Kaca:Struktur Novel Dan Cerpen Sastra Bali Modern.pdf/25

Saking Wikisource
Kaca puniki kavalidasi

14


(b) Objective author point of view. Dengan cara ini pengarang seolah-olah tidak ada dan pembaca menjadi saksi yang melihat, mendengar, dan mengerti hanya tentang yang dapat didengar dan dilihat. Pembaca, seperti pengarang, dibatasi pada adegan. Proses mental tokoh, pengetahuan diper­oleh dari apa yang dikatakan oleh tokoh atau melalui aksi tokoh.

(c) Omniscient author point of view. Pengarang melihat dan mengetahui semua hal. Pengarang menjelaskan proses berpikir setiap tokoh, tanpa dipersoalkan dari mana dia tahu akan segala itu, Konvensi ini masih diterima oleh pembaca. Akan tetapi cerpen modern banyak yang tidak memakai cara ini. Pembaca yang sophisticated ingin tahu bagaimana penulis dapat mengetahui apa yang tersurat dalam pikiran tokoh-tokoh.

(d) Character point-of-view. Digunakan orang ketiga (third person). Orang ketiga ini adalah tokoh penting. Dalam novel cara ini sudah banyak menggantikan omniscient author. Dengan cara ini terdapat cukup ruang bagi pengarang untuk mempergunakan point-of-view beberapa tokoh yang berlainan. Cara ini memberikan kebebasan pada pengarang untuk memilih tokoh mana saja yang dianggapnya paling mengetahui dalam ceritanya. Akan tetapi, cara ini mempunyai keterbatasan seperti cara first-person narrator karena tokoh yang satu hanya dapat menerka dan tidak dapat mengetahui akan motif-motif tokoh lainnya. Character point-of-view dinamakan pula shifting point-of-view.

Cara mana yang akan dianut merupakan hal yang harus diputuskan oleh pengarang. Akan tetapi, apabila penekanan cerita diutamakan pada alur dan aksi, mungkin yang dipakai ialah cara objectiv author point-of-view. Apabila cerita mendalami motif-motif tokoh, kemungkinan besar yang dipakai ialah cara character point-of-view atau orang pertama yang didramatisassi.

Cerita yang menganalisis aspek psikologis para tokohnya bersamaan dengan menampilkan aksi para tokoh, mungkin memerlukan point-of-view sempurna.

Menurut Rosenthal (1958: 121), penokohan dalam cerpen fokusnya terdapat pada deskripsi fisik, motivasi, dialog, arus kesadaran, dan innerlog para tokoh. Demikian pula penokohan dalam novel. Akan tetapi, jangkau­annya lebih luas. Pada abad ke-16 dan ke-1 tokoh merupakan stereotipe yang artifisial seperti halnya latar dan situasi. Namun, pada pertengahan abad ke-1 kedudukan tokoh mulai diberi pemusatan. Fielding mulai memperhatikan pentingnya tokoh dengan menghubungkannya pada "khas yang dimiliki". Oleh karena itu, kelakuan yang dapat dianggap wajar apabila dilakukan oleh tokoh yang satu, dapat dianggap tidak wajar apabila