Cebur nuju daging

Kakawin Bharatayuda 2 (Balai Bahasa Prov. Bali)

Saking Wikisource
Kakawin Bharatayuda (en); Kakawin Bharatayuda (ban); Kakawin Bharatayuda (id); Kakawin Bharatayuda (jv) Balinese palm-leaf manuscript (en); lontar kakawin Bali (ban); lontar kakawin Bali (id); lontar kakawin Bali (jv)
Kakawin Bharatayuda 
lontar kakawin Bali
Inggih punikaLontar,
Kakawin
Soroh
  • Susastra
Genah Balai Bahasa Bali, Kapustakaan Kantor Dokuméntasi Budaya Bali
Wit negara
  • Indonésia
Nganggén basa
  • Basa Kawi
Klasifikasi Gedong Kirtya
  • Itihasa
Linggah
  • 3,3 cm
Lantang
  • 42,3 cm
Akéh lempir
  • 60
Pangawasan otoritas

Deskripsi

[uah]

Lontar Kakawin Bharatayuda niki silih tunggil koleksi Balai Bahasa Provinsi Bali sane kapupulang sareng program WikiLontar 2021 sane sampun puput. WikiLontar inggih punika program katalogisasi digital lontar sane kakaryanin Komunitas Wikimedia Denpasar ring sasih Januari - April 2021. Ring Balai Bahasa puniki wenten 142 cakep lontar saking makudang-kudang soroh.

Bahasa Indonesia

[uah]

Naskah ini terdiri atas 52 sargah (pupuh) mulai dari sargah 1 dengan metrym jagaddhita dan berakhir pada sargah 52 dengan metrum Jagaddhita. Akan tetapi mentrum jagaddhita pada sargah 52 hanya terdiri atas 1 bait lalu kalimatnya terputus. Menurut sumber lain (bandingkan Warna dkk, 1869 dan Zoetmulder, 1985) mestinya terdiri atas 13 bait.

Pada intinya naskah ini mengisahkan pertempuran maga dahsyat antar keluarga Barata yakni Korawa dengan Pandawa. Kisah berawal dari peristiwa perundungan antara dua pihak yang berselisih dimana Kresna selaku urusan dari pihak Pandawa menyampaikan usulan bahwa Pandawa lebih memilih berdamai dengan Korawa dan kerajaan dibagi menjadi dua. Usul itu ditolak oleh Duryodana sehingga perundingan gagal mencapai kata sepakat. Tak lama berselang peperangan pun berkecamuk di medan pertempuran (Kuruksetra). Masing-masing pasukan dipimpin oleh panglima perang mereka antara lain Bisma, Drona, Karna, Salya, dipihak Korawa sedangkan Sweta, Drestajumna, di pihak Pandawa. Pertempuran sengit berkecamuk berhari-hari. Pada kesatria perang dari masing-masing pihak berguguran seperti: Swesta dibunuh oleh Bisma: Bisma dibunuh oleh ribuan panah Arjuna, yang memanah dengan jalan berlindung di bali Srikandi, Abimanyu, putra Arjuna dari perkawinannua dengan Dewi Subadra, terbunuh di tengah medan pertempuran oleh Jayadrata. Kematian anak muda ini menimbulkan kesedihan mendalam di pihak Pandawa. Ksiti Sundari,  istri Abimanyu, menjalankan janjinya setianya pada suami dengan cara menerjunkan diri ke dalam api ungu saat pembakaran jenazah suaminya sedangkan Utariz juga istri Abimanyu, tidak ikut karena anaknya belum lahir, Arjuna berhasil menempati janjinya membunuh Jayadrata sebelum Matahari terbenam tiada lain karena leran Kresna yang menyembuhkan Matahari dibelakang awan-awan, Setyaki dan Bima mengamuk di medan pertemuan. Prajurit Korawa banyak terbunuh oleh meteka: Atas bantuan Arjuna memanah lengan Buriswara maka Setyaki berhasil membunuh Buriswara; Karena. Gatotkaca, putera Bima dan istrinya bernama Hadimbi terbunuh dadanya tertembus panah sakti Karna sekaligus sebagai tanda lenyapnya kesaktian utama Karna. Hadimbi menceburkan diri ke dalam api unggun bersama jenazah anaknya; Drona yang lemah dan lesu karena mengira Aswatama (seekor gajah) yang dibunuh oleh Bima adalah anaknya, berhasil dibunuh oleh Arjuna. Kematian Drona seperti ini juga lantaran taktik dari Kresna; Kini giliran Karna sebagai panglima perang. Dengan kerata yang disaisi oleh Salya maju bertempur melawan Arjuna yang keretnya disaisi oleh Kresna.


Karna pun terbunuh, lehernya tertembus panah Arjuna; Bimaberhasil memenuhi janjinya membunuh Dussasana, adik Duryodana. Selajutnya Salya maju ke medan tempur sekaligus sebagai panglima perang. Nakula yang sebelumnya telah diutus oleh Kresna untuk menemui Salya menyampaikan bahwa Salya hanya dapat dibunuh oleh Yudistira dengan pustaka Kalimahosadanya. Salya pun dibunuh olch Yudistira dengan pustaka Kalimahosada, kitab ajaib yang berubah menjadi sebilah pedang: Peristiwa sebagai tanda kekalahan Korawa adalah hancurnya paha Duryodana oleh pukulan gada Sang Bima dan tewas. Akhir cerita, sekembalinya para Pandawa ke perkemahan, mereka menemukan kelima anak Drupadi telah tewas dibunuh oleh Aswatama. Bima marah bukan kepalang lalu berperang melawan Aswataina bahkan hampir membunuhnya. Ketika itulah Aswatama melesatkan panah saktinya bernama Brahmasirah yang berubah menjadi api berkobar-kobar. Arjuna pun melesatkan panah yang sama. Dewa Siwa melarang penggunaan senjata itu untuk membunuh manusia seraya memerintahkan untuk memadamkan. Arjuna mampu memadamkan panahnya. Adapun Aswatama tidak mampu, karena itu ia dipaksa menyerahkan kesaktiannya yakni mutiara yang menghiasi dahinya. Mutiara itu lalu diserahkan oleh Dropadi kepada Yudistira (Darmawangsa) yang kemudian menjadi raja di Indraprasta.

Naskah

[uah]

[ 1 ]kakawin bhaatayuddha (l.1-86)
milik lembaga Bahasa Nasional Tjab.I
singaradja