Kaca:Struktur Novel Dan Cerpen Sastra Bali Modern.pdf/80

Saking Wikisource
Kaca puniki kavalidasi

69

'... Sudah keputusan hatinya, apa pun yang akan dibilang ia tidak akan urung, apalagi ia yang bekerja, tiada minta kepada orang lain.'

Sebagai akibat perasaan yang senantiasa diburu oleh tanggung jawab, kadang-kadang manusia harus mengorbankan sebagian haknya kepada individu lain. Demikian pula sebaliknya; seorang individu tidak jarang memanfaatkan faktor situasi sekedar untuk memenuhi keuntungan pribadinya. Begitulah halnya Wayan Tamba, si tokoh utama. Ia harus mengorbankan hak kesenimanannya terhadap tokoh bawahan Gede Gita, seorang pemandu (guide) yang menuntut hak komisinya terlalu tinggi kepada seniman semata-mata karena merasa berjasa terhadap orang lain walaupun dalam waktu yang relatif singkat. Dalam situasi yang demikian itu sifat sosial terpaksa harus dihadirkan kepada diri si tokoh. Pada bagian inilah terlihat ide pengarang yang sebenamya, yaitu ingin menginformasikan salah satu peliknya dunia kepariwisataan di Bali dewasa ini.

"Akuda Made bakal ngalih?"

"Patutne tiang maan telung dasa."

"Kanggoang ja duang dasa duen."

"Ngudiang keto Beli, turu ngalih gae." ...

"Nan pang enggalan Beli, selae kanggoang tiang." Wayan Tamba krana ia bakal enggal-enggal buin, jeg baanga pipise selae tali ("Togog", 13).

"Berapa Made akan mencari?"

"Sepantasnya saya mendapat tiga puluh (ribu rupia)"

"Terimalah dua puluh saja."

"Kenapa demikian, kita sama·sama mencari kerja."

...

"Nah, biar cepat Beli, dua puluh lima kuterima." "Wayan Tamba, karena ia akan segera ada keperluan lagi, diberikan begitu saja uang yang dua puluh lima itu."

Sikap yang serupa kembali disajikan pengarang ketika si tokoh berhadapan dengan Wayan Gianti, seorang pelayan hotel yang menghendaki komisi tinggi lewat hasil karya-karya seni si tokoh. Citra ini memang tragis, tetapi begitulah kenyataannya.

Sebagai akhir pengenalan sifat-sifat terhadap tokoh Wayan Tamba, setelah si tokoh berhasil mempersunting Ni Wayan Nerti, secara jujur ia telah mengakui kesalahan-kesalahannya. Si tokoh sadar bahwa dirinya telah melanggar salah satu konvensi budaya masyarakat Bali, yaitu melarikan Ni Wayan Nerti yang sudah dikenal baik.