Kaca:Struktur Novel Dan Cerpen Sastra Bali Modern.pdf/79

Saking Wikisource
Kaca puniki kavalidasi

68

sehari-hari pengarang pada bagian ini sangat berhasil melukiskan citra kesederhanaan hidup si tokoh yang dinyatakan menetap bersama ibunya.

.. . Nyiup kopi ia tengkejut, inget tusing ngelah pipis ... Lemet limanne ngisi paat, memenne bengong ngantosang. "Kanggoang nganggeh malu Me, sig I Rantine ," masaut ia sambilanga nyenderang bakalan togagne di sakane ("Togog", I)..

...

"Madaar ja malu Yan, kanggoang sing ada jukut." "Apa gen yang kanggo , Meme suba madaar?" ... Apa ja ane sagianga teken memenne ia sing sanget mamidi, kanggo dogen. ("Togog", 6).

' ... Mereguk kopi ia terkejut teringat tidak mempunyai uang .... Lemah tangannya memegang pahat; ibunya termangu menunggu. "Biarlah mengebon dulu Me, di (tempatnya) I Ranti," menjawab ia sambil menyandarkan bahan patung itu di tiang rumahnya!

...

"Makanlah dulu Yan, biar pun tak ada sayur?" ... Apa pun yang di­sediakan oleh ibunya, ia tak terlalu hirau; mau saja."

Dialog di atas secara eksplisit dapat mengungkapkan keadaan latar belakang ekonomi dan kesederhanaan hidup si tokoh, seniman patung dari desa Lodtungkang itu yang tidak berpenghasilan tetap.

Dalam usaha memenuhi suatu keinginan yang sangat didambakan, ketekunan si tokoh merampungkan dua buah patung yang akan segera dipasarkan untuk memperoleh biaya perkawinannya dapat diterima secara logis. Pada kesempatan ini si tokoh tidak hirau lagi akan amanat hari raya Galungan, suatu hari raya besar umat Hindu Bali, yang secara konvensi sosial masyarakatnya harus dirayakan semeriah dan sekhidmat mungkin.

Demikianlah dengan sebuah tekad bulat, Wayan Tamba memutuskan hendak mempersunting Wayan Nerti, seorang janda yang sudah mempunyai dua orang anak dari suami pertamanya yang terbunuh dalam kemelut G-30-S/PKI.

Sebenarnya, si tokoh menyadari sepenunya bahwa ibunya tidak merestui keinginannya mempersunting Ni Wayan Nerti semata-mata karena Wayan Nerti seorang janda. Akan tetapi, perasaan kuasa pada diri si tokoh yang merasa menjamin kelangsungan hidup ibunya, mendorong si tokoh harus melabrak kehendak batin si ibu. Ini merupakan suatu tantangan bagi si tokoh di satu pihak, serta tekad dan keyakinan untuk menang yang harus diwujudkan oleh si tokoh di pihak lain.

... Suba nyet kenehne, apa ja bakal orahanga ia sing bakal buung, apa buin ia ane ngalih gae, sing ja ngidih teken anak len." ("Togog", 5).