Kaca:Struktur Novel Dan Cerpen Sastra Bali Modern.pdf/75

Saking Wikisource
Kaca puniki kavalidasi

64

Luh Manik, yang ditonjolkan pengarang sebagai pelaku utama sejak awal cerita dinyatakan sebagai seorang janda yang berhati lembut, memiliki paras cantik. Ia menetap bersama kedua mertuanya karena suaminya, Made Antara, telah terkubur di dasar laut dalam usaha melanjutkan sekolah ke Akademi Pemerintahan Dalam Negeri di kota Mataram.

Kelembutan hati tokoh utama ini terlihat jelas lewat tutur katanya yang halus dalam penampilannya sehari-hari. Jangankan si tokoh berinteraksi dengan orang lain, dalam bertutur kata dengan anaknya pun tokoh Ni Luh Manik menampakkan bahasa halusnya.

"Putu, Putu! Kema aturang banten jotane! Suba keto dahdabang ragan ceninge masuk. Ingetang ngajengang malu!" (MTP,1). "Putu, Putu! Pergilah persembahkan sesajen itu! Setelah itu bersiap-siap ke sekolah. lngat, makanlah dahulu!"

Kendatipun demikian, sifat dominan pada diri tokoh Luh Manik adalah mengenai kesetiaannya kepada sang suami sehingga ia berhasil mengekang diri untuk tidak kawin lagi sampai akhir hayatnya.

Kesetiaan tokoh Luh Manik terhadap suaminya yang sudah meninggal sekian tahun sebenarnya dilandasi oleh motivasi pernyataan setia sehidup semati antara si tokoh dan almarhum suaminya .

... Eling ipun ring sumpahnyane dumun, dawege pangantenan. Sumpah pacang tresna terus masomah kayang kawekas .... " (MTP, 11).

... Teringat ia akan sumpahnya dahulu ketika baru menikah. Sumpah akan setia terus berumah tangga sampai akhir hayatnya ....

Dalam beberapa bagian cerita, terutama ketika Ni Luh Manik dilamar hendak diperistri oleh I Gede Parta, si tokoh sempat dihadapkan kepada sejumlah komplikasi pada dirinya sendiri. Bagian ini sekaligus merupakan klimaks cerita. Akan tetapi, karena pengarang bermaksud juga menonjolkan konvensi lokal dengan suatu mitos ritual, ketika pada suatu malam Ni Luh Manik sudah memutuskan pergi dari rumahnya memenuhi lamaran I Gede Parta, tiba-tiba saja Putu Sastra, satu-satunya anak lelaki dari perkawinannya dengan Made Antara, menderita sakit panas sampai tidak sadarkan diri sehingga si tokoh harus mengambil keputusan lain.

Dalam usaha memulihkan kesadaran anaknya, Putu Sastra menginggau agar si ibu tidak meninggalkan dirinya. Ni Luh Manik sangat iba akan igauan anaknya yang menyayat itu, maka si tokoh pun sekarang harus bergulat dengan kebimbangan.