Kaca:Struktur Novel Dan Cerpen Sastra Bali Modern.pdf/54

Saking Wikisource
Kaca puniki kavalidasi

43

Peristiwa lain yang juga menjadi inti dalam cerpen "Togog" ialah masalah-masalah yang juga telah dibicarakan dalam novel di atas, seperti pariwisata nasib tukang patung dan pengaruh kebudayaan asing. Kedua peristiwa itu didukung oleh dua orang pelaku. Wayan Tamba sebagai pendukung dunia kepariwisataan dengan berbagai aspeknya, berasal dan sebuah keluarga yang sederhana. Pada pihak lain, Wayan Nerti sebagai pendukung dari golongan masyarakat yang mendapat akibat dari peristiwa G-30-S/PKI juga berasal dari keluarga yang kurang mampu. Kedua pelaku itu tidak mempunyai ayah dan mereka telah mempunyai hubungan erat, bahkan Wayan Tamba telah sering menginap di rumah Wayan Nerti. Menyadari bahwa hal itu dianggap kurang baik oleh masyarakat, mereka bermaksud akan melangsungkan pernikahan.

Peristiwa perkelahian ilmu hitam yang terjadi pada malam hari terasa dibuat-buat. Wayan Nerti pada suatu malam melihat kepala hantu, kera, bulan, sinar ajaib, dan suara-suara hantu yang riuh. Peristiwa itu diakhiri dengan meninggalnya tiga korban, yaitu Men Nerti, Men Tamba, dan I Danta sepupu Wayan Nerti. Perhatikan kutipan berikut ini.

Mara Wayan Nerti teked dangin paone. makesieng bulun kalongne . Peteng dedet ma kesiab, ada munyi maglebug cara nyuh ulung. Mang­kregan ia melitang kamene ada munyi mekresekan di temboke. Ia nolih jeg duur temboke ada tendas celuluk ileg-ileg kedek ngrekek. Ngejer awakne mara ia ukana mabading, kamenne ambisa teken liman bojog mabulu, batisne limpuka teken nyuh pongpongan ngliling. tur di duur temboke galang nyenter ada bulan amun ngiune metinggah samping tendas celuluke. Liman celuluke kepas gregeh·gregeh. Di samping bulane duur temboke liu pesan api pasliwer makeber. Wayan Nerti Nyerit gigian. Aduh ... , aduh ... , aduh ... aduh ... , aduh ... aduhhh. (MTP. hal. 16).

'Sesaat setelah Wayan Nerti tiba di sebelah timur dapurnya, berdirilah bulu romanya. Gelap gulita, ada suara benda jatuh seperti suara kelapa. Segera ia menyingsingkan kainnya dan ada suara berderak di atas tembok. Ia menoleh; tiba-tiba di atas tembok ada hantu yang menggeleng-geleng kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Menggigil tubuhnya ketika ia akan kembali; kainnya ditarik oleh tangan kera yang berbulu, di samping kakinya menggelinding kelapa yang berlu­bang dan di atas tembok terang benderang oleh cahaya bulan sebesar nyiru yang bertengger di samping kepala hantu. Tangan hantu terbuka disertai suara terbahak. Di samping bulan di atas tembok banyak ada api beterbangan. Wayan Nerti menjerit histeris. Aduh ... , aduh... , aduh.... aduh.... aduhhh,' (MTP, hal. 16).