Kaca:GEGURITAN MEGANTAKA.pdf/56

Saking Wikisource
Kaca puniki kavalidasi

raja besar, tetapi belum pemah terkalahkan, jika kamu hendak mengambil saya, jangan dulu sebelum aku kalah berperang.

30. Saya tidak mau dengan yang lain lagi, selain kakanda Mas Tilamagara, tidak ada cacatnya, pemuda tampan, persis seperti dewa Asmara, menjadi tauladan di masyarakat lagi pula pemuda yang masih suci, pantas kalau dibela mati, di mana mencari lagi.

31. Sangat sopan dan menarik hati, semua perbuatannya menyenangkan hati," Sang Megantaka mendengar sangat marah, "Ih apalagi perempuan cantik hanya membuang jiwa, silakan maju kalau kamu tidak sayang pada hidupmu, Sang Megantaka mulai.

32. Membentangkan panah naga pasa, waspada sang dewi dipanahi, akhirnya si jelita, Sekarkancana, tidak bergerak, dibalas dengan sepah (kunyahan orang makan sirih), naga pasa berubah menjadi abu, Sang Megantaka melihat.

33. Lagi mencipta bermeditasi, menciptakan api dan api sudah keluar, memenuhi tegalan yang luas, si jelita mencipta, hujan batu yang menghujani medan peperangan dengan gemuruh, batu melawan api, hancurlah api tidak ada tertinggal.

34. Kembali dia mencipta, Megantaka mengeluarkan angin, Raden Dewi membalasnya, lalu mencipta air, air besar seperti gunung bergelombang, air bermusuhan dengan angin, tiada diceritakan lagi kehebatan pertempuran.

35. Berlari tanpa arah tujuan, sang Megantaka melihat, dirinya kalah berperang, adapun sorak prajurit ramai gemuruh, seperti angkasa ini akan runtuh, disebutkan seisi sorga.

36. Para bidadari, dan dewa-dewa, semua menonton, disebutkan rohnya Raden Galuh, yang mati di taman, ikut menonton, dikerumun oleh para bidadari ada yang membawakan makanan, bertempat bokor emas yang mulia (bokor = tempat membawa sajen).


56