55
"Sebenarnya ke mana Yan akan melanjutkan?" kembali Luh Rasmi bertanya. "Tak dapat kukatakan, Luh 'kan sudah mengetahui bahwa ayahku pun tidak mampu membiayai, ... "
Munculnya sikap kritis dan koreksi diri yang diperlihatkan oleh tokoh
Wayan Nendra setelah bertemu dengan kawan karibnya, Nyoman Sugita,
dapat diwakili oleh konteks pernyataan dirinya sebagai berikut.
Ngudiang sebete bakat bengonging, dadi baang ngelut kenehe ane buut,
Yen ne bakat tuutang sinah i raga bakal sengkala, idup di gumine mula
keweh, nanging yan kapineh-pineh lantangang, ngudiang dadi i raga
nyerah . I raga ane madan manusa, icena papineh teken Ida Sanghyang
Prama Kawi, manik idupe ane masambeh, mertane tuah ja ane bakal
karuruh. Sing ja ada merta ane teka macepol di limane yen sing bisa
ragane ngetakang limane. (Lan Jani, 20).
Buat apa merenungkan kesedihan, kenapa diberikan menyelimuti pi-
kiran yang kusut. Kalau hal ini diturutkan, niscaya diriku akan seng-
sara, hidup di dunia memang susah, tetapi kalau dipikir yang panjang,
kenapa diriku harus menyerah . Kita sebagai manusia diberi pikiran
oleh Tuhan Yang Mahaesa, rejeki hidup yang tersebar luas, memang
rejeki itulah yang kita harus buru. Tidak ada rejeki yang jatuh ke tangan
dengan sendirinya kalau kita tidak bisa memanfaatkan tangan kita itu.'
Dengan bertolak dari kepercayaan akan diri sendiri itulah, si tokoh
ditampilkan oleh pengarang sebagai salah seorang pelopor pembangunan
dengan jalan bertransmigrasi mengikuti program desa pemuda ke daerah
Sumatra.
"Sumatra ento Indonesia Luh, tanah air i ragane, sing inget Luh teken Sumpah Pemudane ... i raga jani mesti nglaksanaang." Semangat Yan Nendrane mluap-luap baana pasti suba melah tetujone. "Membangun masa depan adalah kewajiban kita Luh," Yan Nendra inget teken pi- tutur KepaJa sekolah dugas upacara benderane . ... "Saya buka munyin Luhe, nanging demi masa depan i raga mesti bani mlaksana apang sing munyi duen." (Lan Jani, 36)
"Sumatra adalah Indonesia juga, Luh, tanah air kita, tidak ingatkah Luh akan amanat Sumpah Pemuda, .. . kita sekarang mesti melaksanakan." Semangat Yan Nendra meluap-luap karena sudah mempunyai tujuan yang pasti. "Membangun masa depan adalah kewajiban kita Luh," Yan Nendra teringat pada petuah kepala sekolah pada waktu upacara bendera. ... "Benar seperti kata Luh, tetapi demi masa depan, kita harus berani berbuat agar tidak berupa omong kosong belaka ."