48
zaman. Pihak ayah lebih banyak memberikan kebebasan dengan harapan
agar anak itu sukses dalam studinya. Si ibu yang mempunyai perasaan yang
lebih halus telah mempunyai tanggapan negatif dengan perkiraan bahwa
kesibukan itu hanya merupakan alasan belaka. Kecurigaan. itu baru dapat
disampaikan kepada anaknya setelah berkali-kali Luh Sunarti datang pada
larut malam. Nasihat orang tuanya hanya disambut dengan tangis dan
menutup diri dalam kamar; suatu jawaban yang cenderung lebih banyak
membenarkan diri sendiri. Kutipan di bawah ini menunjukkan dengan jelas
bagaimana perbedaan pendapat antara ayah dan ibu Luh Sunari mengenai
kesibukan anaknya, baik sebelum maupun sesudah ujian.
"Sing taen seleg jumlah ngelah pianak," Men Sunari ngrenggeng, "Jag
pragat serat-serat kema-mai dogen." "Men, ngudiang bakal tunden
nyai." Pan Sunari masaur. "Yadiapin tusing ngudiang-ngudiang, apang
danan tuara inget tekening gaginan jumah, apabuin madewek luh,
pragat selar-seler cara anak teruna. " "Anak imang perpisahan sing ja
inceg masuk saisai," I Ketut Jagra ngamiletin.
"Meme tusing ja nombaang anak muruk, dong-pagedin mbok ceninge
- nyalah unduk, yen lingsir magedi setata peteng mara teka, ambul encen
makelon anake muruk." (Sunari, 6-7).
"Tak pernah betah anak kita tinggal di rumah," Men Sunari menggu·
man. "Kerjanya hanya ke sana ke mari." "Lantas, akan disuruh menger
jakan apa dia itu," Pan Sunari menjawab.
"Walaupun tidak mengerjakan suatu apa, dikurangilah keluar rumah,
lebih-Iebih dia' seorang wanita, kerjanya hanya ke sana kemari seperti
lelaki." "Ia 'kan menjelang perpisahan, jadi wajarlah kalau ia sering
sering datang ke sekolah," I Ketut Jagra melengkapi.
"Ibu bukannya melarang ia berlatih, tetapi kepergian kakakmu selalu
tidak pada waktunya, siang hari pergi, datangnya selalu pada malam
hari, seberapa lama sih orang berlatih."
Kehamilan Luh Sunari merupakan masalah yang penting di desa itu,
terutama bagi pihak keluarganya. Saling tuduh terjadi antara ayah dan
ibunya. Pada pihak lain Luh Sunari merasakan bahwa tindakannya selama
ini yang dianggapnya benar sesungguhnya merupakan hal yang sangat
terlarang. Ia menjadi malu dan jarang keluar rumah, lebih-lebih mengingat
kedudukan orang tuanya di desa itu. Sejak itu ayah Luh Sunari tidak
pernah ke warung tempat ia biasa menghabiskan waktunya setiap sore.
Tuntutan keluarga Luh Sunari terhadap pertanggungjawaban Wayan Duria selesai sampai pada pertengkaran antara kedua orang tuanya. Sesuai dengan fungsi Pan Sunari di desa itu ia lebih banyak berpedoman pada