat-pegiat sastra, spirit untuk senantiasa terjaga dan berbuat untuk kepentingan sastra. Karena spirit itu maka lahirlah berbagai karya, kerenanya pula maka terbitlah berbagai buku sastra. Spirit telah mendorong kita berbuat untuk memformulasikan ide-ide ke dalam karya estetis. Setidaknya perbuatan itu merupakan cara seseorang untuk mewujudkan daya religiusitasnya melalui persembahan berupa karya sastra.
Terbitnya kumpulan puisi Bébék Punyah karya Made Taro membuktikan bahwa semangat berkarya di kalangan sastrawan di Bali sangat terjaga. Buku ini menyusul beberapa buku sastra Bali modern yang telah diterbitkan oleh Balai Bahasa Denpasar. Made Taro adalah budayawan Bali yang banyak memberikan perhatian pada kearifan lokal, terutama minatnya yang mendalam padaermainan tradisional yang memadukan antara bahasa (syair), musikalitas (gending), dan gerak. Oleh karena itu, nuansa yang tertangkap dari puisi-puisi dalam kumpulan puisi ini sarat dengan pilihan kata yang ditujukan untuk menjaga musikalitas, namun tetap menjaga makna keseluruhan puisi. Selintas tampak bahwa puisi-puisi itu beranjak dari irama permainan tradisional, terutama karena dibangun dengan pilihan kata dari bahasa Bali lumrah dan ditegaskan dengan berbagai bunyi yang sudah akrab dalam ujaran berbahasa orang Bali, seperti éla épong, bug...bug, cret, ngak, pyak...pyak...pyak, plong, cing cing, cimplungan, lang lang i lilang. Namun, dibalik permainan kata dan bunyi yang seolah-olah mengajak kita bermain-main sesungguhnya terkandung muatan ide yang sangat serius dan mendalam. Ide yang tidak mungkin akan lahir dari penyair yang tidak memiliki daya kontemplasi dan ketajaman melihat fenomena sosial yang sedang terjadi dalam masyarakat. Cara pengungkapan
i