Kaca:Struktur Novel Dan Cerpen Sastra Bali Modern.pdf/57

Saking Wikisource
Kaca puniki kavalidasi

46

'Sudah diputuskan untuk tidak meninggalkan anaknya sehingga dewa­ sa. Pikiran manusia tidak pernah langgeng. Apalagi wanita. Setiap hari pikirannya dapat berubah. Demikian pula halnya Luh Manik, ka­ rena banyak orang yang menggoda.' (MTP, hal. 5).

'Kebaikan hati Kakak saya terima. Tetapi kalau akan menikah saya ti­ dak dapat memenuhinya.' (MTP, hal. 7).

'Terserah Kakak. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Kalau demikian, kata-kata Kakak saya Udak bisa mengelak. Seperti Kakak menangkap ikan di jamban.' (MTP, hal. 7).

'Sesudah ia memikkkan dengan pikiran yang suci, kemudian ia memu­ tuskan untuk mengembalikan lamaran I Gede Parta.' (MTP, hal. 11).

Berdasarkan urutan peristiwa seperti tertera di atas, Luh Manik belum dapat dikatakan setia. Ia tidak dapat menepati janji dan sudah bermain cinta. Alasan anaknya sakit untuk membatalkan janjinya dengan Gede Parta belum dapat dipertanggungjawabkan. Gede Parta, kalau mau, dapat saja menuntut janji itu apalagi ia orang kaya di desa itu.

Penyelesaian cerita oleh pengarang juga perlu diperhatikan. Berbeda dengan penyelesaian cerita dalam cerpen "Matemu ring Rumah Sakit" yang berfungsi memberikan efek kerahasiaan terhadap sebuah cerita, cerpen "Mategul Tan Patali" penyelesaiannya belum dapat berfungsi seperti itu. Cukupkah hanya dengan sepucuk surat Luh Manik membatalkan janjinya? Apakah reaksi dari Gede Parta? Sampai berapa lama Luh Manik yang muda dan cantik dapat mempertahankan kejandaannya? Hal itu perlu dijelaskan lagi; dengan kata lain, cerita itu perlu diselesaikan.

3.3 Penokoban Novel dan Cerpen Sastra Bali Modern

Perbedaan yang agak jelas dengan sastra modern dalam menggambarkan penokohan sebuah karya sastra dapat dilihat jika kita membaca cerita lama seperti dongeng dan hikayat. Dalam cerita lama penggambaran aspek luar atau lahir, seperti bentuk tubuh yang gagah perkasa, sangat ditonjolkan. Dalam karya sastra modern, penggambaran antara aspek lahir dan aspek batin biasanya mendapat perhatian yang sarma dan seimbang.

Bagaimana cara seorang pengarang memilih aspek penokohan itu ke dalam karya sastranya? Menurut Sumardjo (1979 : 9), secara tegas mengata­- kan bahwa penokohan dalam karya sastra berbeda dengan penokohan sehari-hari. Penokohan dalam karya sastra merupakan penokohan yang